Langsung ke konten utama

KEMELUT DI CAKRA BUANA 2

RENCANA ini demikian rahasia. Hanya sekali pun begitu, bukan berarti tak diketahui. Paling tidak,
perjalanan ke wikayah puncak Cakrabuana ini diketahui dan direstui Pangeran Suwarga.
Pangeran Arya Damar memang cerdik. Perjalanan ini dilaporkannya sebagai pemeriksaan rutin ke
wilayah bawahan Carbon. Cakrabuana adalah gunung tinggi yang puncaknya selalu diselimuti kabut.
Gunung itu oleh sementara orang suka dikeramatkan, berada di wilayah Karatuan Talaga.
Seperti sudah diketahui, wilayah Karatuan Talaga yang dulunya masuk wilayah Pajajaran, sejak tahun
1530 Masehi telah bergabung kepada Carbon. Untuk memantapkan pembinaan agar keamanan tetap
terjamin, kontrol dari pusat setiap waktu tertentu selalu dilakukan. Jadi tak ada hal yang aneh bila kini
Pangeran Arya Damar mengirimkan pasukan kecil ke wilayah itu. Dan Pangeran Suwarga pun sebagai
pucuk pimpinan militer tertinggi, tidak ada alasan untuk menolaknya.
Tapi malam hari sebelum berangkat, Purbajaya tak bisa tidur. Akhir-akhir ini memang banyak pikiran
bergayut di benaknya.
Purbajaya merasa bingung akan hidupnya, mengapa jadi begini? Selama tinggal bersama Paman Jayaratu,
Purbajaya tak pernah punya persoalan hidup. Namun kini sesudah bergabung dengan Pangeran Arya
Damar, masalah jadi bermunculan. Pertama memasuki puri, Purbajaya sudah dikejutkan oleh kenyataan
bahwa dirinya bukan orang Carbon. Dia dipungut dari sebuah kemelut pertempuran di wilayah Pajajaran,
sesudah itu diurus sebagai anak pungut oleh Carbon. Karena kedudukan seperti inilah maka usaha
pengabdian pengabdian pemuda itu terhadap negara lebih menyerupai sebagai utang-budi. Orang lain tak
menganggap pengabdian pemuda itu sebagai rasa cinta, melainkan sebagai budi yang harus dibalas. Ini
yang membuat dirinya merasa tak enak dan merasa kedudukannya berbeda dengan yang lain.
Yang lebih sedih dari itu, orang mudah curiga ke padanya. Seperti kejadian kemarin dulu ketika dia tak
setuju ada semacam penyerbuan kepada orang-orang Pajajaran, maka semua orang mudah menudingnya
sebagai pengkhianat berkepala dua.
Penyakit rendah diri melanda hatinya karena kedudukannya ini.
Dalam hal bercinta, perasaan ini pun terasa amat mengganggunya. Dia begitu rendah diri bila berhadapan
dengan Nyimas Waningyun. Benar, sesekali bisa bercanda. Tapi bila ingat akan kedudukannya, kembali
hatinya tersiksa. Nyimas Waningyun adalah keluarga bangsawan sedangkan dirinya hanya prajurit dari
keluarga yang tak diketahui asal-usulnya. Kalau pun pernah disebutkan sebagai keluarga bangsawan,
hanyalah bangsawan Pajajaran yang sulit dilacak kebenarannya.
Bersaing dengan kalangan bangsawan Carbon mustahil bisa menang. Itulah sebabnya, walau pun Raden
Ranggasena merupakan pemuda bengal, angkuh dan sombong tapi Purbajaya tak akan sanggup berebut
simpati.Di saat terjadi pertalian jodoh sesama keluarga bangsawan, Purbajaya tak bisa apa. Padahal
Purbajaya amat mendambakan hidup bersama Nyimas Waningyun. Ini mungkin mimpi.
"Harapan semakin jauh ... " keluhnya.
Purbajaya segera duduk dari tidur telentangnya. Dia bahkan keluar dari kamarnya dan pergi
berjalan-jalan menyusuri kompleksksatriaan (asrama prajurit). Pemuda itu melangkagh pelan di atas
jalan berbalay yang nampak lengang dan sepi. Ada rembulan melayang di atas awan. Sesekali cahayanya
redup lantaran sang awan terlalu tebal, namun sesekali cahayanya bersinar terang membuat alam
sekeliling menjadi benderang. Namun, baik ketika dalam keadaan terang, mau pun redup, semuanya
tidak mengubah hati Purbajaya yang sedang gulana.
Purbajaya terus berjalan dan tak terasa langkahnya menuju luar kompleks.
Sebetulnya di pintu depan ada dua orang penjaga. Namun entah mengapa, Purbajaya lolos dari perhatian
mereka. Barangkali langkah Purbajaya terlalu halaus, atau bisa juga lantaran dua penjaga itu
terkantuk-kantuk dalam tugas jaganya.
Ini sudah larut malam dan udara poun terasa dingin. Sepi dan dingin akan membuat orang mudah terbuai
kantuk, tidak juga yang tengah bertugas.
Sekarang Purbajaya lewat ke benteng kaputrwen. Hatinya langsung ingat Nyimas Waningyun. Sedang
apa Nyimas di tengha sepinya malam ini? Purbajaya merunduk. Mungkin hanya sementara saja gadis itu
tinggal dalam sepi. Tokh tak berapa lama lagi dia akan swegera punya pengayom, punya pelindung dan
tak akan merasakan arti sepi.
"Duh, Nyimas ... Mengapa bukan aku yang jadi pelindungmu?" keluhnya seorang diri.
 
 Esok subuhnya, Purbajaya sudah akan berangkat bersama pasukan. Entah kapan akan kembali.Kalau
nasib buruk, barangkali juga akan mati dan tak kembali. Kalau begitu, maka putuslah harapannya
bertemu Nyimas Waningyun. Padahal ingin sekali, di saat-saat akhir gadis itu berumah-tangga, dia ingin
menatapnya dengan lama.
"Duh, Nyimas ... betapa pilu hatiku. Engkau menggodaku dan engkau membuatku nestapa ... " keluhnya
berkali-kali.
Kerinduan begitu menerpa dirinya. Itulah sebabnya, di saat punya kesempatan, dengan nekadnya dia
menyelundup masuk kaputren. Memang mustahil bisa bertemu Nyimas Waningyun sebab suasana masih
malam.Namun paling tidak, dia bisa menatap bangku kecil di bawah pohon taman yang biasa diduduki
gadis ayu itu.
Purbajaya mendekati tempat itu. Purbajaya menatap ke arah bangku kecil sebab di sana terlihat ada
Nyimas Waningyun tengah merenung. Mula-mula Purbajaya terkejut setengah mati, namun belakangan
bibirnya tersenyum tipis.
Purbajaya merasa, karena dirinya telah begitu tergila-gila dan selalu membayangkan tubuh Nyimas
Waningyun, maka ke mana pun dia memandang, yang nampak selalu saja gadis itu. Demikian pun malam
itu. Ada bayangan gadis itu. Ya, Nyimas Waningyun duduk merenung di bangku kecil. Kepalanya
tertunduk lesu menatap kolam ikan hias.
Purbajaya sadar, ini hanya tiopuan mata. Namun demikian, pemuda itu tetap gembira. Biarlah, tidak
dengan orangnya, dengan bayangannya pun sudah terpuaskan, demikian bisik hatinya. Tipuan-tipuan
pandang sudah jadi miliknya sudah biasa menghibur dirinya.
Purbajaya tersenyum dalam kebahagiaan semu. Sekarang ada bayangan gadis itu. Maka matanya tak
boleh dikecapkan, takut bayangan manais itu segera hilang. Tapi Purbajaya tak kuat matanya terus
melotot. Dengan jengkelnya dia terpaksa berkedip. Hanya aneh sekali, bayangan itu tak mau hilang.
Bulan kembali memisahkan diri dari himpitan awan dan kini cahayanya cemerlang menerangi alam
sekeliling. Purbajaya terpana, nyatanya bayangan Nyimas Waningyun tak mau hilang dari pandangannya.
Purbajaya semakin terpana sebab tubuh indah itu semakin nampak nyata. Sekarang rambut ikal gadis itu
malah terlihat tergerai dan berombak terkena tiupan angin malam. Hidung kecil mancung gadis itu
nampak nyata ketika dia menoleh ke pinggir.
"Terima kasih sang rembulan membuat hatiku amat bahagia ... " kata Purbajaya tiba-tiba. Tapi Purbajaya
jadi terkejut sebab tubuh gemulai itu cepat berdiri dan membalik menghadap ke arahnya.
"Purbajaya!" terdengar pekik merdu dari arah sana.
"Nyimas ... " bisik Purbajaya dengan suara bergetar.
Mula-mula dia berdiri mematung. Tubuh Purbajaya tak mau bergerak. Takut ini masih berupa tipuan.
Tapi ketika langkah gadis iti bergerak menuju ke padanya, Purbajaya pun mulai berani melangkah. Dan
akhirnya, baik Purbajaya mau pun gadis itu, sama-sama berlari saling mendekat. Sampai pada suatu saat
tubuh mereka bertubrukan, berpelukan dan sulit dipisahkan.
"Purbajaya ... "
"Nyimas ... Ah, Nyimas !"
Lama mereka berpelukan dalam diam. Rembulan pun untuk sementara seperti malu menampakkan diri
dan sembunyi di balik awan.
Lain lagi dengan sepasang muda-mudi itu. Kalau bulan merasa malu dan sembunyi di balik awan, maka
remangnya cuaca malah dijadikannya sebagai kesempatan untuk saling melepas rindu. Tubuh dua orang
itu saling merapat seperti tak ingin dilepas lagi. Beberapa kali mereka saling pandang dan beberapa kali
pula mereka saling dekap.
"Purbajaya ... "
"Nyimas ..."
Mereka saling berdekapan lagi untuk beberapa lama.
"Nyimas ... benarkah engkau ini ada di hadapanku" bisik Purbajaya dengan suara bergetar.
"Aku malah yang bertanya, benar-benarkah engkau yang berdiri di hadapanku?" Nyimas Waningyun
balik bertanya.
Tak sadar Purbajaya menarik tangan gadis itu. Mula-mula dipegangnya halus, lama-lama diremasnya
dengan cukup keras sehingga Nyimas Waningyun meringis kesakitan.
"Aduh, kau sakit, Nyimas? Aku khawatir, kau hanyalah bayangan semu semata," tutur Purbajaya masih
menggenggam tangan gadis itu.
"Ya, Tuhan, engkau benar-benar Nyimasku. Betapa halus jari-jari tanaganmu, betapa hangat telapak
tanganmu. Nyimas, mengapa engkau malam-malam berada di sini?" Purbajaya nyeroscos bicara sampai
napasnya kembang-kempis karena tak putus-putus.
"Aku malah yang harus tanya, mengapa engkau malam-malam berada di sini?" untuk ke sekian kalinya
gadis itu malah yang balik bertanya. Dia pun balik meremas tangan Purbajaya
 
 "Maafkan Nyimas. Ini semua karena aku ingat engkau ..." bisik Purbajaya sejujurnya.
"Aku pun lama menyepi dalam dingin ini karena ingat engkau ... " jawab gadis itu pun dengan berani.
Dua pasang mata saling berpandangan, pegangan tangan masing-masing pun semakin kuat. Dan tak bisa
dibendung, keduanya pun akhirnya larut dalam peluk. Kuat, tak habis-habisnya.
Rembulan masih sembunyi.
"Aku menerima khabar, sebentar subuh engkau sudah akan berangkat tugas," bisik gadis itu sambil
pipinya bersandar di dada Purbajaya yang bidang.
"Aku datang ke sini memang mau pamit. Entah kapan bisa kembali," kata Purbajaya setengah mengeluh.
"Wilayah Karatuan Talaga tak begitu jauh. Sebentar kemudian kau pasti kembalai. Yang terpenting dari
kesemuanya, kau musti ingat aku," kata gadis itu manja menyandarkan pipinya di dada yang bidang.
"Aku butuh doamu dan aku pun butuh cintamu." bisik Purbajaya. Tanpa ragu-ragu dikecupnya kening
gadis itu.
"Akan aku berikan cintaku sepenuhnya padamu ..." bisik Nyimas Waningyun lirih. Tangannya semakin
erat memeluk dan melingkar di punggung Purbajaya. Sda desah napas memburu dari gadis itu. Kemudian
terdengar pula keluh-keluh lirih dan sedikit merintih.
Purbajaya tersentak ketika merasakan hal ini. Dengan serta-merta dia melepaskan rangkulan gadis itu.
Purbajaya mencoba menjauh dan memberi jarak terhadap gadis itu. Kini mereka hanya saling
berpeganagan tangan saja. Untuk sementara Nyimas Waningyun kecewa, mengapa Purbajaya
melepaskan kesempatan ini. Dia menatap nanar kepada pemuda pujaannya.
"Jangan berbuat itu, Nyimas ... " kata Purbajaya namun sambil mengelus pergelangan tangan gadis itu.
"Purba, bukankah engkau cinta padaku? Percayalah, aku pun cinta engkau," kata Nyimas Waningyun,
masih heran dengan sikap Purbajaya.
Purbajaya menggelengkan kepala beberapa kali.
"Tak cintakah engkau ke padaku?"
"Bukan begitu, Nyimas. Kalau ada orang yang menyuruhku mati demi cintaku padamu, maka akan
kulakukan. Tapi menjamah kesucianmu, itu soal lain. Jangan anggap cintaku hanya sebatas berahi,
Nyimas ... " Purbajaya berkata sungguh-sungguh.
Nampak ada garis-garis kecewa di wajah gadis itu.
"Sungguh, Nyimas, aku cinta padamu ... " bisik Purbajaya sambil kembali meremas jari-jemari gadis itu.
"Tapi kesempatanmu hanya itu, Purba ... " gumam gadis itu sambil menunduk lesu.
Purbajaya menghela napas panjang. Dia mengerti maksud gadis itu.
"Aku telah dijodohkan kepada Ranggasena ..." keluh Nyimas Waningyun.
"Ya ... aku pun tahu."
"Tapi aku tak suka dia. Ranggasena sifatnya kekanak-kanakan. Tolonglah Purba, aku tak berdaya
menepisnya ..." kembali Nyimas Waningyun mengeluh. Kini bahkan ada lelehan air mata di pipinya.
"Tidakkah kau mencoba menolaknya?" tanya Purbajaya.
Nyimas Waningyun menghela napas. Kini kedua orang muda itu duduk berdampingan di bangku kecil
sambil mengawasi ikan-ikan berenang di kolam. Ada satu ikan dikejar-kejar sesamanya, namun ada juga
ikan yang kesepian sendiri di sudut kolam.
"Ini bukan sekadar perjodohan. Kami musti bersatu karena orangtua kami menginginkan persatuan di
antara mereka.
"Ya, aku pun tahu, ini hanyalah kepentingan para orangtua kalian ... " kata Purbajaya lagi.
"Itu pun tidak persis begitu, sebab keluarga kami sebetulnya tidak pernah bersahabat. Setiap saat
kerjanya hanya saling curiga-mencurigai," kata Nyimas Waningyun.
"Jadi, untuk apa perjodohan ini?"
"Mereka harus bersatu demi kepentingan politik negri ini," jawab gadis itu.
Purbajaya terpekur. Ini adalah berita yang ke sekian kalinya. Kali ini datang dari mulut Nyimas
Waningyun. Demi kepentingan politik, perasaan orang dikorbankan.
"Maukah Nyimas menungguku?" tanya Purbajaya tiba-tiba.
"Menunggu apa?"
"Aku akan berusaha memperjuangkan nasib kita."
Nyimas Waningyun hanya menatap lemah, sepertinya dia sangsi akan ucapan Purbajaya.
"Engkau ingin memberikan kesucianmu karena cintamu padaku. Maka tekadku pasti, ingin
memperjuangkan nasib kita," kata Purbajaya bersemangat. Tak ada anggukan pasti dari gadis itu, kecuali
menjatuhkan kepalanya lagi pada dada Purbajaya. Sepertinya gadis itu tetap merasa hanya ini peluang
bagi mereka berdua. Kini malah terdengar suara gadis itu menangis sesenggukan.
***
 PURBAJAYA kembali dari kaputren sambil meloncat-loncat di atas kutha (benteng) dengan amat
hati-hati. Baru belakangan ini saja dia sadar, betapa berbahayanya bila ada orang yang memergoki
perbuatannya ini. Memasuki kaputren dan apalagi mengencani putri penguasa puri adalah sebuah
pelanggaran berat. Bila diketahui penghuni puri, barangkali hukumannya mati. Betapa tidak, sebab
sebenarnya dia telah berani mengotori tempat ini. Nyimas Waningyun adalah gadis pingitan sebab
sebentar lagi akan menjadi jodohnya Raden Ranggasena. Betapa terhinanya keluarga Pangeran
Danuwangsa kalau diketahui calon mantunya dikotori oleh lelaki yang bukan haknya. Barangkali akan
terjadi percekcokan dengan pemilik puri ini. Betapa marahnya Pangeran Arya Damar kalau yang
menghina martabatnya ini adalah prajuritnya sendiri.
Purbajaya menyesal, mengapa dia bertindak semberono seperti ini. Mencuri masuk ke kaputren dan
mengencani Nyimas Waningyun adalah tindakan amat memalukan. Beruntung, setan tak menggoda lebih
dalam, sebab kalau tak begitu, dirinya sudah terjerumus ke jurang kehinaan.
Ingat Nyimas Waningyun dia menjadi sedih. Kalau dilayani, tentu gadis itu telah ternoda. Purbajaya itu
sedih, gadis itu punya batin yang lemah. Purbajaya memang boleh bangga bahwa hatinya tak bertepuk
sebelah tangan. Hanaya yang disesalkan, ternyata gadis itu salah dalam menafsirkan cinta. Padahal bagi
Purbajaya, berahi hanyalah satu perangkat kecil dari masalah besar bernama cinta. Purbajaya
menginginkan, cinta sebetulnya bukan sekadar masalah beraahi.
"Nyimas salah mengerti ... salah mengerti ..." keluh Purbajaya.
Karena ada dua orang prajurit tengah tugur (meronda), Purbajaya tak berani langsung memasuki gerbang
kompleks ksatrian. Dia harus jalan memutar menyisir benteng. Namun benteng ini pun akhirnya memutar
ke arah puri yang didiami Pangeran Arya Damar. Purbajaya harus hati-hati lewat sana, jangan sampai
ada orang tahu.
Dia meloncati satu benteng dan menyisir kompleks belakang kediaman Pangeran Arya Damar. Dia jalan
mengendap-endap sebab harus menerobos dan memotong lahan kebun bunga. Namun sebelum hal itu
dilakukan, telinganya mendengar suara dua orang lelaki tengah berdebat. Walau dengan kata-kata dan
kalimat yang diucapkan pelan, Purbajaya bisa hapal siapa yang tengah berdebat. Hatinya berdebar keras
sebab itu adalah suara perdebatan antara Pangeran Arya Damar dan Paman Jayaratu.
"Engkau tak bisa ikut campur urusanku," terdengar suara Pangeran Arya Damar.
"Aku memang tak bisa ikut campur urusanmu tapi aku bisa menghalang-halanginya," kata Paman
Jayaratu dengan suara tegas.
"Maksudmu, ka5u akan lapor kepada Pangeran Suwarga?" tanya Pangeran Arya Damar."Hahaha! Sudah
belasan tahun dia tak mau menemuimu dan apalagi mempercayai omonganmu," katanaya lagi.
"Tentu, aku orang terbuang dari kalangan istana tapi tak terbuang dalam mencintai Nagri Carbon. Aku
masih mempunyai hak menjaga Carbon dari kehancuran," kata Paman Jayaratu dengan suara pelan tapi
tajam.
Hening sejenak. Purbajaya tak tahu, apa yang dilakukan kedua orang itu di saat tak saling berbicara.
Purbajaya tak berani bergerak, apalagi berusaha melongok ke arah tempat di mana kedua orang itu
tengah bercakap-cakap. Baik Paman Jayaratu mau pun Pangeran Arya Damar adalah orang-orang
pandai dan mungkin akan mudah curiga kepada setiap gerakan asing sebagaimana halus pun.
"Rencana-rencanamu membahayakan Carbon, Arya ... " kata Paman Jayaratu menyebut nama
bangsawan itu begitu saja.
"Tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan kebijakan Pangeran Suwarga yang memilih diam. Kau
harus tahu, Carbon lemah dan kedudukannya selalu berada di bawah Demak hanya karena ada
beberapa pejabat Carbon yang tak memiliki ambisi. Kau harus tahu, sebuah kemajuan perlu ambisi,"
kata Pangeran Arya Damar tak kurang sengitnya dalam mengutarakan pendapat.
"Tapi ambisi membuat orang tergelincir," kata Paman Jayaratu memotong kalimat.
"Tergelincirkah aku?"
"Boleh dibilang ya!"
"Kau menganggapku tergelincir hanya karena aku berpaling dari Pangeran Suwarga. Sementara itu kau
tak melihat manfaatnya usahaku dalam mengupayakan keberadaan negri," sergah Pangeran Arya Damar.
 
 "Justru jalan pikiran ini yang membuat dirimu tergelincir," kembali Paman Jayaratu memotong omongan
orang."Bahwa Carbon tak akan menyerang Pajajaran, itu bukan saja sejadar kebijakan seorang
hulu-jurit bernama Suwarga, melainkan juga sudah jadi kesepakatan Carbon. Semenjak Carbon oleh
seluruh para wali (Wali Sanga) diputuskan menjadi puser bumi Islam di Jawa Kulon, maka tak lagi ada
kekerasan. Penyebaran agama baru harus dilalui dengan jalan damai tanpa salah satu menekan lainnya
dan tanpa salah satu menyakiti lainnya.
"Keliru! Pajajaran harus dihancurkan sebab tak mau masuk Islam!" kata Pangeran Arya Damar tegas.
"Jangan campur-adukkan kepentingan agama dan politik. Engkau bertekad menghancurkan Pajajaran
bukan karena urusan agama, melainkan karena ambisi politikmu. Sudah sejak lama engkau
membayangkan, bila kau berhasil melumpuhkan Pajajaran dan membawanya masuk ke bawah
kekuasaan Carbon, maka kau akan dapat bintang. Bintang apakah itu? Aku tak bisa memperkirakannya,
sejauh mana kau punya ambisi. Barangkali kau ingin menggeser kedudukanhulu-jurit , atau bisa juga kau
ingin ditempatkan di wilayah Pajajaran dengan jabatanmangkubumi bahkan lebih tinggi dari itu. Itu
hanya kau yang tahu tentang cita-citamu," tutur Paman Jayaratu lagi dengan berani.
Hening sejenak. Kemudian terdengar kekeh kecil Pangeran Arya Damar.
"Engkau orang cerdik. Sebetulnya aku perlu orang-orang sepertimu. Daripada kau hidup terasing dan
terlunta-lunta di negri sendiri, mengapa tidak gabung saja denganku?"
"Aku memang punya keinginan tapi tak sama dengan ambisimu," gumam Paman Jayaratu.
"Apakah engkau akan terus begini, hidup tak punya pijakan dan masa depan? Ingat, hanya aku yang
akan bisa mengangkat kembali derajatmu!" kata Pangeran Arya Damar.
"Hm ... Tinggi-rendahnya derajat tidak ditentukan oleh tinggal di istana ... "
Suasana hening lagi sejenak.
"Sejak lama kita tak pernah punya kesesuaian paham. Padahal kalau kita bersatu, akan merupakan
sebuah kekuatan yang dahsyat. Barangkali seluruh Carbon akan dapat kita kuasai!" gumam Pangeran
Arya Damar.
"Kau menginginkan hal itu?"
"Mengapa tidak? Untuk kebesaran sebuah negara, semua orang yang merasa memiliki kemampuan,
harus berupaya menampilkan kemampuannya. Kalau aku merasa memiliki kemampuan untuk memimppin
negara, mengapa hal itu tidak aku coba?" kilah Pangeran Arya Damar.
"Omonganmu kian melantur. Sikap-sikap seperti inilah yang tidak dikehendaki oleh Kangjeng Susuhunan
Jati, di mana bila semua orang merasa mampu melakukan sesuatu, maka orang itu akan berusaha untuk
duduk paling tinggi dan berjalan paling depan. Itulah sebabnya, Kangjeng Susuhunan Jati pernah berkata
kalau mengurus sebuah negri maka landasan acuannya adalah agama.Dengan berlandaskan kepada
kebenaran agama, maka orang tak akan saling berebut pengaruh dan kekuasaan atau juga saling merasa
punya hak karena berdasarkan garis turunan. Betapa melencengnya jalan pikiranmu, Arya ... " keluh
Paman Jayaratu.
Suasana kembali diam. Dan ketika terdengar ada salah seorang dari mereka berjingkat, maka Purbajaya
pun ambil kesempatan untuk berjingkat. Dengan demikian, gerakan dia ketika meninggalkan tempat itu
suaranya kurang bisa diikuti orang pandai.
 ***
 SEUSAI menyimak obrolan dua orang itu, kian bertambah pula kebingungan di hatinya. Ini sekaligus
telah menambah nilai misteri yang ada di lingkungan istana. Dan Paman Jayaratu adalah orang yang paling
diselimuti kabut misteri. Ya, mendengar obrolan barusan, siapakah sebenarnya Paman Jayaratu ini?
Bila bertemu dengan Pangeran Arya Damar di muka umum, Paman Jayaratu nampak sekali rasa
hormatnya, seperti layaknya hormat seorang hamba-sahaya kepada majikannya, atau hormat dari
seorang yang derajatnya rendah kepada orang yang memiliki derajat jauh lebih tinggi. Namun peristiwa
malam ini di kebun belakang puri Arya Damar telah membuktikan lain. Mendengar nada suara dan tutur
kata Paman Jayaratu kepada Pangeran Arya Damar, amat menunjukkan bahwa derajat mereka
sebenarnya sama. Atau paling tidak, Paman Jayaratu merasa bahwa derajatnya tidak lebih rendah dari
bangsawan bernama Pangeran Arya Damar itu. Akan halnya Pangeran Arya Damar, dia pun amat
kentara kalau dirinya sebetulknya segan kepada Paman jayaratu. Sungguh hebat, sungguh ajaib dan
sungguh misterius.
Sebenarnya bukan orang sembarangan. Barangkali Paman Jayaratu dulunya pejabat penting juga. Hanya
entah karena apa orang tua itu akhirnya mundur dari istana.
Purbajaya jadi ingin sekali mengorek dan menguak tabir misteri ini. Maukah Paman Jayaratu
membeberkan rahasia ini ke padanya? Orang tua itu serba merahasiakan dirinya. Sudah barang tentu
yang namanya rahasia tak boleh diketahui siapa pun. Kalau Purbajaya tanya langsung, belum tentu
Paman Jayaratu mau membeberkannya. Dan apa pula kepentingan dirinya untuk mengetahui rahasia
Paman Jayaratu? Yang patut disimak adalah isi obrolan mereka. Dari hasil pendengaran Purbajaya,
terdapat kesan bahwa rencana yang dibuat Pangeran Arya Damar sebetulnya menyerempet bahaya.
Boleh dikata, itu adalah sebuah rencana liar yang tak diketahui negara. Berbahayakah kalau Purbajaya
memaksakan diri terlibat di dalamnya?
Hati pemuda itu akhirnya merasa muak dengan yang jadi urusan pangeran ini. Ingin sekali dia kabur dari
puri ini dan kembali berkumpul dengan Paman Jayaratu. Tapi kalau tiba-tiba dia mengundurkan diri, tentu
akan membuat kecurigaan berbagai pihak. Pangeran Arya Damar akan marah dan curiga. Purbajaya sulit
mengajukan alasan perihal kesaksiannya tadi malam. Kalau hal ini diketahui, bahaya lebih besar akan
mengancam nyawanya. Maka dengan alasan apa dia bisa mengundurkan diri dari libatan jaring pangeran
itu? Bukankah ketika dia mempertanyakan kepentingan menyerang Cakrabuana pun semua orang lantas
curiga kalau dirinya masih berkiblat ke Pajajaran? Belum lagi kalau memikirkan Nyimas Waningyun.
Kalau dia menjauhkan diri dari rencana Pangeran Arya Damar, hanya punya arti dirinya memutuskan
hubungannya dengan gadis itu, padahal dia tengah memiliki rencana besar dengan gadis itu.
Terus-terang, di benaknya ada terpikir untuk menggagalkan perjodohan Nyimas Waningyun dengan
Raden Ranggasena. Tidak dengan jalan kekerasan, melainkan dengan menyodorkan logika yang
sekiranya bisa terpikir oleh Pangeran Arya Damar.
Namun untuk meyakinkan hal ini, hambatannya sungguh berat. Selama ini Pangeran Arya Damar selama
ini tak pernah menghargai jalan pikirannya.Perlu satu hal agar dirinya terperhatikan, yaitu membuat
Pangeran Arya Damar percaya dan menghargainya. Kalau dia berjasa, maka Pangeran Arya Damar
akan mau melirik padanya. Salah satu peluang untuk mendapatkan kepercayaan adalah keikutsertaan
dirinya dalam rencana perjalanan ke Cakrabuana. Purbajaya harus sanggup menampilkan
kesungguhannya dalam mengikuti perjalanan ini.
"Aku tak sanggup kehilanganmu, Nyimas. Makanya, apa pun yang terjadi, aku sudah tak mau
meninggalkan puri ini..." gumam Purbajaya.
Pemuda ini tidur dengan hati gundah. Mungkin karena terlalu banyak yang jadi pikirannya. Akibatnya,
pada subuh harinya dia terlambat bangun, sehingga pintu kamarnya perlu digedor orang.
***
 
 "PURBA, cepat bangun!" seru suara dari luar sambil menggedor daun pintu keras-keras.
Dengan mata masih terasa pedih, Purbajaya membuka pintu. Di luar sudah berdiri dua orang prajurit.
"Engkau tengah ditunggu Raden Yudakara di depan puri!" tutur salah seorang di antaranya.
"Raden Yudakara?" Purbajaya mengerutkan alais. Dia tak kenal bangsawan ini.
"Ya, beliaulah yang akan memimpin perjalananmu ke Cakrabuana!" kata lagi prajurit.
Alis Purbajaya semakin berkerut. Namun diturutinya perintah dua prajurit itu. Purbajaya hanya punya
waktu membasuh muka. Dia segera menjinjing perbekalan kecil yang telah dipersiapkan, sudah itu segera
keluar.
Benar saja, di paseban dia sudah ditunggu. Di sana ada Pangeran Arya Damar, lengkap dengan para
pembantunya, yaitu Ki Albani, Ki Aspahar, Ki Aliman dan Ki Marsonah, yang padahal menurut rencana,
merekalah sebetulnya yang akan memimpin pasukan kecil ini.
Namun Purbajaya juga melihat seorang pemuda yang Purbajaya baru tahu hari ini. Dia adalah seorang
pemuda dewasa. Barangkali usinya sekitar 35 tahun. Dia berpakaian hitam-hitam, juga memakai ikat
kepala warna hitam. Yang mencolok dari kesemuanya wajahnya tampan berkulit putih. Hidungnya
mancung walau sedikit melengkung. Matanya tajam setengah berkilat. Ada kumis tipis hitam menghiasi
bagian atas bibirnya. Yang Purbajaya tak suka, sepasang bibirnya terkatup rapat seperti menampakkan
ejekan. Dia bersila tegak di hadapan Pangeran Arya Damar. Sepasang tangannya bersedekap melintang
di dada.
Purbajaya menduga, tentu dialah Raden Yudakara.
Dan benar, lelaki tampan itu diperkenalkan Pangeran Arya Damar sebagai Raden Yudakara. Purbajaya
disuruhnya agar memberikan hormatnya kepada pemuda itu.
"Purba, engkau akan melakukan perjalanan ke wilayah Cakrabuana bersama Raden Yudakara," kata
Pangeran Arya Damar.
"Ada perubahan rencana, Gusti?" tanya Purbajaya.
"Tidak. Rencana berjalan seperti semula, yaitu kita mengirimkan pasukan rahasia ke puncak Gunung
Cakrabuana, tapi engkau melakukan perjalanan lebih dahulu bersama Raden Yudakara," jawab
Pangeran Arya Damar.
Purbajaya mencoba melirik ke arah pemuda itu.
"Engkau pasti belum kenal. Raden Yudakara adalah orang kita namun banyak ke luar-masuk wilayah
Pajajaran dan bertindak sebagai mata-mata. Orang Pajajaran bahkan menganggapnya sebagai warga di
sana. Hebat bukan?" kata Pangeran Arya Damar."Kelak angkau akan memasuki wilayah Pajajaran
bersama Raden Yudakara," sambung pangeran itu.
"Aku dengar, engkau inipuhawang (ahli kelautan) dan terbiasa hidup di Muhara Jati. Pajajaran
khabarnya butuh tenagapuhawang sebab mereka merencanakan menghidupkan kembali kejayaannya di
lautan. Kelak kau bisa menyusup menjadi pegawai di lautan," kata Raden Yukadara nadanya sudah
seperti memerintah.
Rundingan kembali diadakan. Tapi intinya hanya mengatur teknis perjalanan. Mereka berunding, kapan
dan di mana bisa bergabung dengan pasukan inti yang dipimpin oleh keempat orang perwira itu.
"Sebelum hari terang tanah, kalian harus segera meninggalkan tempat ini," kata Pangeran Arya Damar.
Mereka semuanya diberi hidangan penghangat badaan. Sesudah itu, baru beranjak untuk pergi.
Beberapa orang penghuni puri melepas kepergian mereka. Para prajurit dilepas oleh sesama
teman-temannya yang tak ikut pergi dan di pintu depan, mereka diberi ucapan selamat jalkan oleh
deretan gadis cantik.
"Nyimas ... " Purbajaya tak terasa berbisik.
"Ow, rembulan di atas sana sudah mulai pudar cahayanya. Tak dinyana di bawah sini malah bersinar
cemerlang. Wahai gadis, siapakah gerangan?" kata Raden Yudakara dengan suara merdu merayu.
 
 "Beliau adalah putri terkasih Pangeran Arya Damar, Raden ... kata Purbajaya sebab Nyimas Waningyun
hanya menunduk tersipu.Sepasang mata gadis itu sembab. Mungkin kurang tidur atau mungkin habis
menangis. Kalau dua-duanya benar, tidakkah ini karena peristiwa semalam?
Nyimas Waningyun mungkin tak sempat tidur dan kini mencegatnya di sini bersama barisan gadis cantik
yang bertugas mengantarkan rombongan.
Sayang ada Raden Yudakara, sehingga pertemuan perpisahan ini tak sempoat dinikmati oleh Purbajaya.
Bahkan lebih dari itu, kehadiran pemuda bangsawan itu serasa mengganggu kenyamanan Purbajaya.
"Tak disangka, di puri ini ada mawar yang tengah merekah indah. Tapi, hai gadis, wajahmu muram, sorot
matamu suram. Kalau ada awan hitam menggayut di hatimu, singkirkanlah dengan senyum bahagia,"
Raden Yudakara menggoda Nyimas Waningyun dengan nada manis menawan.
Yang digoda hanya menunduk dengan senyum dikulum.
"Pangeran Arya Damar pandai menyembunyikan halaman indah sehingga tak ada orang tahu isinya," kata
Raden Yudakara sambil beberapa kali berdecak kagum.
Namun tak ada tanya-jawab penting di sana sebab Nyimas Waningyun keburu dibawa pergi oleh
beberapa gadis lainnya. Dan Purbajaya berdegup jantungnya ketika gadis itu masih sempat menoleh ke
belakang dan menatapnya sejenak.
"Sepertinya mawar harum itu mengenalmu, Purba ... " gumam Raden Yudakara melirik kepada
Purbajaya.
"Tentu saja. Bukankah saya tinggal di puri ini, Raden?" jawab Purbajaya.
Kedua orang itu akhirnya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kuda terbagus milik puri itu. Dari
Carbon menuju wilayah Karatuan Talaga akan memakan waktu sehari penuh kalau dilakukan dengan
cepat. Namun demikian, mereka tidak akan memasukidayo (kota) Karatuan Talaga, melainkan hanya
akan singgah di sebuah dusun kaki Gunung Cakrabuana saja.
Paman Jayaratu pernah bercerita kepada Purbajaya bahwa nama Cakrabuana sebetulnya diambil dari
sebuah peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di puncak gunung itu.
Dulunya, gunung itu hanya dikenal sebagai Gunung Cangak. Namun demikian, sudah sejak dulu gunung
ini suka dipakai tempat tinggal orang-orang berilmu, baik ilmu kewiraan mau pun ilmu kebatinan termasuk
agama.Karuhun (nenek-moyang) orang Sunda menganggap Gunung Cangak sebagai tempat keramat
sebab di sana orang mendalami agamakaruhun . Di wilayah Teja (Lemahputih) ada bekas tempat
persemayaman tokoh amat terkenal dengan julukan Ki Jago. Di lereng timur ada Candi Batulawang,
bekas para akhli agama Hindu bersemayam. Semakin ke atas, juga didapat petilasan bernama
Batucakra.
Batucakra ini punya riwayatnya. Dulu Kangjeng Walangsungsang, putra Sang Prabu Siliwangi dari
Pajajaran, mengembara mencari ilmu kehidupan. Beliau pun tiba pula di wilayah Gunung Cangak. Di sana
lama mempelajari ilmu agama (Islam). Dan karena pernah tersesat di sana, maka beliau membuat peta
dengan goresan-goresan kuat di atas batu. Orang mengatakan kalau Sang Walangsungsang ketika itu
membuat goresan-goresan menyerupai cakra. Maka sejak saat itu, Walangsungsang dijuluki Cakrabuana
bahkan gunung itu pun dikenal sebagai Gunung Cakrabuana hingga kini.
Kangjeng Cakrabuana adalah pendiri Karatuan Carbon (1445 Masehi) dan bergelar pangeran.
"Dulu namanya Caruban. Artinya campuran. Ini karena Carbon sebelum berubah menjadi sebuah negara
sudah dihuni oleh orang-orang dari berbagai bangsa, berbagai adat-istiadat, berbagai agama dan juga
macam-macam bahasa dan tulisan. Penduduk menamakan dirinya sebagaiwong grage . Asal kata dari
garage . Semenjak berkembang menjadi negara dan dikepalai oleh Kangjeng Pangeran Cakrabuana,
Carbon memang berubah menjadinagara gede (garage) . Kangjeng Pangeran Cakrabuana adalah
uwaknya Sang Susuhunan Jati yang memerintah kini," kata Paman Jayaratu ketika itu.
 
 Selama dalam perjalanan, Purbajaya selalu memperhatikan perangai lelaki tampan ini. Ternyata Raden
Yudakara adalah seorang yang periang. Baginya, alam sekelilingnya adalah kebahagiaan semata. Dia
menyenangi pemandangan alam, sehingga menuju ke tempat pertempuran dianggapnya sebagai
perjalanan pesiar saja. Dia pun amat romantis. Pencinta berbagai keindahan, termasuk keelokan wanita
muda. Di sepanjang jalan, bila masuk ke sebuah dusun dan kebetulan berpapasan dengan wanita yang
meneurut seleranya cantik, Raden Yudakara selalu mengerling tajam dan senyum manis dikulum. Wanita
desa mana yang jantungnya tak berdegup bila diajak senyum seorang bangsawan berkuda gagah? Maka
tak ayal, mereka tersipu, menunduk malu dengan rona merah di wajah, atau pura-pura cemberut, namun
akhirnya ada kerling penasaran di matanya.
"Rupanya Raden amat menyukai wanita ... " kata Purbajaya di tengah jalan sepi.
Dikatakan begini, Raden Yudakara tertawa lepas dan bebas. Dan nampaknya ada kegembiraan
menerima pernyataan ini.
"Tidak persis begitu. Yang sebetulnya kurasakan, aku adalah mencintai keindahan. Keindahan apa saja.
Namun karena wanita itu pun bagian dari keindahan, maka sudah barang tentu aku amat menyukainya.
Tuhan memberikan warna keindahan kepada apa yang ada di dunia, termasuk keindahan wanita. Kalau
aku mencintai keindahan, itulah tandanya aku memuji kepada kepandaian Tuhan," jawab Raden
Yudakara berfilsafat.
"Dan aku tak memilah-milah. Keindahan ada di mana saja. Tidak melulu ada di lingkungan puri.
Keindahan di alam bebas barangkali keindahan yang sebenarnya sebab di sana tak ada polesan. Tapi ...
" Raden Yudakara mendadak berhenti seperti mau tersedak.
"Ada apa Raden?"
"Gadis di puri Arya Damar demikian cantik. Mungkin yang tercantik dari semu kembang di taman. Dia
demikian anggun, demikian indah. Mungkin penuh harum. Ow, aku akui gadis di Pajajaran elok dan
indah. Namun yang namanya putri puri Arya Damar, mengapa sepertinya terpisah dari yang lainnya?"
Purbajaya sedikit goyah mendengar pujian ini. Benar, mendengar Nyimas Waningyun dipuji setinggi
langit, hanya menegaskan bahwa dirinya adalah seorang normal, mencintai gadis maha-cantik. Namun
yang dirinya tak enak, pujian habis-habisan yang diucapkan Raden Yudakara hanya menandakan bahwa
pemuda bangsawan ini pun secara khusus tertarik kepada Nyimas Waningyun. Hati Purbajaya mengeluh,
semakin bertambah saingannya dalam mendapatkan cinta gadis itu.
Yang membikin hati Purbajaya agak terobati, adalah ketika mendapatkan kenyataan bahwa Raden
Yudakara kerjanya mengobral pujian kepada setiap gadis. Dalam satu hari itu saja, sudah belasan gadis
yang kebetulan berpapasan, selalu dia puji setinggi langit. Purbajaya berdoa, semoga pujian-pujian Raden
Yudakara kepada Nyimas Waningyun tidak singgah di hatinya, melainkan hanya pujian sejenak saja.
"Tapi gadis puri itu sepertinya memendam kesedihan besar. Aku sungguh ingin tahu, ada apakah ini?"
Raden Yudakara membuat Purbajaya goyah lagi.
"Betul, Raden. Gadis itu sedang punya masalah. Ada sebuah perjodohan yang gadis itu tak menyukainya
... " tak terasa Purbajaya memaparkan persoalan gadis itu.
"Hm ... di mana-mana gadis bangsawan nasibnya selalu begitu. Perjodohan dan nasib cintanya selalu
dikaitkan dengan kepentingan lain. Aku bisa duga, gadis itu dijodohkan dengan sesama anak bangsawan
demi kepentingan kedua orangtua anak-anak muda itu," Raden Yudakara menebaknya dengan jitu.
"Tebakan Raden benar ... "
Raden Yudakara hanya senyum kecil.
"Kasihan Nyimas Waningyun ... " gumam Purbajaya tak sadar.
"Aku pastikan, gadis itu sudah punya pilihannya sendiri."
"Benar sekali, Raden ... "
"Siapa kira-kira?"
Ditanya seperti itu, giliran Purbajaya yang terkatup bibirnya.
Ini rahasia pribadi. Mengapa musti diobral kepada banyak orang?
 
 Tapi Purbajaya akhirnya mulai berpikir lain. Di mata Pangeran Arya Damar, kedudukan Raden
Yudakara sepertinya tidak berada di bawahnya. Mungkin juga keberadaan pemuda bangsawan ini cukup
diperhitungkan oleh Pangeran Arya Damar. Kalau benar begitu, mengapa Purbajaya tidak minta tolong
saja kepada pemuda periang ini?
"Yang saya lihat, Nyimas Waningyun tak suka kepada pemuda pilihan keluarganya," kata Purbajaya.
"Gadis yang malang ..." guman Raden Yudakara.
"Dia perlu pertolongan." sambung lagi Purbajaya.
"Ya, dia perlu ditolong dari kesedihannya. Penderitaan cintanya harus dilenyapkan. Kalau pun
perjodohan itu diatur orang, paling tidak harus menyertakan kepentingan gadis itu sendiri," kata Raden
Yudakara sambil mencongklang kudanya.
Purbajaya tak sanggup menebak, apa arti ucapan pemuda bangsawan ini. Hanya yang jelas, Raden
Yudakara memang sepertinya punya perhatian yang khusus kepada Nyimas Waningyun. Purbajaya
berdoa, mudah-mudahan Raden Yudakara memang bersikap penuh perhatian kepada nasib orang dan
mau menolong kesedihan orang lain.
Perbincangan mengenai Nyimas Waningyun cukup sampai di situ. Bahkan seperti terlupakan ketika
secara tiba-tiba di tengah perjalanan bertemu lagi dengan seorang gadis. Dia adalah gadis dusun, terlihat
dari dandanannya yang amat sederhana, terbuat dari kain kasar dan sedikit lusuh. Hanya yang jadi
perhatian, paras gadis itu cukup manis kendati kulitnya agak sawo matang karena banyak kena sinar
matahari.
Gadais itu tengah melangkah dengan perlahan dan terkesan lunglai tak bersemangat. Bisa jadi lantaran
kecapaian berjalan jauh. Gadis itu berjalan sambil menggendong bakul, entah berisi apa.
Raden Yudakara serta-merta menghentikan langkah kudanya tepat di samping gadis itu.
"Kalau kerja-keras diselingi keluh-kesah maka bakalan lekas capek dan rasa bahagia akan berkurang,
hai gadis manis," kata Raden Yudakara.
Tentu saja gadis itu terkejut setengah mati karena ada lelaki asing tampan dan gagah menyapanya.
Purbajaya menduga, seperti biasanya gadis ini pasti akan tersipu-sipu malu, menunduk dan wajahnya
bersemu merah. Begeitu yang pernah dilihat pada gadis yang sudah-sudah.
Namun Purbajaya kecele. Gadis itu tidak menunduk, apalagi tersipu dengan rona merah di pipi. Dahi
gadis itu malah berkerut ketika disapa Raden Yudakara seperti itu. Dia berjalan dengan langkah lebih
cepat dan mepet ke pinggir jalan berdebu.
"Mulutmu yang cemberut tidak akan mengubah wajah manismu. Tapi cemberutmu hanya akan
merugikanmu sebab hatiku jadi tersiksa, hai gadis," kata lagi Raden Yudakara tak bosan menggoda.
"Kalau hatiku gundah, maka engkaulah yang berdosa," jawaab gadis itu pendek. Raden Yudakara
tersenyum kecil dan tak menampakkan rasa tersinggung, padahal menurut penilaian Purbajaya, gadis itu
tak sopan, kepada seorang bangsawan bicara ketus.
"Amboi, sikapku yang baik ini malah menjadikannya sebuah dosa," sergah Raden Yudakara sambil
tertawa renyah.
"Ya, engkau berdosa ... " kata gadis itu kian mepet karena kuda Raden Yudakara semakin mendekat
saja.
"Tolonglah hai gadis manis, jangan biarkan aku berbuat dosa!" Raden Yudakara merintih namun jelas
hanya olok-olok belaka.
Dan gadis itu akhirnya merandek.
"Biarkan aku melangkah tanpa gangguanmu!" katanya ketus sekali.
"Gadis secantikmu terlalu sayang untuk dilewatkan. Berdosakah bila aku menatap paras elokmu?"
lagi-lagi Raden Yudakara menantang.
"Tentu berdosa sebab engkau sepertinya tak tahu dan tak bisa memilih-milih kepada siapa rayuanmu kau
sampaikan," ujar gadis itu lantang.
"Oh, hai ... Tak pantaskah rayuanku dilayangkan padamu?"
"Tentu tak pantas."
 "Kenapa gerangan?"
Gadis itu tak menjawabnya, membuat Raden Yudakara penasaran untuk mendesaknya.
"Karena ... "
 "Karena apa, manis? Cepatlah jawab gadisku, sebab hari semakin siang, sebab kaki-kaki kuda semakin
tak sabar untuk merambah indahnya cinta. Katakanlah, apa penyebab tak pantasnya sapaan cintaku
padamu?" Raden Yudakara semakin mendesak dan menantang sampai Purbajaya malu sendiri
menyimaknya.
"Aku sudah ada yang punya!" jawab gadis itu pendek. Lalu rona merah merebak di pipinya.
"Amboi, sungguh beruntung suamimu ..."
"Aku belum bersuami!"
"Lho?"
"Aku sudah terikat perjodohan!"
"Ow, tentu calon suamimu amat tampan!"
"Tidak!"
"Engkau cinta padanya?"
"Apakah perasaan cinta musti dikaitkan dengan keelokan wajah? Engkau hai laki-laki asing, wajahmu
memang tampan. Pakaianmu gagah. Mungkin kau anak orang kaya atau keluarga kaum bangsawan. Tapi
aku tak suka padamu. Kau tak sopan!" hardik gadis itu.
Sejenak Raden Yudakara menghentikan congklang kudanya. Mungkin dia sedikit terhenyak dengan
perkataan gadis itu. Hingga gadis itu berlari menjauh, Raden Yudakara masih terpana di atas kudanya.
"Mari Raden, kita lanjutkan perjalanan ... " kata Purbajaya sepertinya tak pernah melihat adegan itu.
Raden Yudakara membedol tali kekang kuda dengan marahnya. Sepertinya dia kesal dan terhina oleh
gadis dusun itu.
 ***
Ada sedikit kebosanan melihat sikap Raden Yudakara ini. Dalam pandangan Purbajaya, pemuda ini
punya watak hidung belang. Masa di sepanjang jalan kerjanya hanya menyapa dan menggoda
perempuan saja. Sangat beruntung, rasa bosan Purbajaya tidak memuncak menjadi rasa muak sebab
sikap pemuda bangsawan itu ada batasnya juga. Sekali pun benar setiap kali bertemu gadis dia
menggoda, tapi hanya sebatas godaan kata-kata saja.
"Apa Raden tak sakit hati didamprat gadis dusun seperti itu?"
Ditanya seperti itu, Raden Yudakara hanya tersenyum saja.
"Dia tak tahu aku seorang bangsawan," tuturnya.
"Benar. Kalau pun tadi gadis itu bilang kau anak bangsawan, tapi sebatas baru mengira-ngira saja.
Padahal kalau tahu yang sebenarnya, gadis itu pasti wajahnya pucat-pasi," kata Purbajaya "memberi
angin".
"Itulah sebabnya, aku senang berpakaian orang kebanyakan, biar mereka jujur mengemukakan
pendapatnya," tuturnya."Aku pernah bersua wanita yang telah bersuami. Ketika kugoda dia mau saja
hanya karena aku mengaku keluarga bangsawan. Aku campakkan dia dengan muak. Selain pengkhianat,
dia pun ambisius. Coba kalau aku anak petani, apa dia mau?" sambungnya.
"Barangkali gadis barusan pun akan terpikat kalau Raden terang-terangan mengaku sebagai pejabat,"
sela Purbajaya.
"Mungkin juga begitu. Tapi kalau benar, aku pasti muak dan akan kucampakkan dia. Aku paling tak
senang pengkghianatan, termasuk dalam urusan cinta," tutur Raden Yudakara tegas. Purbajaya menatap
agak lama. Hatinya bertanya-tanya, apa benar Raden Yudakara begitu tegas dalam urusan cinta?
Namun demikian, Purbajaya pun memuji sikap ini. Raden Yudakara benci pengkhianatan. Dia pun
adalah orang yang tak mudah tersinggung dan sakit hati. Sebuah sikap yang sebetulnya bisa dianggap
baik namun juga bisa dianggap jelek.
Orang yang tak mudah tersinggung bisa juga tak begitu tebal punya rasa malu. Dan yang ini bisa bahaya
sebab bisa saja orang itu melakukan hal-hal yang hina tapi tidak merasa bahwa tindakan itu hina karena
dirinya tak malu melakukannya.
Dan kalau ingat ini, ciut juga nyali Purbajaya. Kalau Raden Yudakara berkarakter begitu, pemuda
bangsawan penggemar wanita cantik ini bisa jadi gangguan terhadap dirinya.
"Ah ... mudah-mudahan dia tak ganggu Nyimas Waningyun. Mudah-mudahan dia malah membantuku
dalam memperjuangkan cintaku terhadap gadis itu," pikir Purbajaya.
 ***
 ROMBONGAN yang akan menuju puncak Cakrabuana memang dibagi dua kelompok. Kelompok
berkuda yang jumlahnya lebih besar dipimpin oleh empat pembantu utama Pangeran Arya Damar,
melakukan perjalanan melewati Gunung Ciremai bagian selatan. Mereka akan menuju puncak
Cakrabuana melewati Talaga. Ini perjalanan yang cukup sulit sebab akan melewati kaki bukit yang terjal
dan berhutan lebat serta memiliki hawa amat dingin berkabut. Rombongan ini sengaja memilih jalan ini
sambvil sekalian mengadakan perondaan.
Di wilayah-wilayah terpencil seperti ini kerapkali didengar ada pasukan pengacau keamanan. Mereka
bisa saja hanya perampok biasa, namun bisa juga karena latar belakang politik. Sudah tak aneh, di masa
peralihan pengaruh dan kekuasaan banyak melahirkan kelompok yang pro dan kontra. Khabar
selentingan, di wilayah kekuasaan baru Negri Carbon seperti wilayah selatan dan barat, diisukan banyak
kelompok pembangkang. Mereka adalah yang tak mau tunduk kepada penguasa baru dan memilih
memisahkan diri dari kehidupan bernegara. Kendati Karatuan Sindang Kasih, Rajagaluh atau pun Talaga
sudah resmi bernaung di bawah Carbon, namun masih ada kelompok kecil yang tak setuju dengan itu
dan tetap bertahan dengan keyakinan lama. Jumlahnya memang tak seberapa. Namun demikian, tetap
merupakan duri dalam daging. Maka itulah sebabnya, rombongan yang dipimpin empat perwira
menyusuri daerah rawan keamanan. Di samping memang sudah jadi tugasnya, namun juga bisa diartikan
sebagai kamuplase.Sebab, bukankah tujuan utama dari kesemuanya adalah menyerang sarang Ki Darma
di puncak Cakrabuana?
Ingat ini, Purbajaya jadi penasaran. Dia amat tertarik kepada tokoh bernama Ki Darma ini. Hanya satu
orang saja, namun mengapa Pangeran Arya Damar begitu tegang menghadapinya, sehingga upaya
menyerang Ki Darma dijadikan gerakan amat khusus? Kalau kelak tiba di Cakrabuana, yang Purbajaya
inginkan adalah bertemuu dengan Ki Darma.
Rombongan kedua jumlahnya lebih kecil, hanya Purbajaya dan Raden Yudakara. Perjalanan mereka
lebih enteng sebab hanya menyusuri jalan pedati di dataran rendah dan banyak melewati
kampung-kampung besar.
Diatur sedemikian rupa dengan berbagai pertimbangan. Melakukan perjalan melalui utara seperti yang
dilakukan Purbajaya dan Raden Yudakara adalah perjalanan paling mudah. Namun hal ini tidak bisa
dilakukan dengan rombongan besar. Walau pun menyandang tugas "resmi" yang direstui pimpinan
tertinggi militer, namun perjalanan ini tetap memendam tugas rahasia yang tak diketahui negara. Pasukan
ini diusahakan jangan terlalu banyak bertemu orang ramai.
Jalur utara itu daerah ramai tapi juga kerawanannya lumayan. Walau pun wilayah ini sudah masuk ke
Carbon, namun yang namanya daerah perbatasan berbagai kemungkinan bisa terjadi. Orang Pajajaran
kerapkali menyusup ke wilayah Carbon. Mungkin hanya sebatas melakukan perdagangan gelap, namun
bisa juga karena keperluan mata-mata. Oleh sebab itu, memamerkan pasukan berkuda ke daerah ramai
seperti ini amat mengundang perhatian. Lain halnya dengan perjalanan yang dilakukan kedua orang itu.
Kalau ada orang Carbon melihat Raden Yudakara keluyuran di sini, tidak akan menimbulkan perhatian
khusus sebab pemuda banagsawan ini dikenal gemar keluyuran. Namun kalau pun dia memasuki wilayah
Pajajaran, maka giliran orang Pajajaranlah yang tak bercuriga apa pun, sebab khabar menunjukkan
bahwa Raden Yudakara pun di sana diakui sebagai warga.
Raden Yudakara adalah mata-mata bagi kepentingan Carbon. Dan kalau pemuda tampan ini senang
keluyuran dan berpelesir, barangkali juga karena didesak oleh kebutuhannya sebagai mata-mata.
Tidakkah kegemarannya terhadap wanita pun berangkat dari kepentingan tugasnya?
Purbajaya berpikir, begitu berbahayanya sebenarnya permainan politik itu. Kehidupan politik telah
membutakan kemanusiaan. Dalam lingkaran politik orang sulit melihat kebenaran sebab segalanya
sepertinya diatur untuk sebuah kepentingan tertentu.Orang membunuh, belum tentu dikatakan jahat.
Bahkan sebaliknya, orang berbuat kebajikan, belum tentu dasarnya kemanusiaan.
Bermain dalam politik, orang sulit menilai kemanusiaan yang hakiki. Sebab ada kalanya, kesulitan dan
kesengsaraan sengaja direkayasa agar nantinya bisa dijadikan alat untuk memenangkan kepentingan
politiknya. Begitu mungkin yang tengah dilakukan Raden Yudakara. Dia bisa bermain ke sana ke mari,
bisa menjadi ini dan itu hanya karena sebuah kepentingan dan bukan lahir dari nilai kemanusiaannya.
Sebagai contoh, di wilayah Carbon, pemuda ini dikenal sebagai keluarga bangsawan. Namun
kedudukannya sebagai apa, tak banyak orang mengenalnya. Paling orang kebanyakan hanya menilai dia
adalah seorang pemuda yang doyan pelesiran dan amat menyenangi berbagai keindahan, termasuk
keindahan kodrat wanita. Hanya sedikit saja orang yang tahu, betapa sebenarnya dia tengah mengemban
tugas sebagai mata-mata. Menurut pengakuan Pangeran Arya Damar, Raden Yudakara ini di Pajajaran
adalah kerabat pejabat di sana juga. Khabarnya Pangeran Yudakara adalah kerabat dekatnya Ki Sunda
Sembawa, seorang kandagalante (pejabat setingkat wedana kini) di wilayah Sagaraherang ( sekitar
Subang kini). Apakah benar merupakan kerabat dekatnya Sunda Sembawa atau bukan, Purbajaya tak
bisa memastikan. Keluarga dekat pun bisa jadi, tokh antara Pajajaran dan Carbon sebenarnya masih
setunggale seturunan. Banyak kekerabatan di kalangan orang Carbon dan Pajajaran, kendati secara
politis terpisah oleh dua negri berbeda dan dua paham berbeda. Namun hanya sekadar rekayasa pun
bisa saja. Tokh seperti tadi diutarakan, untuk kepentingan politik, hal apa pun bisa terjadi. Dan benar
atau tidak hal ini terjadi, yang pasti kehidupan akal-akalan tidak mungkin bisa berdiri sendiri. Tentu yang
keluyuran di Pajajaran sebagai mata-mata bukan Raden Yudakara seorang. Tentu Ki Sunda Sembawa
sebagai pejabat penting di wilayah Sagaraherang pun ikut terlibat di dalamnya. Berapa jumlah orang
Pajajaran yang sama-sama ikut terlibat mempunyai misi "dua muka" barangkali sudah sulit dihitung. Dan
orang-orang yang demikian sebenarnya amat membahayakan tatanan negara. Oleh orang Pajajaran,
Raden Yudakara mungkin dianggap warga yang baik dan terhormat. Mereka salah penilaian. Padahal
yang sebenarnya terjadi, Raden Yudakara itu orang yang kelak akan sangat merugikan mereka.
Beruntung Raden Yudakara bekerja untuk kepentingan Carbon. Bagaimana halnya kalau keadaan
sebenarnya terbalik? Ow, Purbajaya tak mau melantur jauh seperti itu. Namun yang tetap dia yakini,
permainan politi ini benar-benar berbahaya sebab nilai kemanusiaan bisa buram dana sulit ditentukan
warna aslinya.
 
 Purbajaya ngeri, sebab suatu saat peranan Raden Yudakara pun akan jatuh padanya. Melalui Raden
Yudakara, dia pun kelak akan menjadi "warga" Pajajaran. Dia akan disuruh "mengabdi" kepada
Pajajaran. Sungguh ngeri, mengabdi tapi untuk menghancurkan. Di sana dia harus berbuat baik tapi untuk
melakukan kebohongan. Kebaikan yang dia kerjakan nanti, sebetulnya untuk menciptakan kejahatan,
paling tidak mengkhianati sesama manusia dan menghancurkan kepercayaan kemanusiaan. Inilah yang
mengerikan baginya. Dia akan melakukan penipuan. Bagaimana penilaian agama terhadap perilaku
seperti ini? Purbajaya tak sanggup memikirkannya.
Purbajaya bingung. Sejauh mana agama memperkenankan perilaku manusia dalam melakukan
pembelaan terhadap negara. Apakah menipu untuk mempermainkan kepercayaan orang demi
kepentingan negara diperkenankan agama?
Purbajaya sama sekali tak sanggup mengira-ngira. Hanya saja melihat sikap dan tindak-tanduk Raden
Yudakara di perjalanan dalam tugasnya sebagai mata-mata di mata Purbajaya terasa keji. Di saat-saat
tertentu Raden Yudakara harus mengecoh orang. Apa yang dia kemukakan kepada siapa pun selalu
diimbuhi kebohongan. Mungkin bukan tabiat Raden Yudakara begitu. Namun tugasnya sebagai
mata-mata mengharuskannya begitu. Tak boleh mengemukakan apa yang sebetulnya terjadi atau apa
yang sebetulnya tengah dilakukan.
Sampai pada suatu hari, Raden Yudakara betul-betul menemukan sebuah khabar yang amat
mengejutkan. Bahkan Purbajaya pun sama terkejut mendengar berita ini.
"Betulkah ada serombongan pasukan Pakuan yanag menuju Cakrabuana?" tanya Raden Yudakara
sambil santai membenahi pelana kudanya. Suaranya datar, pertanyaan pun dilakukan sambil lalu saja.
Padahal Purbajaya menduga, berita ini amat mengejutkan Raden Yudakara.
"Betul. Semuanya terdiri dari kaum perwira, belasan jumlahnya," tutur seorang tua setengah baya. Dia
adalah pedagang penyelundup dari wilayah perbatasan utara yang dengan susah-payah menyelundupkan
kain halus ke wilayah Pajajaran. Semenjak perdagangan antarpulau Pajajaran terhambat oleh gerakan
Carbon, wilayah mereka kesulitan mendatangkan kain halus dari Nagri Cina, Parasi atau pun Campa.
Agar kain halus tetap didapat, maka pedagang Pajajaran harus "minta tolong" kepada pedagang Carbon.
Maka jadilah perdagangan gelap antara dua negri. Secara politik mereka bermusuhan namun dagang
jalan terus. Mengapa tidak boleh dilakukan, tokh orang Carbon (pesisir) pun butuh hasil bumi dari
wilayah pegunungan atau pedalaman. Pajajaranlah yang menguasainya.
"Betul, belasan jumlahnya," pedagang asal Carbon ini seperti ingin lebih memberi keyakinan.
"Di Cakrabuana memang banyak binatang buruan. Namun rasanya jumlahnya sudah semakin berkurang
... " gumam Raden Yudakara masih bicara sambil lalu.
"Berburu? Masa serombongan perwira Pajajaran jauh-jauh dari wilayah barat berburu ke timur?"
pesdagang itu melkecehkan pendapat Raden Yudakara.
"Habis, apa yang mereka kerjakan di sana?" tanya Raden Yudakara.
"Mereka akan mengejar seorang buruan!"
"Siapa yang akan mereka buru?"
"Ki Darma!"
"Ki Darma? Siapa dia?" Raden Yudakara pura-pura tak kenal.
"Dia orang terkenal di Pajajaran. Namun sungguh aneh, dia dicintai rakyatnya, namun dibenci penguasa
negri. Orang Pajajaran kok aneh-aneh. Sepertinya apa yang dianggap baik oleh rakyatnya, tidak
demikian oleh penguasanya. Aneh sekali ada beda pendapat antara pemerintah dan rakyatnya," tutur
pedagang itu.
Raden Yudakara tidak mengomentari pertanyaan orang itu yang bagi pandangan pemuda itu, ini hanyalah
pendapat dungu dari masyarakat awam semata.
Namun demikian, Raden Yudakara tetap memperlihatkan mimik, seolah-olah dia menyimak dan
menghargai wawasan politik pedagang gelap itu.
"Hanya sedikit saja yang aku tahu. Ki Darma itu pemberontak dan pengkhianat." Raden Yudakara
mencoba menggiring pendapat orang itu.
"Pengkhianat bagi penguasa tidak berarti penjahat bagi rakyat. Oleh rakyatnya, Ki Darma malah
dianggap pembela."
"Apa sih yang dia bela?"
"Paling tidak, Ki Darma berani mengeritik penguasa. Sang Prabu Ratu Sakti orang kejam. Ayahandanya
malah gemar berperang, sehingga kerapkali rakyat sengsara karena peperangan. Hanya Ki Darma yang
berani memperingatkan, bahwa peperangan membuat rakyat menderita dan pembangunan terhambat."
Raden Yudakara mengangguk-angguk, entah apa maksudnya.
Tapi sampai pedagang gelap itu pergi, Raden Yudakara masih termenung. Purbajaya tak tahu, apa yang
sebenarnya tengah dipikirkan pemuda bangsawan itu.
"Saya kira, perjalanan kita sedikit terganggu, Raden ..." gumam Purbajaya.
"Sangat terganggu ..." jawab Raden Yudakara masih merenung."Kita pasti bentrok dengan mereka,"
sambungnya dengan wajah sedikit tegang.
 
 "Kita harus berusaha memberitahu rekan-rekan kita yang tengah bergerak di selatan. Mungkin
sebaiknya perjalanan mereka diurungkan dulu agar bentrokan dengan musuh tidak terjadi," kata
Purbajaya.
"Justru kita dipaksa harus bentrok dengan musuh," ujar Raden Yudakara.
"Mengapa? Tujuan kita hanya menempur Ki Darma. Sekarang tugas kita ringan sebab tanpa kita tempur,
Ki Darma sudah diserang orang lain. Kita hemat tenaga, Raden," kata Purbajaya mengeluarkan
pendapatanya.
"Belasan perwira Pakuan datang ke Cakrabuana mungkin bukan hanya sekadar mau menangkap Ki
Darma saja, melainkan juga akan mencari tombak pusaka Cuntangbarang," ujar Raden Yudakara.
Purbajaya jadi ingat perbincangan beberapa waktu lalu di paseban Puri Arya Damar. Bahwa penyerbuan
ke Cakrabuana yang direncanakan ini, selain ingin melumpuhkan Ki Darma juga akan mencoba merebut
tombak pusaka itu yang diduga dikuasai tokoh itu.
Purbajaya terkejut. Kalau begitu, benar yang dikatakan Raden Yudakara, bentrokan dengan musuh tak
bisa dielakkan sebab satu sama lain memiliki keinginan yang sama, yaitu merebut tombak pusaka
Cuntang Barang.
"Mari, kita harus berpacu melawan waktu. Pasukan di selatan harus kita hubungi dan jangan sampai
terlambat datang," kata Raden Yudakara membedal tali kekang kudanya. Kuda warna hitam dengan
tubuh tinggi besar itu mendadak berlari kencang karena hentakan-hentakan keras dari penunggangnya.
Purbajaya pun ikut membedal kuda sehingga dia pun sama-sama mencongklang keras di atas punggung
kuda.
Kata Raden Yudakara, bersama pasukan yang tengah bergerak di selatan, harus membuat siasat
melepas domba bertarung dengan domba untuk kemenangan srigala.
"Biarkan dulu Ki Darma dan para perwira Pakuan saling timpuk. Kemenangan salah satu dari mereka
adalah kelelahan. Maka di saat itulah pasukan Carbon menggempurnya," kata Raden Yudakara
membayangkan rencananya dengan bibir tersenyum puas, seolah-olah rencana itu sudah benar-benar
tengah berjalan.
Begitu cerdik dan ganas siasat ini. Namun demikian, Purbajaya hanya bisa membedal kudanya
keras-keras agar bisa mengikuti kecepatan lari kuda yang dimiliki Raden Yudakara.
Mereka berdua benar-benar harus berpacu melawan waktu. Mereka harus bisa mencegat pasukan
Carbon sebelum pasukan itu telanjur bertemu musuh. Namun usaha ini amatlah sulit. Kedua orang ini
tadinya tak dipersiapkan untuk melakukan perjalanan tergesa-gesa. Mereka tak dibekali kuda yang bisa
merambah perjalanan sulit dan keras sebab kuda-kuda mereka biasanya dilatih untuk kepentingan
upacara kenegaraan saja. Kuda-kuda itu hanya berpenampilan bagus dan gagah namun kurang tangguh
kekuatannya terutama bila digunakan untuk perjalanan keras.
Hanya beberapa saat saja kuda-kuda itu bisa memacu langkah dengan cepat. Namun untuk selanjutnya,
kuda-kuda tinggi besar itu kedodoran. Kuda milik Purbajaya bahkan sudah tersungkur duluan.
"Raden ...!" Purbajaya berteriak takut ditinggal. Raden Yudakara pun terpaksa turun dari kudanya.
Untuk beberapa saat dia memeriksa kudanya. Ada buih putih di mulutnya. Barangkali sebentar lagi kuda
hitam tegap itu pun akan mengalami nasib yang sama yang dialami kuda milik Purbajaya.
"Sialan ...!" gerutu Raden Yudakara.
Jalan pedati semakin sempit dan menaik ke arah perbukitan. Tentu saja ini merepotkan bila di saat
genting dan perjalanan berat seperti ini, kuda mereka malah mogok.
"Mustinya kuda ini kuat berlari dua hari penuh tanpa henti," omel Raden Yudakara dengan wajah
cemberut.
"Perjalanan kuda itu memang sudah dua hari. Barangkali kalau kita tak banyak belok kiri-kanan, kuda
akan sanggup melaksanakan tugasnya sampai di tujuan," kata Purbajaya sedikit menyalahkan Raden
Yudakara yang banyak berhenti untuk menggoda wanita cantik.
Mendapatkan kritik ini, Raden Yudakara hanya menoleh sebentar.
"Ayo kita jalan kaki saja!" kata Raden Yudakara.
Purbajaya segera mengikuti pemuda bangsawan itu yang segera berlari cepat menaiki bukit. Dia nampak
meloncat-loncat lincah dari ujung batu ke ujung batu lainnya. Sepertinya dia sengaja hendak menguji atau
menghukum Purbajaya yang barusan berani menyalahkannya.
Sadar akan hal ini, Purbajaya pun tak sungkan-sungkan melayaninya.
Dia tak mau menyusul langkah Raden Yudakara. Namun demikian, dia pun tak mau tertinggal jauh oleh
pemuda bangsawan itu. Dengan kata lain, Purbajaya ingin memperlihatkan bahwa kemampuannya tidak
berada terlalu jauh di bawah kemampuan Raden Yudakara.
 
 Dan memang terbukti, sebenarnya kemampuan Purbajaya tidak berada jauh di bawah kemampuan
Raden Yudakara. Kian menuju bukit, tenaga yang dikeluarkan oleh Purbajaya tidak semakin
ditingkatkan. Namun kenyataannya, jarak antara keduanya tak begitu jauh. Purbajaya tidak pernah
ketinggalan oleh larinya Raden Yudakara.Bahkan ada kelebihannya, kalau Raden Yudakara sudah
nampak kelelahan, tapi Purbajaya biasa-biasa saja. Dalam hal tenaga, Purbajaya unggul satu tingkat.
Namun Raden Yudakara tak mau memperlihatkan kelemahannya ini. Dia terus saja berlari kendat pun
kecepatannya kian berkurang juga.
Purbajaya sadar, sebetulnya Raden Yudakara memiliki rasa angkuh dan tak mau kalah oleh orang lain.
Dia tak mau mengakui kelemahannya atau kelemahannya tak boleh diketahui orang lain.Oleh sebab itu
nampak sekali, kendati dia sudah lelah tapi masih tetap memaksa lari.
Melihat ini, Purbajaya segera mengurangi langkahnya. Dia bahkan teriak-teriak minta agar Raden
Yudakara suka menghentikan langkahnya untuk memberi istirahat pada Purbajaya.
"Tolonglah Raden, saya sudah tak kuat ..." keluh Purbajaya pura-pura terengah-engah. Beberapa kali dia
pura-pura tersedak batuk dan menyeka jidatnya.
"Dasar engkau orang lemah, Purba ..." omel Raden Yudakara sambil menghentikan larinya dan mencoba
menahan napasnya yang memburu. Kalau Raden Yudakara berusahan menahan napasnya yang
kecapekan, sebaliknya Purbajaya berusaha mnemperlihatkan bahwa dirinya amat capek. Akal ini
ternyata berhasil. Raden Yudakara tersenyum puas karena sudah membuktikan "kehebatan"nya.
Purbajaya kalah olehnya dalam adu lari. Dia punya kesempatan untuk "memberi" istirahat kepada
Purbajaya.
"Tenaga saja memang payah. Tapi sebetulnya ada sesuatu yang tengah saya pikirkan,"kata Purbajaya
masih terengah-engah.
"Kau memikirkan apa?" tanya Raden Yudakara.
Purbajaya sebenarnya memang tak mengada-ada. Ada sesuatu yang tengah dia pikirkan.
"Jalanan ini sempit, mendaki dan berbatu. Mungkinkah pasukan kita bisa tiba di sini?" tanya Purbajaya.
"Maksudmu mereka tak pernah ke sini?"
Keduanya terdiam sejenak.
"Atau mereka ke sini," cetus Raden Yudakara.
"Tapi tanpa berkuda," sambung Purbajaya.
"Kau benar. Kuda terbaik mana pun tak mungkin sanggup merambah perjalanan di sini. Jalanan terlalu
sempit untuk tubuh seekor kuda paling kecil pun. Jadi satu-satunya jalan tentu merambahnya dengan
jalan kaki seperti kita ini," kata Raden Yudakara sambil kembali meloncat dan berjalan cepat.
Purbajaya kembali mengikutinya dari belakang. Namun belum juga jauh, Raden Yudakara sudah kembali
merandek.
"Ada apa, Raden?"
"Kalau perjalanan mereka dilakukan dengan berjalan kaki, mereka tak bisa cepat."
"Artinya bisa kita susul," Purbajaya menyambung.
"Tidakkah malah musuh yang mendahului menyusul pasukan kita?" tanya Raden Yudakara dengan
khawatir. Purbajaya pun kaget dengan perkataan Raden Yudakara ini.
"Raden tahu pasti?"
"Hanya perkiraan saja. Tapi aku khawatir kalau hal ini memang terjadi.
 "Kalau begitu, kita harus cepat pergi ke atas," seru Purbajaya. Dan kembali kjeduanya merambah
jalanan sempit di kaki bukit.
Namun puncak Gunung Cakrabuana kendati tak setinggi Ciremai, namun bukanlah sebuah tempat yang
enak untuk dirambah.
 
 Perjalanan ke puncak gunung, semakin ke atas semakin pekat karena hutan pohonkareumbi, kuray dan
pohoncarik angin (sebangsa tumbuhan keras) dengan daun-daunnya yang rimbun dan gelap. Udara pun
menjadi dingin dan lembab membuat pernapasan mudah sesak.
Begitu pun yang terjadi pada Purbajaya. Kendati udara dingin menusuk tulang sumsum, namun sekujur
tubuh bersimbah keringat.
Di antara simbahan keringat dan pernapasan yang berat, Purbajaya kembali berpikir tentang perjalanan
ini. Mengapa ini musti dilakukan?
Dia sudah terlalu jauh melibatkan diri dengan urusan yang dia sendiri tak mengerti. Semakin tidak
mengerti ketika Paman Jayaratu secara rahasia datang ke puri dan dengan terang-terangan menyalahkan
kebijakan Pangeran Arya Damar yang telah menciptakan misi ini.
Di malam kehadiran Paman Jayaratu, seharusnya Purbajaya menyadari kalau dia telah mengabdi kepada
kelompok yang salah. Tokh Paman Jayaratu telah mengerutkan kening sejak ketika dirinya dipanggil
menghadap ke Puri Arya Damar. Kemudian secara diam-diam Paman Jayaratu mengunjungi puri untuk
menentang kebijakan penghuni puri itu.
Ah, kukira Paman Jayaratu pun keliru, mengapa dia menyembunyikan sesuatu? Purbajaya kini mulai bisa
menduga, Paman Jayaratu sebenarnya bukan orang sembarangan. Melihat pembicaraan malam itu, di
mana Paman Jayaratu tak memiliki basa-basi kesopanan dalam berhadapan dengan Pangeran Arya
Damar, hanya membuktikan bahwa kedudukan dan derajat keduanya sejajar. Hanya entah mengapa
Paman Jayaratu keluar dari lingkungan istana dan seperti memilih tidak punya peran apa-apa di
Pakungwati. Sengaja dibuang oleh lingkungannya ataukah dia sendiri yang membuang diri?
Benar atau tidak perkiraan ini, yang jelas hal-hal rahasia yang menyangkut diri Paman Jayaratu sedikit
banyaknya telah merugikan Purbajaya. Karena serba dirahasiakan, akhirnya Purbajaya menjadi buta
dalam mengenal kehidupan istana.
Lamunan terhenti ketika tiba-tiba Raden Yudakara menghentikan larinya.
"Kau simaklah, ada orang bertengkar ... " bisik Raden Yudakara.
Purbajaya pun segera memasang telinga baik-baik. Benar saja, sayup-sayup terdengar ada orang tengah
bersilat lidah.
"Paman Jayaratu ... " bisik Purbajaya kaget.
"Aku kenal, suara satunya lagi adalah Ki Albani," bisik Raden Yudakara. Ya, Purbajaya pun dengar, ada
suara Ki Albani, yaitu perwira utama paling tua dari tiga perwira yang memimpin pasukan ke tempat ini.
Raden Yudakara dan Purbajaya berindap-indap, mencoba mendekati tempat di mana terdengar dua
pembicaraan yang menegangkan. Dan dua orang itu akhirnya berhasil mengintip ke tempat yang
dimaksud. Mereka adalah pasukan Carbon yang dipimpin oleh empat perwira dan terlihat tengah
mengerumuni Paman Jayaratu. Mereka semuanya terlibat dalam pembicaraan serius dan terkesan
berselisih pendapat.
"Engkau tak punya hak mencegah kami berbuat sesuatu di sini," kata Ki Albani. Ketiga orang perwira
lainnya yaitu Ki Aspahar, Ki Maarsonah dan Ki Aliman nampak mengurung Paman Jayaratu sepertinya
siap melakukan sesuatu. Ki Aliman yang pemberang bahkan nampak telah memegang gagang golok yang
terselip di pinggang kirinya.
"Dulu memang engkau atasan kami dan kami dipaksa hormat dan taat padamu. Namun itu puluhan tahun
silam. Ketaatan kami kini hanya diabdikan untuk Pangeran Arya Damar." kata Ki Aspahar, sama
bersikap menantang.
"Ini bukan pembicaraan mengenai hak atau bukan. Yang aku ingin lakukan demi keselamatan kita
bersama," Paman Jayartu menjawab tenang. Tak ada sikap menantang pada dirinya. Bahkan berdiri pun
terlihat seenaknya saja.
"Keselamatan kami adalah bila kami taat perintah Pangeran Arya Damar. Hanya dia yang janjikan kami
punya peranan penting di Pakungwati. Sementara selama kami ikut engkau puluhan tahun, tidak secuil
pun engkau memberikan harapan akan masa depan kami.Yang engkau pikirkan hanya mengabdi dan
mengabdi saja. Kerbau yang menarik gerobak saja punya keinginan karena dirinya merasa memiliki jasa.
Orang tolollah yang mati-matian mengabdi tanpa memiliki ambisi apa pun," kata Ki Aspahar lagi.
 
 Diserang dengan kata-kata tajam seperti itu, Paman Jayaratu hanya tersenyum tipis.
"Mungkin itu yang membedakan aku dengan kalian. Aku bukan saudagar atau pedagang, jadinya dalam
bekerja tidak berniat mencari keuntungan. Dulu aku memimpin ribuan prajurit hanya karena pengabdian
agar Carbon besar dan berwibawa. Kalau pun aku sebut keuntungan, itulah yang aku cari. Nah,
kuharap, kau pun seperti itu. Kalau mau cari keuntungan, jadilah pedagang, jangan jadi pejabat. Tokh
antara Carbon dan Pajajaran, sejak dimulainya permusuhan sudah terbiasa kita melihat pedagang gelap.
Untuk mencari keuntungan dalam berniaga, cara apa pun memang bisa dilakukan tapi tidak untuk
pengabdian kepada negara," jawab Paman Jayaratu panjang-lebar."Sebelum terlambat, cepat jauhilah Si
Arya Damar," sambungnya lagi. Nada suaranya mulai tegas.
"Huah! Petuahmu hanya bisa dimengerti kaum wiku di Pajajaran, di mana banyak orang membatasi diri
dalam berupaya dan berkehendak. Ucapanmu hanya pantas disampaikan kepada orang-orang yang tak
memiliki keinginan untuk maju. Dengarkan Jayaratu, aku pun kini tengah mengabdi. Namun mengabdi
kepada suatu cita-cita. Kini aku mengabdi kepada orang lain, dan pada gilirannya orang lainlah yang
kelak akan mengabdi ke padaku. Itulah yang namanya cita-cita!" Ki Aspahar berkata lantang, diiyakan
oleh tiga perwi?ra lainnya.
Paman Jayaratu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar pendapat ini.
"Engkau pikirkanlah, hai Jayaratu. Orang yang tak berambisi sepertimu dan bekerja hanya untuk
pengabdian, maka di akhir hayat tak akan berketentuan. Kau tak punya apa-apa, tidak juga sebuah
pengaruh. Hanya selama terpakai engkau dihargai, namun sesudah itu, semua orang melupakanmu.
Melihat kau jujur, siapa yang memujimu? Kejujuran adalah malapetaka, baik bagi dirimu, begitu pun bagi
orang lain. Apa kau tak pernah mengira bahwa kejujuran yang engkau buat sebetulnya telah mengganggu
kehidupan orang lain? Itulah sebabnya kau digeser dan dicampakkan karena terlalu mementingkan
kejujuran!" kata Ki Albani dengan nada mengejek.
"Alhamdulillah, aku merasa tidak sakit hati dimusuhi dan dienyahkan karena mempertahankan kejujuran
dan ketulusan. Dan sekali lagi aku harapkan, sebaiknya kalian seperti aku. Ingatlah, Carbon tengah
mengalami kemunduran. Kalau kita tak bersatu melakukan kejujuran dan ketulusan dalam
mempertahankan keberadaan negri, maka tanah yang kita pijak ini akan hancur-lebur. Hanya melulu
bekerja untuk saling berebut menguruskan kepentingan ambisi pribadi malah akan mempercepat
keruntuhan," kata Paman Jayaratu berusaha menyadarkan mereka.
"Hahaha! Malah itu yang diinginkan Pangeran Arya Damar.Untuk melahirkan seorang pahlawan harus
diciptakan kemelut dulu. Dan bila kau sanggup mengamankan dan meredam kemelut, kaulah
pahlawannya!" kata Ki Aspahar.
"Masya Allah... begitu kejamnya jalan pikiran kalian. Aspahar, bertobatlah engkau kepada Tuhan agar
sebelum kematian dicabut dosamu diampuni"
"Sudahlah Jayaratu, kau mundur dari sini dan biarkan kami menggempur Ki Darma!"
"Kalian hanya membuang tenaga menggempur Ki Darma. Ki Darma memang musuh besar tapi sebatas
ketika dia menjadi perwira besar Kerajaan Pajajaran. Kini dia mengasingkan diri di puncak dan sudah
tak ingin melibatkan diri ke kancah percaturan dunia. Jangan ganggu ketentramannya," Paman Jayaratu
masih berupaya mencegah pasukan berangkat.
"Ki Darma itu penjahat besar. Buktinya dia selalu dikejar oleh orang-orangnya sendiri. Dia curi tombak
pusaka Cuntang Barang. Dan kau harus tahu, Cuntang Barang itu mustinya jadi milik Carbon," kata Ki
Aliman.
"Jangan terkecoh siasat Arya Damar. Cuntang Barang tak ke mana-mana. Benda pusaka itu sudah
dirawat oleh Kangjeng Susuhunan Jati.Arya Damar menyuruh kalian untuk menyerbu Ki Darma karena
dia takut kepada perwira tangguh itu. Arya Damar punya dosa besar kepada Ki Darma. Dia bantai
keluarga Ki Darma. Secara pengecut Arya Damar menggempur wilayah Tanjungpura!"
"Ah, orang tua ini rewel, Kakang. Sebaiknya kita habisi saja dia!" Ki Albani tak sabar lagi dan segera
mencabut senjatanya.
"Benar, bunuh Jarayatu!" teriak Ki Aspahar menyerupai komando.
Tentu saja teriak-teriakan ini mengundang emosi yang lainnya. Dan dengan serta-merta Ki Jayaratu
dikepung semua orang.
 Purbajaya yang sejak tadi bingung mengamati pertengkaran, akan segera meloncat ketika melihat Paman
Jayaratu dikeroyok belasan orang dengan senjata penuh. Namun sebelum niatnya terlaksana, bahunya
sudah ditarik Raden Yudakara.
"Engkau mau apa?" tanya Raden Yudakara masih memegang bahu Purbajaya.
Sejenak Purbajaya tak bisa menjawab. Dia memang bingung. Paman Jayartu adalah gurunya, juga orang
yang sudah dianggap sebagai keluarganya. Tapi kalau mau Paman Jayaratu berarti melawan atasannya.
Bukankah dirinya kini telah emenjadi anak buah keempat orang perwira itu?
"Raden, aku hanya tak mau melihat Paman Jayaratu celaka,"
"Engkau prajurit. Jangan memikirkan urusan-urusan besar dan pelik. Ini urusan politik. Siapa benar siapa
salah, belum tentu kita tahu. Kalau kau menyangka Ki Jayaratu punya pendapat yang benar, mengapa dia
tersingkir dari istana? Seharusnya Ki Jayaratu memegang jabatan yang kini dikuasai Pangeran Arya
Damar, nyatanya tidak. Itu karena dia tak punya persesuaian paham dengan sesama pejabat lainnya,"
kata Raden Yudakara."Pangeran Suwarga,hulu-jurit
(panglima perang) tidak melakukan tekanan berat kepada Pajajaran. Dia terlalu taat kepada keinginan
Kangjeng Susuhunan Jati yang menempatkan Carbon bukan negara militer, namun lebih menitikberatkan
sebagai pusatnya pengembangan agama.
Kangjeng Susuhunan Jati menginginkan dalam mencoba menguasai Pajajaran seutuhnya tidak dilakukan
dengan peperangan namun lebih menitikberatkan kepada upaya pendekatan agama. Sementara Pangeran
Arya Damar lebih memilih pendekatan kekuatan militer. Hanya sekadar perbedaan pendapat mengenai
cara menanganinya saja sebab tujuannya semua sama yaitu seluruh wilayah Pajajaran seutuhnya harus
masuk Carbon. Sementara Ki Jayaratu tidak sepakat dengan pendapat yang mana pun. Dia malah
berkeinginan agar antara Pajajaran dan Carbon hidup berdampingan sebagai dua kekuatan di Jawa
Kulon yang hidup saling menghormati. Dan akhirnya semuanya tak punya kesesuaian paham. Nah, kalau
kau mau melibatkan diri mau ikut ke mana? Engkau orang kecil, maka tak akan mampu ikut ke
mana-mana, selain hanya memiliki keterikatan sebagai prajurit semata," Raden Yudakara bicara
panjang-lebar dan Purbajaya menyimak pendapat pemuda bangsawan itu sambil terus mengawasi
jalannya pertempuran.
Paman Jayaratu memang hebat. Bahkan baru kali inilah Purbajaya melihat kehebatan orang tua itu.
Selama bertahun-tahun dia ikut Paman Jayaratu, baru kali ini menyaksikan orang tua itu bertempur
sungguhan.
Paman Jayaratu dikeroyok empat orang perwira sekaligus, sementara belasan prajurit mengepungnya
dengan rapat. Purbajaya hanya pernah mengenal kehebatan Ki Aliman sebab tempo hari pernah adu
kepandaian dengan orang itu. Kata orang,kepandaian Ki Aliman hanya menempati peringkat empat dari
empat perwira utama Puri Arya Damar. Artinya, ketiga orang perwira lainnya berada di atas kepandaian
Ki Aliman. Purbajaya khawatir, apakah Paman Jayaratu bisa mengimbangi pengeroyokan ini?
Tapi seperti tadi tersaksikan, Paman Jayaratu memang hebat. Kalau pertempuran ini dilakukan satu
lawan satu, maka Purbajaya bisa memastikan kalau keempat orang perwira itu tidak akan mampu
menandinginya. Ki Albani merupakan orang paling pandai . Menurut penilaian Purbajaya, orang itu
kepandaiannya berada satu tingkat di bawah Paman Jayaratu.
Tapi Paman Jayaratu yang tak menggunakan senjata, dikepung empat orang yang kesemuanya berbekal
senjata keras. Ki Aliman memegang golok mengkilap sakingtajamnya, Ki Marsonah berbekal ruyung
baja, Ki Aspahar dengan senjata trisula yang juga terbuat dari baja hitam, serta Ki Albani nampak
memutar-mutar tongkat besi.
 
 Purbajaya tak pernah menyaksikan Paman Jayaratu bertempur. Dengan demikian, dia tak tahu
bagaimana kegemaran dan cara Paman Jayaratu berkelahi. Apakah dalam setiap perkelahian Paman
Jayaratu tidak pernah menggunakan senjata, atau hanya karena dalam perkelahian yang ini dia merasa
tak perlu untuk menggunakannya? Yang jelas bisa dilihat, betapa sibuknya Paman Jayaratu dalam
meladeni pengeroyokan ini. Dia harus berkelit ke sana ke mari untuk menghindari serbuan empat jenis
senjata yang gaya menyerangnya berbeda karakter. Beberapa kali Paman Jayaratu harus bergulingan di
atas tanah dalam upaya menghindarkan serangan lawan. Beberapa kali pula Paman Jayaratu terlihat
menerobos dan mencoba melumpuhkan kepungan lawan.
Amat beruntung, karena keempat jenis senjata itu berlainan karakter, maka kepungan tidak bisa rapat
dan ketat. Senjata ruyung dan tongkat besi yang terus berputar dan menimbulkan gaung keras, harus
menempatkan diri dengan jarak antara yang tepat sebab kalau di antara mereka jaraknya tidak tepat,
maka terjadi benturan di antara sesamanya sendiri. Hanya senjata trisula di tangan Ki Aspahar dan golok
di tangan Ki Albani yang bisa kerja sama melakukan serangan. Secara bergiliran trisula dan golok
melakukan tusukan atau sabetan.
Namun Paman Jayaratu selalu bisa meloloskan diri dari bentuk serangan apa pun, kendati dilakukan
dengan susah-payah dan mengurangi daya serangnya sendiri.
Keuletan Paman Jayaratu dalam mempertahankan diri rupanya amat menjengkelkan keempat orang
perwira itu. Buktinya, setelah melalui berbagai upaya mereka belum juga sanggup melumpuhkan Paman
Jayaratu, Ki Albani berseru keras dan memerintahkan belasan prajuritnya untuk ikut menerjang.
Maka pertempuran semakin seru dan tak beraturan sebab belasan orang mengeroyok satu orang.
Belasan prajurit yang hanya memiliki kepandaian biasa-biasa saja, hanya menyerang serabutan tanpa
disertai strategi yang benar. Kalau Paman Jayaratu mau, sebetulnya dalam satu gerakan saja sudah bisa
melabas habis belas prajurit itu. Namun barangkali itu tidak akan dilakukan Paman Jayaratu. Selain orang
tua itu tidak memiliki perangai kejam, juga mungkin disengaja. Belasan penyerang yang tak memilki
kepandaian berarti, hanya akan mengacaukan strategi penyerang-penyerang berilmu saja. Terbukti,
banyaknya pengeroyok, malah serangan menjadi tak efektif. Gerakan keempat orang perwira itu malah
banyak terganggu oleh sabetan-sabetan golok tak berarti dari para prajurit. Ki Albani sudah
mengeluarkan sumpah-serapah. Dia memarahi para prajurit yang dikatakannya bodoh dan tiada guna.
Namun demikian, menghadapi pengeroyokan yang demikian ketat, Paman Jayaratu pun tak bebas
bergerak. Apalagi dia seperti tak punya niat untuk melukai para prajurit. Maka bertambah sulitlah
gerakan Paman Jayaratu.
Kini terlihat Paman Jayaratu malah mulai repot. Beberapa gebukan tongkat sempat mendarat di
punggungnya. Ketika ada tusukan trisula, Paman Jayaratu kurang sempurna menghindar sebab pada
waktu yang bersamaan ada ruyung berputar dan mengarah ubun-ubunnya.
Cras! Ujung trisula menusuk bahu Paman Jayaratu. Untuk menghindari serangan susulan, Paman Jayaratu
menggunakan ilmu trenggili dan tubuhnya berguling-guling terus. Namun demikian, serangan pukulan
tongkat dan ruyung terus mengarah padanya. Karena serangan datang bertubi, maka sambil bergulingan
Paman Jayaratu meraih sebatang ranting. Ranting itu digunakannya sebagai senjata pelindung. Oleh
Paman Jayaratu ranting itu digerakkannya ke kiri dan ke kanan. Ini bukan sabetan biasa, melainkan
sebuah sabetan dengan pengerahan tenaga dalam. Maka yang paling rugi menerima sabetan ini adalah
para prajurit yang hanya memiliki kepandaian biasa-biasa saja. Setiap pedang dan goloknya berbenturan
dengan ranting yang dipegang Paman Jayaratu, maka setiap itu pula terdengar jerit kesakitan. Senjata
mereka terlontar ke sana ke mari.
Paman Jayaratu terus dikejar oleh keempat perwira karena kemarahan mereka memuncak manakala
dilihatnya beberapa prajuritnya terluka. Dan karena kedudukan Paman Jayaratu lemah, beberapa kali
senjata lawan mendarat lagi di tubuhnya. Darah sudah mulai terlihat di sana-sini.
Melihat kejadian yang amat membahayakan ini, Purbajaya tak bisa menahan diri, dia segera meloncat
terjun ke arena pertempuran. Serangan empat perwira dicoba untuk dihadang.
"Dasar gurunya pengkhianat, muridnya poun sama pengkhianat!" dengus Ki Albani."Bunuh sekalian tikus
kecil ini!" teriaknya sambil mendahului melayangkan goloknya.
Beberapa prajurit ikut mencecarkan goloknya ke arah tubuh Purbajaya. Dan pemuda ini sebentar saja
sudah dikeroyok seperti gurunya. Dengan amat mudahnya dia menghindari serangan para prajurit. Dan
ketika Ki Aliman menyerang dengan senjatanya, Purbajaya segera menjegalnya. Pemuda itu
meningkatkan tenaganya. Dia sudah lama tak suka orang ini yang sombong dan pemarah. Dulu dia sudah
menjajalnya dan orang ini kepandaiannya satu tingkat di bawahnya. Maka didorong oleh rasa
sebalnya,Purbajaya mendahului menerjang sebelum senjata Ki Aliman datang menyerang. Gerakan Ki
Aliman kalah cepat dengan sambaran ujung kaki kanan Purbajaya.
 Maka tak ayal terdengar jeritan Ki Aliman ketika tubuhnya terlontar ke udara, kemudian jatuh berdebuk
hampir enamdepa jauhnya. Dia sudah tak bisa bangun lagi.
Ki Marsonah yang bersenjata ruyung, mencoba memutar benda itu bagaikan baling-baling. Purbajaya
terpaksa main mundur karena tak berani memapaki senjata berat itu.
Rupanya Ki Albani dan Ki Aspahar pun darahnya semakin naik demi melihat rekannya tak bisa bangun
lagi. Terlihat nyata, mereka menyerang Purbajaya habis-habisan sepertinya tubuh Purbajaya mau dia
lumatkan hari itu juga.
Paman Jayaratu dan Purbajaya terkepung lagi. Mereka berdua saling beradu punggung agar tidak
menerima serangan dari belakang.
Pertempuran berlangsung lama dan tak terasa cuaca menjadi gelap.
Purbajaya mulai terdesak karena diganggu rasa lelah. Di beberapa bagian tubuhnya terasa ada cairan
hangat mengucur. Dia menduga, darah telah mengucur karena luka-luka.
"Paman, mari kita tinggalkan tempat ini!" serunya. Rupanya Paman Jayaratu pun punya pendapat yang
sama, ingin keluar dari kepungan. Hanya saja untuk lolos dari tempat ini memang sungguh sulit.Kepungan
tetap rapat sementara baik Paman Jayaratu mau pun Purbajaya tidak mau membuka jalan darah dengan
cara mengorbankan prajurit yang tak berdosa. Purbajaya benci ini. Membuka kepungan tak bisa tapi
melakukan pembunuhan pun tak mau. Dia tak mau sesama orang Carbon jadi saling bunuh begini.
Di saat genting begini, secara tiba-tiba dari bawah lereng bukit terdengar sorak-sorai dengan puluhan
cahaya obor datang menyerbu.
Ada pasukan baru yang datang ke sini. Pasukan dari mana?
"Betul! Mereka prajurit Carbon! Mereka prajurit Carbon!" teriak suara-suara itu membahana.
Purbajaya terkesiap. Dia baru sadar kalau yang datang adalah belasan perwira Pajajaran disertai puluhan
prajurit yang pernah diberitakan kemarin.
"Masya Allah! Bodohnya aku!" keluh Purbajaya. Betul-betul bodoh. Padahal susah-payah menuju
puncak bersama Raden Yudakara karena urusan ini. Mereka tadinya ingin melaporkan kehadiran
pasukan Pajajaran ini kepada Ki Albani dan pasukannya. Raden Yudakara bahkan sudah wanti-wanti
agar diusahakan pasukan Carbon jangan dulu bertempur dengan pasukan Pajajaran dan biarkanlah
mereka saling timpuk dulu dengan Ki Darma, baru kemudian dihajar pasukan Carbon. Tapi rencana
tinggal rencana. Yang belakangan terjadi malah kebalikannya, sesama orang Carbon yang saling timpuk
duluan. Sungguh tragis dan juga sekaligus memalukan!
Hala semacam rupanya mulai disadari oleh yang lainnya. Buktinya ketika terdengar teriak-teriakan dari
bawah lereng, pertempuran mendadak berhenti. Semuanya meneliti ke bawah lereng dan baru kelabakan
sesudah tahu siapa yang datang.
"Sial ... Pasukan Pajajaran datang!" teriak Ki Albani.
"Ayo menyingkir!" teriak Ki Marsonah.
Namun gerakan mereka mendadak terhambat sebab puluhan anak panah melesat dari bawah lereng
pertanda musuh melepaskan senjata anak-panah.
Beberapa saat kemudian terdengar jerit kesakitan karena beberapa orang prajurit Carbon tertusuk
anak-panah. Hanya orang berkepandaian tinggi yang bisa menghindar dari serangan anak-panah yang
dilepas dalam gelapnya malam.
"Dari mana mereka tahu kita di sini?" tanya Ki Albani sambil miringkan tubuhnya ke samping karena ada
anak-panah melesat ke arahnya.
"Aku tahu sejak dini. Justru kalian mau aku beritahu. Tapi apa daya, kalian malah saling timpuk dengan
sesama," kata Purbajaya marah dan kesal.
"Dasar engkau anak dungu. Seharusnya kau khabarkan sejak tadi. Kau malah sibuk membantu Si
Jayaratu yang pengkhianat itu!" teriak Ki Aspahar gemas. Dia bahkan hendak memukul Purbajaya namun
segera diurungkan sebab hujan anak-panah kembali mencecarnya.
"Jahanam! Kita serbu mereka! Ayo, kalian berlindung di belakangku, biar hujan anak-panah aku yang
sambut!" teriak Ki Marsonah sambil memutar ruyungnya. Benda itu diputarnya keras-keras untuk
membentengi tubuhnya dan sekalian juga buat melindungi para prajurit yang berlindung di belakangnya.
Ki Albani yang berdiri di samping pun sama memutar tongkat besi. Maka terdengar suara keras dari dua
senjata berlainan. Setiap ada anak-panah melesat segera tertangkis oleh putaran senjata mereka.
Usaha ini berhasil. Pasukan Ki Albani bisa merangsek mendekati pasukan musuh yang bersenjata panah.
Purbajaya mengerti, pasukan panah akan kesulitan kalau diajak melakukan pertempuran jarak dekat.
Mereka tak akan punya waktu mementangkan busurnya.
 
 Namun serangan prajurit di bawah pimpinan Ki Albani ini disambut oleh pasukan musuh lapis kedua.
Purbajaya terkejut. Pasukan panah sebetulnya hanyaalah pasukan pelopor. Tugas mereka hanya
membuat lawan panik saja. Sedangkan serangan sesungguhnya justru datang dari lapis kedua inilah.
Purbajaya terkesiap, betapa kemarin pagi dia menerima khabar bahwa yang datang ke puncak
Cakrabuana ini adalah belasan perwira handal yang ditugaskan menangkap Ki Darma. Serasa kecil nyali
Purbajaya setelah menerima penjelasan Paman Jayaratu beberapa waktu lalu. Kata orang tua itu, Raja
Pajajaran selalu memiliki seribu orang pasukanBalamati (pengawal raja) yang tugasnya membela Raja
dan negara sampai titik darah penghabisan. Itulah sebabnya,dayo (ibunegri) Pakuan selamat dari serbuan
pasukan Banten (ketika Pajajaran dikuasai oleh Sang Prabu Ratu Dewata, 1535-1543 Masehi). Ki
Darma yang kini mengasingkan diri di puncak Cakrabuana adalah salaha seorang anggota pasukan
Balamati dan dulu pernah ikut mempertahankan Pakuan dari gempuran pasukan Banten.
Sekarang ada belasan perwira disertai puluhan prajuritnya datang ke Cakrabuana dengan memiliki tujuan
yang sama dengan pasukan Carbon, yaitu sama-sama hendak menempur Ki Darma namun secara
kebetulan mereka bertemu dulu sebelum rencana mereka tercapai. Maka tak ada pilihan buat mereka
kecuali saling tempur.
Purbajaya merasa ngeri menghadapi pertempuran ini. Empat perwira Carbon tenaganya sudah tak utuh
lagi sebab mereka sebelumnya telah habis-habisan menempur Paman Jayaratu. Sekarang mereka harus
melawan belasan perwira Pajajaran yang masih banyak menyimpan tenaga.
Dalam keadaan terdesak seperti sekarang ini, mungkin Paman Jayaratu dan dirinya sendiri akan berpihak
kepada pasukan Carbon. Namun tentu dengan hati kesal dan pikiran kalut karena kejadian ini
sebelumnya didahului oleh peristiwa yang tidak menyenangkan.
Dengan gagah berani, tiga perwira merangsek ke depan. Mereka adalah Ki Albani, Ki Marsonah dan Ki
Aspahar karena Ki Aliman terluka parah oleh tendangan Purbajaya tadi.
Ini adalah satu-satunya pilihan dari dua pilihan terburuk. Dengan jumlah pasukan yang kecil, lebih baik
menyerang duluan ketimbang menunggu untuk diserang.
Apalagi dalam menghadapi pasukan panah, tak boleh mengambil jarak kalau tak mau jadi sasaran.
Namun sebaliknya, kalau mendahului menerjang, pasukan panah tak bisa segera melakukan aksinya.
Paman Jayaratu dan dia yang sudah terluka terpaksa memaksakan diri ikut menerjang. Seluruh sisa
prajurit Carbon pun samaa-sama ikut menerjang.
Yang amat menyebalkan hati Purbajaya, mengapa Raden Yudakara tak mau muncul di saat genting
seperti ini? Pemuda itu bahkan sejak tadi tidak pernah menampakkan batang hidungnya. Tadi siang
Raden Yudakara memang masih berada di sampingnya, bahkan memberikan nasihat agar Purbajaya tak
ikut melibatkan diri dalam pertikaian antara para perwira Cabon dan Paman Jayaratu. Namun menurut
hemat Purbajaya, tak seharusnya Raden Yudakara terus ngumpet dan membiarkan pasukan Carbon
kepayahan begini.
Pertempuran yang hanya diterangi cahaya obor di sana-sini, memang terlihat berat sebelah. Kendati
pasukan Carbon mendahului menyerang, tapi akhirnya jadi bulan-bulanan pasukan Pajajaran. Mereka
yang jumlahnya lebih kecil, akhirnya dikepung rapat oleh sejumlah pasukan yang jauh lebih besar dengan
tenaga lebih utuh
Purbajaya berjuang sekuat tenaga. Dia dikepung oleh tiga atau empat orang perwira Pajajaran, belum
tenaga beberapa orang prajurit yang membantu mereka di belakang.
Para perwira Pajajaran benar-benar hebat. Gerakan mereka cepat dan susah diikuti ke arah mana
mereka melakukan serangan. Mereka menyerang Purbajaya dengan tangan kosong tapi amat
membahayakan jiwa kalau tak hati-hati menghadapinya. Mereka menyerang dari depan, dari samping,
bahkan dari bawah dan atas sambil kaki-kaki mereka yang lincah dan ringan menotol dari satu pohon ke
pohon lain.
Namun kendati pasukan Carbon diserang rapat, ternyata tak mudah dikalahkan. Buktinya, pertempuran
di hutan pinus lereng Gunung Cakrabuana ini belum juga usai hingga malam menjelang pagi. Artinya,
pertempuran berlangsung sepanjang malam dan satu sama lain sulit mengalahkan kendati pasukan
Carbon ada di pihak yang terdesak. Hal ini terjadi barangkali karena kenekatan anggota pasukan
Carbon yang dipimpin oleh tiga perwiranya. Ki Albani, Ki Marsonah dan Ki Aspahar bertempur dengan
ganas dan mati-matian bahkan sedikit membabi-buta dalam memainkan senjatanya. Sebaliknya, belasan
perwira Pajajaran, di samping bertempur tak menggunakan senjata apa pun, mereka lebih bergerak
secara taktis dan tidak terlalu mengobral tenaga. Ini disadari oleh Purbajaya dan barangkali juga oleh
Paman Jayaratu, bahwa pasukan Pajajaran ingin membuat pasukan Carbon kalah karena kehabisan
tenaga. Mungkin mereka akan melibasnya bila lawan sudah benar-benar lumpuh kehabisan tenaga.
Siasat ini memang berhasil. Ketika hari sudah terang, kondisi tubuh ketiga orang perwira Carbon mulai
lemah. Mereka hanya sanggup menggerakkan senjata masing-masing dengan tenaga seadanya saja.
Anehnya, orang Pajajaran tak segera melumpuhkannya. Padahal dalam satu kali gerakan, ketiga perwira
Carbon sudah bisa dikalahkan.
Hati Purbajaya merasa panas. Dia berpikir orang Pajajaran ini sombong-sombong.Menganggap dirinya
sudah berada di atas angin, maka kerja mereka hanya mempermainkan lawan saja, persis seperti kucing
mempermainkan tikus sebelum dilahapnya.
Sangkaan ini meleset. Ketika ketiga orang perwira Carbon jatuh terduduk karena kelelahan, mereka tak
diganggu, apalagi dibunuhnya. Mereka hanya bersikap mengepung saja.
Kelelahan pada akhirnya mendera Purbajaya dan Paman Jayaratu juga. Kedua orang itu akhirnya
bertekuk lutut tanpa menerima serangan maut dari pihak lawan. Melihat ke sekelilinmg, hampir semua
orang-orang Carbon tergeletak, entah tewas entah pingsan atau karena kelelahan saja.
"Bunuhlah aku! Bunuhlah aku!" teriak Ki Albani seraya menjambak-jambak rambutnya sendiri. Suaranya
parau. Namun nada kesal dan marah bercampur perasaan putus asa nampak sekali pada diri perwira ini.
Sementara Ki Marsonah dan Ki Aspahar sudah tergeletak pingsan.
"Ya, bunuhlah semuanya dengan segera, sebab sesudah itu, kalian akan menghadapiku!" tiba-tiba
terdengar suara lantang tapi dengan nada acuh tak acuh sepertinya ini bukan peristiwa penting dan
mengagetkan.
Yang nampak kaget ketika mendengar suara ini adalah para perwira Pajajaran. Mereka semuanya
menatap ke tebing bagian atas.
Paman Jayaratu pun nampak terkejut. Dengan susah-payah dia berdiri dan kepalanya tengadah ke atas
tebing.
"Ki Darma ..." gumam Paman Jayaratu pelan.
Purbajaya ikut menengadah. Di atas tebing cadas nampak orang tua bertubuh ceking dengan rambut
warna perak riap-riapan tanpa ikat kepala. Dia bercelana sontog (celana sebatas betis) terbuat dari kain
kasar warna nila. Bajunya rompi dari kain kasar juga. Tidak berkancing sehingga dadanya dibiarkan
terbuka begitu saja.
Purbajaya mengeluh sebab rasanya kesulitan akan kian bertambah. Mendapat serangan perwira
Pajajaran tidak terkenal saja sudah sedemikian payahnya, apalagi ditambah dengan Ki Darma, tokoh
yang amat ditakuti semua orang.
"Kalian datang jauh-jauh dari Pakuan, apakah akan menangkapku?" tanya Ki Darma bertolak pinggang.
"Kami memang menerima perintah Ratu untuk menangkapmu. Sebetulnya Kangjeng Prabu Ratu Sakti
mengharapkanmu," kata seorang perwira Pajajaran berusia kira-kira tigapuluh tahun.
"Nah, sekarang laksanakan perintahnya agar kalian menjadi orang-orang yang taat kepada pemerintah.
Tapi hati-hati sebab aku akan melawan kalian," kata Ki Darma masih bertolak pinggang.
"Kami tak akan menangkapmu."
"Mengapa?"
"Karena kami tak mau!"
"Bocah edan. Apa perlunya kalian jauh-jauh datang ke sini kalau tujuannya hanya mau berkhianat
terhadap ratumu?" tanya Ki Darma mengerutkan alis.
"Pertama kami tak akan mampu mengungguli kesaktiamu dan keduanya kami tak mau mentaati perintah
Ratu."
"Hahaha! Semua orang senang bersandiwara!" Ki Darma terkekeh-kekeh sepertinya ini percakapan
penuh kelucuan.
"Ini adalah ucapan yang keluar dari hati kami yang suci. Kami mau berhenti dari pengabdian kami kepada
Kangjeng Prabu."
"Salah sendiri, kenapa kalian mengabdi kepada orang dan bukan kepada negara?" tanya Ki Darma.
"Itulah sebabnya, kami akan bergabung denganmu!"
"Mengabdi padaku?"
"Bukan. Bergabung denganmu."
"Nanti aku disalahkan lagi sama penguasa Pakuan. Disangkanya aku mempengaruhi kalian untuk
sama-sama tak menyukai penguasa!" ujar Ki Darma.
"Itu kami yang bertanggungjawab."
"Coba alasan kalian, mengapa kabur dari Pakuan?" tanya Ki Darma.
"Perilaku Kangjeng Prabu semakin menjadi-jadi saja. Rakyat dibebani pajak tinggi, yang membangkang
ditangkap. Banyak negara kecil di bawah Pakuan diserang habis-habaisan hanya karena enggan
membayar pajak."
 "Penyakit lama ... Sialan!" gumam Ki Darma.
"Maka kami akan ikut Aki saja ..."
"Hati-hati bicaramu. Aku tak mengumpulkan orang-orang yang membangkang kepada penguasa. Kalau
mau membangkang, boleh pergi sendiri-sendiri. Lagi pula aku nyelonong memasuki wilayah orang lain,
maksudku tiada lain selain ingin menyepi jauh dari semua berita-berita buruk mengenai Pajajaran," kata
Ki Darma.
"Ya, kami akan jalan sendiri-sendiri, namun secara kebetulan, kami akan tinggal di sini saja bersama
Aki," kata sang perwira.
"Dasar anak bodoh!"
"Tapi ada satu hal yang mengganjal pikiran kami. Kami diutus ke sini juga untuk merebut tombak pusaka
Cuntang Barang. Betulkah ada pada Aki?" tanya perwira muda itu.
"Kalian tanya sendiri pada hatimu, apa yakin aku nyolong benda milik orang lain?" Ki Darma malah balik
bertanya.
"Saya tak yakin, Aki ... "
"Nah, kau sudah jawab itu!"
"Kau memang mencuri tombak pusaka Cuntang Barang. Kembalikanlah sebab itu milik Carbon!" Ki
Albani tiba-tiba bersuara. Dia masih terlihat duduk dengan lesu di tanah. Darah masih mengucur dari
sana-sini.
"Hai, engkau bekas perwira Carbon yang puluhan tahun jadi musuh besarku, coba kau katakan Jayaratu,
bagaimana caranya agar orang-orang dungu dari negrimu mengerti perihal aku!" tiba-tiba Ki Darma
berkata kepada Paman Jayaratu.
Sambil mata masih terpejam untuk mengatur pernapasan, Paman Jayaratu mengatakan bahwa Ki Darma
tidak pernah berupaya menguasai tombak pusaka itu.
"Memang dulu ada berita bahwa ketika Karatuan Talaga jatuh ke tangan Carbon, tombak pusaka
Cuntang Barang milik Talaga dibawa lari ke puncak Cakrabuana oleh salah seorang perwiranya yang tak
mau tunduk, yaitu Ki Dita Jayaratu dan disembunyikan di sekitar sini. Ki Darma hanya secara kebetulan
saja datang ke sini dan tak tahu menahu urusan itu," tutur Paman Jayaratu.
"Jadi sekarang Cuntang Barang ada di mana?" tanya Ki Albani. Dia pun duduk tegak sambil sesekali
mengatur pernapasan.
"Cuntang Barang sudah diamankan oleh Kangjeng Susuhunan Jati di Carbon."
"Mengapa aku tak tahu?"
"Majikanmu Arya Damar yang bertanggungjawab, mengapa pengetahuanmu sampai keliru seperti ini?"
Paman Jayaratu balik bertanya.
"Bahkan Panageran Arya Damarlah yang mengutus kami untuk merebut benda pusaka itu dari Ki
Darma!" Ki Albani masih bertahan dengan pendapatnya.
"Sudah aku katakan, Arya Damar yang harus bertanggungjawab!" potong lagi Paman Jayaratu.
"Hahaha! Ternyata semua orang memperebutkan aku!" Ki Darma terkekeh-kekeh.
Mendengar ucapan ini, semua orang hanya termenung tak tentu apa yang dipikirkan.
"Lihatlah, korban-korban bergelimpangan. Mereka tidak mengerti, mengapa harus begitu ..." gumam Ki
Darma.
Semuanya membisu, seolah-olah membenarkan pendapat Ki Darma. Mereka semua menatap
tubuh-tubuhu korban yang bergfelimpangan. Ada yang membujur kaku namun ada juga yang
berguling-guling atau mengerang menahan sakit.
Ki Darma tertawa-tawa. Namun suaranya terdengar dingin menyeramkan. Sesudah itu dia berlalu
meninggalkan mereka dan sayup-sayup terdengar senandung Ki Darma. Parau, gersang tapi memaksa
orang harus berpikir.
Hidup banyak menawarkan sesuatu
tapi bila tak sanggup memilihnya
maka kita adalah orang-orang yang kalah!

 ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan...

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa...