LELAKI tua berjenggot putih itu mangangkat kaki kanannya dengan lutut sejajar pusar, sedangkan
sepasang tangannya siap siaga di depan dada dengan telapak terbuka lebar.
Lelaki itu menahan napas sejenak, mulutnya berkomat-kamit. Secara tiba-tiba kaki kanan yang terangkat
itu melompat ke depan. Bersamaan dengan itu sepasang tangannya mendorong dengan pengerahan
tenaga kuat. Tenaga dorongan mengarah ke depan, ke arah sebongkah batu yang jaraknya ada sekitar
lima depa (1 depa kurang lebih 1,698 meter). Seiring dengan teriakan yang keluar dari mulut lelaki tua itu
angin pukulan pun terdengar berciutan. Kemudian tak lama antaranya terdengar suara ledakan memecah
jantung. Bongkahan itu hancur hampir menjadi kerikil bertaburan.
"Mengagumkan sekali Paman Jayaratu!" teriak seorang pemuda yang berdiri terpana pada jarak sejauh
lima depa.
"Suatu saat, engkau yang harus melakukan gerakan ini," kata Paman Jayaratu menatap pemuda itu.
"Saya?"
"Ya, Purbajaya ...!"
"Untuk apakah?"
"Untuk membela agamamu! Untuk memperkokoh, memperkuat bahkan membuatnya besar," tutur
Paman Jayaratu.
"Paman kan pernah bilang, Islam tak butuh kekerasan," kata Purbajaya.
"Memang betul, Islam tak butuh kekerasan tapi kekuatan. Ilmu kedigjayaan adalah bagian dari kekuatan.
Dan itu perlu untuk kewibawaan agama kita," tutur lagi Paman Jayaratu.
"Harus dengan kedigjayaankah Islam melebarkan sayap?" tanya pemuda itu, duduk bersila di sebuah
hamparan tikar pandan.
Paman Jayaratu menghela napas. Kemudian dia pun mencoba duduk bersila di atas tikar yang sudah
ditempati pemuda itu. Sebelum meneruskan percakapan, Paman Jayaratu mengnakan kembali baju
kurung warna hitamnya. Ikat kepalanya yang juga berwarna hitam pun segera dikenakannya lagi,
sehingga nampak kontras dengan warna rambut putihnya yang riap-riapan tertebak semilir angin tengah
hari.
Mereka berdua duduk di bawah pohon kaso yang rindang yang berdiri terpencil di kaki bukit itu. Nun
jauh ke sebelah utara nampak dataran rendah pantai utara yang langsung berbatasan dengan warna laut
biru pesisir Cirebon.
"Kenakan kembali pakaianmu, Purba..." kata Paman Jayaratu.
Purbajaya segera mengambil baju rompi hitam yang terbuat dari kain beludru biru. Dadanya yang bidang
dan putih sedikit tertutup oleh rompi. Purbajaya pun segera mengikat kepalanya dengan ikat kepala
warna putih.
Lelaki tua itu segera berdiri. Dia memerintah Purbajaya untuk menggulung tikar. Sesudah itu, bagaikan
kijang, kaki Paman Jayaratu meloncat lincah. Dia berlari cepat menuruni bukit. Setiap ujung jari kakinya
menotol tanah, maka setiap itu pula tubuhnya meloncat tinggi di udara. Dalam beberapa saat saja, orang
tua itu telah berada jauh di bawah bukit, meninggalkan Purbajaya yang masih termangu sambil
menggulung tikar. Namun sebentar kemudian dia pun sadar bahwa Paman Jayaratu tengah mengujinya,
sejauh mana perkembangan ilmu napak sancang (semacam ilmu untuk meringankan tubuh dalam berlari)
yang dimiliki pemuda itu.
Purbajaya pun segera meniru gerakan Paman Jayaratu. Dia menotolkan ujung jari kakinya ke atas
tonjolan batu. Tubuhnya sedikit mumbul ke udara seperti di ujung jari kakinya dipasangi per baja.
Pemuda itu memang bisa bergerak cepat kendati masih kalah cepat dibandingkan gerakan Paman
Jayaratu.
SELAMA hampir satu tahun Purbajaya dididik ilmu kedigjayaan di samping semakin memperdalam
pelajaran agamanya. Seingatnya, agamanya mulai dikenalkan di wilayah Negri Carbon sejak dia masih
bocah. Kendati menurut banyak orang, agamanya belum merata diterima oleh masyarakat di tanah
Sunda, namun bagi Purbajaya, agama baru ini bukan halangan bagi kehidupan manusia. Dalam agamanya
yang baru, dia tak merasa ada hambatan dalam kebebasan. Kalau pun agama ini mengatur kehidupan, itu
adalah sesuatu yang membimbingnya ke arah sesuatu kehidupan lebih baik.
"Betapa kacaunya isi dunia seandainya kehidupan manusia tidak diatur oleh keberadaan agama," pikir
Purbajaya.
Dia tak merasakan keanehan dalam menempuh kehidupan beragama sebab pada umumnya orang yang
berada di wilayah Karatuan Carbon adalah pemelk agama yang saleh kendati masyarakat Carbon terdiri
dari banyak macam suku bangsa seperti Sunda, Keling, Arab, Cina.
Hanya saja yang membuat dirinya belum merasa tentram bila tiba saatnya dia harus memikirkan siapa dia
sebenarnya. Selama belasan tahun ini dan tinggal di wilayah ini, dia tak tahu siapa keluarganya. Orang
yang dekat dengannya sampai hari ini hanyalah Paman Jayaratu. Orangtuanyakah dia? Mengapakah dia
tak memanggilnya ayahanda kepada Paman Jayaratu? Siapa pula ibunya?
“Suatu saat kau akan diberitahu ..." tutur Paman Jayaratu bila Purbajaya bertanya perihal itu.
Namun pada suatu saat tiba pula apa yang didambakannya.
Malam itu langit penuh bintang. Purbajaya tengah duduk bersila di bale-bale berhadapan dengan sebuah
pelita dengan cahaya suram. Pemuda itu dengan sabar membaca beberapa ayat suci yang tengah dia
pelajari.
Dia segera menghentikan pekerjaannya manakala ke pekarangan rumah masuk dua orang berpakaian
prajurit. Mereka datang berbekal oncor (obor) yang cahaya merahnya menggelebur menerangi
wajah-wajah mereka.
"Siapa?"
"Kami utusan dari Puri Arya Damar, ingin bertemu Ki Jayaratu," jawab seorang dari mereka.
"Arya Damar? Bukankah dia salah seorang pangeran dari Pakungwati?" tanya Purbajaya pelan.
"Ya, ada urusan amat penting. Jadi, bila Ki Jayaratu tak ada halangan, diharap ikut bersama kami ke
puri," tutur prajurit.
"Paman Jayaratu sedang pergi ke Astanajapura. Tapi menurut rencana, malam ini pun harus sudah
kembali," jawab Purbajaya masih duduk bersila.
"Silakan Ki Silah (saudara) berdua tunggu di sini..." tutur kedua orang itu mengajak kedua orang prajurit
untuk duduk di bale-bale.
Namun sebelum kedua orang tamu itu duduk, tiba-tiba Paman Jayaratu muncul dari pekarangan.
"Kebetulan beliau sudah tadang ..." Purbajaya melihat orang tua itu dengan hati gembira.
"Kalian dari mana?" tanya Paman Jayaratu.
"Kami utusan dari Pangeran Arya Damar ..."
"Pangeran Arya Damar?"
"Beliau mengundangmu ke purinya tapi diharap anda membawa serta pemuda bernama Purbajaya," kata
prajurit.
Purbajaya terkejut, mengapa dia pun musti ikut? Dan ketika dia melirik ke arah Paman Jayaratu, dia pun
bertambah heran sebab alis orang tua itu nampak berkerut. Ada apakah?
"Harus sekarang jugakah kami menghadap beliau?" tanya Paman Jayaratu. Kedua prajurit itu
mengangguk. Kembali dahi Paman Jayaratu berkerut. Dia termenung sejenak.
"Kami harus membawa kalian sekarang ini juga," kata prajurit menegaskan ketika Paman Jayaratu
nampak meragu.
Paman Jayaratu masih termenung. Namun pada akhirnya dia mengangguk juga.
"Baiklah, kami berangkat menuruti titahnya," guman Paman Jayaratu."Purba, berkemaslah, malam ini kita
menghadap ke Istana Pakungwati ..." kata Paman Jayaratu berjingkat.
"Ouw, jadi anak muda inikah Purbajaya?" kedua orang prajurit ini kaget kerika nama itu dipanggil.
"Apakah kalian sudah tahu tentang anak ini?" tanya Paman Jayaratu penuh selidik.
"Hanya sedikit-sedikit. Tapi anak muda ini amat menarik perhatian ..." kata prajurit berkumis tebal
berdada bidang.
Berdebar dada Purbajaya. Mereka membicarakan dirinya tapi dia tak tahu perkara apa itu. Ketika
Paman Jayaratu masuk ke ruangan rumah panggungnya, Purbajaya ikut berjingkat dengan alasan akan
segera berkemas.
"Paman, ada apakah ini?" tanyanya berbisik.
"Ini adalah perihal masa depanmu tapi sekaligus juga tentang masa lalumu. Hanya saja aku hawatir,
mengapa yang menanganimu malah Pangeran itu?" gumam Ki Jayaratu.
"Ada apa dengan Pangeran Arya Damar, Paman?"
Paman Jayaratu hanya menghela napas.
"Tak bisa aku katakan sekarang. Tapi mudah-mudahan berhadapan dengan pangeran itu tak
mengejutkanmu," kata Paman Jayaratu semakin membuat pemuda itu bertanya-tanya hatinya.
"Tapi kau harus siap, apa pun yang pangeran itu katakan," kata pula orang tua itu. Purbajaya
mengangguk tanpa tahu mengapa harus begitu.
"Kami sudah siap berangkat," kata Paman Jayaratu keluar menuju pekarangan.
Kedua orang prajurit itu pun berdiri. Masing-masing mengambil kembali obornya yang tadi disimpan di
batang pagar bambu.
"Mari!" ajak prajurit.
"Mari ... Bismil-laahirrakhmaanir-rakhiim!" gumam Paman Jayaratu memulai langkahnya, diikuti oleh
Purbajaya.
Maka keempat orang itu mulai berjalan beriringan. Pembawa obor berjalan paling depan sebagai
penunjuk arah dalam gelapnya malam.
Malam itu memang tak ada bulan. Kendati bulan bertebaran dilangit, cahayanya tak sanggup menerangi
semesta. Sedangkan menuju Istana Pakungwati jaraknya cukup jauh, harus merambah sedikit hutan jati.
Hanya saja Paman Jayaratu seperti tak menderita kesulitan. Nampaknya dia hapal betul, ke mana arah
yang harus dilalui. Langkah orang tua itu mantap dan cepat. Sebentar saja dia sudah jalan paling depan,
meninggalkan dua orang prajurit yang jalan tertatih-tatih karena mata silau oleh cahaya obor.
Purbajaya melangkat di belakang Paman Jayaratu. Hanya dia yang tahu, orang tua itu bisa jalan cepat
dalam gelap karena memiliki ilmu bernama Sorot Kalong. Sorot Kalong adalah semacam ilmu melihat
dalam gelap. Yang sudah menguasai ilmu ini, kendati berada di dalam gelap tidak kesulitan untuk melihat.
Kata pemilik ilmu itu, seluruh alam bisa dilihat kendati remang-remang saja.
***
PAMAN Jayaratu sudah menguasai ilmuSorot Kalong dengan baik. Purbajaya pun sebenarnya sudah
diperintah oleh orang tua itu untuk berlatih. Tapi pemuda itu hanya melakukannya dengan
setengah-setengah saja. Sungguh berat melatih mata agar bisa melihat di dalam gelap. Selama tiga bulan
penuh harus berada di dalam ruangan yang hanya menerima sedikit cahaya. Semakin hari, cahaya yang
masuk ke dalam ruangan itu semakin dikurangi sampai pada suatu saat ruangan itu gelap gulita sama
sekali. Namun demikian, kemampuan mata harus tetap seperti manakala melihat ruangan ketika masih
mendapatkan cahaya.
Purbajaya tak kuat melebarkan pupil mata. Urat-urat di sekitar bola mata serasa menegang bahkan
serasa mau putus dan kepala pun berdenyut disertai perasaan mual di ulu hati. Rasanya sudah mau
muntah.
"Mata saya seperti tak sanggup memenuhi keinginan ini," tutur Purbajaya pada beberapa bulan lalu. Dia
keluar ruangan dengan sepasang mata yang bengkak dan berwarna merah, bahkan dari sudut-sudut
matanya keluar tetesan darah.
Mendengar keluhan ini Paman Jayaratu ketika itu hanya ketawa masam.
"Orang yang tak tahu melangkah tak akan sampai ke tempat tujuan. Dan alangkaha sedihnya bilamana
suatu saat dia sadar bahwa selama ini dia hanya tinggal di tempat yang itu-itu juga. Dia tetap mentah
pengalaman dan pengetahuan ..." kata Paman Jayaratu. Orang tua ini tak pernah memaksakan kehendak,
kecuali memberikan gambaran seperti itu.
Dan hari ini baru terasa akibatnya, betapa ucapan Ki Jayaratu amat tepat. Orang yang tak mau beranjak
tak akan sampai di tujuan. Hanya karena tak mau mempelajari ilmu Sorot Kalong maka Purbajaya tak
bisa berjalan cepat di dalam gelap. Maka tak heran, dalam upaya mengejar ketinggalan, dia bergerak di
tengah hutan jati dengan gerakan lintang-pukang, seruduk sana seruduk sini, sama seperti kedua orang
prajurit yang berlari di belakangnya. Malah, dua orang prajurit itu lebih unggul sebab berbekal obor.
Hanya saja yang menyebabkan Purbajaya ada di depan sebab pemuda itu memiliki ilmu lari cepat jauh
lebih baik ketimbang dua prajurit.
"Kalau saja aku ulet dalam latihan ... " keluh pemuda itu. Terasa sekali, Paman Jayaratu hendak
mengujinya, atau sekadar memberi pelajaran padanya, betapa orang bodoh selalu ketinggalan dalam
segala hal. Paman Jayaratu kini beruia lebih dari limapuluh tahun, sementara tahun ini Purbajaya baru
menginjak usi enambelas. Tapi usia yang terpaut jauh tidak menjamin. Tokh anak muda yang bodoh tak
bisa mengalahkan orang berusia tua yang pandai.
Untunglah hutan jati sudah dirambah. Kini mereka berada di tengah padang alang-alang yang beberapa di
antaranya gundul dan tanahnya berdebu. Namun di tempat terbuka seperti itu bintang-gemintang berjasa
menolong Purbajaya. Dengan mengerahkan tenaga dia berlari kencang menyusul Paman Jayaratu. Yang
payah adalah kedua orang prajurit. Mereka hanya memiliki kepandaian biasa-biasa saja. Maka diajak
berlari menggunakan ilmu napak-sancang (ilmu lari meringankan tubuh), mereka ketinggalan jauh.
Ketika tiba di batas kota, barulah Paman Jayaratu menurunkan kepandaiannya. Dia bahkan berjalan
lenggang-kangkung seperti memberi kesempatan kepada orang-orang di belakangnya untuk menyusul.
Dalam waktu yang tak terlalu lama, Purbajaya sudah berada di samping Paman Jayaratu dengan dada
turun naik. Kedua orang prajurit Negri Carbon pun sudah ada di belakang mereka dengan napas
senin-kemis dan wajah bersimbah keringat.
"Sekarang giliran kalian yang jalan di depan," kata Paman Jayaratu kepada dua orang prajurit.
Sekarang sudah sampai di kota tapi keadaan sudah lengang sebab malam hampir larut. Ketika memasuki
gerbang keraton, mereka perlu mendapatkan pemeriksaan dari empat orang jagabaya. Setelah segalanya
beres, maka semua boleh masuk.
Keraton Negri Carbon dikenal bernama Dalem Agung Pakungwati, dikelilingi pekarangan-pekarangan
yang dibatasi dinding batu bata dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya melalui gerbang, kori
dan pintu-pintu. Di dalam beberapa pekarangan terdapat kompleks bangsal (bangunan terbuka) yang
terbuat dari lantai berhias.
Banyak puri di sana. Puri-puri itu dimiliki oleh para bangsawan, pejabat dan kerabat istana. Salah
satunya adalah milik Pangeran Arya Damar.
Di depan puri Arya Damar ada pemeriksaan lagi tapi di sini tak seketat ketika diperiksa di luar istana.
Barangkali petugas puri sudah diberitahu akan kedatangan dua orang tamu itu.
Di beranda depan ternyata Pangeran Arya Damar sudah duduk bersila di atas hamparan alketip buatan
Negeri Parasi (Parsi-Iran)
Purbajaya sudah pernah bertemu dengan pangeran ini beberapa bulan silam. Itu pun terjadi pada waktu
perayaan maulid dan bukan pada pertemuan khusus. Mengapa pejabat ini tiba-tiba ingin bertemu
malam-malam seperti ini dengannya?
Pangeran Arya Damar malam itu amat berwibawa. Dia memakai baju bedahan lima terbuat dari beludru
halus warna hitam. Pada sisi-sisi bedahan dikelim benang emas. Celananya pun terbuat dari beludru hitam
pula, ditutup oleh kain batik trusmi yang dilipat dua. Ada keris dengan gagang beronce benang emas,
tersembul tipis dari balik bedahan. Ketika Paman Jayaratu datang mendekat, keris itu dipindahkan sedikit
ke belakang sehingga jadi tak terlihat. Tapi gerakan pangeran itu tetap mengesankan bahwa dia barusan
memegang hulu senjata.
"Assalaamu'alaikum warahmatul-laah ... "
"Wa'alaikum salam... Silakan duduk Ki Jayaratu," sambut Pangeran Arya Damar sambil melinting kumis
tipisnya.
Paman Jayaratu duduk bersila sesudah menghormat penuh takzim, diikuti oleh tindakan serupa yang
dilakukan Purbajaya. Sedangkan dua prajurit, sesudah menyembah hormat segera undur diri.
"Engkau yang duduk di belakang tentu pemuda bernama Purbajaya itu, ya?" Pangeran Arya Damar
matanya menyorot bagai mata burung elang.
Purbajaya menunduk. Dan untuk kedua kalinya dia menyembah.
"Serasa aku sudah pernah melihat wajahnya, di mana ya Ki Jayaratu?" tanyanya kemudian.
"Pangeran pernah melihatnya pada perayaan muludan beberapa bulan lalu ... " jawab Paman Jayaratu
sambil kembali menyembah. Pangeran Arya Damar mengangguk-angguk sesudah mengingat-ingat
sebentar.
"Bukankah yang menolong putriku Nyimas Waningyun ketika anak nakal itu hampir tenggelam di Taman
Air Petratean?" tanya Pangeran Arya Damar lagi.
Jantung Purbajaya hampir berhenti dan teringat gadis ayu berlesung pipit. Dia putri Pangeran Arya
Damar?
Beberapa bulan lalu, adalah perayaan 12 Mulud upacara tradisi memperingati hari lahirnya penyebar
agama baru di dunia bernama Islam. Dialah Kangjeng Nabi Muhammad SAW.
Namun di samping perayaan yang bersifat keagamaan, perayaan lain pun ikut mewarnai. Berbagai
kesibukan lain ikut meramaikan, misalnya jenis-jenis kesenian. Keramaian itu biasa diadakan sejak dua
minggu sebelum 12 Mulud.
Perayaan secara besar-besaran selalu diadakan, terutama sesudah Kangjeng Syarief Hidayatullah atau
lebih dikenal sebagai Sang Susuhunan Jati memegang tampuk pemerintahan Nagri Carbon (1479
Masehi). Susuhunan Jati mengadakan berbagai perayaan secara besar-besaran ini, bukan semata karena
menghormati Kangjeng Nabi sebagai penyebar agama saja, melainkan juga karena menghormati
nenek-moyang. Menurut garis ayah, Kangjeng Syarief Hidayatullah adalah keturunan ke 22 Kangjeng
Nabi Muhammad SAW. Ayahandanya adalah Syarief Abdullah yang datang ke Pulau Jawa dari Mesir
melalui Gujarat. Menikah dengan Nyimas Rara Santang putri Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran.
Sebagai keturunan langsung dari penyebar agama Islam, sudah barang tentu Kangjeng Syarief
Hidayatullah begitu menghormatinya secara khusus pula, hormat seorang keturunan kepada
nenek-moyangnya. Makanya sejak saat itulah muludan di Nagri Carbon selalu meriah hingga kini.
Nagri Carbon menjadi tempat yang ramai bila muludan tiba. Ribuan orang akan datang dari mana-mana,
termasuk dari wilayah karatuan yang telah bergabung dengan Carbon seperti Rajagaluh, Kuningan,
Talaga dan Sumedanglarang.
Yang datanag berkunjung ke suasana pesta, bukan hanya orang tua. Bahkan orang muda, para gadis dan
lajang saling memperlihatkan wajah dan penampilan agar satu sama lain menjadi saling tertarik.
Kebahagiaan juga larut ke dada para remaja bangsawan. Para ksatria dan puteri Karaton Pakungwati
yang elok-elok sama bergembira namun tentu saja mereka tak berbaur dengan orang kebanyakan.
Anak-anak kaum bangsawan hanya bercengkrama di Taman Air Petratean. Ini adalah sebuah taman
indah di kompleks istana. Di kompleks itu ada kolam berbentuk melingkar, airnya jernih banyak
ditumbuhi bunga teratai. Bila senja hari anak-anak bangsawan karaton bersenandung sambil bersampan,
melewati taman-taman air Pulau Kaca, Pulau Manik dan kemudian berhenti di Taman Air Petratean
(karena banyak ditumbuhi bunga teratai yang indah-indah).
Purbajaya bukan putra bangsawan. Namun pada perayaan ini dia bisa keluyuran ke Taman Air Petratean
berkat Paman Jayaratu.
Kalau mengingat ini memang sungguh mencengangkan. Paman Jayaratu bukanlah seorang pejabat, tidak
juga sebagai abdi keraton. Tapi entah mengapa, dia bisa keluar-masuk kompleks istana dan sering
berhubungan dengan kalangan pejabat di Pakungwati.
Sesekali ada juga keinginan pemuda itu untuk bertanya, mengapa Paman Jayaratu punya kelonggaran
seperti itu. Namun yang membuat keinginan itu selalu kandas, karena Paman Jayaratu orangnya acuh tak
acuh. Jangankan orang tak bertanya, sedangkan orang perlu penjelasan darinya jarang mengabulkannya.
Jadinya pemuda itu lebih memilih diam ketimbang pusing sendiri memikirkan sifat-sifat orang tua itu.
Purbajaya boleh menggunakan pakaian bagus. Ketika ikut keluyuran di Taman Air Petratean dia
memakai pakaian seperti yang biasa digunakan oleh kaumsantana (golongan masyarakat pertengahan),
yaitu memakai baju kurung tangan panjang terbuat dari kain halus buatan Nagri Campa (Cambodia kini),
warna mencolok biru muda, sedangkan ke bawahnya menggunakan celana komprang (celana panjang
sebatas mata kaki) dengan warna kuning tua. Kepala diikat kain batik motif atau corakpupunjungan .
Tentu saja gagah sekali. Apalagi potongan wajah Purbajaya terbilang tampan. Dia berkulit putih bermata
tajam. Ada ciri khas yang tak mungkin orang lupa, yaitu ujung dagu pemuda ini seperti terbelah dua oleh
goresan.
Purbajaya jalan-jalan sendirian sebab Paman Jayaratu punya kepentingan lain.
Betapa gembiranya pemuda ini ketika dilihatnya di kolam taman itu banyak anak muda pria dan wanita
bercengkrama. Beberapa di antaranya melayari kolam berbentuk lingkaran dengan wajah ceria.
Yang membuat Purbajaya terlongong-longong kagum, karena kaum remaja di sana selain berpakaian
indah-indah juga wajahnya pun elok-elok. Yang perempuan cantik-cantik dan yang prianya
tampan-tampan.
Namun dari sekian remaja elok yang dia kagumi, ada seorang dari sekumpulan gadis yang dia
perhatikan. Dia punya kesan khusus terhadap gadis belia yang barangkali usianya masih sekitar limabelas
tahun ini. Dia cantik melebihi yang lainnya, tapi tindak-tanduknya tenang setenang air kolam. Kalau orang
lain menampakkan kegembiraan yang penuh sebagai remaja, adalah gadis itu hanya senyum-senyum saja.
Namun dalam selintas nampak nyata bahwa gadis itu selalu jadi incaran para pemuda di sekelilingnya.
Mereka seperti bersaing ingin lebih dekat dengan gadis itu. Selalu berusaha menggoda dan membuat
kelucuan-kelucuan agar gadis itu tertarik padanya.
Purbajaya ingin sekali bergabung namun bagaimana caranya? Alangkah kurang sopannya bila secara
tiba-tiba dia ikut melibatkan diri begitu saja. Mereka tidak saling mengenal.
Dan alangkah kecewanya Purbajaya ketika dilihatnya kelompok anak-anak muda itu meninggalkan
bangku di bawah pohon rindang di mana tadi mereka duduk-duduk. Dari jarak agak jauh Purbajaya ikut
ke mana mereka bergerak. Ternyata gadis berlesung pipit dengan hidung kecil mancung itu menuju
sebuah sampan bersama tiga orang gadis dan dua orang pemuda. Mereka semuanya menaiki sampan
dan berlayar mengitari kolam.
Tak terasa Purbajaya melangkahkan kaki ikut ke mana perahu itu bergerak. Kalau perahu atau sampan
itu berhenti, maka kaki Purbajaya pun ikut berhenti. Sebaliknya bila sampan bergerak maka Purbajaya
pun ikut bergerak. Ketika salah seorang dari gadis di sampan bersenandung, maka Purbajaya pun ikut
bersenandung pelan.
Namun entah setan mana yang menggodanya, secara tiba-tiba saja di benaknya tersembul pikiran buruk.
Pikiran ini terbentuk karena didesak oleh kebutuhan ingin bergabung dengan mereka.
Purbajaya dengan diam-diam memungut sebuah kerikil. Dengan pengerahan tenaga penuh dia
melemparkan kerikil sebesar biji rambutan itu. Secepat kilat benda itu melesat mengarah bagian lunas
perahu. Maka tak lama kemudian terdengar bunyi "tak!". Namun karena penumpang sampan tengah
beriang gembira, maka bunyi aneh itu tidak terdengar oleh mereka. Tahu-tahu, secara perlahan namun
pasti, sampan turun dan semakin turun, kemudian permukaan air seperti menjadi naik dan masuk ke
dalam sampan.
"Hai ... perahu bocor!"
"Wah betul, perahu bocor!"
"Cepat tambal!" teriak pemuda satunya.
"Tambal dengan apa, tolol!"
"Wah, bahaya ini!"
"Tolong! Tolong! Perahu bocor!" teriak pemuda satunya lagi.
"Ya, betul! Tolong! Tolong!" teriak pemuda lainnya lagi. Dan tubuh perahu semakin turun juga.
Para penumpang nampak panik. Jangankan para anak gadis yang nampak panik dengan wajah pucat
pasi, sedangkan kedua orang pemuda yang tadi bertindak sebagai pengawal dan pelindung pun
berteriak-teriak minta tolong.
Purbajaya terkekeh-kekeh menyaksikan kejadian ini. Namun belakangan baru sadar bahwa para
penumpang sampan itu kesemuanya tidak bisa berenang.
Pemuda itu segera meloncat dan terjun ke kolam manakala dilihatnya sampan mulai oleng dan
menumpahkan isinya.
Terdengar teriakan minta tolong dan jerit ketakutan dari para penumpang sebab sampan benar-benar
tenggelam.
Tak percuma Purbajaya hidup di daerah pesisir Muhara Jati, sebab dia punya kepandaian bermain di air
dengan amat hebatnya. Paman Jayaratu memang melatih Purbajaya untuk menjadi puhawang (akhli teluk
dan lautan). Sebagai orang yang dididik kebaharian, sudah barang tentu pemuda itu pandai berenang dan
menyelam.
Purbajaya tidak panik harus menyelamatkan enam orang sekaligus, tokh itu hanya kolam biasa saja yang
kedalamannya paling beberapa depa saja. Dalam waktu yang cepat dia sudah bisa menjemput dua orang
gadis, namun yang didahulukan ditolong adalah gadis berlesung pipit dan berhidung kecil mancung. Gadis
itu dipeluknya erat, kemudian disuruhnya bergayut pada buritan sampan yang terbalik. Sesudah itu
dengan secepat kilat dia tolong lagi dua gadis. Keduanya dikempit kiri dan kanan. Dia berenang hanya
mengandalkan gerakan sepasang kakinya saja. Paling akhir barulah kedua pemuda itu yang nampak
kepayahan karena mulut gelagapan benyak kemasukan air. Sesudah semuanya bergayut di sampan,
sampan ditarik ke tepi sambil berenang.
Di tepi kolam sudah banyak orang menunggu untuk memberikan pertolongan. Kaum lelaki kebanyakan
hanya sibuk menolong para gadis saja. Purbajaya sibuk mengurusi gadis berlesung pipoit, berebutan
dengan beberapa pemuda lainnya. Kedua orang muda yang tadi bersampan dan kini basah kuyup,
mendorong tubuh Purbajaya ketika dilihatnya pemuda itu terkesan berlebihan menolong gadis berlesung
pipit.
"Minggir kamu!" teriak salah seorang dari mereka geram.
"Eh, Rangga, jangan kasar! Bukankah pemuda itu rela berkorban menolong kita?" kata si gadis berlesung
pipit dengan suaranya yang merdu. Tapi pemuda bernama Rangga itu hanya mendengus dan
memalingkan muka.
Purbajaya baru sadar bahwa sebetulnya gadis berlesung pipit berkulit pipi halus putih dan berghidung
kecil mancung itu sebenarnya menjadi pusat perhatian semua pemuda. Nampak nyata, ketika dia
memeluk dan memeriksa keadaan gadis itu karena megap-megap kena air, semua pemuda yang ada di
sana mendelik marah. Terbukti, tubuh Purbajaya sampai terjengkang didorong pemuda marah lantaran
berani memeluk gadis cantik itu.
"Saya tidak kurang ajar, hanya berniat menolong saja," tutur Purbajaya memeras ujung baju yang basah
kuyup.
"Kalau hanya pegang-pegang Nyimas, aku juga bisa!" teriak pemuda bernama Rangga itu hendak
menerjang, membuat Purbajaya mundur satu tindak.
"Apa menolongnya? Ketika dia hampir tenggelam pun engkau bisa?" Purbajaya tak kepalang tanggung
menantang kemarahan pemuda itu. Dan benar saja, kemarahan pemuda itu semakin memuncak. Dia
menerjang dan melayangkan pukulan ke arah wajah Purbajaya. Namun dengan mendoyongkan tubuh ke
belakang, jkepalan tangan pemuda itu tak sanggup menjangkaunya, hanya terpaut beberapa inci saja.
Pemuda itu jadi bertambah marah. Dia pun maju setindak dan kembali melayangkan pukulan lurus ke
depan mengarah dagu. Untuk kedua kalinya Purbajaya hanya perlu mendoyongkan tubuhnya ke
belakang, sehingga kembali tohokan meleset.
"Rangga, sudahlah!" teriak gadis berlesung pipit mencegah. Namun pemuda bernama Rangga itu rupanya
orang pemarah. Dia tak mau berhenti sebelum rasa marahnya terpuaskan. Purbajaya mengerti akan hal
ini. Maka agar pemuda Rangga tak dikejar rasa penasaran, Purbajaya memperlambat gerakannya,
sehingga ketika serangan yang ketiga datang menyusul, pukulan itu menohok telak ke ulu hato Purbajaya.
Tenaga pukulan ini terasa biasa-biasa saja, walau pun sakit tapi tak terasa benar. Mungkin Rangga tak
sepenuhnya mengeluarkan tenaga, atau mungkin juga hanya sebatas itu tenaga yang dimilikinya. Tapi
untuk membuat Rangga senang, Purbajaya pura-pura kesakitan. Dia menjerit sambil menunduk dan
kedua-belah tangannya memegangi ulu hatinya.
"Rangga jangan bertindak kejam!" teriak gadis berlesung pipit dengan nada tak suka. Namun Rangga
seperti kurang puas. Dengan gerakan indah, pemuda itu meloncat dan kedua kakinya menerjang ke
depan.
Purbajaya sadar bahwa pemuda bengal itu hendak menendang ubun-ubunnya. Dan bila demikian halnya,
Purbajaya bisa menduga bahwa pemuda di hadapannyaini berhati kejam dan pendendam. Atau bisa juga
dia ini orang yang biasa memelihara perasaan iri. Si Rangga ini iri karena Purbajaya berdekatan dengan
gadis berlesung pipit itu.
Beberapa pemuda lain hanya melihat peristiwa ini tanpa berani bertindak atau menengahi. Ini hanya
punya dua kemungkinan. Pertama, orang-orang merasa segan terhadap pemuda bengal itu. Kemungkinan
kedua, semua pemuda setuju Purbajaya "dipermak" pemuda Rangga.
Tapi menurut jalan pikiran Purbajaya, orang barangkali segan untuk ikut campur. Mungkin pemuda
Rangga bukan orang sembarangan. Dia orang terhormat barangkali.
Sebetulnya mudah saja bagi Purbajaya untuk menghindarkan terjangan ini. Dengan sedikit miringkan
tubuh saja ke kiri atau pun ke kanan, serangan sudah bisa dipatahkan. Tapi kalau serangan ini patah,
pemuda Rangga akan semakin berang, belum lagi rasa malunya sebab ditonton banyak orang. Maka
untuk menjaga agar gengsi anak bengal itu tidak melorot turun, Purbajaya membiarkan serangan datang
menerjang. Hanya biar pun begitu, Purbajaya tak mau begitu saja menerima tendangan. Dia pun harus
balik memberikan pelajaran kepada pemuda pongah ini. Maka ketika terjangan sepasang kaki mengarah
ubun-ubunnya, Purbajaya melindungi dirinya dengan sepasang ibu jari yang dirangkapkan dan mengacung
mengarah ke telapak kaki lawan. Dengan kekuatan yang terlatih, Purbajaya melakukan serangan,
menotol telapak kaki lawan dengan tohokan sepasang ibu jari tangan, tepat mengarah jaringan urat syaraf
kaki.
Purbajaya terhempas ke belakang karena dorongan telapak kaki dan dia pura-pura menjerit ngeri. Dia
jatuh berdebuk dan bergulingan beberapa kali.
Di samping kirinya ada suara jeritan halus. Ternyata itu suara merdu yang keluar dari mulut manis dan
mungil gadis berlesung pipit. Gadis semampai itu menghambur menolong Purbajaya. Sambil duduk
bersimpuh, gadis itu memeriksa kepala bahkan bagian badan lainnya, kalau-kalau terdapat luka serius di
tubuh Purbajaya. Pemuda itu meram-melek tapi sambil pura-pura menahan sakit.
Purbajaya terlena keenakan. Sesekali matanya melirik ke arah pemuda Rangga. Dilihatnya, pemuda itu
masih berdiri. Purbajaya tersenyum tipis dari balik sepasang telapak tangannya yang dipakai menutupi
wajahnya. Walau pun pemuda Rangga masih berdiri tapi Purbajaya tahu,pemuda itu berdiri karena
sepasang kakinya kaku menahan rasa sakit dan ngilu. Ini nampak jelas karena keringat dingin membasahi
wajahnya yang pucat-pasi dan mulutnya menyeringai. Rangga jelas menderita rasa sakit yang sangat.
Purbajaya geli hatinya. Yang menderita justru pemuda Rangga tapi yang dirawat gadis cantik malah dia.
Betapa dengan gerak-gerik halus penuh perhatian, gadis berlesung pipit ini mencoba sebisanya menolong
Purbajaya yang tergeletak "kepayahan". Beberapa gadis lain pun ikut merubung dan membantu
"mengobati".
***
TAK dinyana tak disangka, peristiwa lama itu kembali mencuat dalam ingatan hanya karena Pangeran
Arya Damar mempercakapkannya kembali.
"Aku mendengar peristiwa itu. Tapi katanya hampir membuat keributan, benarkah itu?" tanya Pangeran
Arya Damar menatap Purbajaya dengan seksama. Yang ditatap hanya menunduk.
"Maafkan, anak ini memang nakal tak tahu supan santun istana. Tapi urusan itu sudah saya selesaikan
beberapa kemudian. Pangeran Aryadila bahkan sudah memeriksa perkara ini dan memberikan maaf,"
tutur Paman Jayaratu.
Purbajaya mengangkat muka dan menoleh . Sudah diselesaikan? Berarti peristiwa itu pernah berbuntut
panjang dan perlu diselesaikan., padahal menurut perkiraannya, peristiwa itu selesai hari itu juga.
Mengapa Paman Jayaratu tak mengabarinya bahwa percekcokan pernah berlarut-larut sehingga
membuat Paman Jayaratu mengurusinya?
"Sudahlah. Kedatangan kalian ke sini bukan untuk membicarakan masalah itu ... " tutur Paman Pangeran
Arya Damar menjegal kebingungan Purbajaya.
"Silakan Pangeran yang membicarakannya sebab hanya kalangan istana yang berwewenang
memaparkannya," kata Paman Jayaratu.
Pangeran Arya Damar mengangguk, kemudian menatap Purbajaya.
"Anak muda, sudah berapa lama engkau tinggal bersama Ki Jayaratu?" tiba-tiba pangeran itu
mengajukan pertanyaan aneh.
"Sudah sejak kecil saya bersamanya, Pangeran," tutur Purbajaya tanpa bisa menduga ke mana arah
pertanyaan itu.
"Engkau anak siapakah sebenarnya?" sambung Pangeran Arya Damar lagi.
Purbajaya menoleh kepada Paman Jayaratu. Yang punya jawaban ini tentu orang tua itu, sebab sudah
berulang kali Purbajaya bertanya namun Paman Jayaratu selalu berkata belum saatnya.
"Barangkali paman saya bisa menerangkannya, Pangeran," tutur Purbajaya sesudah merenung sejenak.
"Salah. Yang sanggup menerangkan siapa dirimu adalah aku, anak muda," jawab Pangeran Arya Damar
menatap pemuda itu. Dengan amat terkejutnya Purbajaya balik menatap bangsawan itu. Mengapa
Pangeran Arya Damar mengaku lebih hapal perihal dirinya? Purbajaya bingung dan tak sanggup
meraba-raba misteri ini.
"Dengarkan, aku akan bercerita ... " kata Pangeran Arya Damar. Dan tak menunggu komentar, pangeran
ini menuturkan sebuah kisah.
Nagri Carbon dulu merupakan wilayah kekuasaan Pajajaran. Namun ketika agama baru bernama Islam
semakin berpengaruh di wilayah pesisir Jawa Dwipa (Pulau Jawa), Cirebon atau Carbon bertekad
melepaskan diri dari Pajajaran.
Sudah barang tentu penguasa Pakuan (ibukota Kerajaan Pajajaran) tidak senang kedaulatannya terkikis.
Maka sejak saat itu hubungan /cirebon dengan Pakuan semakin renggang. Cirebon sudah berhenti
mengirimkan upeti. Penguasa Pakuan semakin cemas, apalagi melihat hubungan Cirebon dengan
Kerajaan Demak, penyebar Islam di Jawa Dwipa semakin erat. Bahkan karena melihat hubungan ini
semakin erat maka permusuhan terjadi.
"Bermusuhankah antara Carbon dan Pakuan, Pangeran?" tanya Purbajaya tiba-tiba.
"Ya, bermusuhan sekali!" jawab Pangeran Arya Damar tandas sekali. Purbajaya mennoleh ke arah
Paman Jayaratu yang nampak masih duduk dengan tegak namun nampak nyata tidak begitu menyimak
penjelasan ini.
"Saya dengar Pajajaran tidak membenci Carbon sebab dahulu pendiri Carbon adalah putra-putri Sang
Prabu Sri Baduga Maharaja, penguasa Pajajaran (1482-1521 Masehi). Permesuri Sang Prabu adalah
Nyimas Subanglarang, dari Pesantren Quro wilayah Tanjungpura (Karawang kini) dan ketiga putranya
yaitu Walangsungsang, Larasantang serta Raja Sangara ikut agama ibunya yaitu Islam," potong
Purbajaya.
"Benar, Nyimas Subanglarang orang Islam, anak-anaknya pun Islam juga dan kemudian mendirikan
Carbon. Tapi ayahanda mereka bukan. Sang Prabu Sri Baduga Maharaja tak mau masuk agama baru.
Itulah sebabnya, permusuhan terjadi," kata Pangeran Arya Damar.
Purbajaya menoleh ke arah Paman Jayaratu, nampak orang itu menghela napas.
"Sudahlah, bukan itu yang jadi titik perbincangan kita," kata bangsawan itu menepuk paha. Purbajaya
pun seperti diingatkan kembali, bahwa percakapan utama adalah perihal dirinya.
Pangeran Arya Damar kembali melanjutkamn kisahnya. Karena antara Carbon dan Pajajaran sudah tak
ada persesuaian paham, maka beberapa kali terjadi pertempuran antara Carbon dan Pajajaran. Carbon
yang mendapatkan bantuan militer secara penuh dari Kerajaan Demak, lebih unggul dan sering
memperoleh kemenangan. Beberapa tempat-tempat penting milik Pajajaran bisa direbut. Enam
pelabuhan penting milik Pajajaran yaitu Ciamo (muara Cimanuk), Caravan (Ujung Karawang), Tamaram
(muara Cisadane), Pontang (Marunda) dan Pelabuhan Bantam (Karangantu, Banten) menjadi milik
Carbon, mengakibatkan pengaruh Pajajaran semakin terkikis. Dulu dia adalah nagara maritim dan agraris
dan kini tinggal sebagai negara agraris saja sebab pengaruh Pajajaran kini hanya sebatas di daerah
pedalaman.
"Ketika terjadi banyak pertempuran itulah engkau kami temukan!" kata Psangeran Arya Damar pada
akhirnya.
Penjelasan ini amat mengejutkan Purbajaya. Dia menatap tajam ke arah pangeran itu, kemudian menoleh
juga kepada Paman Jayaratu.
"Kalau begitu saya orang Pajajaran!" gumam Purbajaya.
"Benar, kau orang Pajajaran. Kau kami ambil di arena pertempuran yang terjadi antara Pasukan Carbon
dan pasukan Pajajaran di wilayah Tanjungpura (Karawang kini)," tutur Pangeran Arya Damar lagi.
Purbajaya termenung lesu.
"Saya anak musuh Carbon ... " gumamnya dengan wajah pucat.
"Hahaha ...! Engkau bahkan anak dari penguasa Tanjungpura, anak muda," kata Pangeran Arya Damar
semakin mengejutkan hati Purbajaya.
Hening sejenak. Paman Jayaratu tak berkomentar, kecuali bersila dengan tubuh tegak namun dengan
wajah tertunduk. Yang paling kacau pikiran adalah Purbajaya. Ada galauan sedih, terkejut, marah dan
sesal. Dia selama ini hidup dan dididik oleh orang Carbon dan merasa orang Carbon, nyatanya anak
keturunan dari Pajajaran.
"Saya anak musuh, mengapa tidak dibunuh?" tanya Purbajaya.
"Hahaha! Itulah kemurahan hati orang Carbon, anak muda. Musuh tidak dibunuh bahkan diurus, diberi
hidup dan diberi pendidikan. Namun tentu saja engkau tak boleh percuma tinggal di sini, harus ada
semacam balas-budi," tutur pangeran itu, memeluk kedua belah tangan dan mata menerawang ke
beranda depan.
Purbajaya masih menatap pangeran itu.
"Barangkali sudah kau dapatkan penjelasannya ..." kata Pangeran Arya Damar menatap.
"Saya ditugaskan kedayo (ibukota) Pajajaran, yaitu Pakuan," kata Purbajaya.
"Sanggupkah?"
"Belasan tahun saya dididik pengetahuan. Kata Paman Jayaratu, saya akhli sebagaipuhawang (akhli
kebaharian), saya juga banyak menerima pendidikan kedigjayaan dan keagamaan. Kalau Carbon
percaya dan berkenan memberi saya pekerjaan, maka semua kemampuan saya untuk negri ini," kata
Purbajaya sepenuh hati namun masih dengan perasaan sedih.
"Bagus. Itu yang aku inginkan. Kau akan masih dididik beberapa lama di sini, di puri ini. Semua
tugas-tugasmu di bawah kendaliku," ujar Sang Pangeran.
"Saya musti bersiap-siap untuk itu."
"Sekarang pun engkau harus sudah siap. Mulai malam ini, kau menjadi bagian dari puri ini," kata
Pangeran Arya Damar tandas dan seperti tak boleh dibantah.
Tentu saja Purbajaya terkejut dengan perintah ini. Dia menatap Paman Jayaratu. Nampak orang tua itu
pun terkejut dengan keputusan ini. Purbajaya menduga, barangkali pikiran dia dan Paman Jayaratu sama,
yaitu tak ingin secepat itu berpisah. Benar keduanya masih berada di Carbon. Tapi yang namanya
berjauhan tempat tinggal, itulah berpisah namanya. Hari ini dan seterusnya, dia akan tinggal di kompleks
istana. Barangkali segalanya serba enak namun terasa asing. Beda lagi dengan bila berkumpul bersama
Paman Jayaratu. Tinggal di dusun sunyi, rumah pun beratap rumbia dan berlantai tanah. Tapi itulah
kehidupannya. Jauh dengan Paman Jayaratu tentu akan sunyi dan rindu. Orang tua ini mendidiknya
dengan keras dan ketat namun tak pernah memarahinya. Inilah kerinduan, inilah kenangan. Mengapa dia
tiba-tiba harus dipisahkan dari Paman Jayaratu?
"Saya perlu beberapa hari untuk berkemas-kemas, Pangeran," Purbajaya memohon.
"Segala sesuatu mengenai keperluanmu sudah disiapkan. Tinggalkan masa-lalumu. Kau bukan lagi
pemuda dusun yang tak tahu sopan-santun, melainkan seorang ksatria dan calon perwira dari Carbon.
Kau adalah keturunan bangsawan. Jadi, di Carbon pun kau tetap bangsawan. Tapi ada satu hal yang
jangan terlupa. Kau bisa tinggal di sini karena utang budi. Camkan itu," kata Pangeran Arya Damar.
Purbajaya mengangguk pelan.
"Malam sudah semakin larut. Ki Jayaratu silakan istirahat pulang. Anak ini Insya Allah aman dalam
lindungan istana," kata Pangeran Arya Damar mengusir halus.
Paman Jayaratu menyembah takzim, kemudian beringsut ke belakang. Dan tanpa sempat saling pandang
dengan Purbajaya, orang tya itu segera meninggalkan paseban (bangsal tempat pertemuan penting).
***
PURBAJAYA tak sanggup menilai, mimpi apakah ini? Sebuah anugrah ataukah sekadar mimpi buruk?
Dianggap anugrah boleh juga sebab kehidupan dia secara lahiriah jadi terangkat. Baru dua hari saja
tinggal di puri itu sudah dihormati dan disembah, baik oleh para jagabaya mauu pun oleh dayang istana.
Jenis pakaian pun kini menjadi serba indah. Kalau sebelumnya dia hanya memakai baju rompi jenis kain
kasar dan celanasontog (celana sebatas betis) juga dari kain kasar, di Puri Arya Damar pakaian yang
dikenakan adalah jauh dari jenis yang digunakan orang kebanyakan. Dia memakai pakaian untuk kaum
santana (masyarakat golongan menengah, termasuk kaum ksatria). Kalau pun dia sedang menggunakan
rompi dan sontog, hanyalah sebatas bila tengah berlatih kemiliteran di alun-alun. Pada hari-hari biasa dia
selalu memakai pakaian necis. Seperti hari itu misalnya. Sore hari dia menyusuri benteng bata-merah
sambil menggunakan baju jubah warna kuning mencolok. Jubah itu menjurai ke bawah sebatas lipatan
dengkul. Dia menggunakan celana komprang warna hitam yang pada setiap pinggirnya berkelim benang
perak. Kepalanya ditutup bendo citak dengan kain batik corakhihinggulan dengan garis-garis putih
coklat. Inilah mungkin anugrah baginya.
Tapi dia juga berpikir tentang mimpi buruk. Betapa tidak. Dia hadir di sini sebenarnya sebagai orang
yang berkewajiban menebus utang budi. Inilah yang menyedihkan hatinya. Sebelum berita perihal dirinya
diketahui pasti, dia mengabdi di Negri Carbon karena pilihan hatinya. Carbon adalah negri tempat dia
bernaung, berjuang dan mungkin mati. Tapi ada tuntutan yang tak berkenan di hatinya dan amat
mengecewakan. Dia harus bekerja untuk negri ini karena urusan utang budi. Ya, utang budi seperti anjing
kurus diurus dan sesudah gemuk musti taat tuannya. Mengapa kedudukannya jadi seperti itu,padahal
sejak semula pengabdiannya hanyalah karena cinta tanah air semata. Tanah air? Oh, ya! Bukankah tanah
air sebenarnya buat dirinya adalah Pajajaran? Tanjungpura, kata Pangeran Arya Damar adalah kampung
halamannya dan Tanjungpura itu wilayah Pajajaran.
Dia dikhabari sebagai anak penguasa Tanjungpura. Kalau begitu dia anak seorangkandagalante (
setingkat wedana kini). Memang sudah termasuk kalangan bangsawan juga. Menurut khabar, yang jadi
penguasa di wilayah Pajajaran biasanya merupakan bagian dari kerabat raja juga. Purbajaya tak mau
tahu, apa benar dia masih kerabat raja atau bukan. Yang jelas khabar-khabar bahwa dia bukan orang
Carbon dan "diambil" dari sisa pertempuran, amat menyakitkan hatinya.
Itulah sebabnya, di sore hari yang cerah ini, dia jalan-jalan menyusuri benteng Istana Pakungwati kendati
dengan hati loyo.
"Itu dia anak muda yang kami maksud, Nyimas!" terdengar celoteh suara perempuan.
Purbajaya menatap ke depan. Berjarak kurang lebih sepuluh depa di depan ada serombongan gadis.
Pakaian mereka indah-indah, mengingatkan dirinya pada perayaan muludan beberapa bulan lalu. Tapi
yang membuat jantungnya berdegup dan bertalu-talu karena melihat siapa gadis yang berjalan paling
depan.
"Nyimas Waningyun ... " bisiknya tak terasa.
Ya, dia tak pernah lupa wajah putih mulus dengan lesung pipit di pipi kirinya serta hidung kecil mancung
dan mata berbinar itu. Selama hampir enam bulan semenjak pertama kali bertemu dengan gadis itu di
pesta muludan yang berakhir dengan keributan, Purbajaya tak pernah lupa akan wajah purnama itu.
Purbajaya merandeg dan sepasang kakinya serasa terpaku di tanah, sedangkan matanya tak
lepas-lepasnya memandang purnama gemilang itu. Belakangan baru dia sadar sesudah terdengar suara
cekikikan di depannya. Yang tertawa adalah gadis-gadis yang tadi jadi pengiring Nyimas Waningyun itu.
Barangkali mereka mengetawakan tindak-tanduk Purbajaya yang nampak lucu. Betapa tidak, mulut
pemuda itu melongo dan matanya tak berkedip seperti mata ikan peda.
"Hei, awas nanti ada lalat masuk ke mulutmu!" teriak gadis-gadis itu. Purbajaya memalingkan muka
kemudian menunduk. Sepasang pipinya terasa panas. Kalau dilihat orang, barangkali pipi itu bersemu
merah seperti udang direbus.
"Nah lihat, sekarang pemuda itu menunduk malu seperti bocah dimarahi ibunya," goda gadis-gadis itu
sambil kembali cekikikan.
"Sudahlah, kasihan dia digoda terus," tutur suara lain yang terdengar halus dan merdu.
Purbajaya masih berdiri terpaku. Ternyata Nyimas Waningyun pun masih tak beranjak dari tempatnya.
Gadis bermata binar itu pun ternyata masih berdiri terpaku.Matanya yang jernih menatap lama ke arah
Purbajaya. Ketika pemuda itu balik menatap, gadis itu cepat menunduk. Menatap sebentar kemudian
menunduk lagi sesudah tahu bahwa dirinya masih ditatap pemuda itu. Akan halnya Purbajaya, dia pun
bertindak-tanduk sama. Menatap dan kemudian menunduk sesudah tahu bahwa gadis itu menatap
dirinya.
"Hai, kok saling tatap begitu. Majulah anak muda kalau dirimu merasa jantan," tantang salah seorang
gadis pengiring. Tapi ditantang seperti itu, Purbajaya bukannya maju, melainkan malah kian tertunduk
saja, sehingga membuat suara cekikikan semakin banyak.
"Ayolah maju, Nyimas!"
Tubuh gadis itu didorong-dorong dari belakang. Maksudnya agar segera mendekat ke arah
Purbajaya.Sudah barang tentu gadis itu ogah. Dia malah berpegang pada tepian benteng dengan erat
seperti orang takut jatuh. Melihat adegan ini, Purbajaya jadi berani tersenyum.
"Mengapa senyum-senyum? Monyet kamu, ya?" celetuk salah seorang gadis pengiring.
"Masa iya monyet bisa senyum?" jawab Purbajaya mulai berani bicara.
"Memang bukan senyum sebab kamu tadi itu cengar-cengir. Monyet kan yang cengar-cengir?"
"Purbajaya mengatupkan bibir sebagai tanda tak suka. Namun sungguh aneh, gadis berlesung pipit pun
sama mengatupkan bibir. Tak sukakah Purbajaya disebut monyet oleh orang lain? Oh, kalau begitu,
Nyimas Waningyun membelaku! Hati Purbajaya berbunga-bunga.
"Sudahlah, kalian jangan menggoda kami," kaya Nyimas Waningyun.
"Eh, kok kami? Kami itu, Nyimas dengan siapa?" gadis-gadis itu seperti tak habis-habisnya
menggoda.Semakin gugup dan semakin merona warna pipi gadis itu.
Purbajaya merrasa kasihan kepada Nyimas Waningyun. Gadis itu habis kena goda karena kehadiran
dirinya. Maka untuk jangan keterusan, maka dia mengangguk dan kemudian membalikkan diri untuk
segera berlalu dari tempat itu.
"Hai, hai! Mau ke mana? Tidakkah engkau tahu bahwa jauh-jauh datang kemari karena Nyimas ingin
bertemu denganmu?" teriak seorang gadis, membuat pipi Purbajaya terasa panas dan dada berdegup.
Tanpa sadar, pemuda itu serentak menghentikan langkahnya.
"Hai, coba balik sini, kok tidak sopan sekali berdiri sambil memberi punggung?" terdengar lagi suara
gadis. Seperti kena sihir saja, Purbajaya membalikkan tubuhya dan menghadapkan wajah ke arah
mereka. Namun hanya sebentar sebab kepalanya segera tertunduk malu.
Maka terjadilah adegan yang lucu. Dua pasang muda-mudi berdiri berhadapan namun dengan kepala
tertunduk, sedangkan di sekelilingnya beberapa gadis sibuk menonton sambil tertawa-tawa.
"Pergilah kalian. Aku bisa mati kalau terus digoda seperti ini ... " keluh Nyimas Waningyun dengan suara
parau.
Namun walau masih senyum-senyum, pada akhirnya semua gadis pengiring mundur teratur dan tinggallah
Purbajaya berdua dengan Nyimas Waningyun.
Keduanya masih sama membisu dan Purbajaya tak tahu bagaimana harus memulai.
"Maafkan saya ... "
"Maafkan saya ... "
Dua suara dengan bunya kalimat yang sama, hampir berbareng diucapkan oleh mereka. Kedua orang
muda-mudi ini terkejut sendiri. Keduanya menganga, terbelalak namun keduanya akhirnya sama-sama
tertawa geli. Nyimas Wanungyun tertawa sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangan kanannya.
"Saya harus memaafkan apa, Nyimas?" tanya Purbajaya.
"Apa pula yang harus saya maafkan untukmu? Oh, siapa namamu? Purbajaya, ya?" gadis itu mulai berani
buka suara. Purbajaya pun mengangguk gembira bahwa gadis itu sudah mengenal namanya. Hanya
dalam dua hari gadis itu tahu namanya, hanya menandakan bahwa Nyimas Waningyun memperhatikan
dirinya.
"Nyimas masih ingat saya?"
"Tidak. Hanya merasa diingatkan kembali. Oh, ya. Engkau sebetulnya pemuda bengal. Engkau harus
minta maaf ke sana ke mari. Kepada Raden Ranggasena juga terhadapku!" sergah gadis itu.
"Lho, barusan Nyimas berkata apa yang musti dimaafkan. Sekarang malah Nyimas minta agar saya minta
maaf," kata Purbajaya heran tapi dengan mengulum senyum.
"Ya, harus minta maaf karena engkau bengal, licik dan tukang bohong!" sergah lagi gadis itu. Kini malah
telunjuk kanannya yang kecil dan putih bersih menuding hidung Purbajaya. Pemuda itu melihat hidungnya
sendiri dengan picingkan mata, kemudian mencoba menyeka hidung, seperti di bagian tubuhnya itu ada
kotoran menempel.
"Bukan di hidungmu!"
"Di mana?"
"Di hatimu! Hatimu itu!" teriak gadis kecil itu marah tapi merdu.
"Di hatiku?" giliran pemuda itu yang pegang dadanya.
"Ada apa di hatiku?" tanyanya ketolol-tololan.
"Terkalah sendiri, ada apa di hatimu?"
"Ouw, saya tahu!"
"Ya, coba katakan!" desak gadis itu. Tapi Purbajaya malah diam. Kembali gadis itu mendesak dan untuk
ke sekian kalinya Purbajaya berdiam diri.
"Saya malu mengatakannya ... " jawab pemuda itu bersemu merah.
"Memang harus malu kalau merasa diri culas dan bengal."
"Eh, hatiku tidak culas dan juga tidak bengal. Apa yang ada di hatiku benar-benar tulus dan murni serta
bisa dipercaya," kata Purbajaya dengan suara sungguh-sungguh.
"Tidak bisa dipercaya sebab engkau telah merugikan orang lain dengan main sembunyi. Dengarkan hai
pemuda bodoh. Sampai seminggu lamanya dari kejadian itu, Raden Ranggasena tak bisa ke luar puri dan
kerjanya tidur melulu."
"Mengapa?"
"Karena kakinya bengkak, urat nadinya tersumbat!"
"Lho?"
"Jangan lha-lha-lho-lho! Kaki itu bengkak karena ulahmu. Alhasil engkau waktu itu mengibuli orang.
Berkaok-kaok pura-pura kesakitan seolah-olah disakiti Raden Rangga, padahal engkaulah sebetulnya
yang mencederai pemuda bangsawan itu.Dan sialnya... Oh, malu aku mengatakannya!"
"Tentang apa, Nyimas?"
"Tentang, betapa aku mengkhawatirkanmu sampai-sampai aku marahi Raden Rangga, sampai-sampai
aku pegang-pegang tubuhmu ... Oh!" Nyimas Waningyun membuang muka kemudian lari meninggalkan
tempat itu.
Tinggallah Purbajaya berdiri mematung di tempat sunyi. Aneh sekali, pikirnya. Pada pertemuan awal,
gadis itu nampak begitu manis begitu ramah dan bergalau tawa. Kenapa setelah ingat peristiwa lama
malah jadi uring-uringan?
Ow, sialnya aku! Mengapa tak marah? Ya, siapa takkan sebal kalau pada akhirnya tindakan
pura-puranya ketahuan? Pasti gadis itu marah karena merasa dipermainkan. Ya, dia masih ingat bahkan
suka tertawa sendiri kalau mengingatnya. Raden Ranggasena menerjang Purbajaya dengan tendangan
telak, namun serangan ini segera dijemput oleh totokan ibu jari tangannya yang bertindak seolah tengah
melindungi kepalanya dari serangan itu. Purbajaya pura-pura terjengkang ke belakang dan menjerit
kesakitan. Padahal yang sebenarnya terjadi, Ranggasenalah yang terluka karena urat nadi di telapal
kakinya tersumbat.
Tidakkah Nyimas Waningyun pun tahu bahwa perahu bocor di tengah kolam pun sebetulnya sengaja
dilubangi olehnya? Pikir Purbajaya melamun seorang diri.
Dengan hati murung pemuda itu berjalan pelan menyusuri benteng istana. Sayup-sayup terdengar suara
azan magrib dari Mesjid Sang Ciptarasa.
***
MALAM itu Purbajaya tak bisa memejamkan mata. Banyak pikiran bergayut di benaknya. Pemuda itu
berpikir tentang Paman Jayaratu, tentang Nyimas Waningyun dan juga tentang dirinya. Sungguh aneh,
semuanya diselimuti misteri. Hatinya coba menguak perihal Paman Jayaratu. Siapa orang tua itu, dia tetap
tak tahu. Ada sesuatu yang ditutupi Paman Jayaratu, paling tidak perasaannya terhadap Pangeran Arya
Damar. Dalam selintas, Purbajaya sudah bisa menduga, Paman Jayaratu tidak menyukai Pangeran Arya
Damar. Sejak Purbajaya menerima panggilan ke istana, sudah terlihat ada kerutan di dahi Paman
Jayaratu. Orang tua itu adalah seorang penyabar dan bertindak-tanduk sederhana. Tidak pernah
memperlihatkan perasaan suka atau tidak suka. Tapi Purbajaya sudah hapal perangai Paman Jayaratu,
bahwa kalau memperlihatkan kerut-merut di dahi, pertanda ada sesuatu yang tidak disenanginya.
Mengapa Paman Jayaratu tidak menyenangi Pangeran Arya Damar?
"Barangkali dia tak senang sebab dengan pemanggilan dirinya ke istana, hanya punya arti bahwa dia
berpisah denganku ... " pikir Purbajaya.
Pemuda ini hanya bisa menduga hingga di ditu. Ya, dugaan ini yang paling dekat sebab dirinya sendiri pun
sebetulnya punya perasaan yang sama, bahwa ada sedikit sesal mengapa keputusan istana begitu
tergesa-gesa. Ini terlalu cepat memisahkan dirinya dengan Paman Jayaratu. Belasan tahun dia dididik
Paman Jayaratu tapi manakala harus berpisah, dia tak sempat bilang terimakasih atau pun sekadar
ucapan perpisahan. Ini menyedihkan hatinya. Dan barangkali hati Paman Jayaratu pun begitu. Jadi bisa
dimengerti bila orang tua itu tak senang kepada Pangeran Arya Damar.
Sekarang pemuda itu berpikir tentang Nyimas Waningyun. Selama lebih dari enam bulan ini di benaknya
selalu ada bayanagan seorang gadis ayu ayu yang berlesung pipit, yang berhidung mancung kecil dan
dengan sepasang mata berbinar. Itulah Nyimas Waningyun. Selama berbulan-bulan ini hanya ada dalam
bayangannya saja, tak dinyana dia diberi kesempatan untuk bersua kembali.
Tapi senja tadi, begitu marahnya gadis itu. Dulu gadis itu membela dirinya, kini berputar total jadi bela
pemuda bernama Rangga.
"Engkau harus malu kalau mengaku dirimu culas dan bengal!" terngiang lagi ucapan Nyimas Waningyun.
Memang dia malu sekali sebab akal bulusnya ketahuan sudah. Kalau gadis itu sudah tahu dia senang
berakal-bulus, bisa-bisa dia dibenci sepanjang masa.
"Satu kali berbohong, selama hidup orang takkan percaya." Kini yang terngiang adalah nasihat Paman
Jayaratu. Betul, Nyimas Waningyun akan benci selamanya. Dan akan semakin benci pula dia kalau akal
bulusnya bukan itu saja, melainkan juga yang menyebabkan gadis itu basah kuyup kecebur ke kolam.
Bukankah kejadian ini gara-gara tubuh perahu itu dia lempar dengan kerikil sehingga lunasnya bocor?
Kalau gadis itu tahu, barangkali cercaannya akan berlipat-ganda. Bukan saja menuduhnya bengal,
melainkan jahat. Jahat? Ouw, padahal Paman Jayaratu benci kejahatan.
"Hati-hati menjaga perasaanmu jangan sampai digilas oleh yang namanya iri. Iri adalah kembangnya
kejahatan," tutur Paman Jayaratu suatu kali.
Tidak salah orang tua itu berkata begitu. Dia bertekad membocorkan perahu karena didorong oleh
perasaan iri melihat pemuda lain bercengkrama dengan gadis-gadis cantik sementara dirinya penuh sepi.
Tapi sorot mata gadis itu penuh misteri. Purbajaya hanya merasakan, mulut dan kata-kata gadis itu saja
yang pedas sedangkan matanya lembut dan ... dan seperti menyiratkan cahaya tertentu padanya. Cahaya
apa, Purbajaya tak bisa menduganya, kecuali berpikir dengan hati berdebar disertai perasaan
harap-harap cemas. Harapan cintakah itu? Sampai di sini hatinya merandek. Dia tak tahu, apakah bila
melihat wajah wanita cantik disertai perasaan berdebar merupakan sesuatu bernama cinta?
Sampai di sini hatinya merandek. Dia tak tahu, apakah bila melihat wajah wanita cantik disertai perasaan
berdebar adalah sesuatu bernama cinta? Lantas kalau memang begitu, bagaimana harus dimulai dan
bagaimana pula selanjutnya? Kalau dia berani menyatakan cintanya, apakah tak akan terjadi sesuatu
yang buruk? Purbajaya bingung memikirkannya. Dia bingung, bagaimana menyatakan perasaan ini,
apakah musti melalui surat atau dengan menggunakan perantara, atau bahkan musti datang sendiri?
Namun belum sempat dia menimbang-nimbang berbagai cara yang barusan dia pikirkan, tangannya
segera melayang dan menampar pipinya sendiri.
Sialan, mengapa aku berani berpikir seperti itu? Ada satu pertanyaan yang musti dijawab terlebih dahulu,
apakah gadis itu pun sama punya perasaan seperti itu padanya?
Kalau melihat sorot mata gadis itu padanya, Purbajaya serasa mau bilang ya. Tapi banyak kendala yang
harus dia pikirkan.Nyimas Waningyun adalah putri seorang bangsawan terkemuka sedangkan dirinya
sendiri apa? Tak berlebihan bila pemuda Rangga marah besar melihat dia berdekatan dengan Nyimas
Waningyun sebab Purbajaya sudah menduga, pemuda itu tengah mengharapkan cinta gadis itu. Dan
pemuda mana pun pasti mengharapkan cinta gadis itu. Dan saingan Purbajaya sungguh berat. Dia
hanyalah pemuda luntang-lantung yang tidak dikenal asal-usulnya, sementara para pesaingnya melulu
keturunan bangsawan.Pemuda Rangga yang dia pecundangi itu, bukankah seorang meuda bergelar
raden? Dia adalah Raden Ranggasena putra bangsawan terkemuka bernama Pangeran Danuwarsa yang
cukup ternama di Carbon ini? Sedih hatinya ketika memikirkan hal ini. Bila demikian halnya, Purbajaya
hanya berhadapan dengan sebuah gunung semata. Dia tak punya daya untuk mendakinya.
***
PAGI harinya Purbajaya sudah dipanggil ke paseban. Di sana Pangeran Arya Damar sudah duduk
dengan penampilan amat anggun. Bangsawan itu duduk bersila dengan tubuh tegak. Duduk di atas
hamparan karpet beludru buatan Nagri Parasi (Iran). Dia memakai baju warna coklat muda terbuat dari
kain beludru halus jenis bedahan lima. Keria beronce benang emas tak tertinggal terselip di pinggang
bagian belakang. Bangsawan itu memakai tutup kepala bendo citak terbuat dari kain batik motif
hihinggulan .
Yang membuat Purbajaya heran, di paseban itu pun sudah terdapat beberapa orang lainnya. Melihat jenis
pakaian mereka, tentulah para perwira kerajaan. Ada empat orang di sana. Rata-rata memakai pakaian
serba-hitam dengan kelim-kelim benang warna perak. Di pinggang bagian belakang, terpasang keris
dengan ronce-ronce indah kendati tak seindah ronce keris yang dimiliki Pangeran Arya Damar.
Ketika Purbajaya datang ke paseban, keempat perwira itu menatapnya dengan penuh perhatian. Pemuda
itu tak berani balik menatap. Selain akan dianggap tak sopan juga karena sorot mata mereka berwibawa.
"Kau duduk di sini, Purba ..." kata Pangeran Arya Damar. Purbajaya beringsut menuju ke tempat yang
ditunjukkan pangeran itu. Menyembah hormat ke hadapan Pangeran Arya Damar, baru kemudian
kepada yang lainnya.
"Engkau harus berkenalan dengan empat perwira ini, Purba," tutur Pangeran Arya Damar sambil
memperkenalkan mereka. Lelaki bertubuh jangkung sedikit kurus dengan kumis tipis, diperkenalkan
sebagai Ki Albani. Beranjak kepada orang kedua, wajahnmya sedikit bulat dengan kumis tebal,
diperkenalkan sebagai Ki Aspahar. Kemudian yang berhidung melengkung dengan mata dalam
disebutnya sebagai Ki Aliman dan yang berwajah pucat tapi punya sorot mata tajam diperkenalkan
dengan nama Ki Marsonah. Yang diperkenalkan ini sepertinya orang-orang yang tak suka banyak bicara
dan mungkin juga tak punya keramahan. Terbukti dalam menerima hormat Purbajaya mereka hanya
mengangguk kecil tanpa sesungging senyum sedikit pun.
"Kelak engkau akan ikut bertugas dengan keempat perwira ini, Purba ... " kata Pangeran Arya Damar
menerangkan.
"Atasan sayakah mereka ini, Gusti?"
"Boleh dikata begitulah."
"Tentu banyak tugas yang saya emban kelak," kata Purbajaya.
"Kewajibanmu kelak hanyalah mengikuti perintah mereka," kata lagi Pangeran Arya Damar sambil
melirik ke arah empat perwira itu.
"Mengapa kami perlu bertemu khusus dengan pemuda ini, Pangeran? Tidak cukupkah bila dalam
menerima penjelasan dia, kita satukan saja dengan para prajurit lainnya?" tanya Ki Aliman sambil
memandang enteng kepada Purbajaya.
"Dia memang prajurit tapi tengah kami persiapkan untuk jadi perwira juga. Dia punya sesuatu hal yang
khusus. Jadi jangan samakan dia dengan prajurit kebanyakan," jawab Pangeran Arya Damar sepertinya
bangga kepada Purbajaya.
"Maksud Pangeran, apakah pemuda ini punya kepandaian lebih tinggi dari kebanyakan prajurit?" Ki
Aliman memicingkan matanya.
"Dia adalah murid Ki Jayaratu!" kata Pangeran Arya Damar. Sejenak keempat orang perwira itu
memperlihatkan wajah terkejut. Hanya sebentar saja sebab kemudian sudah terlihat biasa lagi.
"Kami percaya kepandaian Ki Jayaratu tapi tidak kepada muridnya," kata Ki Aliman lagi tanpa melihat
kepada Purbajaya.
"Purbajaya, Ki Aliman adalah tingkat keempat dari empat perwira ini. Silakan kau turun ke halaman dan
bermain-main dulu sebentar dengan Ki Aliman," perkataan Pangeran Arya Damar ini bernada perintah.
Tapi yang turun duluan adalah Ki Aliman. Bahkan dia langsung memasang kuda-kuda sebagai tanda siap
untuk menguji kepandaian.
Purbajaya bimbang menghadapi peristiwa ini. Ini adalah pengalaman pertama di mana harus bertarung
dengan orang lain. Memang benar selama bertahun-tahun mendapatkan gemblengan dan latihan kewiraan
dari Paman Jayaratu tapi berkelahi secara sungguhan belum pernah dia lakukan. Melawan Ki Aliman
barangkali hanya sekadar uji-coba saja. Tapi menurut pemuda ini, uji-coba punya arti sebagai
pertandingan. Inilah yang merisaukannya. Yang namanya bertanding dia belum pernah melakukannya.
Apalagi berlatih kewiraan baginya hanya merupakan olah gerak semata agar badan selamanya merasa
sehat. Mengalahkan apalagi membunuh oirang lain adalah soal lain. Sudah berkali-kali Paman Jayaratu
mengatakan bahwa mengalahkan orang lain belum tentu merupakan sebuah kemenangan. Orang yang
dikalahkan akan memendam perasaan sakit hati, benci dan dendam. Dan bila dendam sudah membara
maka setiap saat akan mencari peluang melakukan pembalasan. Dan karena sdendam ini pula maka
kedamaian selalu terganggu."Tak ada kemenangan selama tak ada kedamaian," ujar Paman Jayaratu
suatu kali. Dan menurut orang tua ini, kemenangan abadi yang membawa kedamaian adalah kemenangan
tanpa mengalahkan.
"Ada banyak cara agar kita mencapai kemenangan tanpa mengalahkan," kata Paman Jayaratu pula.
"Bagaimana caranya, Paman?" tanya Purbajaya ketika itu.
"Mengalahlah untuk mencari kemenangan!"
Purbajaya melengak heran.
Kemudian Paman Jayaratu melanjutkan,"Kemenangan artinya mencapai suatu tujuan. Jadi yang penting,
tujuan akhirlah yang dicapai dan bukan bagaimana caranya. Dengan kata lain, kita bisa mencari
kemenangan tanpa harus melalui jalan dari mengalahkan orang lain . Sebuah kemenangan bisa diraih
tanpa melakukan kekerasan."
"Ayo Purbajaya, turunlah ke pekarangan, Ki Aliman sudah menantimu!" seru Pangeran Arya Damar
menyentakkan lamunan pemuda itu.
Dengan hati yang berat Purbajaya keluar dari ruangan paseban dan menuju pekarangan yang berumput
hijau.
Ki Aliman sudah berdiri di sana dengan kedudukan kuda-kuda yang kokoh. Sepasang kakinya
terpentang lebar ke kiri dan ke kanan sementara kedua pasang tangan membentuk gerakan sayap
garuda. Anggun dan nampak gagah sekali, kecuali hidungnya yang melengkung dan sorot matanya yang
dalam serta bibirnya mengatup rapat amat menampakkan dirinya adalah seorang yang angkuh.
Dengan perasaan masih ragu, Purbajaya menghormat kepada lelaki berusia empatpuluhan ini dan hanya
dibalasnya dengan sebuah anggukan kecil.
"Kita bermain-main sebentar, anak muda," katanya pendek. Sesudah itu, lelaki berikat kepala kain hitam
kasar ini segera mengubah sikap. Sambil mengepak-epakkan sepasang tangannya menyerupai kepak
sayap burung garuda, Ki Aliman bergerak ke kiri dan ke kanan, kemudian berhenti dengan hanya
menotolkan ujung kaki kiri saja. Belakangan, Ki Aliman mengubah kuda-kudanya. Tangan kanannya
membentuk siku-siku dengan telapak tangan menghadap ke atas. Tangan kirinya pun membentuk
siku-siku tapi berada di bawah kedudukan tangan kirinya. Kini telapak tangan kanan mengepal keras
membuat tinju.
Purbajaya pernah mengenal gerakan ini. Kata Paman Jayaratu, gerakan ini disebutJurus Inti Garuda
Paksi Tangan Delapan Bukan untuk penyerangan, melainkan untuk pertahanan belaka. Ini hanya
membuktikan, Ki Aliman sebenarnya hanya akan menunggu serangan lawan dan bukan untuk mendahului
melakukan serangan. Ada berbagai penilaian Purbajaya melihat sikap ini. Pertama, Ki Aliman bersikap
menunggu karena sebagai orang yang usianya berada di atas lawannya dia bersikap "sabar". Namun
penilaian kedua, bisa saja sikap ini menandakan kesombongan bahwa seorang yang kepandaiannya lebih
tinggi, cenderung lebih menunggu lawan menyerang yang diketahui kepandaiannya ada di bawahnya.
Atau bisa juga Ki Aliman punya kecerdikan lain. Banyak akhli berpendapat, bahwa serangan yang baik
adalah pada saat lawan melakukan serangan. Mereka berpendapat bahwa bila lawan melakukan
serangan, maka titik perhatiannya adalah pada penyerangan dan bukan pada pertahanan. Maka di saat
dia melakukan serangan, akan terkuak pertahanan yang lowong. Itulah peluang si terserang untuk balik
menyerang.
Karena punya pikiran seperti itu, maka Purbajaya bersikap hati-hati. Dia akan membagi dua perhatian.
Setengah gerakan dia gunakan untuk menyerang dan setengahnya lagi untuk bertahan. Tapi bagaimana
caranya, sudah barang tentu akan melihat dulu bagaimana nanti Ki Aliman melakukan serangan balasan.
Purbajaya mulai melakukan gerakan tertentu. Dia melangkah tiga tindak ke depan, sesudah itu
melakukan gerakan ke samping kiri dan bersikap seolah-olah memutari tubuh Ki Aliman. Dengan cara
memutar dia mencoba mengganggu pertahanan Ki Aliman. Lelaki itu akan terus mengubah sikap
pertahanannya sesuai dengan gerakan memutar yang dilakukan Purbajaya. Sikap berubah-ubah karena
mengikuti gerakan lawan, diperkirakan akan mengganggu konsentrasi dalam memantapkan kedudukan
pertahanan. Namun demikian, Ki Aliman belum mengubah sikap sepasang tangannya yang membentuk
siku-siku di depan dadanya. Sungguh tepat sebab itu adalah pertahanan yang kokoh sebab semua bagian
penting tubuhnya akan terlindungi dengan baik. Serangan mengarah dada jelas akan tertutup rapat. Bila
Purbajaya hendak menyerang ubun-ubun akan ada tangan kiri yang melindungi. Demikian pun bila
hendak menyerang ulu hatinya, tangan kanan dari depan dada tinggi bergeser ke bagian
bawah.Satu-satunya pusat penyerangan adalah mengarah ke bagian tubuh lawan yang tak begitu penting
tapi sebetulnya bebas dari perlindungan kuda-kuda.
Kaki adalah bagian tidak penting yang tidak memerlukan pengawalan secara khusus. Mengapa begitu
sebab semua orang menganggap bahwa kaki adalah bagian senjata tubuh yang berfungsi sebsagai alat
untuk menyerang. Karena punya dugaan seperti ini, maka Purbajaya akan menitik-beratkan penyerangan
ke bagian ini.
Oleh sebab itu, Purbajaya terus saja memutari tubuh Ki Aliman. Pandangan matanya tak lepas dari
kepala lawan dengan harapan lawan menduga bahwa Purbajaya tengah mengincar kepala.
Purbajaya terus berputar dan berlari sepertinya tak ada tujuan lain baginya kecuali berlari sambil
berputar. Sampai pada suatu saat Ki Aliman nampak kesal dan bosan dengan keadaan ini. Inilah modal
penyerangan Purbajaya, yaitu membuat lawan bosan dan jenuh karena melihat gerakan monoton. Kesal
dan marah akan menyebabkan hilangnya konsentrasi. Ketika kerut-merut di dahi Ki Aliman kian kentara,
maka secara tiba-tiba Purbajaya mengubah gerakan. Kakinya tidak melakukan loncatan ke samping
melainkan ke depan ke arah tubuh lawan.
Purbajaya berpura-pura seolah-olah mengarahkan serangan kedua belah tangannya ke arah ubun-ubun
Ki Aliman. Dan benar perkiraannya, tangan kiri Ki Aliman bergerak ke atas.
Namun tentu saja Purbajaya tidak menghentikan serangan tangannya begitu saja. Dia ingin meyakinkan
lawan bahwa dirinya hendak menyerang ubun-ubun. Tapi Purbajaya pun sadar bahwa tangan kanan Ki
Aliman yang masih bersikap bebas sebenarnya adalah senjata yang kelak akan digunakan untuk
melakukan serangan balasan. Maka sebelum tangan kanan itu digunakan untuk menyerang, terlebih
dahulu harus disibukkan untuk melindungi. Tangan kiri pemuda itu tetap bersikap mengancam ubun-ubun
tapi tangan kanan bersikap menyodok ke bawah untuk menohok ulu hati.
Ki Aliman segera menggerakkan tangan kanan ke bawah. Namun ternyata ini adalah serangan tipuan.
Purbajaya tak menohok ke ulu hati, melainkan belok ke atas mengarah dada. Dengan demikian, secara
tiba-tiba tangan Ki Aliman pun segera bergerak ke atas.Dan inilah peluang lowong. Ada kekosongan
pertahanan di bagian bawah. Seharusnya Purbajaya serentak menyerang telak ke arah ulu hati melalui
serangan tangan kirinya. Namun itu adalah serangan ganas yang membahayakan dan pemuda itu tak mau
menyinggung kemarahan lawan. Yang dia lakukan adalah menjatuhkan dirinya seperti hendak bersila
secara cepat kaki kirinya memang dilipat meniru-niru gerakan orang hendak bersila namun kaki kanannya
dia ayunkan dengan keras menyerang dengan sapuan bagian betis lawan. Purbajaya sudah menduga
kalau pada akhirnya tubuh Ki Aliman akan meloncat ke atas untuk menghindari sapuan ini. Untuk
mencegah tindakan lawan, sapuan kakinya agak mengarah ke atas. Benar saja Ki Aliman melakukan
gerakan meloncat. Tapi sapuan kaki kanan Purbajaya seolah terus mengejarnya sampai pada titik
penghabisan gerakan loncatannya itu. Dan di saat tubuh Ki Aliman kembali bergerak turun, maka taka
ayal, otot betis kaki kiri Ki Aliman mendapatkan sapuan keras telapak kaki kanan Purbajaya. Otot betis
termasuk bagian lemah yang sulit menahan serangan keras. Maka ketika menerima sapuan keras, tubuh
Ki Aliman jungkir-balik ke belakang. Dari mulutnya terdengar suara teriakan keras pertanda kesakitan.
Tubuh lelaki berhidung melengkung ini jatuh berdebum karena punggungnya menimpa permukaan tanah
dengan keras.
Dengan wajah merah padam dan sebentar berubah pucat, Ki Aliman segera bangkit berdiri. Namun
untuk beberapa saat dia hanya berdiri terpaku. Namun kakinya terasa kaku dan ngilu karena kerasnya
sapuan Purbajaya tadi.
Hanya sejenak saja dia berdiri mematung. Sesudah itu dengan suara gerengan keras dia menghambur
melakukan serangan dahsyat. Ki Aliman meloncat ke depan, sedangkan sepasang tangannya secara
bergantian melakukan serangan-serangan jarak jauh.
Purbajaya terkejut. Inilah serangan pukulan yang empergunakan tenaga dalam. Semakin tinggi tenaga
dalam yang dimiliki maka akan semakin dahsyat hasilnya. Orang yang memiliki tenaga dalam tinggi
bahkan bisa melakukan pukulan hanya dengan angin pukulan yang dilayangkan dari jarak jauh. Artinya,
tanpa tangan menyentuh tubuh lawan maka yang diserang akan terjungkal atau kesakitan kena angin
pukulan.
Dulu Purbajaya tidak percaya dengan hal ini. Mustahil tanpa disentuh lawan bisa jatuh.
Tapi kata Paman Jayaratu, dalam tubuh manusia terdapat salah satu daya. Dalam tubuh manusia terdapat
sekitar satu triliun sel yang mengandung tenaga khusus (dalam pengetahuan ilmu bela diri masa kini
dikenal sebagai sel bermuatan biolistrik tubuh). Antara satu sel dengan sel lainnya ada satu gaya yang
pada zaman modern kini disebut sebagai gayaelektromagnetik dan selalu memancar keluar. Namun
daya yang keluar bisa sangat kecil dan tidak teratur bila manusia tak sanggup memanfaatkannya secara
benar.
"Oleh orang-orang yang benar-benar akhli, daya itu diatur sedemikian rupa. Misalnya tenaga ajaib itu
dihimpun pada suatu bagian tubuh, sebutlah telapak tangan. Tenaga ajaib yang sudah terkumpul penuh di
telapak tangan dikeluarkan secara serentak, maka jadilah sebuah tenaga tolakan yang amat dahsyat.
Semakin baik orang melatihnya, akan semakin dahsyat hasilnya," kata Paman Jayaratu beberapa waktu
berselang.
Purbajaya pun akhirnya mendapatkan latihan dalam upaya menghimpun tenaga dalam. Mula-mula dia
disuruh berhadapan dengan api pelita dalam jarak sekitar satu depa (1,698 meter). Dari jarak sejauh ini
Purbajaya mendorongkan sepasang telapak tangannya yang dibuka lebar-lebar. Pada tahap awal api di
pelita hanya bergoyang pelan. Namun semakin lama berlatih, goyangan api semakin keras. Sesudah lebih
dari sebulan melakukan gerakan ini, barulah api bisa padam. Kewajiban Purbajaya selanjutnya adalah
mundurkan langkah beberapa depa ke belakang. Dengan jarak semakin jauh, harus tetap diusahakan
cahaya api akan padam sesudah didorong angin pukulan tenaga dalam. Latihan ini terus ditingkatkan
sehingga pada akhirnya angin pukulan pemuda itu sanggup merontokkan daun-daun pohon sawo di
halaman gubuk. Hanya saja ketika latihan terus meningkat, Purbajaya tak sanggup meneruskannya.
Pemuda ini merasa ngeri manakala melihat contoh yang diperagakan Paman Jayaratu. Dengan pukulan
jarak jauhnya, orang tua itu sanggup menghancurkan batang pohon. Purbajaya ngeri. Bila yang dihantam
oleh angin pukulan itu adalah tubuh manusia bagaimana jadinya? Ngeri hatinya bila memikirkan bahwa
latihan-latihan itu dan kepandaian itu bisa membuat musibah bila dilakukan dengan cara yang tak benar,
membunuh orang misalnya.
"Tanpa berlatih kedigjayaan pun sebetulnya kita bisa membunuh orang. Jadi pada akhirnya, semuanya
terpulang pada diri kita sendiri. Bila kita memiliki sebuah pisau, apakah mau digunakan mengupas
mangga ataukah untuk membunuh manusia? Pisau adalah pisau. Mau digunakan sebagai alat kebajikan
atau pun kejahatan, kita yang menentukan," kata Paman Jayaratu tempo hari.
Purbajaya memang terus berlatih kendati tak memiliki kepandaian seperti yang diperagakan Paman
Jayaratu. Dia masih tetap merasa ngeri dan menyangsikan, apakah bila kelak dia memiliki kepandaian
sehebat itu tidak punya keinginan untuk membunuh orang?
Namun kepandaian tinggi ternyata dibutuhkan juga. Buktinya hari ini. Kendati belum tentu mendapatkan
ancaman pembunuhan dari Ki Aliman, namun paling tidak Purbajaya harus sanggup mempertahankan
nama baiknya di hadapan semua orang bahwa dia adalah murid Ki Jayaratu dan dia pun dipercaya untuk
menerima titah negara. Kalau hari ini dia tak sanggup membuktikan dirinya sebagai orang yang memiliki
kemampuan maka nama dia dan gurunya akan tercoreng.
Itulah sebabnya ketika menerima serangan angin pukulan dahsyat dari Ki Aliman, Purbajaya harus
bijaksana meladeninya.Dia harus berupaya agar selain dirinya tak dipecundangi juga harus dijaga agar
lawan pun tidak dipermalukan olehnya di hadapan umum. Dia harus ingat, padea mulanya Ki Aliman
menantang dirinya hanya sekadar ingin menguji bukan untuk mengalahkannya. Selain itu, karena Ki
Aliman menempatkan dirinya selaku penguji, hanya punya arti bahwa kemampuan si penguji tingkatannya
harus lebih tinggi dari si penguji. Oleh sebab itu, Purbajaya jangan berkeras ingin kelihatan hebat dan
apalagi terkesan tingkatannya jauh di atas Ki Aliman. Sambil dia tak kalah, dia pun jangan membuat Ki
Aliman kalah.
Namun melihat gerakan Ki Aliman, Purbajaya menjadi khawatir. Wajah Ki Aliman masih nampak merah
dan serbuan tenaga dalamnya secara penuh dikeluarkan. Kalau begitu, ini bukan lagi sekadar menguji,
melainkan seperti berupaya akan membuat lawan cedera kalau pun tak dikatakan sebagai upaya untuk
membunuhnya. Mengapa tak disebut begitu sebab serbuan tenaga dalam itu demikian dahsyat dalam
jarak yang sedemikian dekatnya. Purbajaya sudah tak bisa mengelak kecuali mencoba menahan
gempuran dengan tenaga dalam pula. Dan bila demikian halnya, inilah pertarungan hidup dan mati.
Purbajaya harus mengeluarkan tenaga dalam seimbang dengan kekuatan yang disalurkan lawan sebab
kalau salah satu lebih tinggi atau lebih rendah maka pihak yang lemah akan menderita luka
dalam.Susahnya Purbajaya tak bisa mengukur berapa kekuatan yang disalurkan Ki Aliman dalam
menyerang dirinya. Kalau dia membatasi diri, takut Ki Aliman malah melontarkan tenaga dalam
sepenuhnya dan akhirnya dirinyalah yang merugi. Maka untuk berjaga-jaga kearah itu, Purbajaya
berusaha mengeluarkan tenaga dalam tiga perempatnya. Dia akan mencoba menolak serangan dahsyat
itu dengan pengerahan tenaga dalam takaran khusus.
Suara angin terdengar bersiutan dan hawa dingin terasa mengarah dadanya. Dan ketika dua tenaga besar
saling bertabrakan, maka terdengar suara ledakan keras disertai bunga api berpijar. Tubuh Purbajaya
terlontar hampir empat depa dan tubuh Ki Aliman masih tetap berdiri di tempatnya tapi dari sudut
bibirnya meleleh sedikit darah. Ketika Purbajaya bangun arena tadi terjengkang, adalah kebalikannya
yang menimpa Ki Aliman. Lelaki bermata dalam berhidung melengkung itu malah ambruk ke atas tanah.
Dada Purbajaya sebetulnya serasa mau pecah karena menahan sakit. Tapi melihat Ki Aliman rebah tak
berdaya, rasa khawatir pemuda itu mengalahkan segalanya. Dia takut Ki Aliman celaka karena ulahnya.
Oleh sebab itu dia buru-buru mendekati tempat di mana Ki Aliman tertelungkup.
Tiga perwira lainnya pun segera berlari mendekati Ki Aliman. Semuanya memeriksa tubuh lelaki itu
dengan penuh seksama.
"Maafkan, saya terlalu kasar menghadapinya!" kata Purbajaya penuh sesal.
"Hm, adikku yang dungu ..." gumam Ki Albani, perwira bertubuh kurus dan berkumis tipis.
"Pangeran, saya bersalah telah membuatnya terluka," keluh Purbajaya lagi menengok ke arah Pangeran
Arya Damar. Tapi Sang Pangeran malah tampak tertawa gembira melihat kejadian ini.
"Kekuatan kita semakin bertambah ... " gumamnya menatap Purbajaya dengan penuh arti. Tapi melihat
kekalahan Ki Aliman, Ki Aspahar yang bertubuh bulat dan berkumis tebal maju ke depan dan berniat
akan menggantikan Ki Aliman untu "menguji" Purbajaya.
"Tidak usah sebab rasanya sudah cukup," kata Pangeran Arya Damar.
"Ki Aliman belum memperlihatkan kepandaian sesungguhnya. Belum tentu dia kalah oleh anak ingusan itu
kalau dia bermain-main dengan benar," kata Ki Aspahar tidak puas.
"Ini bukan mencari siapa menang siapa kalah. Yang penting kita bisa mengukur sejauh mana kepandaian
anak muda ini. Dan anggaplah pengujian selesai. Aku sudah percaya kepada kepandaian anak ini dan dia
cukup pantas menjadi anak buak kalian," kata Pangeran Arya Damar.
"Pangeran benar, anak muda ini bisa diandalkan kelak," kata Ki Albani yang nampak usianya paling tua
di antara mereka."Saya setuju dia ikut kita. Tapi akan lebih tenteram hati kami bila Pangeran sudi
menerangkan siapa sebenarnya anak muda ini," sambungnya sambil menatap tajam kepada Purbajaya.
Yaang membalas tatapan tajam ini adalah Pangeran Arya Damar. "Mari masuk kembali ke paseban,"
gumam Pangeran Arya Damar. Dia jalan di depan, diikuti oleh keempat perwira. Purbajaya jalan paling
belakang.
Dan untuk yang kedua kalinya, Purbajaya kembali mendengarkan kisah dirinya yang dibeberkan
Pangeran Arya Damar. Bahwa Purbajaya sebenarnya anak seorang kandagalante di wilayah Pajajaran
yang "diambil" oleh Carbon di saat terjadi kemelut peperangan antara Carbon dengan Pajajaran.
"Bagaimana mungkin orang Pajajaran disuruh menyerbu negrinya sendiri, Pangeran?" tanya Ki Aliman
yang nampak sesekali mengurut dadanya. Rupanya dia masih merasa sakit bekas adu tenaga yang
dilakukan tadi dengan Purbajaya.
Ketiga orang perwira pun sama menatap Pangeran Arya Damar seolah membenarkan dan mendukung
opertanyaan Ki Aliman.
Mendengar pertanyaan ini, Pangeran Arya Damar hanya mengangguk-angguk tenang seolah-olah dia
sudah memiliki jawabannya.
"Anak muda ini sejak kecil berada di Carbon, dididik oleh orang Carbon dan sudah mengerti akan tujuan
perjuangan negri kita. Maka sedikit sekali kemungkinan pemuda ini membelot ke Pakuan," kata
Pangeran Arya Damar sambil menoleh pada Purbajaya sepertinya ucapannya sekaligus juga
mengingatkan Purbajaya akan hal ini.
"Benarkah ucapan Pangeran, hai anak muda?" tanya Ki Aspahar dengan wajah dingin namun meminta
kepastian.
"Kalau Pangeran Arya Damar tak memberitahu saya, maka saya tak tahu kalau saya ini anak dari
Pajajaran," jawab Purbajaya menunduk.
"Sekarang kan sudah tahu. Jadi, bagaimana sikapmu?" Ki Aspahar mendesak.
Arya Damar.
Kemudian pangeran itu melanjutkan lagi penjelasannya. Bahwa sebelum Kangjeng Susuhunan
melakukan perjalanan ke wilayah barat, (wilayah Pajajaran) dalam upaya semakin menyebarluaskan
pengaruh agama baru, pihak militer Nagri Carbon perlu "membuka jalan" dahulu agar memperlancar
perjalanan Kangjeng Susuhunan.
"Banyak kerikil tajam yang akan menghalangi perjalanan. Padahal tujuan utama Carbon adalah Pakuan.
Kita harus menembusdayo ibukota) Pakuan."
"Apakah yang dimaksud dengan kerikil tajam itu, Pangeran?" tanya Purbajaya.
"Kerikil tajam itu adalah pembantu-pembantu utama dan para orang pandai yang hingga kini masih tetap
bersetia kepada Pajajaran. Satu persatu kerikil itu harus disapu dan disingkirkan, sehingga jalan ke
Pakuan kelak akan lurus dan rata, enak bagi yang akan melangkah," kata Pangeran Arya Damar lagi.
Purbajaya mengangguk sebagai tanda mengerti ke mana arah perkataan pangeran ini.
"Ada kerikil yang amat tajam yang sekiranya akan jadi hambatan berat. Kalian tentu sudah mendengar
seorang tokoh Pajajaran yang bernama Ki Darma Sungkawa," kata Pangeran Arya Damar sambil
menatap satu persatu kepada keempat orang perwiranya.
"Dia adalah bekas anggota pasukanBalamati seribu perwira pengawal raja di Pakuan," kata Ki Albani
bertubuh kurus berkumis tipis.
"Betul. Dia termasuk penghalang utama kita, Albani," kata Pangeran Arya Damar menatap tajam.
"Tapi dia sudah dimusuhi pemerintahnya. Khabarnya Sang Prabu Ratu Sakti amat membencinya. Oleh
sesama perwiranya, Ki Darma selalu dikejar untuk ditangkap atau dibunuh. Mengapa orang yang sudah
terdesak seperti ini malah kita anggap sebagai penghalang besar, Pangeran?" tanya Ki Albani heran.
"Seharusnya begitu logikanya. Tapi kenyataannya berkata lain," sahut Pangeran Arya Damar. Ki Albani
juga rekan-rekannya menatap pangeran ini dengan seksama.
"Seperti sudah aku katakan sejak awal, banyak orang pandai membentengi Pajajaran. Ki Darma sekali
pun tak disukai penguasa, akan tetapi tetap bersikap sebagai pelindung negri. Bukan saja dia tak mau
takluk kepada Carbon, tapi malah dia berupaya menggagalkan berbagai upaya nagri Carbon untuk
menguasai Pakuan. Karena dikejar-kejar di Pakuan, dia melarikan diri ke sana ke mari. Namun dalam
pelariannya dia tak pernah berhenti menghalangi kita yang ingin memasuki wilayah Pakuan," kata
Pangeran Arya Damar.
"Itulah salah satu maksudku. Kita harus mengirim kekuatan ke wilayah Talaga. Pertama untuk
melumpuhkan Ki Darma agar tak menjadi duri dalam daging dan keduanya untuk menyelamatkan harta
negara," kata Pangeran Arya Damar."Kita harus bersiap-siap. Dalam waktu dekat kalian aku kirimkan
ke wilayah Talaga," kata Pangeran Arya Damar dengan yakin.
Keempat perwira menghormat dengan takzim dan berteriak menyatakan kesanggupannya. Karena
semua orang pun berteriak begitu, maka Purbajaya pun ikut menyerukan kesanggupannya.
***
HAMPIR sebulan Purbajaya menerima gemblengan. Kalau oleh paman Jayaratu dia mendapatkan
latihan ilmu bela diri, adalah ketika bersama dengan paraperwiradia mendapatkan pendidikan kemiliteran.
Selama dalam penggodokan pemuda ini baru mengetahuibahwa ilmu berkelahi hanyalah bagian kecil dari
pengetahuan kemiliteran sebab dalam ilmu kemilioteran senua strategi dipelajari. Berkelahi hanyalah
berpikir tentang kalah dan menang secara sempit. Tidak demikian dengan pengetahuan militer. Purbajaya
sekali waktu bahkan mendapatkan ppengetahuan bahwa ukuran sebuah kemenangan dalam satu
peperangan tak selamanya harus dilakukan melalui perkelahian.
"Perang yang paling baik adalah melakukan tipu muslihat, kemudian dengan tipu muslihat itu kita bisa
menang tanpa melakukan perkelahian," tutur seorang periwra berjanggut tipis tapi memiliki alis tebal
bagaikan sepasang golok melintang.
"Camkanlah ini, tujuan kita adalah menaklukan musuh bukan menghancurkannya. Jadi, sebelum
pertimbangan kita jatuhkan kepada pilihan peperangan dengan menggunakan senajat, terlebih dahulu
harus sanggup memilih peperangantanpa senjata. Kita harus sanggup mengalahkan musuh tanpa
membunuh dan merebut wilayah tanpa merusak. Itulah sebabnya, siasat dan tipu muslihat harus kita
tempuh," tutur perwira ini.
"Siapakah dia,Ki Silah (saudara)?" tanya Purbajay kepada prajurit muda yang duduk di sampingnya.
"Masak tak tahu, dialah Pangeran Suwarga, perwira kepala yang amat dipercaya Kangjeng Sunan," tutur
prajurit itu.
"Kemudian Pengeran Arya Damar sebagai apa di Carbon ini?" tanya lagui Purbajaya.
Yang ditanya hanya mengerutkan dahinya, entah jengkel dengan pertanyaan rewel ini entah memang
bingung menjawabnya.
"Aku harus tahu jabatan-jabatan di Nagri Carbon ini. Hanya yang aku tahu Pangeran Arya Damar cukup
disegani. Dia pun menguasai militer dan banyak perwira dekat dengannya. Pangeran Suwarga pandai
dalamakal-akalan (strategi) militer dan Pangeran Arya Damar banyak melontarkan pikiran untuk
kemajuan Nagri Carbon. Kalau kedua orang itu bisa bersatu, maka Nagri Carbon pasti akan bertambah
kuat," tutur prajurit itu.
"Jadi maksudmu antara kedua pangeran itu kini tak bersatu?" tanya Purbajaya heran.
"Aku tak bilang begitu, tolol! Sangkamu bila aku bilang kalau kedua orang itu bersatu, apa punya arti
sedang tak bersatu," prajurit tua itu berkata jengkel.
"Sssttt! prajurit yang lebih tua memperingatkan agar mereka tak ribut. Beralasan sebab amat tak sopan
pejabat sedang bicara di belakang ada yang bisk-bisik. Pangeran Yudhabangsa memang tengah serius
memberikan ceramah mengenai strategi militer.
"Kalau kita akan melakukan penyerbuan terhadap musuh, maka jauh sebelumnya akan banyak hal harus
dikerjakan," tutur lagi Pangeran Suwarga. Pengeran ini menjelaskan bahwa jauh sebelum kita menyerbu,
maka keadaan lawan harus benar-benar diketahui dengan pasti. Pihak penyerbu terlebih dahulu harus
bisa menyelidiki sejauh mana tingkat disiplin prajurit musuh, sejauh mana kepandaian panglima
perangnya, sejauh mana tingkat rata-rata kepandaian prajuritnya, dan sejauh mana pemerintah
memberikan penghargaan terhadap prajurit yang berjasa dan memberikan hukuman bagi yang bersalah.
"Kelemahan dan kekuatan nagri musuh harus benar-benar diketahui. Sebab. kalau kita pergi asal
menyerbu, maka perang akan berkepanjangan. Camkanlah, menang dalam waktu singkat adalah tujuan.
utama peperangan. Kalau perang berkepanjangan, senjata akan menjadi tumpul dan semangat akan
merosot. Kalau prajurit disuruh mengepung daerah musuh secara berekepanjangan, tenaganya akan
terkuras dan dana negara termasuk segala perbekalan akan banyak dikeluarkan. Dengan kata lain,
perang yang kita lakukan berharga mahal. Kendatipun kita pada akhirnya menang tapi segalanya telah
compang-camping. Itulah kemenangan yang tiada arti," kata Pangeran Suwarga.
Selanjutnya pangeran ini berkata, dia perlu mengingatkan hal ini sebab perang berkepanjangan pernah
dialami Nagri Carbon dalam melawan Pajajaran manakala masih mendapatkan bantuan Keratuan Demak
puluhan tahun silam.
Ketika Pajajaran dikuasai oleh Sang Prabu Surawisesa (1521-1535), terjadi perang berlarut-larut
dengan Nagri Carbon. Carbon yang diabntu Demakpada akhirnya menang tampil sebagai pemenang.
Banyak wilayah yang dulu dikuasai Pajajaran menjadi milik Carbon, di antaranya adalah
pelabuhan-pelabuhan penting perdaganagan di sepanjang pantai utara. Namun perang itu sangat
berlarut-larut sampai lebih dari lima tahun.
"Kerugian banyak dialami bukan saja oleh pihak yang kalah, tapi juga oleh pihak yang menag. Aku ingin
tanya kepada kalian, menang secara mutlakkah Carbon? Tidak. Tokh hingga kini Pajajaran masih berdiri
dengan cukup tangguh dan tak bergeming hanya karena Keratuan Galuh, Talaga, dan Sumedanglarang
telah dapat kita rebut. Kita belum bisa menundukkan Pajajaran secara total sebab kelemahan kita sejak
awal yaitu tak sanggup mengenal kekuatan dan kekurangan lawan secara benar. Itulah sebabnya, hari ini
berkali-kali aku katakan, kenalilah lawanmu, kenali pula dirimu sendiri. Maka dalam seratus kali
pertempuran pun kalian tak akan dalam bahaya," tutur Pangeran Suwarga berapi-api.
Purbajaya terpukau mendengarkan ceramah pangeran yang nampak anggun berwibawa ini. Sampai
ketika ceramah selesai, sampai ketika Pangeran Suwarga meninggalkanpaseban , pemuda itu
termangu-mangu sebaba wejangan orang itu masih terngiang-ngiang di telinganya.
"Camkanlah, tujuan kita menaklukkan musuh dan bukan menghancurkannya ...," ucapan dan kalimat ini
amat membekas di benak Purbajaya. Sungguh bijaksana dan mulia orang bisa berpikir seperti ini. Benar,
mengapa orang harus saling membunuh karena berperang? Seratus kali berperang dan seratus kali
membunuh, rasanya itu bukan sebuah kebanggaan sebab bukan sebuah kemenangan, paling tidak bukan
kemenangan bagi kepentingan kemanusiaan.
"Aku ingin sekali bertukar pikiran lebih mendalam dengan pejabat ini. Sungguh aneh, Pangeran Suwarga
adalah perwira kepala. Dia pelatih ilmu kemiliteran dan kata orang, banyak memiliki ilmu perang. Namun,
pandangannya mengenai perang demikian halus dan beradab. Itulah yang menjadi kekaguman Purbajaya.
Berhari-hari dia berpikir mengenai kemungkinannya menemui Pangeran Suwarga. Sebentar lagi pemuda
itu akan berangkat ke medan perang. Dia perlu bekal moril untuk ini. Jalan pikiran Pangeran Suwarga
sungguh beda dengan Pangeran Arya Damar. Majikannya, kalau boleh disebut begitu, sepertinya hanya
berpikir tentang ambisi, ambisi memenangkan perang. Arya Damar hanya berpikir bagaimana caranya
menghancurkan musuh, dalam hal ini orang Pajajaran. Artinya, bila musuh hancur, itulah kemenangan.
Kalau dipikir terasa ganjil, aneh, mengapa pejabat-pejabat di satu atap Keraton Pakungwati biosa punya
pandangan yang beda perihal arti peperangan? Pangeran Arya Damar mestinya mengikuti pendapat
Pangeran Suwarga sebaba dia sudah panglima. Pangeran Suwargalah yang oleh Sang Panembahan
Pakungwati diakui sebagai konseptor militer dan akhli strategi perang. Mengapa Pangeran Arya Damar
malah punya konsep sendiri?
"Panglima yang sesungguhnya adalah pimpinan di medan perang itu sendiri. Hanya dialah yang lebih tahu
dari siapapun. Jadi, alagkah tak bijaksananya bila atasan yang hanya duduk di keraton, memerintahkan
prajurit harus mundur padahal dia siap bertempur, atau malah sebaliknya menyuruh prajurit menyerang di
saat mereka tak siap. Yang paling mengetahui siap dan tidaknya keadaan prajurit, hanyalah pimpinan
yang ada di sekitar medan perang itu sendiri," tutur Pangeran Arya Damar suatu hari.
Purbajaya pernah mendengar bahwa puluhan tahun silam atau tepatnya terjadi sekitar tahun 1521-1535,
Pangeran Arya Damar beberapa kali mendapat tugas memimpin prajurit Carbon menyerbu wilayah
Pajajaran. Pada tahun-tahun itu, Carbon yang waktu itu dibantu Demak berhasil menguasai pelabuhan
penting milik Pajajaran, yaitu Ciamo (muara Sungai Cimanuk), Caravam (muara Sungai Citarum di
Tanjungpura, wilayah Karawang kini), Tangaram (muara Sungai Cisadane), Cigede (muara Sungai
Ciliwung), Pontang, Bantam (di wilayah Banten kini), dan Sunda Kelapa, pelabuhan internasional.
Menurut pemerintah Nagri Carbon, ini adalah sukses besar sebab degngan direbutnya pelabuhan penting,
hubungan Pakuan dengan bangsa asing (Portugis) menajdi terputus. Carbon dan Demak merasa bahwa
kehadiran Portugis merupakan ancaman bagi keberadaan Jawa Dwipa (Pulau Jawa). Portugis sudah
menguasai Malaka dan mungkin akan meluaskan pengaruhnya ke Jawa Dwipa. Namun Pajajaran seperti
tak menyadari bahaya ini. Kerajaan Sunda ini malahan mengadakan hubungan daghang dan Portugis
diberi keleluasaan mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Ini bahaya benar. Itulah sebabnya Demak dan
Carbon mencoba merebut pelabuhan-pelabuhan milik Pajajaran dan berhasil.
Namun Pangeran Arya Damar yang waktu itu masih muda, berusia kurang lebih 25 tahun, tak
menganggap ini sebuah sukses besar. Kemenangan sempurna bagi Carbon terjadi bilamana seluruh
Pajajaran dikuasai sepenuhnya oleh Caron. Pangeran muda ini menyesalkan sikap Kangjeng Sunan yang
karena kekerabatannya dengan penguasa Pajajaran selalu bersikap tanggung dalam menurunkan
kebijaksanaan. Kangjeng Sunan seperti tak berniat menghancurkan Pajajaran. Sesudah terjadi
peperangan hampir lima tahun lamanya, Carbon akhirnya malah mengadakan perjanjian damai dengan
Pajajaran. Padahal Pangeran Arya Damar selalu mengusulkan agar Carbon yang diperkuat Demakharus
menuntaskan perjuangan, yaitu menggempur Pajajaran hingga ke pusatDayo (ibukota negara) yaitu
Pakuan.
"Kangjeng Sunan mengkhawatirkan keselamatan umat manusia. Kangjeng khawatir akan banyak korban
percuma bila prajurit Carbon terus mendesak ke pedalaman. Padahal yang paling tahu mengenai
kekuatan prajurit Carbon adalah panglima yang ada di medan perang yaitu aku!" tutur Pangeran Arya
Damar. "agar Carbon menjadi besar, kuasailah Jawa Kulon sepenuhnya! tuturnya lagi.
Purbajaya menilai, inilah ambisi manusia, yaitu selalu tak puas memiliki kekuasaan yang ada. Pemuda ini
teringat kembali, betapa alis Paman Jayaratu berkerut ketika dirinya dipanggil Pangeran Arya Damar ke
istana. Mungkinkah Paman Jayaratu tidak menyenangi pengeran ini karena terlalu banyak memiliki
ambisi?
Akhirnya Purbajaya bingung sendiri. Dia terlalu mentah untuk mengenal kehidupan politik. Itulah
sebabnya, agar mengenal lebih jauh kehidupan politik, pemuda ini berniat mendekati Pangeran
Yudhabangsa, bagaimana pun caranya.
***
SORE hari yang cerah. Jadi sambil menunggu beduk magrib dari masjid Sang Ciptarasa, Purbajaya
berjalan-jalan di kompleks puri. Hatinya tertarik untuk kembali mendatangi kolam melingkar tempat
anak-anak bangsawan bersampan bersuka-cita.
Hampir delapan atau sembilan tahun lalu di keramaian sekatenan putra-putri bangsawan bercengkrama di
kolam, di atas sampan indah. Namun sore hari itu, suasana kolam sungguh sepi. Tak ada muda-mudi,
juga tak ada ....... Nyimas Waningyun.
Purbajaya berkeluh-kesah dan hatinya sedih sekali. Baru dua kali dia bertemu gadis ayu itu. Satu kali
ketika tubuh si cantik itu basah kuyup dan ada dalam pelukannya. Gadis itu penuh perhatian memeriksa
tubuhnya yang "disiksa" Ranggasena. Namun dalam pertemuan kedua hampir sebulan lalu, gadis itu
marah-marah kepadanya karena Purbajaya dituding pemuda culas dan pembohong.
"Beginilah orang yang berbohong. satu kali berbuat kesalahan selama hidup dibenci orang...."keluhnya.
Kalau saja dulu bertindak jujur. Ya, kalau dulu bertindak jujur, akan bagaimana hasilnya?
"Ah, tentu aku tak pernah kenal padanya. Kalau aku tak membuat kekacauan, tak mungkin Nyimas
Waningyun mengenalku," pikirnya lagi. Maka akhir jalan pikirannya bolak-balik menyalahkan dan
membenarkan tindakannya waktu itu. "Coba kalau aku tak membocorkan perahu, mungkin tak bakalan
menolong gadis itu dari bahaya tenggelam. Mungkin aku tak memangku tubuhnya dan mungkin aku tak
berkenalan. Sekarang kan bisa berkenalan walaupun pada akhirnya dicerca habis-habisan," katanya lagi
dalam hatinya.
Mengapa mesti tersinggung melihat Nyimas Waningyun marah? Marahnya gadis itu adalah anugrah
baginya. Bayangkan, kendati tengah marah tapi gadis itu tetap cantik. Dalam kemarahannya, gadis itu
menampilkan kecantikan khas. Betapa masih terbayang di pelupuk matanya, kaki gadis kecil itu dengan
penuh greget menjejak-jejak tanah beberapa kali untuk memperlihatkan rasa jengkel dan marah. Namun
dalam pandangan Purbajaya, gerakan itu amat indah dan manis. Ketika gadis itu sedikit mengangkat
kaki, kain batiknya sedikit tersingkap sehingga sedikit betis bersinar kuning membuat dada pemuda itu
berdebar keras. Lebih dari seminggu adegan itu terus membayang di pelupuk matanya.
Tapi itu sudah berlalu. Hingga kini Purbajaya tak pernah bertemu lagi dengan gadis itu. Kendati hampir
setiap hari dia bertemu dengan ayahnya yaitu Pangeran Arya Damar, namun hanya sebatas di paseban
saja. Purbajaya tak berani memasuki Kompleks Puri Arya Damar, apalagi melongok ke keputren.
Kolam berair bening itu kini sungguh sepi. Airnya bergerak tenang, kecuali oleh gerakan-gerakan
binatang air bila terlihat lewat ke permukaan.
Untuk mengusir sepi, pemuda itu mencoba melemparkan sebuah kerikil kecil ke permukaan. Aneh sekali
manakala dia melempar, ada dua muncratan air di kiri dan kanannya sepertinya air itu dilempar dua buah
kerikil. Tapi siapa lagi yang melempar air selain dirinya?
Purbajaya menoleh ke belakang.
"Nyimas .... bisiknya bergetar. Mengapa tak begitu sebab benar penglihatannya, di belakangnya berdiri
anggun Nyimas Waningyun. Gadis itu memakai baju kurung kain satin warna biru, sebuah jenis kain halus
yang tak mungkin dimiliki gadis biasa sebabab harganya sangat mahal dan didatangkan dari Nagri
Campa. Gadis itu tidak menggelungkan rambutnya yang hitam berombak, melainkan sengaja membiarkan
rambut itu terurai panjang. Sebagai pencegah agar rambut bagus itu tak awut-awutan kena angin sore,
Nyimas Waningyun mengikat kepalanya dengan kain tipis halus warna kuning yang ujung-ujungnya
menjurai ke bawah menutupi bagian dadanya. Kain batik trusmi warna gelap sedikit tertutup baju satin
hingga ke bagian lutut. Purbajaya mengedipkan matanya beberapa kali, kemudian mengucak-ngucaknya
beberapa kali pula.
"Nyimas, mata pemuda itu tampaknya kemasukan debu," terdengar suara gadis pengiringnya. Setelah itu
ada suara cekikikan dari beberapa gadis lainnya. Purbajaya baru sadar, Nyimas Waningyun diantar tiga
orang gadis pengiring yang cantik-cantik dan berpakaian bagus.
"Bersihkan matamu di kolam, anak muda," kata gadis lainnya.
"Saya tak kelilipan," jawab Purbajaya gagap.
"Habis dari tadi kedap-kedip saja? Atau kau tak senang dengan kehadiran Nyi Mas ke sini?" kata yang
lain.
"Sengajakah Nyimas datang ke sini?" tanya Purbajaya menatap gadis itu. Namun kemudian, Purbajaya
memalingkan muka sebab tak kuat saling bertatap mata.
"Mengapa mesti sengaja? Tempat ini tak menimbulkan kenangan buat Nyimas," kata suara lain.
Purbajaya menatap ke arah Nyimas Waningyun. Sejak tadi gadis itu hanya menatap.
"Aku memang sengaja datang ke sini karena melihatmu," gumam gadis itu pada akhirnya. Purbajaya
sudah barang tentu terbelalak matanya. Gadis itu datang karena dia?
"Sudah tiga kali aku melihatmu bertandang ke sini. Ada apakah, padahal kolam ini sepi," gumam gadis
itu.
Gadis itu sudah tiga kali memergokinya? Purbajaya celingukan. Kira-kira dari arah mana gadis itu
mengintipnya?
"Saya menyukai yang sepi-sepi, Nyimas ..." tutur Purbajaya sekenanya.
"Wah, kalau begitu kita harus segera pergi dari tempat ini, Nyimas sebab dengan kehadiran kita, tempat
ini jadi tak sepi dan anak muda itu pasti jadi tak menyukainya," ajak seorang gadis pengiring.
"Hey, jangan!' teriak Purbajaya khawatir benar-benar ditinggalkan.
"Beraninya engkau memerintah Nyimas!" cetus gadis pengiring ketus.
"Bukan begitu. Maksud saya ... maksud saya,"
"Maksudnya apa?" potong gadis pengiring dengan bawel.
"Sudahlah jangan terus diganggu," gumam Nyimas Waningyun halus tapi sedikit tersipu melihat ulah
Purbajaya. "aku memang datang mengunjungimu ...." tutur Nyimas Waningyun.
"Mengunjungi saya? Untuk Apa?" Purbajaya gagap.
"Untuk minta maaf padamu ..."
"Minta maaf ...?"
"Ya."
"Pada saya?"
"Ya."
"Heran ..."
"Mengapa orang minta maaf mesti dibuat heran" tanya Nyimas Waningyun mengerutkan dahinya yang
putih mulus.
"Nyimas tak punya dosa. Malah saya yang sebetulnya berdosapadamu," tutur Purbajaya.
"Tidak. Akulah yang berdosa padamu," balas gadis itu setengah menunduk.
"Dosa apakah itu?"
"Bulan lalu aku memarahimu, padahal tak sepantasnya aku marah-marah padamu," gumam gadis itu
masih menunduk.
"Engkau pantas memarahi saya. Bukankah saya ini orang culas?" kata Purbajaya. Dari belakang Nyimas
Waningyun terdengar suara tawa kecil.
"Mengapa ditertawakan?" Nyimas Waningyun menoleh ke belakang.
"Dia ngaku sendiri orang culas," tutur suara orang di belakang.
"Engkau tidak culas, Purba, asal saja ..."
"Asal saja apa, Nyimas?" tanya Purbajaya tak sabar.
"Asal saja engkau berlaku jujur,"
"Saya akan mencoba berlaku jujur, Nyimas ..."
"Dan jangan bengal,"
"Saya akan mencoba tak bengal, Nyimas"
"Jangan sekali-kali mencederai orang lain,"
"Saya tidak akan mencederai orang lain, Nyimas,"
"Nah itu baru anak baik," tutur suara dari belakang.
"Hus," Nyimas Waningyun menegur pembantunya. Tapi yang ditegur masih terkekeh-kekeh sambil
memandang Purbajaya, sehingga yang dipandang semakin tersipu.
Namun kendati merasa malu dan berdebar, yang jelas hati pemuda itu sepertinya mendapatkan durian
runtuh. Ow, jangan samakan Nyimas dengan durian yang berduri runcing itu. Ya, Purbajaya sepertinya
mendapatkan siraman air mawar, atau mendapatkan taburan bunga sedap malam, harum, hangat, dan
mesra. Hanya saja, kebahagiaan pemuda itu tak berlangsung lama sebab dari arah lain datang
serombongan pemuda.
Celaka, ada Ranggasena, keluh Purbajaya dengan hati terkejut.
Ranggasena datang dengan langkah tegap dan gagah. Atau lebih pantas lagi disebut menakutkan sebab
sepasang matanya melotot, mulutnya mengatup dan giginya terdengar gemelutuk sebagai tanda marah.
Ranggasena jalan di muka, diiringkan oleh empat orang pemuda lainnya. Mereka datang menghampiri
dan semua mendekati Purbajaya dengan sikap mengancam.
"Kurang ajar! Lagi-lagi engkau ganggu Nyimas. Dasar pemuda cabul, tak tahu malu! Hajar tikus kecil
itu!" teriak Ranggsena kepada teman-temannya.
Keempat pemuda itu serentak meloncat dan menyerang Purbajaya dengan membabi-buta.
Gerakan-gerakan mereka memang memperlihatkan sebagai orang yang memiliki ilmu berkelahi. Namun
dalam pandangan Purbajaya, ilmu mereka rendah saja. Kalau dia mau, dalam satu gerakan, selain bisa
meloloskan diri juga sekaligus bisa balas menyerang. Namun Purbajaya ingat akan janjinya kepada
Nyimas untuk tidak mencederai orang lain. Pemuda itu takut sekali kalau dibenci atau dimarahi gadis itu.
Dan karena itu, akhirnya dia memilih diam. Maka dalam waktu singkat saja terdengar suara
bakbikbuk-bakbikbuk karena tubuh Purbajaya dihujani pukulan dari sana-sini.
"Bagus! Nah begitu! Pukul dia! Pukul dia!" teriak Ranggasena sambil sesekali terdengar kekeh gembira
karena semua pukulan teman-temannya tak ada yang lolos.
"Hey, apa-apaan ini! Hentikan! Hentikan!" teriak Nyimas Waningyun yang amat terkejut dengan
peristiwa mendadak ini.
"Jangan berhenti! Teruskan, pukul si cabul ini!" teriak lagi Ranggasena. Berkata begitu, dia pun
menghambur ke depan dan melayangkan beberapa kali pukulan ke arah wajah Purbajaya.
Purbajaya masih berdiri kokoh namun sudah terlihat lelehan darah dari mulut dan hidungnya. Nyimas
Waningyun dan para pengiringnya menjerit-jerit ngeri. Mereka ingin mencegah tapi tak bisa bagaimana
harus mencegahnya.
Jeritan-jeritan para gadis itu membuat perhatian orang-orang yang akan berangkat sembahyang ke
Masjid Sang Ciptarasa. Beberapa orang prajurit bahkan perwira puri tergopoh-gopoh datang
menghampiri dan serta-merta menghentikan peristiwa ini.
"Hentikan perkelahian. Apakah kalian tak malu orang lain hendak sembahyang magrib, kalian malah
berkelahi?" teriak perwira tua yang datang menengahi.
Yang disebut "perkelahian" ini bisa dihentikan. Kelima pemuda yang mengepung Purbajaya mundur
teratur dan nampaknya mereka cukup menyegani perwira tua itu.
"Kami hanya mencoba menghalangi perbuatan pemuda bejat itu. Dengan tak tahu malu, dia menggoda
Nyimas. Ini adalah perbuatan yang kedua kalinya, Paman!" tutur Ranggasena mendelik ke arah
Purbajaya.
"Betulkah Nyimas, engkau diganggu pemuda itu?" tanya perwira tua itu. Namun sungguh
mencengangkan, sebagai jawabannya tidak dengan kata-kata, melainkan gadis itu menghambur ke arah Purbajaya. Serta-merta Nyimas Waningyun membuka kain satin yang mengikat rambutnya. Kain halus
warna kuning itu digunakannya untuk menyeka darah di bibir dan hidung Purbajaya sehingga warna
kuning kain kini bercampur noda darah.
"Dasar pemuda bodoh, mengapa tak kau lawan mereka?" teriak gadis itu ketus, namun sambil mengelus
luka di wajah Purbajaya.
Kejadian dan adegan ini tentu membuat semua orang tercengang, terutama bagi perwira tua dan pemuda
pengeroyok itu. Ranggasena giginya berkerot dan sepasang matanya terbelalak. Wajahnya sebentar
pucat sebentar merah padam melihat adegan mesra ini. Dan tanpa bicara sepatah pun, pemuda itu
meloncat pergi meninggalkan tempat itu. Keempat orang temannya pun akhirnya melakukan hal yang
sama.
"Cepat kembalilah ke puri, hari hampir menjelang magrib," kata perwira tua bernada perintah.
"Mengapa kau tadi diam saja, Purba?" tanya Nyimas Waningyun sekali lagi.
"Lho, saya taat keinginanmu. Bukankah saya jangan mencederai orang lain?" jawab Purbajaya lirih.
"Dasar bodoh dan dungu. Dilarang mencederai bukan berarti malah dicederai! Ah, kadang-kadang aku
kesal melihat kedunguanmu ini!" kata Nyimas Waningyun cemberut.
Nyimas Waningyun pulang diiringi yang lain. Sementara Purbajaya masih termangu sambil menyusuti
darah di hidung dengan kain satin milik gadis itu.
***
INILAH kenyataan aneh. Yang namanya sakit itu sebenarnya bukan di badan tapi di hati. Dengan
perkataan lain, sesuatu yang bernama perasaan itu sebenarnya ada di hati bukan di tempat lain. Tubuh
Purbajaya sebenarnya lebam-lebam karena hujan pukulan. Namun karena hatinya tengah
berbunga-bunga, tak ada rasa sakit sebab yang muncul adalah kebahagiaan. Sampai jauh malam
kerjanya hanya mengelus-elus kain satin yang warna kuningnya terpoles darah kering bekas luka di
tubuhnya. Dengan kain halus itu, serasa Nyimas Waningyun selalu dekat dengannya.
Hati pemuda itu terus bernyanyi melantunkan lagu cinta. Sudah tak diragukan lagi, gadis itu pasti
mencintainya. Kalau tak begitu, mengapa dia begitu baik padanya, begitu penuh perhatian padanya.
Memang gadis itu beberapa kali berteriak marah padanya. Tapi Purbajaya tahu, itu adalah kemarahan
karena rasa kasih sayang.
"Oh dewiku, bagaimana caranya agar aku pun bisa menyampaikan perasaanku yang sebenarnya?" kata
hatinya.
Purbajaya akhirnya tertidur dengan sesungging senyum di sudut bibirnya kendati dalam selintas ada juga
perasan khawatir dan tak enak. Kejadian tadi sore di samping amat membahagiakan hatinya, juga telah
membuat rasa sakit orang lain. Tak syak lagi, kejadian tadi sore akan semakin menyulut permusuhan di
hati pemuda bernama Ranggasena itu.
***
PURBAJAYA hanya punya waktu sore hari. Pagi hari dia berlatih perang-perangan bersama para
prajurit dan perwira, sedangkan siang hari menerima pendidikan teori kemiliteran dan taktik peperangan.
Itulah sebabnya, pada sore itu, dia kembali ke luar Puri Arya Damar. Dia akan melakukan perjalanan
menuju Puri Suwarga. Tempatnya agak sedikit jauh tapi masih ada di lingkungan benteng Keraton
Pakungwati.
Pemuda itu tetap penasaran untuk berkunjung dan bertemu dengan Pangeran Suwarga. Dia tetap merasa
tertarik akan pendapat dan gagasan pangeran itu tentang filsafat dan arti peperangan. Pemuda itu perlu
mengenal lebih jauh sebab baginya peperangan tak bisa diartikan sebagai membunuh atau dibunuh.
Bukankah kata Pangeran Suwarga sendiri bahwa kemenangan yang paling bagus adalah menundukkan
musuh dan bukan menghancurkannya? Ini yang ingin Purbajaya pelajari dan pahami. Dia punya misi
penting ke Pajajaran. Dan rasanya misi ini bukanlah sebuah perjuangan untuk menghancurkan, melainkan
untuk menundukkan dan pada akhirnya menjadikannya sebagai kawan, tak ubahnya seperti perjuangan
Carbon dalam menundukkan Karatuan Talaga, Karatuan Raja Galuh, dan sebagainya. Dulu mereka
menjadi musuh dan berada di pihak Pajajaran, namun kini semuanya sudah berada di lingkungan
kerajaan Islam bernama Carbon.
Purbajaya berkeinginan, misi Nagri Carbon tak pernah berubah. Dan menurut pengamatannya, jalan
pikiran Pangeran Suwarga masih sesuai dengan prinsip-prinsip yang dipunyai nagri ini. Atau ...Purbajaya
merandek. Tidakkah apa yang jadi buah pikiran Pangeran Suwarga sebenarnya merupakan sesuatu yang
didambakan hatinya? Dan bagaimana pula yang sebenarnya tengah diingini nagri ini dalam upaya
mempertahankan keberadaannya? Apakah jalan pikiran yang dimiliki Pangeran Arya Damar pun
mewakili keinginan Nagri Carbon?
Pemuda itu puyeng sendiri memikirkannya. Di Carbon ada banyak pejabat. Semua mengaku berjuang
ingin mempertahankan kebesaran negri ini tapi dengan banyak pendapat dan jalan pikiran berbeda.
Pantas saja Paman Jayaratu pernah berkata musti hati-hati masuk istana. Mungkin salah satu bahaya
tinggal di istana adalah bila terumbang-ambing banyak pengaruh dan pendapat.
Purbajaya hanya merasa tertarik akan jalan pikiran Pangeran Suwarga. Tapi apakah pendapat pejabat ini
yang terbaik, entahlah.
Itulah sebabnya, untuk lebih meyakinkan perasaannya, Purbajaya ingin berkunjung ke Puri Suwarga. Dia
ingin bertemu, bertanya, dan kalau mungkin berdiskusi.
Namun untuk masuk ke puri tak semudah berjalan-jalan di kolam Petratean. Mungkin Purbajaya dikenal
baik di Puri Arya Damar, tapi tidak di Puri Suwarga. Buktinya, begitu dia tiba di gerbang puri sudah
dihadang dua orang penjaga.
"Mau ke mana?"
"Mau menghadap Gusti Pangeran,"
"Engkau dipanggil?"
"Tidak."
"Jadi, mau apa datang ke sini?"
"Ah, sekadar ingin bertemu saja," jawab Purbajaya.
"Tidak semudah itu bertemu Gusti Pangeran, apalagi bagi orang sembarangan. Engkau siapa dan datang
dari mana?"
"Nama saya Purbajaya, datang dari Puri Arya Damar," jawab pemuda itu.
Tapi demi mendengar Arya Damar, kedua orang penjaga itu mengerutkan dahi.
"Ada apa?" tanya Purbajaya bingung.
"Tidak apa-apa. Tapi tadi sudah kami katakan, tak sembarangan orang bisa menemui Gusti Pangeran,"
tutur penjaga lagi.
Purbajaya kecewa dengan sikap penjaga ini. Tapi barangkali sudah begitu peraturannya, bahwa orang
sembarangan yang tak dikenal asal-usulnya tak begitu saja bisa bertemu dengan kaum bangsawan.
Pemuda itu hendak undur diri ketika secara tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Tangkap bedebah itu!" teriak seseorang. Purbajaya menoleh ke belakang. Ternyata yang berteriak
adalah pemuda Ranggasena. Dia mengerutkan dahi, mengapa pemuda itu tiba-tiba ada di sini?
"Tangkap orang itu, dia pengacau!" teriak Ranggasena gemas. Kedua orang penjaga nampak begitu takut
dan mentaati keinginan pemuda itu. Keduanya menghambur ke depan dan bertindak mengepung
Purbajaya.
"Bunuh dia! Bunuh dia!" teriak Ranggasena. Tapi kedua orang penjaga hanya bersikap mengepung saja.
Barangkali mereka berpikir tak perlu sampai membunuh Purbajaya untuk hal yang belum jelas
persoalannya. Tapi Ranggasena tetap memerintahkan. Dan karena kedua orang penjaga itu masih
berdiam diri, pemuda bengal itu membentak-bentak seraya mendorong-dorong tubuh penjaga. Hal ini
membuat Purbajaya gemas. Di hadapan Nyimas Waningyun pemuda ini berdiam diri karena takut
tindakannya tak disukai gadis itu. Tapi di sini tak ada yang patut disegani. Purbajaya ingat kemarin dulu
wajahnya lebam karena mandah saja dikerjai teman-teman Ranggasena. Sekarang pemuda bengal itu
harus menebus kekeliruan berlaku bengal. Maka dengan gerakan cepat, Purbajaya menghambur ke arah
Ranggasena, melewati dua penjaga yang ternganga heran. Hanya dalam satu gerakan saja telapak tangan
Purbajaya sudah berhasil mengemplang ubun-ubun Ranggasena. Tidak terlalu keras tapi membuat tubuh
pemuda itu berputar-putar beberapa kali. Ranggasena jatuh berdebuk, duduk tercenung seperti
merasa-rasakan kemplangan di ubun-bunnya.
Namun melihat Purbajaya menyerang Ranggasena, kedua orang penjaga mulai melakukan penyerangan.
Yang seorang mengayunkan gobang (pedang), seorang lainnya memutar tombak. Namun serangan
mereka terlalu mentah untuk disebut berbahaya. Purbajaya hanya mengelak ke kiri dan kanan, serangan
itu sudah bisa dihindari.
"Tolong! Tangkap pembunuh! Tangkap pembunuh!" suara ini keluar dari mulut Ranggasena. Dan tak
lama kemudian muncul belasan prajurit serta-merta mengepung Purbajaya dengan ketatnya.
Purbajaya menjadi bingung. Dia datang ke tempat ini tidak untuk membuat keributan. Akhirnya menjadi
panik sendiri. Kepungan itu begitu ketat. Beberapa prajurit bahkan melakukan serangan kendati
tujuannya tidak untuk membunuh. Namun, Purbajaya harus mati-matian berkelit kesana-kemari kalau tak
mau terluka oleh serangan senjata. Kini kepungan semakin rapat, apalagi datang beberapa perwira
memiliki kepandaian tinggi.
Purbajaya terus berkelit ke sana-kemari tanpa berani balik menyerang. Dia tak mau menyerang di
samping tak punya niat bertempur, juga tak ingin membuat para pengepung semakin beringas.
Menghadapi lawan tanpa balik menyerang adalah sebuah pertahanan yang buruk. Kalau tak tepat
melakukan gerakan hindar, bisa-bisa rugi sendiri. Tapi karena di hatinya tak punya niat membuat
keributan, pemuda itu tetap memilih jalan diam, artinya tak berupaya melakukan serangan balik.
"Aku menyerah!" teriak Purbajaya tiba-tiba. Dia mengacungkan tangan ketika ujung-ujung senjata
diarahkan pada tubuhnya.
"Bunuh dia! Bunuh dia!" teriak Ranggasena parau karena masih merasa sakit. Tapi tak seorang prajurit
pun melakukan titah itu.
Ranggsena serta-merta merebut sebatang padang dari seorang prajurit. Pedang mengkilap itu
diayunkannya mengarah ubun-ubun Purbajaya. Pemuda itu segera bersiap untuk menghindar. Namun
sebelum batang pedang mengenai ubun-ubunnya, sebatang tombak melayang lewat di bawahnya. Pedang
terlontar lepas ke udara sedangkan batang tombak terus meluncur lurus dan menancap dalam di batang
pohon. Purbajaya terkagum-kagum kepada si pelontar tombak. Pelempar itu pertanda orang pandai dan
bertenaga besar.
"Tak perlu dibunuh. Orang itu sudah menyerah, Raden," tutur seseorang yang barusan melempar tombak.
Purbajaya menatapnya. Ternyata dia adalah seorang perwira tua.
"Tapi dia penjahat! Dia pembunuh," teriak Ranggasena.
"Siapa yang dibunuh, Raden?" tanya perwira itu sabar. Ranggasena tak bisa menjawabnya segera.
"Tidakkah Paman lihat, bedebah itu hendak membunuhku? Coba tanyakan kepada dua orang
prajurit itu. Si bedebah itu mau bunuh aku? Benar, kan? Benar, kan?" tanya Ranggasena memaksa.
Kedua orang prajurit itu tak bisa apa-apa kecuali mengangguk karena dipelototi pemuda bengal itu.
"Tuh, kan! Ayo bunuh dia!" teriak Ranggasena.
"Orang bersalah bisa diadili. Dan untuk itu ada bagiannya," kata perwira tua itu.
Ranggasena menatap tajam, kurang puas atas pendapat itu.
"Baik. Bawalah kepada ayahku," desisnya tajam.
Purbajaya ditangkap. Tapi berhubung hari sudah malam, dia tak sempat dibawa menghadap pada
pejabat yang dianggap berwewenang mengurus perkara ini. Kata Ranggasena, sebaiknya dititipkan dulu
di rumah tahanan.
Dan di rumah tahanan berjeruji besi inilah balas dendam pemuda itu terbalaskan. Ranggasena memanggil
semua teman-temannya. Di antaranya yang kemarin dulu ikut mengeroyok Purbajaya.
Untuk kedua kalinya, mereka mengerjai Purbajaya. Tubuh pemuda itu menjadi bulan-bulanan dihajar
beberapa orang pemuda.
"Kalian ingat, bukan? Nah, si jelek inilah yang dulu di pesta muludan sok aksi menjadi pahlawan,
menyebabkan Nyimas Waningyun jauh dariku," kata Ranggasena gemas sambil menampar kepala
Purbajaya. Beberapa gebukan singgah pula ke punggung pemuda itu.
Tubuh Purbajaya matang-biru tapi dia tak berniat menghindar. Menghindar berarti melawan. Dan hal ini
hanya akan semakin mengobarkan kebencian mereka saja.
***
TIGA hari Purbajaya disekap di kamar tahanan. Selama itu, dia disiksa habis-habisan oleh Ranggasena
dan teman-temannya.
Baru dilepas setelah ada utusan Pangeran Danuwangsa yang memerintahkan agar tahanan dibawa
menghadap.
Utusan itu menegur, mengapa ada tahanan lama disekap dan disiksa sampai babak-belur.
"Maafkan saya, Raden Ranggasena yang memasukkan orang ini ke tahanan," kata penjaga itu.
"Lantas kalian menyiksa tahanan ini?"
"Saya tak menyiksanya."
"Orang ini babak-belur."
"Raden Ranggasena dan teman-temannya yang melakukan penyiksaan. Katanya atas perintah
ayahandanya, Pangeran Danuwangsa.”
"Itu bohong. Bahkan Pangeran Danuwangsa yang kaget ketika ada yang memberitahu peristiwa itu.
Tahanan ini tak terdaftar dan Pangeran pada mulanya tak mengetahui ada tahanan. Sudah, bersihkan
tubuh orang ini. Jangan sampai Gusti Pangeran tahu ada tahanan disiksa," tutur sang utusan.
Purbajaya keluar dari ruang tahanan tapi langsung dibawa ke hadapan Pangeran Danuwangsa.
Dengan tubuh sedikit limbung, Purbajaya berlutut dan menyembah. Dia menundukkan muka sehingga
belum bisa mengenal pangeran ini lebih saksama. Namun jauh sebelumnya, pemuda ini sudah tahu
Pangeran Danuwangsa. Bangsawan ini adalah ayahanda Raden Ranggasena dan menjabat sebagai
kepala keamanan istana. Yang dia tak tahu, Pangeran Danuwangsa ternyata adik misan Pangeran
Suwarga.
Jadi kalau begitu, Raden Ranggasena pun masih punya pertalian kerabat dengan Pangeran Suwarga. Ini
mengherankan Purbajaya, mengapa Raden Ranggasena berperangai bengal, sedangkan Pangeran
Suwarga begitu berwibawa dalam kelemah-lembutan? Purbajaya menjadi penasaran, tabiat Ranggasena
itu tiruan siapa?
"Anak muda, siapa namamu?" tanya Pangeran Danuwangsa.
"Saya bernama Purbajaya, Gusti ..."
"Dari mana engkau datang?"
"Dari Puri Arya Damar,"
"Dari Puri Arya Damar?"
Purbajaya mengangkat muka dan memandang wajah pangeran itu.
Pemuda ini tak sadar melakukannya karena dia merasa heran akan suara pangeran itu yang
menyuarakan rasa terkejut yang amat sangat.
Dua orang itu saling memandang. Dan Purbajaya kini berkesempatan menatap wajah pejabat ini. Kalau
pangeran ini tak berkumis tebal, tentu wajahnya mirip Raden Ranggasena. Yang menandakan bahwa
mereka memang anak-beranak juga ketika melihat sorot mata Pangeran Danuwangsa yang bagaikan
mata elang. Satu sorot mata yang sama persis dengan Raden Ranggasena.
Purbajaya pernah mendapat pesan dari Paman Jayaratu, hati-hati menghadapi orang yang bermata
cekung dengan sorot dalam bagaikan mata elang. Terlebih-lebih yang memiliki hidung melengkung seperti
paruh burung ekek. Orang-orang seperti itu selalu punya pikiran yang ganjil dan sulit ditebak. Ingat ini,
Purbajaya bingung memikirkannya. Pangeran Danuwangsa memang memiliki sorot mata bagaikan mata
elang tapi hidung bengkok malah dimiliki Pangeran Arya Damar. Jadi, kalau memiliki ciri separo-separo
seperti ini, bagaimana menilainya?
"Siapa yang menjebloskanmu ke tahanan? Aku lihat, wajahmu juga memar-memar. Aku tak suka
tahanan disiksa seperti ini.
Santarupa, siapa yang menyiksa anak muda ini?" tanya Pangeran Danuwangsa kepada utusan yang
menjemput Purbajaya.
"Saya tak berani mengatakannya,"
"Sepertinya ada yang engkau takuti lagi selain aku, Santa," gumam Pangeran Danuwangsa.
"Ampun beribu ampun, bukan itu maksud saya," Santarupa menyembah takzim.
"Kalau begitu, katakan saja."
"Raden Ranggsenalah yang berbuat, Gusti ..."
"Anakku? Beraninya anak itu ... Panggil dia!" ujar Pangeran Danuwangsa.
"Saya rasa tak usah diperpanjang, Gusti..." Purbajaya menyembah.
"Tapi aku perlu tahu permasalahannya," tukas Pangeran Danuwangsa pendek.
Dan Raden Ranggasena akhirnya dipanggil. Pemuda itu ditanyai oleh ayahandanya yang ingin tahu duduk
persoalan yang sebenarnya.
Selintas tindakan itu benar, Pangeran Danuwangsa ingin tahu "duduk persoalan sebenarnya". Namun bila
diamati lebih seksama ternyata penelusuran tidak adil. Pangeran itu menanyai anaknya tanpa sepatah pun
bertanya kebenarannya kepada Purbajaya. Dengan kata lain, Pangeran Danuwangsa hanya membuat
kesimpulan dari penjelasan sepihak saja.
Beruntung, Raden Ranggasena berkata jujur. Mungkin merasa takut kepada ayahandanya, atau bisa
juga merasa tak ada untungnya berbuat kebohongan. Tapi, kejujuran yang disodorkan Ranggasena ini,
ternyata merugikan Purbajaya.
"Saya benci kepada pemuda itu. Dia tak sopan," ujar Raden Ranggasena.
"Tak sopan bagaimana?" tanya Pangeran Danuwangsa.
"Betapa tak sopannya si dungu ini. Dia berani-beraninya menggoda Nyimas Waningyun. Dengan segala
cara dan akal bulusnya si dungu ini telah menempatkan dirinya menjadi orang yang mendapat simpati dan
rasa kasihan Nyimas Waningyun dan sebaliknya memfitnah saya sehingga saya dibenci Nyimas.
Bukankah ini tindakan yang jahat, Ayahanda?" Mendapat penjelasan serupa ini, Pangeran Danuwangsa
mengerutkan dahinya seperti tengah mengingatingat sesuatu.
"Bukankah engkau pernah punya masalah dengan pemuda ini pada pesta muludan beberapa tahun
lalu?"tanya pangeran itu. Ranggasena mengiyakan. Dan kembali Pangeran Danuwangsa mengerutkan
dahi.
"Engkau hanya membuat kesulitan saja, anak tolol," tegur Pangeran Danuwangsa. Ucapan ini ditujukan
kepada anaknya sendiri dan amat mencengangkan Purbajaya.
"Sudah aku katakan, aku tak kerasan berurusan dengan Ki Jayaratu," tutur Pangeran Danuwangsa.
"Pemuda itu sudah tak punya kaitan lagi dengan Ki Jayaratu.
Sekarang dia sudah jadi orangnya Pangeran Arya Damar, Ayahanda," kata Ranggasena.
"Itu merupakan ketololanmu yang kedua, anak dungu. Dengan menangkap pemuda ini, berarti kau harus
berurusan dengan pihak Arya Damar. Dasar anak dungu!" teriak Pangeran Danuwangsa gusar.
Raden Ranggasena nampak takut melihat kemarahan ayahandanya. "Apakah kita bebaskan saja
pemuda hina ini sekarang juga, Ayahanda?" tanya Raden Ranggasena kemudian.
"Jangan," gumam Pangeran Danuwangsa setelah merenung sejenak. "Masukkan lagi anak muda ini ke
dalam kamar tahanan, Santa!" sambungnya.
Purbajaya disuruh berdiri dan sepasang tangannya ditelikung ke belakang oleh Santarupa.
"Awas, kau jangan ikut campur perihal tawanan ini!" kata Pangeran Danuwangsa kepada anaknya.
Purbajaya mandah saja dibawa ke kamar tahanan. Selama menuju tempat itu, benaknya berputar-putar
mencoba menebak keganjilan tindakan penghuni Puri Danuwangsa ini.
Belakangan baru Purbajaya tahu, bahwa dirinya ditahan dan dijadikan sandera untuk sebuah tuntutan. Isi
tuntutan ini amat memukul perasaan pemuda itu. Betapa tidak, sebab pihak Pangeran Danuwangsa
menuntut, Purbajaya bisa dibebaskan kalau pihak Pangeran Arya Damar mau berbesan dengan pihak
Pangeran Danuwangsa.
Ini jelas memukul ulu hati Purbajaya sebab siapa lagi yang dijodohkan kalau bukan Raden Ranggasena
dengan Nyimas Waningyun. Menyedihkan tapi juga menimbulkan hal yang aneh. Paling tidak ini yang
dipikirkan Purbajaya. Aneh sekali, mengapa hal ini bisa terjadi. Artinya, mengapa keluarga Danuwangsa
mengajak berbesan dengan cara seperti ini? Sepengetahuan Purbajaya, hubungan kedua keluarga
bangsawan itu sungguh baik. Dalam setiap pertemuan baik pertemuan resmi di Pakungwati maupun
pertemuan-pertemuan secara pribadi, mereka nampak bersahabat.
Sekarang Pangeran Danuwangsa nampak seperti menekan. Purbajaya bisa bebas dari tuduhan asalkan
ada pertalian jodoh.
Tuduhan kepada Purbajaya cukup berat, yaitu melakukan penyerbuan secara gelap. Mengapa
melakukan penyerangan? Maka diciptakanlah berbagai perkiraan. Dan berbagai perkiraan yang
dilontarkan ini hanya memberikan pengetahuan baru bagi Purbajaya. Ternyata di kalangan kaum
bangsawan Negri Carbon ini terdapat semacam persaingan dalam menempatkan diri sebagai orang atau
kelompok yang paling dipercaya oleh Kangjeng Sunan.
Pangeran Arya Damar adalah termasuk bangsawan yang punya kekerabatan erat dengan keluarga
Sultan. Dengan demikian, diperkirakan punya pengaruh kuat di Pakungwati. Mudah ditebak, Pangeran
Danuwangsa ingin mendekatkan diri kepada orang yang punya pengaruh. Tapi sungguh aneh, mengapa
cara pendekatannya dengan melakukan tekanan? Yang paling aneh lagi adalah sikap Pangeran Arya
Damar.
Mendapatkan tekanan ini, dia bukan melawan melainkan malah mengabulkan pihak Danuwangsa.
Menghadapi kenyataan seperti ini, Purbajaya menjadi bingung dan sedih. Dia tak mau dihukum karena
tuduhan melakukan penyerbuan gelap. Tapi dia pun tak mau bebas sambil mengorbankan Nyimas
Waningyun.
Berpikir sampai di sini, Purbajaya merasa aneh. Nyimas Waningyun! Mengapa Pangeran Arya Damar
mau mengorbankan putrinya sendiri untuk menolong bawahannya, pemuda bernama Purbajaya yang
katanya orang keturunan Pajajaran? Berhargakah dirinya? Purbajaya bingung dengan kejadian ini.
"Aku ingin tahu, ada keperluan apa kau keluyuran ke puri itu," tanya Pangeran Arya Damar ketika
Purbajaya sudah kembali ke purinya.
Apa yang harus dia jawab? Semuanya tak enak buat dilaporkan. Puri Suwarga dan Puri Danuwangsa
berada dalam satu kompleks. Tak dinyana, maksud hati ingin bertemu Pangeran Suwarga, malah
bertemu Raden Ranggasena. Purbajaya dituduh melakukan serangan gelap ke puri Danuwanagsa. Untuk
menepiskan tudingan ini tentu harus berterus-terang tentang tujuan sebenarnya. Dan ini jelas tak mungkin
sebab Pangeran Arya Damar tak akan suka mendengarnya.
"Saya tak sengaja memasuki puri itu dan di sana terjadi kesalahpahaman dengan Raden Ranggasena,"
tutur Purbajaya berbohong. Pangeran Arya Damar tidak mendesak. Purbajaya tak tahu, apakah
Pangeran Arya Damar merasakan atau tidak bahwa dia berbohong? Hanya yang jelas, pangeran itu
mengatakan kalau dirinya tak senang kalau orang-orangnya keluyuran ke puri orang lain.
"Tanpa sepengetahuanku, kau tak boleh meninggalkan puri ini," kata Pangeran Arya Damar bernada
perintah.
"Saya patut dihukum. Hanya karena kesemberonoan saya maka Nyimas Waningyun menjadi korban ..."
Purbajaya berkata penuh sesal. Dia menunduk lesu. Namun ternyata Pangeran Arya Damar hanya
tersenyum tipis. Senyum ini penuh misteri. Ada apa di balik senyum ini?
***
Ini merupakan kejadian besar buat Purbajaya. Besar dan membuat nestapa. Tapi aneh sekali, peristiwa
ini tak diketahui umum. Peristiwa "penyerbuan gelap" yang pernah dilakukan Purbajaya tak jadi
perbincangan. Malah yang ramai dibicarakan adalah pertalian jodoh antara Raden Ranggasena dan
Nyimas Waningyun.
Berbagai komentar dan pendapat bermunculan. Tapi pendapat paling umum mengatakan bahwa akan
ada pengaruh kekuatan baru di Istana Pakungwati. Para pengamat beranggapan, gabungan Pangeran
Arya Damar dan Pangeran Danuwangsa adalah sebuah kekuatan baru. Bila begitu, tentu sebelumnya ada
sebuah kekuatan lama. Siapakah dia?
Ternyata yang dimaksud kekuatan lama adalah Pangeran Suwarga. Semakin lama Purbajaya
mengamati keadaan di lingkungan puri, semakin terasa bahwa memang ada semacam perebutan
pengaruh. Pada dasarnya terdapat beberapa pangeran yang menginginkan mendapatkan kepercayaan
dari penguasa Pakungwati.
Tahun-tahun belakangan ini sebetulnya Nagri Carbon ada dalam keadaan lemah. Demak sebagai negri
pendukung utama Cirebon sebetulnya sudah lama kehilangan kharismanya. Kekuatannya menurun sebab
kerapkali diganggu oleh pertikaian di dalam negri yaitu perebutan kekuasaan di antara sesama keluarga
istana. Di lain pihak, Kesultanan Banten semakin hari semakin nampak nyata kekuatannya. Wilayah
Banten semakin menjadi wilayah perdagangan muslim yang ramai, melebihi Negri Cirebon hyang dulu
membebaskan diri dari Pajajaran. Banyak yang khawatir, suatu saat kelak, Banten menjadi kekuatan
tersendiri dan memisahkan pula dari Cirebon.
Beberapa bangsawan Carbon ada yang tak puas dengan keadaan seperti ini. Maka dengan berbagai
cara, mereka ingin menjadikan dirinya sebagai kepercayaan pihak penguasa dan dengan inisiatifnya
sendiri ingin berusaha mengembalikan kejayaan kehidupan militer Cirebon sebagai sediakala.
Mereka punya pendapat bahwa kekuatan sebuah negara terletak pada kekuatan militernya. Bila militer
kuat, maka negara pun kuat. Itulah sebabnya, beberapa bangsawan Carbon atau Cirebon berusaha ingin
mendapatkan kepercayaan dalam memegang kendali militer. Ada pemeo mengatakan, barangsiapa
menguasai militer, dialah menguasai negara. Jadi tak heran, banyak bangsawan ingin berkecimpung dalam
kehidupan kewiraan (militer).
Sekarang, kekuatan prajurit Carbon boleh dikatakan dikuasai oleh tiga orang: Pangeran Suwarga,
Pangeran Danuwangsa dan Pangeran Arya Damar. Namun yang dipercaya sebagai pengendali utama
dengan jabatan hulu jurit panglima adalah Pangeran Suwarga. Dua orang lainnya bertindak sebagai
pembantu. Pangeran Danuwangsa sebagai pengendali keamanan dalam negri dan Pangeran Arya Damar
bertindak sebagai pengendali keamanan di luar. Pangeran Arya Damar merupakan perwira tangguh yang
sudah banyak makan asam-garam pertempuran.
Puluhan tahun dia berhasil melumpuhkan dan merebut beberapa wilayah utara yang tadinya dikuasai
Pajajaran. Bahkan ketika beberapa pelabuhan penting milik Pajajaran direbut Carbon, Pangeran Arya
Damar merupakan perwira handal yang banyak jasanya. Dia memiliki peranan penting dalam
menyukseskan berbagai penyerbuan. Karena berbagai kesuksesan itu, maka banyak orang menduga
bahwa pada akhirnya dialah yang akan menjadi orang yang paling dekat dengan Kangjeng Susuhunan
Pakungwati, Sang Susuhunan Jati. Namun belakangan, ramalan itu tak begitu tepat. Buktinya, pengendali
utama kekuatan militersetelah Kangjeng Susuhunan mendekati uzur, adalah Pangeran Suwarga, seorang
bangsawan yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut. Mengapa hal itu bisa terjadi, orang tak pernah
mempertanyakannya, tidak juga Pangeran Arya Damar sendiri.
Semua orang maklum dan percaya bahwa Kangjeng Susuhunan selalu memikirkan yang terbaik buat
negri beserta keselamatannya.
Pangeran Arya Damar memang tetap mengabdi kepada jabatan yang dipercayakan kepadanya, kendati
akhir-akhir ini terlihat tengah membuat sesuatu gerakan.
Gerakan yang paling kentara adalah usaha penggabungan kekuatan dengan Pangeran Danuwangsa.
Dengan adanya rencana hubungan besan, kedua pengamat memperkirakan, kedua pangeran ini berusaha
ingin menjalin kerja-sama. Kerja-sama dalam hal apa, tak pernah ada yang tahu. Hanya saja yang patut
diperhatikan, baik Pangeran Arya Damar mau pun Pangeran Danuwangsa, punya hubungan yang kurang
begitu mesra dengan Pangeran Suwarga. Menurut khabar, kendati mereka tak pernah bertentangan, tapi
sebetulnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pangeran Suwarga kurang mendapatkan sambutan
penuh dari dua pembantunya.
"Suwarga itu kurang terampil dalam mengendalikan prajurit sehingga kekuatan yang kita miliki kurang
berperan dalam mempertahankan keberadaan negri," kata Pangeran Arya Damar dalam sebuah
perbincangan dipaseban (bangsal tempat pertemuan penting).
*****
Hari itu Pangeran Arya Damar duduk berhadapan dengan para pembantu dekatnya, yaitu Ki Aspahar,
Ki Aliman, Ki Marsonah dan Ki Albani. Sementara Purbajaya duduk di belakang keempat perwira itu.
"Suwarga terlalu lemah dalam menghadapi musuh. Akibatnya, musuh punya peluang untuk memperkuat
kembali posisinya," kata Pangeran Arya Damar.
Sudah berkali-kali Purbajaya mendengar keluhan ini. Menurut Pangeran Arya Damar, musuh kini
semakin punya peluang untuk memperkuat dirinya hanya karena Carbon kurang menekan. Yang
dimaksud musuh di sini adalah Pajajaran. Kata Pangeran Arya Damar, Pajajaran sebetulnya cenderung
lemah. Tapi karena oleh Carbon tetap dibiarkan, maka Pajajaran tetap berdiri.
"Tapi pada akhirnya, kita tidak perlu mencari siapa salah siapa benar. Yang penting, Carbon memiliki
keberadaannya seperti semula. Kalau ada rekan kita yanag lemah, harus kita tutup dengan kekuatan yang
kita miliki. Itulah sebabnya, sudah sejak dulu aku rencanakan untuk menyerang Pajajaran," kata Arya
Damar. Ketika mengatakan kalimat terakhir mengenai Pajajaran, dia ucapkan dengan nada berapi-api.
"Saya sebenarnya sudah tak sabar untuk memulainya," tutur Ki Aliman."Sudah bertahun-tahun kami
hanya berlatih dan berlatih. Ibarat mata pisau, kami ini hanya diasah melulu tanpa dipergunakan. Kalau
terlalu banyak diasah, suatu saat logam akan menipis," ungkapnya membuat perbandingan.
"Atau bisa juga suatu saat akan kembali berkarat bila kita bosan mengasahnya," sambung Ki Aspahar.
Pangeran Arya Damar mengangguk-angguk mengiyakan.
Purbajaya hanya tersenyum tipis. Dia ingat hari-hari lalu, betapa Ki Aliman sebenarnya hanya besar mulut
saja. Begitulah kata Paman Jayaratu, tong kosong nyaring bunyinya. Ki Aliman mungkin lupa bahwa
dirinya yang berpangkat perwira pernah jatuh-bangun olehnya yang berstatus calon perwira dan bahkan
sekarang di sini hanya ditempatkan sebagai prajurit saja. Barangkali bukan karena Ki Aliman terlalu
bodoh. Dia kecolongan karena kesombongannya saja.
"Justru pertemuan ini untuk memulai rencana yang telah lama kita simpan," kata Pangeran Arya Damar
menjelaskan.
Dan kembali pangeran itu mengutarakan gagasannya untuk melakukan serangan ke wilayah Pajajaran.
"Maksudku, kita akan berusaha melumpuhkan kekuatan-kekuatan yang selama ini menghambat
perjalanan kita," tuturnya.
Beberapa waktu lalu Pangeran Arya Damar memang pernah berkata akan mengirimkan pasukan secara
diam-diam ke puncak Gunung Cakrabuana. Di puncak itu dikhabarkan tersembunyi tombak pusaka
bernama Cuntangbarang, mengambil nama seorang perwira sakti asal Karatuan Talaga. Tombak itu
memang dulunya benda pusaka milik Karatuan Talaga. Banyak orang berupaya menguasai tombak itu.
Salah satunya adalah seorang bekas perwira Pajajaran bernama Ki Darma.
"Kita harus berhasil membunuh orang itu!" kata Pangeran Arya Damar mengepal tinjunya.
"Haruskah kita bunuh dia, Pangeran?" tanya Purbajaya tiba-tiba.
"Sudah aku katakan, dia adalah kerikil tajam yang bisa menghalangi kelancaran perjalanan kita ke pusat
kekuatan Pajajaran. Lain daripada itu, kita pun musti berupaya menyelamatkan pusaka Cuntangbarang
yang sudah jelas-jelas milik Carbon karena Talaga telah berpihak pada kita. Sekali mengayuh dayung
dua tiga pulau terlampaui. Itulah sebabnya, perjalanan ke Cakrabuana harus dilakukan," kata Pangeran
Arya Damar, matanya berkelilingf menatap ke semua orang.
Dan semua orang mengangguk-angguk, kecuali Purbajaya.
Pemuda itu merasakan, semakin hari semakin nyata, betapa ganjilnya jalan pikiran Arya Damar.
Purbajaya memang mengerti, pangeran ini dulunya perwira handal yang banyak makan asam-garamnya
pertempuran. Purbajaya pun mengerti bahwa Pangeran Arya Damar adalah juga perwira militer yang
menguasai banyak prajurit. Namun Panageran Arya Damar sebetulnya masih punya atasan. Artinya
wewenang dirinya sebetulnya tetap terbatas. Mana mungkin sekarang punya inisiatif sendiri untuk
melakukan operasi militer tanpa persetujuan bahkan sepengetahuan Pangeran Suwarga?
"Purbajaya, camkan, ini adalah tugas berat pertama bagimu sebelum menjalankan misi sesungguhnya,"
kata Pangeran Arya Damar membuyarkan pikiran pemuda itu.
Purbajaya hanya menunduk dan mengangguk kecil. Tugas pertama sebelum menjalankan misi
sesungguhnya? Yang dia ingat, misi sesungguhnya bagi dirinya adalah melakukan penyusupan ke wilayah
Pajajaran dan mempengaruhi sendi-sendi kekuatan didayo (ibukota) Pakuan untuk berkiblat ke Carbon.
Tak ada penekanan tugas-tugas kewiraan, misalnya menyerang Pakuan. Paling tidak, itu yang pertama
kali disebutkan Paman Jayaratu. Namun pada kenyataannya, tugas pertama baginya adalah bergabung
dengan sebuah pasukan rahasia untuk melakukan pertempuran.
Benarkah ini tugas negara dan benarkah Pangeran Arya Damar punya wewenang untuk melakukan hal
itu?
"Pangeran, apakah yang Pangeran pikirkan sudah benar-benar matang?"tanya Purbajaya tiba-tiba.
Semua orang memandang kaget kepada pemuda itu, tidak pula Pangeran Arya Damar.
"Aku tak mengerti pertanyaanmu, anak muda!" jawab Pangeran Arya Damar dan nampak tersinggung
atas pertanyaan Purbajaya ini.
"Tidakkah sebaiknya rencana ini Pangeran rundingkan dulu dengan Pangeran Suwarga sebagaihulu-jurit
(panglima) di Nagri Carbon?" tanya lagi Purbajaya semakin berani dan semakin mengagetkan semua
orang.
"Hati-hati bicaramu, anak muda," dengus Ki Aliman dengan wajah merah-padam saking tersinggungnya
dengan ucapan Purbajaya.
"Bicaramu sungguh kurang ajar, Purba!" Ki Aspahar malah sudah mendelik dan membentak.
"Dasar orang Pajajaran. Kalau aku tahu kau masih berkiblat ke sana, seharusnya sejak dulu aku bunuh
engkau!" teriak pula Ki Albani geram. Malah orang tua ini sudah beranjak dari duduknya dan berniat
menyerang Purbajaya. Pangeran Arya Damar cepat mencegah dan menyuruh Ki Albani duduk dengan
tenang.
"Lihatlah Purbajaya, betapa berbahayanya ucapanmu barusan," tutur Pangeran Arya Damar bernada
tenang namun alisnya berkerut tanda tak senang.
"Saya hanya bicara apa adanya, Pangeran," Purbajaya menyembah hormat.
"Banyak orang berbicara bahwa hidupnya berjuang untuk Nagri Carbon. Namun pada kenyataannya
mereka bertindak keliru sehingga hanya kehancuran yang didapat. Engkau harus paham anak muda,
sejak dulu Carbon selalu berada di bawah bayang-bayang kekuatan negri lain. Kekuatan Carbon selalu
bergantung kepada Demak. Dan hingga poada suatu saat Demak mengalami kemunduran, maka Carbon
pun ikut mundur. Salah siapakah ini? Ini karena kesalahan orang yang berada di Carbon sendiri. Aku
yang selama ini selalu berjuang untuk kepentingan dan kebesaran Carbon, tak mau disalahkan oleh
generasi sesudah aku. Carbon harus bangkit. Dan untuk itu harus berani mengubah pola pikir dan
mengoreksi kekeliruan selama ini," tutur Pangeran Arya Damar panjang-lebar dengan suara
menggebu."Dengan jalan membuka peperangankah upaya mengubah pola pikir itu, Pangeran?" tanya
Purbajaya penasaran.
"Gusti Pangeran, izinkan saya mengajari anak dungu ini!" Ki Aliman tak kerasan dan lkangsung berdiri
untuk kemudian menerjang ke arah Purbajaya yang masih duduk bersila.
Ki Aliman menyodok lurus ke depan, sedikit menyuruk ke bawah pusar Purbajaya. Maksudnya tentu
ingin menyerang bagian paling lemah dari tubuh pemuda itu.
Purbajaya sudah barang tentu tak mau dicederai begitu saja. Dia segera melempar tubuhnya ke belakang,
itu pun sambil memutar kaki kanannya sebagai perlindungan.
"Berhenti!" teriak Pangeran Arya Damar.
"Tapi dia jelas pengkhianat. Hatinya masih berada di Pajajaran.Kalau tidak begitu, mengapa dia tak
setuju kita menggempur Pajajaran?" Ki Aliman bicara sambil dadanya kembang-kempis pertanda
menahan kemarahan.
"Purbajaya, betulkah hatimu kembali ke Pajajaran?" Pangeran Arya Damar matanaya menyorot tajam ke
arah pemuda itu.
Ditekan dengan pertanyaan seperti itu, hati Purbajaya luluh-lantak. Ini adalah serangan yang
melumpuhkan hatinya. Selama ini dia selalu rendah diri hanya karena dia ditempatkan sebagai anak
musuh Carbon yang dipungut dari arena peperangan. Sedikit saja dia berpikiran aneh-aneh, maka orang
selalu mengkaitkan dirinya dengan pengkhianatan. Itulah sebabnya, Purbajaya terkejut dengan tudingan
barusan. Di antara sedih dan kecewa tersembul rasa khawatir yang sangat.
"Saya adalah orang Carbon, Gusti ... " gumam Purbajaya sedih.
"Kalau begitu, berpikirlah seperti aku," ujar Pangeran Arya Damar pendek."Duduklah engkau ... " kata
pangeran itu lagi. Purbajaya kembali duduk, demikian pun Ki Aliman.
Perundingan kembali dilanjutkan, sepertinya tak pernah terjadi peristiwa panas yang mengawalinya.
Putusan Pangeran Arya Damar sudah mantap. Bulan depan akan mengirimkan pasukan rahasia, dipimpin
oleh keempat orang perwira Puri Arya Damar. Mereka akan memimpin belasan prajurit tangguh menuju
puncak Gunung Cakrabuana.
Komentar
Posting Komentar