Langsung ke konten utama

KEMELUT DI CAKRA BUANA 4

PERJALANAN menuju Karatuan Talaga dilakukan santai saja. Di samping merasa tak perlu melakukan
dengan cepat karena tak diburu oleh waktu, mereka pun membutuhkan banyak pengalaman di jalan,
terutama untuk keperluan pelatihan tiga orang murid Ki Dita.
"Tahun lalu calon ksatria dihadang perampok," kata Ki Dita.
"Ouw! Yang namanya diserang musuh bukan latihan. Itu sungguhan!" Wista yang bertubuh ceking kurus
berseru kaget.
Purbajaya ingat, pemuda ceking ini adalah pemuda yang lari duluan ketika Aditia dihajar Purbajaya. Dia
heran, mengapa pemuda bernyali kecil seperti ini bisa "lulus testing" dan ikut rombongan ini.
"Dasar kau penakut, Wista!" cerca Aditia yang mencongklang di sampingnya.
"Pertarungan sesungguhnya adalah pelatihan paling baik dan paling sempurna," kata Ki Dita membuat
ngeri pemuda Wista.
"Kalau saja ayahmu bukan pejabat penting, tak nanti kau bisa ikut rombongan ini," Yaksa menyela,
membuat wajah Wista merah padam.
"Jangan bawa-bawa ayahandaku!" Wista memotong dengan wajah merah-padam.
"Tapi omonganku benar. Kau jangan memalukan ayahmu," desak Yaksa."Susah-payah ayahmu berjuang
agar kau diterima dalam pelatihan ini. Padahal kau tahu, hanya pemuda berkualitas saja yang bisa
diterima dalam pelatihan ini," kata Yaksa lagi.
Untuk ke sekian kalinya Purbajaya senyum dikulum. Di mana-mana selalu saja ada yang mengandalkan
kekuasaan untuk kepentingan diri pribadi.
Cita-cita untuk menempatkan anak menjadi ksatria negara memang merupakan dambaan semua orang
tua. Para pemuda pun berhal begitu. Mereka merasa keberadaan dan kebanggaannya akan tercipta bila
bisa masuk menjadi jajaran perwira di Sumedanglarang. Kalau ayahnya pejabat, maka sang pejabat akan
berupaya memasukkan anaknya jadi perwira. Perwira adalah batu loncatan untuk menjadi pejabat
penting di istana. Jadi sang ayah musti mempersiapkan anaknya juga agar kelak menjadi pejabat di sana.
"Dengan masuknya engkau, sebetulnya ada orang lain yang peluangnya tertutup padahal dia lulus testing,"
kata Ki Dita ikut menyela."Tapi aku sebagai gurumu takkan putus asa. Asalkan engkau sanggup
memperlihatkan kemampuan, semua orang tidak akan kecewa kepadamu," sambungnya.
Pemuda Wista mengangguk-angguk mengiyakan walau pun ada rona merah di wajahnya karena banyak
diperingatkan orang.
"Ini adalah perjalanan muhibah yang cukup berat. Namun dengan demikian akan merupakan ajang
pelatihan yang baik bagi Gan Wista. Saya yakin, sepulangnya dari muhibah ini, Gan Wista pasti punya
pengalaman berarti," kata Paman Ranu memberikan semangat sambil melecut kudanya.
Rombongan bertujuh ini masing-masing mengendarai seekor kuda yang gagah dan tinggi besar. Mereka
adalah kuda-kuda pilihan, khusus didatangkan dari Sumba melalui Pelabuhan Muhara Jati, Carbon.
Tentu saja tidak semua orang mendapatkan fasilitas istimewa seperti ini, kecuali orang-orang tertentu
yang dihargai pemerintah.
Kata Ki Dita dan Ki Bagus Sura, kuda-kuda ini terbaik di negerinya. Bila melakukan perjalanan cepat
tanpa henti, maka kuda gagah ini bisa berlari selama dua hari penuh tanpa makan dan minum. Dan bila
kuda-kuda ini dipacu, sebenarnya menuju Karatuan Talaga tidak akan menghabiskan waktu dua hari.
Namun kata Ki Bagus Sura,kuda mahal perawatannya pun mahal. Kalau terjadi apa-apa pada kuda ini,
negara akan banyak dirugikan. Justru karena kuda ini mahal, maka mereka menggunakannya dengan
apik sekali. Mereka berpendapat, kuda mahal harus dijaga keutuhannya. Jangan sampai sakit apalagi
cedera. Sebab kalau begitu, perawatan akan lebih mahal mengurus kuda ketimbang orang yang sakit.
Lagi pula semakin santai di perjalanan dan semakin lama menempuh perjalanan, maka akan semakin
banyak menerima pengalaman berharga, terutama bagi calon ksatria.
Dan benar saja, karena perjalanan dilakukan berlama-lama, maka banyak pengalaman dilalui, termasuk
pengalaman "penting" yang selalu "ditunggu". Di tengah jalan, di tengah hutan pohon pinus, mereka
dihadang orang jahat.
Ketika itu rombongan baru saja memasuki kawasan hutan pinus di tepi Sungai Cimanuk. Di daerah ini
kerap kali kaum pedagang antara dua negri selalu dihadang perampok. Perampok ini bisa saja penjahat
biasa namun bisa juga karena alasan "politik"
Seperti yang pernah diketahui oleh Purbajaya kemelut berkepanjangan antara Carbon dan Pajajaran
telah melahirkan berbagai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Melemahnya kekuasaan
Pajajaran di wilayah timur dan utara telah menyebabkan banyak negara kecil di wilayah itu memilih
memindahkan kesetiaannya kepada Carbon. Namun tentu saja tak semua orang punya pendapat seperti
itu. Ada juga kelompok yang tetap mempertahankan kesetiaannya kepada Pajajaran. Namun kelompok
seperti ini kebanyakan terasing dari percaturan negri bersangkutan. Dan walau pun tidak terang-terangan
dianggap musuh negara namun mereka terputus komunikasinya dari dunia ramai.
Di Karatuan Sumedanglarang pun ada yang ingin mempertahankan kesetiaannya kepada Pajajaran.
Begitu pun di Karatuan Talaga. Mereka yang berbeda haluan, memilih mengasingkan diri. Namun yang
sikapnya keras, memberontak, membuat kekacauan atau malah menjadi perampok. Mereka tinggal di
gunung, di hutan lebat dan untuk mempertahankan hidupnya, kerjanya mencegat kaum pedagang di
sepanjang jalan pedati antara Galuh (Ciamis) dan Pakuan (Bogor).
Sejak zamannya Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja raja Pajajaran yang pertama (1482-1521
Masehi), telah dibangun semacam "high-way" Pajajaran yang menyambungkan wilayah Galuh dengan
Pakuan. Jalan raya penghubung kehidupan politik dan ekonomi ini dari Galuh menuju Kawali, Rajagaluh,
Talaga, Sumedang, terus ke utara ke wilayah Sagaraherang (Subang),ke barat menuju Cikao (wilayah
Purwakarta), Tanjungpura (Karawang), agak membelok lagi ke selatan menuju Muaraberes (wilayah
Bekasi), Cibarusa, Cileungsi, dan kembali munuju arah barat sampai kedayo (ibu kota) Pajajaran yaitu
Pakuan. Dari Pakuan sebenarnya jalan ini terus bersambung ke wilayah Karatuan Tanjungbarat di tepian
Sungai Cisadane dan akhirnya langsung menuju ke wilayah Banten.
Jalan raya ini sudah biasa dilalui pedati kaum saudagar atau perjalanan para petugas negara dalam
berkomunikasi dengan negri-negri di sepanjang itu. Namun karena perobahan politik, jalan raya
sepanjang ini kini tidak lagi digunakan secara sambung-menyambung sebab telah dibatasi oleh
kepentingan berbeda antara Carbon dan Pajajaran.
Rombongan Ki Bagus Sura pantas diminati para penjahat sebab selain mereka menunggang kuda bagus,
jenis pakaian yang mereka kenakan pun amat menandakan bahwa yang sedang berkuda beriringan ini
adalah kaum bangsawan. Apalagi pada punggung kuda Paman Ranu baik di kiri mau pun di kanannya
menggandul peti-peti kayu cendana berukir indah. Peti-peti ini oleh Purbajaya diketahui sebagai
benda-benda cinderamata yang sedianya akan diserahkan kepada penguasa Karatuan Talaga.
"Ranu, jaga peti-peti itu ... " Ki Bagus Sura memperingatkan akan adanya bahaya.
"Ya, amankan barang-barang itu," gumam Ki Dita. Namun aneh sekali, mata Ki Dita berbinar-binar
seperti bergembira. Mengapa dihadang perampok malah bergembira, pikir Purbajaya. Namun
belakangan akhirnya sadar. Barangkali ini dianggapnya sebuah peristiwa baik bagi orang-orang yang
tengah menjalani latihan. Bukankah pernah dikatakan bahwa pertempuran sesungguhnya merupakan
pelatihan paling sempurna?
Maklum akan isi hati Ki Dita, Purbajaya tidak ikut maju. Apalagi baik Ki Bagus Sura mau pun Paman
Ranu, bahkan Ki Dita sendiri, enak-enak saja duduk di atas punggung kuda.
"Turunlah kalian semua. Dan kalau ingin selamat, serahkan peti-peti berukir itu!" teriak perampok.
"Juga uang-uang kalian. Uang apa saja, apakah itu uang logam dari Portegis, Cina, Campa, Parasi atau
uang jenis apa pun!" teriak yang lain.
"Kuda kalian pun harus ditambat di sini. Haha, itu kuda bagus, cocok untuk digunakan di pegunungan!"
"Jangan lupa pakaian mereka, Jaya!"
"Ya, betul, tanggalkan pula pakaian kalian. Itu buatan wilayah Hindustan. Di sini barang seperti itu susah!"
Semua anggota perampok saling mengeluarkan pendapat yang pokoknya meminta agar semua harta yang
ada pada rombongan muhibah ini diserahkan pada mereka.
Bergetar hati Purbajaya. Jumlah perampok ada sekitar limabelas orang. Bukan takut pada mereka, tokh
anggota muhibah tujuh orang dirasa cukup melayani mereka. Tapi masalahnya, yang "harus" melawan
perampok sudah diputuskan hanya tiga orang saja, yaitu mereka yang sedang menjalani pelatihan. Ketika
Purbajaya melirik, nampak tiga orang calon ksatria itu wajahnya tegang. Wista belum apa-apa malah
sudah mengucurkan keringat deras di seluruh wajahnya yang ceking.
Ketika Ki Dita memerintahkan mereka, Aditia dan Yaksalah yang lebih dahulu meloncat. Sementara
Wista masih terlihat duduk di atas punggung kuda dengan tubuh mendadak bongkok.
Purbajaya belum bisa menduga, mengapa murid-murid Ki Dita tidak meloloskan senjata masing-masing
padahal pedang sudah siap di pinggang. Mungkin mereka tak berhati kejam dan tak mau melumpuhkan
lawan hingga terluka apalagi membunuh. Namun bisa juga karena alasan lain. Dasar gerakan ilmu
kewiraan mereka mengandalkan kehalusan. Bila sedang latihan pun, gerakan mereka diiringi petikan
dawai kecapi dan alunan suara suling. Sementara golok dan pedang hanyalah lambang dari kekuatan
kasar.
 Lawan cepat menduga bahwa mereka akan mendapatkan perlawanan . Karena itu, mereka bersiap
untuk mengepung.
Aditia dan Yaksa sudah bergerak ke depan. Sementara Wista masih tak beranjak dari punggung kuda,
kecuali wajahnya yang pucat-pasi. Namun tingkah dua-duanya sebetulnya tak disetujui Purbajaya. Wista
amat memalukan tapi Aditia dan Yaksa pun amat semberono. Mereka mendahului melakukan serangan
amat tidak tepat. Dengan jumlah tenaga hanya terdiri dua orang saja lebih baik mengambil posisi bertahan
ketimbang menyerang. Taktik bertahan tak selamanya punya arti tidak menyerang. Dalam bertahan paling
tidak bisa mempelajari gaya serangan lawan. Menurut hemat Purbajaya kita baru bisa melakukan
serangan total kalau sudah bisa mengukur seberapa jauh tingkat kepandaian lawan. Optimiskah Aditia
dan Yaksa kalau kepandaian mereka sanggup mengungguli lawan?
Maka pertempuran pun terjadilah. Aditia dan Yaksa menghambur ke depan, disambut pula oleh serbuan
yang sama dari pihak lawan dengan senjata terhunus.
Aditia dan Yaksa dikepung rapat. Golok dan pedang menerjang kedua orang itu dari kiri, kanan dan
depan. Kalau orang biasa menerima serangan seperti itu, barangkali hanya dalam sesaat tubuhnya sudah
tercincang habis. Tidak demikian dengan Aditia dan Yaksa. Dan Purbajaya boleh memuji sebab kedua
orang pemuda itu bisa menghindari berbagai serangan lawan dengan cukup baik.
Untuk beberapa lama, pertempuran ini enak ditonton. Para pengepung yang beringas, ditepis oleh
gerakan amat halus dan indah dilihat. Bagi orang awam, tontonan ini lebih terlihat aneh. Masa sabetan
golok dan pedang hanya dikelit dengan gerak "tari".
Tapi Purbajaya bisa menikmatinya dengan baik. Betapa tarian itu memperlihatkan gerakan taktis dan
amat pas. Serangan pengepung, ditepisnya dengan kelitan-kelitan yang tak memerlukan tenaga tapi pas
dalam membuyarkannya.
Amat indah. Namun sampai kapan ini akan berlangsung?
Nampaknya kedua orang pemuda itu terlalu asyik memperagakan taktik bertahan, padahal dalam
gebrakan pertama, justru mereka yang menyerang. Ini amat tidak efektif. Baik Aditia mau pun Yaksa
telah mengabaikan prinsip bertempur. Harus diingat, bertempur itu untuk mengalahkan. Jadi kendati yang
dilakukan adalah taktik bertahan, namun tujuan utama tetap harus mengalahkan lawan. Apa pun yang
dilakukan, tujuan akhir adalah kemenangan.
Purbajaya pernah diajari oleh Paman Jayaratu, bahwa setiap kali lawan menyerang, makan akan terkuak
kekosongan pertahanan. Itulah peluang kita untuk balik menyerang.
Purbajaya menilai, sebetulnya rombongan perampok ini hanya memiliki tenaga kasar saja dan
kepandaiannya pun biasa-biasa, tak ada yang istimewa. Hanya tampang dan gerakannya serangannya
saja yang ganas sebab tujuannya mungkin untuk menakut-nakuti lawan. Setiap serangan, mereka lakukan
dengan membabi-buta, kurang terarah dan terkesan semberono. Lawan yang begini amat mudah
dipatahkan serangannya dengan cara memanfaatkan tenaganya. Namun sungguh aneh, peluang-peluang
seperti ini tak dimanfaatkan oleh Aditia dan Yaksa. Disengajakah ini?
 Purbajaya teringat, ketika dia diserang pemuda ini beberapa hari lalu, Aditia malah bernafsu ingin
mengalahkan dirinya. Serangannya malah tidak memperlihatkan kehalusan gerak sebab waktu itu Aditia
tengah geram dan penuh emosi. Gerakannya ganas dan terkesan ingin melukai bahkan membunuhnya.
Namun kenapa kepada komplotan perampok ini baik Aditia mau pun Yaksa seperti punya perasaan
"welas-asih"? Barangkali dua orang murid ini ingat pesan guru bahwa perjalanan ini dianggap sebagai
ajang pelatihan semata. Kalau pun musti bertarung betulan tapi jangan sampai membunuh betulan. Begitu
barangkali. Sementara beberapa hari lalu kepada Purbajaya malah dianggapnya sebagai ajang
"sungguhan" dan musti membabat habis dirinya. Sialan benar, pikir Purbajaya sambil terus menyaksikan
jalannya pertempuran.
Terlihat ada tiga orang yang sekaligus mencecar Aditia dengan pedangnya. Dua orang datang dari
samping dan seorang lagi berada di tengah. Ketiga serangan itu diarahkan ke bagian tubuh paling lemah.
Serangan dari kiri sebuah tusukan pedang mengarah perut samping bagian kiri dan serangan pedang
kedua datang dari kanan akan mengarah perut bagian kanan. Sementara penyerang dari depan
mengayunkan senjatanya untuk memenggal kepala.
Dengan amat cepatnya Aditia mundurkan langkah sambil doyongkan tubuh ke belakang. Kedua tusukan
pedang luput tak mengarah sasaran dan ayunan dari depan yang mengarah leher pun hanya lewat
sejengkal saja dari sasaran. Namun ketiga orang itu terus mencecarnya dengan serangan-serangan
susulan sehingga Aditia main mundur terus padahal dari belakangnya penyerang lain mulai berdatangan
pula . Dari belakangnya, ada tiga tusukan trisula yang sekaligus ingin menerobos ke punggung pemuda
itu.
"Wista, bantu aku!" teriak Aditia sesudah menjetuhkan diri ke atas tanah berdebu guna menghindari
tusukan tiga buah trisula.
"Purbajaya, sialan kau malah diam saja!" giliran Wista yang teriak kepada Purbajaya.
"Lho, aku kan tidak ikut latihan?" jawab Purbajaya masih menclok di atas punggung kuda.
"Bangsat! Kau ini pengecut sekali!" Wista mencoba menyabetkan ujung cameti kuda terbuat dari ekor
ikan pari ke arah wajah Purbajaya. Sudah barang tentu Purbajaya tidak mau begitu saja wajahnya kena
sabetan ujung cameti. Dengan miringkan wajah sedikit saja cameti berlalu tak mengarah sasaran. Wista
penasaran serangannya gagal. Maka lagi-lagi dia menyerang dengan cameti, namun juga lagi-lagi dia
gagal. Karena kesal, akhirnya Wista malah mengejar-ngejar ke mana kuda Purbajaya beranjak.
Melihat adegan ganjil ini, ada beberapa anggota perampok yang ketawa karena merasa lucu. Namun Ki
Dita wajahnya merah padam. Mungkin marah dan malu oleh sikap Wista.
"Wista, berhenti kau!" teriak Ki Dita gemas. Namun ujung cameti pemuda itu sudah terlanjur melayang
lagi. Dan kali ini Purbajaya sudah tak sempat lagi menjauhkan kudanya. Maka satu-satunya jalan ialah
menarik ujung cameti keras-keras. Tak ayal tubuh Wista terjengkang ke depan. Celakanya, tubuh ceking
itu malah jatuh di tengah arena pertempuran. Maka akibatnya, Wista pun jadi sasaran penyerangan para
perampok.
Baru saja Wista berdiri, sudah disambut hujan serangan. Pemuda ceking ini berteriak dan matanya
membelalak saking terkejut dan ngerinya. Dia jumpalitan beberapa kali ke belakang dan jatuh berdebuk
di atas tanah keras berbatu. Sambil menyeringai kesakitan, Wista mencoba duduk. Namun baru saja
hendak bernapas, serangan lain datang mencecarnya. Untuk kedua kalinya, tubuh Wista jumpalitan lagi.
 Boleh jadi Wista penakut. Namun gerakan saltonya sebetulnya boleh juga. Walau pun lintang-pukang
dan terlihat tak tenang, nyatanya dia berhasil menggagalkan semua serangan lawan.
Menurut penilaian Purbajaya, pemuda ini sebetulnya punya bakat juga. Hanya saja yang membuat
gerakannya buruk karena katenangannya diganggu rasa takut.
Yang nampak mengkhawatirkan perasaan Purbajaya malah nasib pemuda Yaksa. Dia memang
pemberani namun semberono, tak beda dengan Aditia. Mungkin juga karena didasarkan pada sikapnya
yang agak pemberang. Beberapa hari lalu pemuda ini ikut mengeroyok Purbajaya di taman puri Ki Bagus
Sura. Pemuda ini terlihat garang dan kalau bicara selalu mengejek. Hanya menandakan Yaksa ini orang
tinggi hati. Menurut Purbajaya, orang boleh berani namun sikap hati-hati tetap harus dijaga. Di sepanjang
jalan, Yaksa suka berkilah kalau kejahatan tak boleh dibiarkan.
"Engkau juga orang jahat karena suka menggoda wanita!" katanya pada Purbajaya. Yaksa tetap
menuduh kalau Purbajaya telah berlaku cabul, atau sekurang-kurangnya telah mencoba merayu wanita
sebab malam-malam mengobrol berduaan di taman dan itu melanggar etika sopan-santun.
Ingat ini Purbajaya senyum sendiri. Lelaki ngobrol dengan wanita masuk ke dalam tindak kejahatan.
Begitu dalam kamus Yaksa. Makanya tak heran malam itu Yaksa amat marah, sama marahnya dengan
Aditia. Yaksa amat bernafsu untuk memukul dan mencederai Purbajaya.
Sekarang dalam menghadapi perampok, alasan untuk melenyapkan kejahatan dari muka bumi semakin
jelas. Makanya Yaksa bertempur penuh semangat walau ya, dilakukan dengan semberono. Bila Aditia
hati-hati saking tak mau menyerang adalah Yaksa yang kebalikannya. Dia terus-terusan menggempur
lawan kendati tak memikirkan akan risikonya. Banyak pukulan telak menghunjam tubuh lawan namun tak
urung dia pun terkena beberapa sabetan senjata tajam.
Kini suasana sudah amat membahayakan ketiga orang itu. Kepungan semakin rapat dan serangan
semakin gencar. Bila keadaan dibiarkan berlarut-larut tentu akan berakibat buruk kepada nasib para
pemuda itu.
Purbajaya ingin minta izin untuk bergabung dan terjun ke arena pertempuran. Namun pada saat yang
sama, Ki Dita sudah turun tangan. Hanya dalam waktu yang singkat, belasan anggota perampok itu
lintang-pukang dihajar Ki Dita. Para perampok bagaikan daun kering tertiup angin. Tubuh-tubuh mereka
beterbangan ke sana ke mari, sisanya jadi bulan-bulanan ketiga orang muda itu.
Tak ada yang mati memang. Tapi tubuh para perampok bergeletakan. Beberapa di antaranya
berguling-guling sambil mengerang kesakitan. Yang tersisa mungkin yang agak jauh dari arena saja. Dan
manakala melihat banyak teman-temannya rontok, mereka pun segera mengambil langkah seribu,
membiarkan yang luka begitu saja.
Aditia dan Ki Dita menghampiri Yaksa yang terluka di beberapa bagian tubuhnya. Sementara Wista
bergegas menghampiri Purbajaya.
"Selamat. Kau hebat, Wista ... " Purbajaya ingin menyalami pemuda itu. Namun Wista mengelak. Dan
"plak-plak!", tangan Wista melayang dua kali menampar pipi kiri dan kanan Purbajaya.
"Huh, dasar pengecut!" teriak Wista berang.
Purbajaya menatap pemuda itu dengan senyum masam.
"Kau patut dicurigai. Barangkali engkau memikirkan kami mati di sini!" teriak Wista lagi marah sekali.
 ***
 Yaksa banyak menerima luka berdarah. Namun demikian, Purbajaya mendapatkan kalau itu sebenarnya
hanya luka biasa dan tak membahayakan nyawanya.
Untuk mengeringkan luka itu, Purbajaya sengaja mengumpulkan daun-daun sirih yang kebetulan banyak
terdapat di sekitar hutan. Sesudah itu dia menghampiri Yaksa.
"Mau apa kau ke sini?" Wista yang tengah merawat luka temannya berkata ketus.
Purbajaya segera menyodorkan lembaran daun sirih.
"Tidak perlu. Pergi sana!" kata Wista menepiskan sodoran tangan Purbajaya.
Purbajaya tak banyak bicara, berjingkat menghampiri Paman Ranu.
"Paman, tolong tumbuk yang halus lembar daun sirih ini. Lantas borehkan pada luka Yaksa," kata
Purbajaya menyodorkan daun sirih.
Dengan sigapnya, Paman Ranu mengerjakan apa yang diminta Purbajaya. Sesudah itu memborehkan
ramuan itu ke setiap bagian tubuh Yaksa yang luka.
Melihat Yaksa mau menerima pertolongan yang bukan dari Purbajaya, pemuda ini hanya senyum masam.
Aneh sekali, pikirnya. Hanya karena satu masalaha saja orang bisa punya kebencian sebesar itu. Hanya
satu masalah? Hanya sebesar itu? Benarkah?
Purbajaya ingat ucapan Nyimas Yuning Purnama. Betapa Aditia sakit hati karena beberapa kali cintanya
ditolak, sementara gadis itu "mandah" saja dipermainkan lelaki lain.
"Tapi Aditia merasa bermasalah dengan kita bukan melulu urusan Si Yuning saja," kata Ki Bagus Sura di
saat-saat istirahat di tengah perjalanan."Sebetulnya itu juga bawaan dari masalah ayahnya juga," lanjut
orang tua itu.
Aditia itu anak pejabat penting di Sumedanglarang bernama Ki Sanjadirja. Sesama pejabat ada yang
bersaing ingin duduk paling dekat dengan Kangjeng Pangeran Santri. Untuk itu, mereka berupaya untuk
menjadi orang terpercaya.
"Tahun-tahun sebelumnya, Ki Sanjadirja banyak diutus untuk melakukan kunjungan muhibah ke
beberapa negara. Entah mengapa,belakangan tugas ini diserahkan Kangjeng Pangeran padaku," tutur Ki
Bagus Sura.
Tugas dipindahkan seperti ini tentu amat merisaukan Ki Sanjadirja. Dia punya kesan seolah-olah
kemampuan dirinya tak terpakai. Tapi belakangan, mereka pun malah menuduh Ki Bagus Sura yang
punya gara-gara. Katanya Ki Bagus Sura melakukan tindakan tak terpuji.
"Aku dituding cari muka dan katanya telah menjelek-jelekkan mereka. Padahal selahannya bukan itu.
Ketika berkunjung ke wilayah Tanjungpura, pernah terjadi salah paham sehingga pejabat di sana merasa
tersinggung oleh perilaku Ki Sanja. Akibatnya, tugas selanjutnya aku yang jalankan. Maka ditambah lagi
oleh penolakan cinta anaknya kepada Si Yuning, maka semakin runyam hubungan kami," tutur Ki Bagus
Sura lagi.
"Pantas kalau begitu .... " gumam Purbajaya."Tapi, adakah cara pemecahannya agar pertikaian tidak
berlarut-larut?" tanya Purbajaya.
"Ini bukan sekadar piring yang pecah, namun karena kami telah bersebrangan paham. Sanjadirja itu
orangnya penuh ambisi. Dia menginginkan jadi orang kuat dan hanya dia yang dipercaya pihak penguasa.
Dengan seperti itu sulit akur, kecuali kita mau berada di bawah pengaruhnya dan jangan mencoba
menentang kehendaknya atau bahkan menjadi pesaingnya," kata Ki Bagus Sura.
"Mengapa Ki Bagus malah jadi pesaingnya?" tanya Purbajaya.
"Aku tak bermaksud begitu. Tujuanku hanya mengabdi. Itu saja. Kalau belakangan Kangjeng Pangeran
lebih mempercayaiku, itu bukan sebuah dosa," jawab Ki Bagus Sura.
"Hubungan Ki Bagus dengan Ki Dita bagaimana?"
"Ki Dita itu menurutku orang baik. Kelihatannya dia ingin netral. Tapi urusan kewiraan Ki Sanja yang
pegang. Jadi otomatis dia ada di bawah kendali Ki Sanja. Maka tak ada anjing yang tak setia tuannya,"
kata Ki Bagus Sura lagi.
Purbajaya pun bisa melihat, betapa di dalam perjalanan ini, hubungan antara Ki Bagus Sura dan Ki Dita
seperti terhalang pagar tembok. Ki Dita lebih banyak bercakap-cakap dengan ketiga orang muridnya
dan sebaliknya Ki Bagus Sura banyak mengobrol dengan Purbajaya atau Paman Ranu. Namun
demikian, Purbajaya bisa merasakan, hanya Aditia dan dua orang temannya saja yang benar-benar
memperlihatkan sikap permusuhan. Ki Dita tidak memperlihatkan sorot kebencian kecuali bersikap acuh
tak acuh saja.
 
 "Tidak bersahabat tapi kok mau melakukan perjalanan bersama?" tanya Purbajaya heran.
"Kami sama-sama mengemban tugas. Sungguh tak baik di hadapan Pangeran memperlihatkan kurangnya
persatuan," jawab Ki Bagus Sura menghela napas.
Sesudah dirasa cukup beristirahat dan sesudah dilihatnya pemuda Yaksa bisa melanjutkan perjalanan,
maka mereka pun menaiki kuda masing-masing untuk meneruskan perjalanan.
Ini adalah hari kedua, hari yang bila perjalanan lancar maka seharusnya sudah tiba di tempat tujuan.
Namun berhubung perjalanan dilakukan dengan santai, ditambah oleh gangguan keamanan di tengah
jalan, diperkirakan perjalanan baru menempuh sepertiganya saja. Kata Ki Bagus Sura, perjalanan dua
pertiganya lagi mungkin bisa diselesaikan dalam waktu dua hari perjalanan. Apalagi perjalanan jadi
bertambah lamban sebab Yaksa yang masih luka tak bisa dibawa cepat.
Tadi malam tubuh Yaksa bahkan menggigil karena demam. Sementara usaha Purbajaya dalam
memberikan bantuan pengobatan selalu ditolaknya.
"Kalau kau tidak acuh tak acuh, barangkali Yaksa tak bakalan terluka parah," Wista masih memendam
rasa sesal yang mendalam kepada "ketololan" Purbajaya yang tak mau membantu.
"Sudah, jangan merengek seperti itu. Ini hanya akan membuat orang sombong ini jadi semakin tinggi hati,"
kata Yaksa mendelik kepada Purbajaya.
"Siapa yang bilang kalau kita butuh bantuan dia?" giliran Aditia yang mendelik dengan sorot mata panas.
"Diamlah kalian. Merasa tak bisa menari jangan lantai yang disalahkan," Ki Dita menengahi."Mungkin
benar Yaksa terluka karena tak ada bantuan dari pihak lain. Tapi kesalahan paling mendasar adalah
karena kelemahan dan ketololan kalian juga. Camkan ini, Karatuan Sumedanglarang tidak membutuhkan
ksatria lemah dan dungu dan yang kerjanya hanya merengek atau menyalahkan orang. Aneh sekali,
pemuda Purbajaya ini aku tak tahu entah siapa yang mengajarnya. Namun yang elas, dia berjiwa halus
dan tak banyak bicara. Sementara kalian ini lahir dari keluarga terhormat malah kerjanya uring-uringan
saja. Kalian harus tahu, ilmu yang kumiliki ini mengandalkan gerakan halus. Dan gerakan halus hanya bisa
dilakukan oleh orang berperangai halus juga," kata Ki Dita dengan nada penuh sesal.
Baik Aditia mau pun Wista nampak melongo demi mendengar Ki Dita menyumpahi mereka. Bahkan
Yaksa pun yang tengah luka terlihat terkejut dengan kenyataan ini.
Purbajaya bisa merasakan kekecewaan ketiga orang pemuda ini. Menurut pikiran mereka, seharusnya Ki
Dita membela mereka dan bukannya malah menyumpahi sambil balik memuji "lawan". Purbajaya ada
sedikit senang dipuji Ki Dita. Namun rasa khawatirnya pun jadi tak kepalang. Bukankah dengan kejadian
ini akan semakin menyulut kebencian ketiga orang muda itu terhadapnya?
Purbajaya jadi merasa tak enak dibuatnya.
Sesudah percakapan ini, semuanya jadi berdiam diri. Ketiga orang itu membisu seribu bahasa. Demikian
sampai perjalanan memakan waktu hampir setengah hari. Hanya desah kuda mereka yang terdengar.
Atau hanya kicauan burung walik di dahan-dahan kareumbi yang terdengar berceloteh.
 Kini sudah memasuki kawasan hutan pinus lagi dan jalanan menaik. Perasaan Purbajaya jadi tak enak
sebab perjalanan ini mengingatkannya kepada ucapan Ki Bagus Sura.
Kata orang tua itu, penghadangan oleh kaum perampok sebetulnya sudah diaggap biasa dan kebanyakan
bisa ditepis karena kepandaian mereka tak seberapa. Namun yang paling mencemaskan adalah
penghadangan yang dilakukan oleh orang-orang yang bermasalah dengan negara karena urusan politik.
"Mereka rata-rata punya kepandaian hebat sebab dulunya pun di negri ini termasuk orang penting juga,"
kata Ki Bagus Sura. Yang paling dicemaskan oleh Ki Bagus Sura adalah dikenalnya sebuah organisasi
gelap yang ramai disebut-sebut sebagai Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih. Mereka selalu
mengacaukan keamanan di sepanjang antara Sumedang dan Talaga. Mereka adalah kelompok yang
sakit hati baik kepada Sumedanglarang mau pun kepada Talaga.
"Mereka sakit hati karena Karatuan Sindangkasih dibiarkan takluk kepada Carbon. Padahal keinginan
mereka, baik Talaga mau pun Sumedanglarang harus bisa melindunginya sebagai negri bawahannya,"
kata Ki Bagus Sura.
"Begitu kuatkah pasukan itu?" tanya Purbajaya jadi merasa khawatir.
"Benar. Disebut pasukan siluman sebab tindak-tanduknya penuh misteri. Mereka menyerang secara
gelap dan melarikan diri secara gelap pula. Dalam melakukan serangan, jarang menampakkan
diri.Makanya setiap yang akan melakukan perjalanan di sepanjang Sumedang-Talaga, musti berhati-hati."
"Hebat sekali mereka ... " bisik Purbajaya terkesan.
"Khabarnya mereka dibantu oleh orang-orang pandai dari Pajajaran," jawab Ki Bagus Sura.
Jalanan semakin sempit dan menaik. Di kiri-kanannya kalau tak hutan belukar tentu jurang menganga.
Sementara jalan yang dilewati terdiri dari debu tebal dan sepertinya akan menjadi lumpur tebal pula bila
terjadi musim hujan.
Kini semua anggota rombongan semakin membisu. Tak banyak bicara bukan karena urusan cekcok tadi,
melainkan karena rasa tegang. Tak ada wajah ceria lagi, baik di wajah Ki Dita mau pun wajah Ki Bagus
Sura. Hanya Paman Ranu yang biasa. Mungkin begitu pembawaan orang tua setengah baya ini.
Agar tak terpengaruh oleh kekhawatiran semua orang, Purbajaya malah sedikit memajukan langkah
kudanya. Yang jalan di muka sekarang adalah Ki Dita dan Wista. Dengan demikian, kini Purbajaya
berjalan sejajar dengan Wista.
Namun ketika didekati Purbajaya, Wista hanya memalingkan wajah bahkan mencoba menarik kendali
kuda agar maju agak ke depan. Hanya saja tindakan itu segera diurungkannya manakala di depannya
ada hal-hal yang mencurigakan.
Matahari tak pernah tiba ke tanah di wilayah ini sebab dedaunan hutan ini begitu lebatnya. Yang ada
waktu itu hanya kabut tebal melayang-layang di antara dedaunan.
Purbajaya merasakan, betapa dinginnya hawa di sekitarnya. Mungkin lembah yang mereka lewati begitu
dalam dan tiupan angin begitu kencang di bagian dasar lembah. Kesunyian amat mencekam. Tak ada
suara burung atau pun binatang hutan di sekitarnya. Demikian miskin penghunikah hutan berkabut ini?
Purbajaya menarik tali kekang kudanya sehingga binatang itu tertahan langkahnya. Rupanya yang
menahan kaki kuda bukan Purbajaya seorang. Ki Dita dan Ki Bagus Sura pun sama
menghentikanlangkah kudanya masing-masing. Yang lainnya serentak berhenti karena ikut yang lain.
 
 Purbajaya menduga, baik Ki Bagus Sura mau pun Ki Dita sudah mencurigai keadaan sekelilingnya yang
dirasa ganjil.
Purbajaya sejak tadi memang curiga. Mustahil di tengah hutan lebat seperti ini tidak terdengar suara
binatang apa pun. Kalau sekelompok burung menjauh, binatang melata sirna dan serangga tak ada, hanya
menandakan bahwa ketentraman mereka diganggu sesuatu. Apakah itu?
Purbajaya saling pandang dengan Ki Bagus Sura. Sementara Ki Dita sudah lebih dahulu mengeluarkan
pedangnya.
Bila Ki Dita saja sudah mempersiapkan diri, hanya menandakan bahwa bahaya besar tengah
menghadang. Dan kalau dalam menghadapi perampok saja Ki Dita nampak tenang, maka mudah diduga
kalau bahaya kali ini jauh lebih bahaya ketimbang perampok.
Berdebar dada Purbajaya. Dia teringat penjelasan Ki Bagus Sura mengenai gangguan-gangguan apa saja
yang terdapat di tengah perjalanan ini.
Kini semua orang sudah menghentikan langkah kudanya masing-masing. Semuanya duduk terpaku tak
ada yang berani buka suara. Bahkan kuda-kuda pun sama tak bergerak, kecuali ekornya yang
dikibas-kibaskan.
Ketegangan dan rasa cemas terlihat jelas diwajah Ki Bagus Sura. Bahkan di kedingan udara hutan
berkabut ini, jidat Ki Bagus Sura nampak mengucurkan keringat.
"Benar ... Merekalah yang datang!" desis Ki Bagus Sura parau.
Sepasang mata Ki Bagus Sura menatap tajam ke arah pepohonan. Purbajaya jadi penasaran, apa yang
dilihat orang tua itu.
Yang dilihat di pepohonan sebenarnya hanyalah kabut tebal. Namun di sela-sela kabut warna putih,
terlihat pula ada kabut warna hijau, melayang tipis di sekitarnya. Kabut apakah ini?
Kabut hijau ini pada mulanya hanya melayang tipis saja. Tapi makin lama makin tebal sehingga seluruh
kabut berwarna hijau.
"Tutuplah hidung dan mulut!" teriak Ki Bagus Sura.
Warna hijau semakin tebal dan menutupi seluruh pandangan. Purbajaya mencoba menahan napas.
Namun sampai kapan kuat bertahan, dia tak yakin sebab kabut hijau semakin tebal saja.
Hanya selintas Purbajaya melihat teman-temannya secara beruntun melorot jatuh dari atas kudanya
masing-masing. Sesudah itu, pandangan matanya pun jadi gelap dan kepalanya pusing sesudah
menghisap bau wewangian yang aneh tapi yang membuat dirinya mabuk.
 ***
 Ketika sadar, Purbajaya mendapatkan dirinya sudah terikat di batang pohon. Masih terletak di tengah
hutan lebat namun bukan di tepi jalan pedati.
Melihat sekelilingnya hutan amat lebat, hanya menandakan bahwa mereka selagi pingsan diseret dari jalan
pedati, entah ke daerah mana. Siapa yang menyeret mereka?
 
 Purbajaya menoleh ke sana ke mari. Dia bersyukur. Kendati mereka sama-sama dalam keadaan terikat,
namun semua anggota rombongan dalam keadaan utuh tak kurang suatu apa. Di hadapannya terlihat Ki
Bagus Sura dan Ki Dita terikat di pohon berlainan.
 Sementara dia sendiri berdampingan dengan Wista dan Aditia yang juga sama-sama terikat di batang
pohon berbeda. Akan halnya Yaksa, pemuda itu tubuhnya tergeletak begitu saja beralaskan
semak-belukar.
 Purbajaya semula terkejut. Dia menduga Yaksa telah jadi mayat.
 Namun sesudah dilihatnya pernapasan Yaksa turun-naik dan bahkan terdengar suara dengkur, hanya
menandakan pemuda ini tengah tidur pulas. Yaksa tidak diikat karena si penyerang nampaknya melihat
Yaksa orang lemah karena luka-lukanya.
 Suasana masih sunyi. Purbajaya tetap berdiam diri. Dia menunggu beberapa lama kalau-kalau si
penyerang ada di sekitar itu. Namun ditunggu berlama-lama, tak ada gerakan mencurigakan. Dengan
demikian, Purbajaya akhirnya punya kesimpulan kalau mereka sebenarnya telah ditinggalkan begitu saja
oleh si penyerang. Siapakah lawan-lawan mereka yang begitu tangguh ini?
 Perampokkah mereka? Purbajaya musti menarik sangkaannya ini.
Kalau perampok musti menjarah harta. Namun peti-peti berukir berserakan begitu saja. Demikian pun
pundi-pundi miliknya yang diisi uang logam Negri Cina, masih terasa utuh karena di pinggang beratnya
tak berkurang.
 Kepala Purbajaya masih terasa pening. Pandangan matanya pun masih berkunang-kunang. Dia ingat,
sebelum tiba di tempat ini ada terpaan kabut aneh berwarna hijau dan baunya aneh memabukkan.
 Sesudah menghirup kabut hijau, semuanya jatuh pingsan.
 Sekarang secara tiba-tiba sudah berada di sini dengan tubuh terikat di pohon.
 Purbajaya menduga, mereka bukan komplotan perampok. Barang berharga berserakan begitu saja,
hanya menandakan bahwa mereka sebenarnya tak butuh harta dan bukan berniat menjarah harta.
 Lantas, apa yang mereka inginkan?
 Sementara hati Purbajaya bertanya-tanya seperti itu, nampak Ki Bagus Sura dan Ki Dita sudah tersadar
dari pingsannya. Seperti Purbajaya, mereka pun pada mulanya meneliti sekelilingnya dan memeriksa
tubuhnya masing-masing yang terikat di batang pohon.
 "Perbuatan merekakah ini?" tanya Ki Dita menatap Ki Bagus Sura.
 "Barangkali benar mereka..." suara Ki Bagus Sura hampir berupa bisikan.
 "Siapakah yang dimaksud, Ki Bagus?" tanya Purbajaya penasaran.
 Ki Bagus Sura dan Ki Dita saling pandang. Rupanya mereka baru tahu kalau Purbajaya pun sudah
siuman dari pingsannya.
 "Yang memiliki serangan uap hijau hanya satu, yaitu anggota Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih ... "
kata Ki Bagus Sura dengan suara penuh rasa khawatir.
 "Nyi Rambut Kasih?" Purbajaya bergumam.
 "Engkau tak akan mengenal tokoh ini sebab Nyi Rambut Kasih hidup sekitar enampuluh tahun yang
lalu," kata Ki Bagus Sura.
 Sambil menunggu yang lainnya siuman, berceritalah Ki Bagus Sura.
 Di wilayah dekat Karatuan Talaga terdapat sebuah karajaan kecil bernama Sindangkasih (Majalengka
kini adalah perkembangan dari Kerajaan Sindangkasih), diperintah oleh seorang ratu cantik bernama Nyi
Rambut Kasih. Dia amat setia kepada agamakaruhun (nenek-moyangnya). Kendati negri-negri kecil
lainnya seperti Maja dan Rajagaluh bahkan Talaga sendiri sudah memeluk agama baru, namun Nyi
Rambut Kasih tetap fanatik dengan agama lamanya.
 Namun demikian, kendati dia tak mau berpindah agama, Ratu sendiri membebaskan rakyatnya untuk
memilih apa yang diminatinya. Banyak rakyatnya yang berpindah agama namun ada pula yang mengikuti
keteguhan Ratu. Sementara itu, dalam peralihan kehidupan zaman di negrinya, Nyi Rambut Kasih memilih
meninggalkan keraton, entah ke mana dia pergi mengasingkan diri. Sampai dengan tahun 1490 Masehi,
Cirebon telah beranggapan bahwa seluruh penduduk Sindangkasih telah memeluk agama baru, terkecuali
ratunya sendiri yang menghilang entah ke mana.
"Banyak dugaan berbeda. Namun penduduk menganggap Sang Ratu telahngahiyang (menghilang
secara gaib) sebab kalau mati harus ada kuburnya dan kalau hidup harus tahu di mana dia berada. Maka
karena itu, orang menyebutnya sebagai ngahiyang. Hidup di dunia tidak namun mati pun tidak," kata Ki
Bagus Sura menjelaskan.
 "Tapi apa hubungannya dengan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih?" tanya Purbajaya semakin
penasaran.
 "Aku sudah katakan dulu, komplotan ini disebut siluman karena tindak-tanduknya misterius. Kalau
datang dan pergi tak diketahui kapan dan di mana. Tahu-tahu lawan terkalahkan. Ya, seperti kita ini.”
 "Tidak perlu dibuat aneh. Mereka melumpuhkan kita dengan siasat licik," Aditia bicara dan ternyata dia
sudah siuman."Mereka meracuni kita, kan?" lanjutnya.
 Wista dan Yaksa pun sudah bangun. Dan karena Yaksa tidak diikat, maka walau pun dengan susah
payah karena menahan sakit bila keluar tenaga, Yaksa segera membukakan semua ikatan, kecuali tali
yang mengikat tubuh Purbajaya.
 Paman Ranu menggeleng-gelengkan kepala, heran dan kecewa dengan sikap Yaksa ini. Lantas dia
sendirilah yang bantu melepaskan tali di tubuh Purbajaya.
 Sementara Purbajaya tidak banyak perasaan mengenai hal ini. Dia malah terus tanya perihal keberadaan
pasukan siluman.
 "Ya, belakangan aku tahu, mereka kalahkan kita dengan uap beracun. Hanya yang aku penasaran,
mereka tak memberikan kita peluang untuk saling berhadapan," kata Ki Bagus Sura.
 "Padahal kalau bisa saling berhadapan, kita bisa tahu apa sebetulnya mereka inginkan," sambung lagi Ki
Bagus Sura.
 "Mereka orang jahat. Apalagi yang mereka inginkan selain harta yang kita bawa?" Wista mulai buka
suara
 "Harta yang kita bawa dan bernilai tinggi, berceceran begitu saja. Hanya membuktikan, mereka tak
butuh harta," kata Purbajaya sambil menunjuk ke arah belukar di mana peti-peti berserakan.
 Isinya porak-poranda begitu saja "Sepertinya mereka melecehkan apa yang sebenarnya kita anggap
berharga," sambung Purbajaya lagi.
 "Gan Bagus, lihatlah, golek emas mereka cincang habis-habisan. Mereka memang mau menghina kita,"
kata Paman Ranu memunguti benda berharga itu.
 Ki Bagus Sura terhenyak. Hatinya mungkin marah melihat barang cinderamata yang sedianya akan
dikirimkan sebagai lambang persahabatan antarnegri, dicincang tak berguna seperti itu.
 "Benar, mereka sengaja menghina kita, Sumedang dan Talaga ..." gumam Ki Bagus Sura.
 "Mengapa begitu?" tanya Purbajaya.
 "Karena Sumedang dan Talaga bersaudara ... "
"Ya, aku pun tahu," potong Ki Dita."Kangjeng Sunan Parung penguasa Talaga mempersunting salah
seorang putri dari Sumedanglarang, sementara permesuri Kangjeng Pangeran Santri pun beristrikan putri
Kangjeng Sunan. Dengan demikian, Sumedang dan Talaga bersaudara dekat. Hanya saja, apa
hubungannya dengan pasukan siluman sehingga mereka membenci dua negri ini?" tanya Ki Dita lebih
berupa menyelidik ketimbang sekadar ingin tahu. Dan ini sedikit mengherankan hati Purbajaya.
 "Aku hanya bisa menduga-duga saja." gumam Ki Bagus Sura,"Tapi kukira ini erat kaitannya dengan
perasaan sakit hati," lanjutnya setengah berpikir.
 "Sakit hati karena apa?" desak Ki Dita.
 "Hhh .... Kita semua tahu. kehadiran agama kita tidak selalu mulus diterima semua pihak. Ternyata di
Sindangkasih banyak pengikut Nyi Rambut Kasih bersimpati kepada ratunya. Mereka tak menganggap
Sang Ratu mundur dari percaturan kehidupan bernegara secara sukarela namun pergi sambil memendam
kesedihan dan kekecewaan. Mereka yang bersimpati, sepertinya merasa ikut sedih. Dari sekadar
bersedih menjadi sakit hati dan marah lantas secara spontan membalas dendam. Kepada siapa mereka
balas dendam? Tentu kepada siapa saja yang mereka anggap telah menyakiti ratunya. Salah satu di
antaranya adalah Sumedanglarang dan Talaga yang mereka anggap tidak membela kepentingan
Sindangkasih," tutur Ki Bagus Sura mengeluarkan persangkaannya.
 "Mundurnya Nyi Rambut Kasih dari keraton, dinilai para pengikutnya sebagai kekalahan dan
keterdesakan oleh kehidupan zaman baru. Ini amat menyakitkan hati mereka. Makanya mereka marah
dan mengganggu kita," sambung Ki Bagus Sura lagi.
 "Mereka melakukan pembunuhan juga?" tanya Purbajaya.
 "Sejauh yang aku ketahui, mereka tak membunuh. Namun demikian, mereka meresahkan semua orang.
Kaum saudagar terganggu dalam usahanya, begitu pun perjalanan kenegaraan," ujar Ki Bagus Sura
mengeluh.
 "Mereka membunuh atau tidak kalau bisa kita ringkus atau mungkin harus dibunuh! Segala macam
pengacau yang meresahkan masyarakat harus kita tumpas habis," kata Aditia bersemangat.
 "Betul. Bunuh mereka!" teriak Wista tak kalah semangatnya.
 Namun baru saja ucapannya berhenti, dari semak belukar muncul seseorang. Ini sungguh mengejutkan
semua orang. Sehingga secara reflek, Wista meloncat sembunyi di balik pohon besar.
 "Tangkap penjahat!" teriak Aditia sambil cepat berdiri. Selanjutnya, tanpa ragu dia menerjang orang
asing itu. Yaksa yang tubuhnya dibebat karena luka-lukanya, segera memberikan bantuan dan ikut
menyerang. Belakangan Wista pun keluar dari tempat sembunyi dan ikut menerjang lawan. Mungkin
Wista sudah mulai hilang rasa takutnya, apalagi lawan yang diserang hanya satu orang saja.
 Kejadian ini terlalu cepat sehingga yang lainnya hanya terpaku menyaksikan tiga orang murid Ki Dita
mengeroyok seorang asing. Purbajaya khawatir sebab tiga orang muda semberono itu tidak mengukur
dulu tingkat kepandaian lawan. Tahu-tahu ketiga orang itu menjerit kesakitan karena tubuh-tubuh mereka
terlontar. Tubuh Yaksa dan Aditia terlontar dan menumbuk batang pohon. Tapi yang paling bahaya
adalah nasib Wista. Terlihat dia hendak dipukul telak di bagian dadanya oleh si penyerang asing itu. 
 Orang yang paling berdiri dekat kepada Wista hanyalah Purbajaya.
Dengan demikian, hanya Purbajaya seorang yang memiliki peluang dalam menyelamatkan pemuda itu.
Purbajaya pun sadar akan hal ini.
 Maka begitu pukulan orang itu meluncur deras ke dada Wista, Purbajaya segera meloncat dengan
cepat. Dan dengan tenaga sepenuhnya, tangan kanan Purbajaya menyampok serangan lawan.
 Plak! Plak! Pukulan orang itu tertahan dan pergelangan tangan Purbajaya terasa ngilu dan sakit. Namun
nyawa pemuda Wista menjadi selamat.
 Wista gembira tapi Purbajaya meringis. Pukulan orang itu sungguh keji, dikerahkan dengan tenaga penuh
dan kalau kena dengan telak orang yang dipukul pasti tewas.
 Purbajaya yang menahan pukulan itu dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya masih terasa
bergetar dan urat-urat di tangan serasa menegang mau putus.
 Namun Purbajaya pun melihat, betapa lelaki itu pun nampak meringis dan wajahnya menampakkan
perasaan terkejut. Namun demikian, orang asing yang usianya kira-kira di atas limapuluh itu seperti tak
merasakan benturannya tadi karena langsung melakukan serangan susulan. Kali ini yang diserangnya
adalah Purbajaya.
 Ternyata gerakan lelaki setengah tua ini cepat dan mantap. Kali ini Purbajaya tak berani membiarkan
tangannya saling bentur dengan tangan lawan. Dia menyadari, tenaga dalam lelaki ini setingkat di atasnya.
Kalau selalu memaksakan diri mengadu tenaga dalam, tentu Purbajaya yang akan repot. Oleh sebab itu,
kini Purbajaya kerjanya hanya main kelit saja dan baru melepaskan serangan kalau ada peluang untuk itu.
 Ki Dita merasa tidak sabar melihat pertempuran kecil yang terlihat bertele-tele ini. Oleh sebab itu, dia
segera melibatkan diri ke dalam arena pertempuran.
 Dikeroyok dua oleh Ki Dita dan Purbajaya, lelaki asing itu tidak menjadikan dirinya gentar. Malah
terlihat dia semakin meningkatkan kemampuannya. Dan nyatanya, lelaki setengah baya ini sungguh hebat.
Kendati dikeroyok dua, tak memperlihatkan kepanikan, bahkan sanggup mengatur irama permainan
dengan baik sehingga perkelahian jadi seimbang.
 Hanya saja Purbajaya bisa menduga, permainan jadi seimbang lantaran antara dia dan Ki Dita tidak
bekerja sama. Sekali pun main berdua tapi keduanya bekerja sendiri-sendiri tidak saling menutupi
kelemahan teman. Bahkan ada kecenderungan, Ki Dita membiarkan serangan lawan yang mengarah
dirinya dan lebih mementingkan serangan dirinya ke arah lawan. Akhirnya begitu pun yang dilakukan
Purbajaya. Karena Ki Dita tidak berupaya menutupi kekosongan, maka dia hanya asyik melakukan
serangan dan tepisan yang sekiranya menguntungkan dirinya saja.
 Akibat main sendiri-sendiri, beberapa kali lawan hampir sanggup menerobos masuk baik ke arah
Purbajaya mau pun ke arah Ki Dita.
 "Dasar anggota pasukan siluman, gerakanmu jahat dan kejam!" teriak Ki Dita gemas.
 "Kalian orang Pajajaran kerjanya licik main keroyok!" lelaki itu balas memaki.
 "Aku bukan orang Pajajaran!" teriak Ki Dita hendak mengemplang ubun-ubun orang itu namun bisa
dihindarkan dengan enteng.
"Aku pun bukan anggota pasukan siluman!" teriak lelaki itu balas hendak membabat betis Ki Dita dari
bawah.
 "Hentikan pertempuran!" teriak Ki Bagus Sura. Dan ketiga orang itu serentak berhenti.
 "Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Dita penuh selidik.
 "Kalian pun siapa? Aku mengira malah kalianlah anggota pasukan siluman sebab kalian berada di tempat
tersembunyi seperti ini," kata lelaki asing itu balik menduga.
 "Sudahlah, hentikan pertikaian," cegah Ki Bagus Sura,"Aku tahu, di antara kita semua telah terjadi salah
paham." ujarnya lagi.
 Maka ketegangan pun menurun. Perhatian kini dialihkan untuk menolong Aditia dan Yaksa yang terluka
karena tubuhnya menumbuk batang pohon. Ternyata mereka luka cukup parah. Yaksa apalagi karena
sebelumnya pun dia sudah terluka.
 "Tak ada tulang patah, kecuali memar-memar," kata Purbajaya sesudah memeriksa tubuh dua orang itu.
 "Memang hanya luka memar. Tapi di tubuh pemuda satunya lagi ada luka sabetan senjata tajam aku tak
tanggung jawab," kata si lelaki asing ikut memeriksa.
 "Dia terluka diganggu perampok kemarin," jawab Ki Bagus Sura sama memeriksa yang luka.
 "Tak diduga, kami terus-terusan diganggu orang jahat ..." kata Ki Dita jengkel.
 "Hati-hati kalau bicara, aku bukan orang jahat. Lagi pula, kalianlah yang duluan menyerangku," bantah
lelaki asing itu kembali berang.
 "Maksud kami, selain diganggu perampok, kami pun diganggu pasukan siluman. Lantas kau datang,
makanya kami cepat menduga kalau kau adalah salah seorang dari mereka... " Ki Bagus Sura
memberikan penjelasan sehingga kemarahan orang pemberang itu hilang kembali.
 "Hahaha ... "
 "Kenapa kau ketawa?" Ki Dita heran dan bercuriga lagi.
 "Kalau kalian diganggu pasukan siluman, aku bisa duga, kalian tentu orang Sumedang atau orang
Talaga," kata orang itu masih tertawa.
 "Kami memang datang dari Sumedang ... " jawab Ki Bagus Sura.
 "Pantas ... "
 "Tapi tak sepantasnya orang-orang dari pasukan siluman mengganggu kami," potong Ki Bagus Sura.
 "Mungkin maksudnya mengganggu orang Talaga."
 "Tapi malah kami yang diganggu. Lihatlah, barang cinderamata terbaik dari negri kami untuk
dipersembahkan kepada penguasa Talaga sudah berantakan begini. Mau dike-manakan muka kami di
hadapan mereka?" tanya Ki Bagus Sura putus asa.
"Itulah tujuan anggota pasukan siluman, agar hubungan dua negri kalian terganggu," kata orang asing itu.
 "Kurang ajar!" teriak Aditia geram.
 “Engkau sendiri ada di pihak mana?" tanya Ki Dita kembali matanya penuh selidik.
 "Mengapa tanya begitu sepertinya orang harus memihak sesuatu?" si lelaki asing malah balik bertanya.
 "Memang tidak harus begitu. Tapi engkau memandang kami penuh ejekan. Mengejek berarti tak
menyukai. Dan tak menyukai sama dengan memusuhi. Di zaman kini, orang harus memilih keberpihakan,"
kata Aditia lantang dan bertolak pinggang padahal jelas bokongnya lagi sakit.
 "Tidak, tidak begitu. Puluhan tahun aku memihak Talaga. Dan ketika Talaga bergabung dengan Cirebon,
aku pun ikut dengan Cirebon. Namun demikian, tidak berarti aku memihak Cirebon. Aku ikut menyerang
Pajajaran bukan mau membela Cirebon tapi karena benci Pajajaran. Itu saja," jawab lelaki asing itu.
 "Anda menyebut-nyebut Cirebon, siapakah anda sebenarnya?" Purbajaya ikut bicara.
 Sebelum menjawab, lelaki itu memandang tajam kepada Purbajaya.
 "Sedikit-sedikit aku hapal gerakanmu tadi. Kau mirip orang Cirebon," lelaki itu malah bicara begitu.
 "Saya memang orang Cirebon ... Nama saya Purbajaya murid Paman Jayaratu," jawab Purbajaya
 Demi mendengar ucapan Purbajaya ini, nampak lelaki asing itu sedikit terkejut.
 "Sebetulnya aku kenal orang tua itu walau tak akrab benar. Namaku Sudireja," jawabnya.
 Purbajaya coba mengingat-ingat kalau-kalau pernah dengar nama orang ini, namun dia tak pernah ingat.
Pemuda ini pun lantas meneliti Ki Sudireja.
 Lelaki setengah tua ini memiliki cambang bauk yang pendek dan jarang. Barangkali tadinya habis
dicukur namun dikerjakan asal-asalan saja. Bulu-bulu di cambang bauknya sudah banyak memutih
karena uban, namun rambut kepalanya yang digelung ke atas dan diikat selembar kain kasar warna hitam
malah bebas dari uban.
 Rambut yang subur itu berwarna hitam legam. 
 Yang khas dari Ki Sudireja, bulu uban malah tumbuh subur di lubang hidungnya. 
 Sepasang matanya cekung dan dalam, menandakan bahwa lelaki setengah tua ini sudah banyak
merasakan pahit-getirnya kehidupan di dunia. Kata Ki Sudireja, dia pun kenal Paman Jayaratu walau pun
sedikit.
 Bisa jadi begitu sebab Paman Jayaratu pada tahun 1530 pernah ikut serta menundukkan Talaga. Di
pihak manakah Ki Sudireja ketika itu?
 Purbajaya hendak mencoba bertanya namun Ki Sudireja nampaknya akan segera pamitan.
 "Tunggu. Beri kami khabar perihal keberadaan pasukan siluman," kata Ki Bagus Sura.
"Aku pun tengah mencari keterangan perihal mereka. Mereka harus kubunuh bila berani mengusik
ketenanganku!" katanya berang.
 Ki Sudireja meloncat dan menghilang di balik rimbunan pohon.
 
 Maka tinggallah rombongan muhibah yang kebingungan. Mereka bingung untuk melanjutkan perjalanan.
Bukan saja karena Aditia dan Yaksa menderita luka, namun karena membingungkan barang cindera
mata yang tak bisa terselamatkan. Semuanya rusak dan tak mungkin dikirimkan kepada yang berhak.
 Untuk yang pertama kalinya Ki Bagus Sura dan Ki Dita berunding memecahkan persoalan.
 "Mereka mencari jalan pemecahan, bagaimana tindakan selanjutnya. Apakah akan dilanjutkan menuju
Talaga dengan risiko mendapat malu ataukah kembali pulang tapi juga menerima teguran keras dari
Kangjeng Pangeran lantaran tak sanggup mengerjakan titah dengan baik? 
 "Tapi kukira kita semua harus melanjutkan ke Talaga," kata Ki Bagus Sura dan wajahnya nampak
terkejut. Dengan tergopoh-gopoh dia memburu peti-peti cendana berukir indah itu untuk meneliti sesuatu.
 
 Dan sesudah melakukan hal itu, mendadak wajahnya pucat-pasi. 
 "Ada apa?" tanya Ki Dita.
 
 "Ada yang hilang ..." gumam Ki Bagus Sura masih pucat pasi. 
 "Kukira lengkap. Tak ada peti yang hilang."
 
 "Ya, tapi isinya ada yang hilang," kata lagi Ki Bagus Sura. 
 "Semua benda berharga jumlahnya ada enam, sesuai dengan jumlah peti enam buah. Jadi, benda apa
yang hilang?" Ki Dita jengkel dengan penjelasan Ki Bagus Sura yang dianggapnya membingungkan ini.
 "Ya, peti seluruhnya berjumlah enam buah dan masing-masing diisi sebuah benda cinderamata, kecuali
satu peti ditambah oleh sebuah surat daun lontar yang disusun rapi dalam sebuah ikatan benang
berwarna. Itu adalah surat penting dari Kangjeng Pangeran dari Sumedang buat Kangjeng Sunan di
Talaga," Ki Bagus Sura menerangkan. 
"Tidak pernah kudengar sebelumnya. Kau merahasiakan satu hal kepada kami, Bagus," kata Ki Dita
tersinggung.
 "Itu yang diinginkan Kangjeng Pangeran. Surat itu bersifat penting dan rahasia. Supaya bisa sampai ke
tujuan, maka harus dirahasiakan pula. Makanya hanya aku yang tahu. Belakangan, ternyata pasukan
siluman pun tahu ... " kata Ki Bagus Sura bingung dan panik. 
"Kalau begitu, pasukan siluman mencegat kita karena mau merebut surat itu, Ki Bagus," kata Purbajaya.
 "Kukira benar begitu," gumam Ki Bagus Sura. 
 "Artinya musti ada yang beri tahu kalau rombongan ini sebetulnya tengah membawa surat penting untuk
Talaga," kata lagi Purbajaya.
 "Ya, siapa yang memberi tahu?"Wista meneliti semua orang tapi matanya malah paling lama hinggap di
mata Purbajaya. 
 "Ada anggota pasukan siluman di antara kita. Paling tidak, salah seorang pasti berlaku khianat," kata
Wista kembali meneliti wajah semua orang dan lagi-lagi hinggap paling lama di wajah Purbajaya sehingga
amat menyebalkan perasaan Purbajaya sendiri.
 "Kita harus mengejar pasukan siluman," kata Ki Bagus Sura mengepalkan tinju. 
 "Apa? Kau katakan kita, Ki Bagus?" tanya Ki Dita.
 "Aku tak mau ikut," bantah Aditia. 
 "Kita harus mengejar mereka. Di perjalanan kita sehidup-semati. Lagi pula kita ini satu kesatuan dalam
mengemban misi," Purbajaya ikut menyela.
 "Misi pelatihan bolehlah. Dan kau lihat, betapa tubuh kami tambal sulam begini, ini hanya menandakan
bahwa kami sudah selesaikan tugas dengan baik. Tapi urusan tugas yang dirahasiakan, hanya yang tahu
saja yang musti bertanggung jawab!" kata Aditia. Semua teman-temannya mengangguk setuju kepada
ucapan Aditia. 
 ****
 Mendengar perkataan Aditia, Ki Bagus Sura mengangguk dengan wajah kecut.
 "Tak apa kalian tidak ikut sebab memang hanya aku yang tahu akan tugas rahasia ini," Ki Bagus Sura
memutuskan.
 "Kita semua harus ikut," kata Purbajaya berpendapat.
 "Ayo ikutlah engkau agar lekas mati dibantai pasukan siluman," kata Aditia sinis,"Tapi aku sama sekali
tak berminat. Mengapa semua orang harus bertanggungjawab sementara jauh sebelumnya kami tak
diberitahu akan adanya tugas amat penting ini? Kalau jauh hari kami diberi amanat barangkali akan
sama-sama menjaganya sampai titik darah penghabisan," kata lagi Aditia.
 "Engkau mungkin benar,. Maka tinggallah di sini," kata Ki Bagus Sura.
 "Saya ikut ..." kata Purbajaya menyela.
 "Kita semua memang harus ikut. Apa pun jadinya, pada akhirnya kita semua harus bertanggungjawab,"
Ki Dita memutuskan.
Aditia bimbang. Dia menatap bergantian kepada dua orang sahabatnya. Tapi baik Yaksa mau pun Wista
melangkah mendekati Ki Dita. Barangkali sebagai isyarat kalau mereka berdua terpaksa setuju pendapat
gurunya.
 "Baik. Paling tidak kita harus tahu, benda apa yang oleh kita musti dipertaruhkan dengan darah dan
nyawa ini," Aditia memberi "kelonggaran" kepada pendapatnya sendiri.
 Namun ucapan Aditia ini seperti ada benarnya. Buktinya semua orang terpengaruh ucapannya dan
sama-sama menatap tajam kepada Ki Bagus Sura. Rupanya semua orang sama merasa penasaran, surat
penting apakah itu sehingga pasukan siluman pun tertarik untuk menjegalnya di tengah jalan.
 Ki Bagus Sura mungkin sadar kalau tatapan mata semua orang menekannya.
 "Bagaimana mungkin sesuatu yang bernama rahasia musti diketahui banyak orang? Tapi percayalah,
isinya adalah untuk kepentingan kita bersama: Sumedanglarang dan Karatuan Talaga. Namun bila surat
daun lontar itu jatuh ke tangan orang yang tak berhak, akibatnya akan berbahaya. Itulah sebabnya kita
musti berupaya merebut surat itu," kata Ki Bagus Sura menghindari tekanan.
 Purbajaya menundukkan wajah. Dia sadar kalau dia pun sebenarnya ikut mendesak agar Ki Bagus Sura
membeberkan isi surat rahasia. Sungguh tak pantas memaksa orang yang karena misinya dipercayai
atasan untuk memendam sebuah rahasia.
 Aditia dan teman-temannya memberengut sebagai tanda tak puas. Namun Ki Dita sendiri tidak
menampakkan wajah kecewa. Malah sebaliknya, wajah orang tua ini cerah. Sesuatu yang tak dimengerti
oleh Purbajaya.
 "Kita harus berpacu melawan waktu. Semakin cepat kita mengejar, akan semakin besar peluang kita
untuk bisa menyusul mereka," Ki Bagus Sura mengajak semua orang untuk berangkat.
 Namun perjalanan kali ini mungkin semakin sulit, mengingat kuda mereka semuanya lenyap entah ke
mana. Mungkin kabur mungkin juga dirampas pasukan siluman.
 "Sebaiknya kita kuntit Ki Sudireja. Sebab bukankah orang itu pun tengah mengikuti jejak pasukan
siluman?" kata Purbajaya berpendapat. Dan pendapatnya ini diiyakan oleh Ki Bagus Sura.
 Semua pun akhirnya sepakat untuk mengikuti jejak Ki Sudireja. Hanya saja Wista dan Yaksa di
sepanjang jalan mengomel panjang-pendek lantaran hilangnya kuda-kuda mereka. Dengan lenyapnya
tunggangan itu, mereka akan berjalan kaki. Dan bagi mereka ini amat menyebalkannya.
 Perjalanan kembali dilanjutkan. Mula-mula mereka harus berusaha menemukan kembali jalan pedati.
Dan Purbajaya harus ememuji kebolehan pasukan siluman. Mereka sanggup membawa tawanan dalam
keadaan pingsan ke sebuah tempat yang jauh dari jalan dan sulit untuk dirambah. Mereka harus
membawa tawanan menuruni ngarai dan menyebrangi sungai berbatu dengan airnya yang jernih dan
deras. Berapa orangkah jumlah mereka sehingga sanggup mengangkut tujuh orang pingsan? Untuk apa
pula mereka mengangkut tawanan sejauh ini? Barangkali tak ada maksud tertentu kecuali sengaja
memperlihatkan bahwa mereka orang-orang hebat.
 Sungguh misterius pasukan itu. Namanya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Pasukan Siluman?
Sungguh menakutkan. Apakah Nyi Rambut Kasih pun sama menakutkan?
 Mendengar nama pasukan yang menyertakan istilah siluman, bahwa masih ada dendam dan
ketidakrelaan "Nyi Rambut Kasih" akan kehadiran kekuatan baru di muka bumi ini. Namun, betulkah
demikian? Bukankah Nyi Rambut Kasih telah mengundurkan diri dari percaturan dunia? Bukankah sudah
dikatakan oleh semua orang bahwa Nyi Rambut Kasih secara baik-baik mundur dari kehidupan guna
memberikan kesempatan kepada sebuah zaman yang baru?
 Peristiwa ini sudah lama berlalu, sudah lebih dari enampuluh tahun lamanya. Kalau pun Nyi Rambut
Kasih ada, barangkali hari ini usianya sudah sedemikian lanjut. Mungkinkah seorang nenek renta bisa
memimpin sebuah pasukan yang demikian hebat? Mungkinkah seorang tua masih memendam dendam
dan emosi sehingga bisa menggerakkan sebuah pasukan?
 Pengalaman membuktikan, banyak ratu (pemimpin) dituding bersalah padahal belum tentu dia sendiri
yang melakukannya. Rastu puny abdi dalem (aparat). Kalau perintah ratu bisa dijalankan dengan benar
oleh abdi dalem, maka nama baik sang ratu akan terpelihara. Namun sebaliknya bila aparat tak bisa
menjalankan amanat dengan benar, maka sang ratu pun akan terkena getahnya.
 Bukan sesuatu hal yang mustahil ada abdi dalem yang bekerja sendiri dengan selera sendiri dan
diabdikan buat kepentingan sendiri tapi akibat dari perbuatannya, ratulah yang musti bertanggungjawab.
 Penguasa Pajajaran bernama Sang Prabu Ratu Sakti yang tengah memerintah kini (1543-1551 Masehi)
banyak dipersalahkan rakyatnya karena gaya kepemimpinannya keras dan menekan rakyat. Rakyat
menderita karena khabarnya selalu ditekan oleh penarikanseba (pajak) yang berat. Namun selentingan
juga mengatakan bahwa tindakan-tindakan keras ini dilakukan secara sendiri oleh para abdi dalemnya.
Mereka inginkan, tugas yang diamanatkan oleh ratu bisa berjalan dengan baik dan hasilnya besar.
Semakin besar kesuksesan pekerjaan seorang abdi dalem maka akan semakin besar pula kepercayaan
dan penghargaan sang ratu ke padanya. Maka untuk mengejar "upah" seperti ini, abdi dalem bersikap
menekan kepada yang di bawah.
 Mungkin demikian halnya dengan Nyi Rambut Kasih. Barangkali benar sang ratu di Sindangkasih ini
secara sukarela telah memberikan kesempatan bagi penguasa hidup untuk mengisi zaman baru. Namun
tak demikian dengan aparatnya. Hilangnya sebuah negri bagi bagi sang aparat berarti hilangnya sebuah
kesempatan bagi keberadaannya. Tergantikannya sebuah suksesi kepemerintahan sepertinya
tergantikannya pula kekuasaan aparat di bawahnya. Jadi agar kekuasaan tidak hilang, maka dicari akal
untuk mempertahankannya atau merebutnya, atau menyabotnya kalau ternyata dia terhempas oleh
perubahan kekuasaan itu.
 Maka kendati sudah diumumkan bahwa seluruh penduduk Sindangkasih ikut agama baru belum tentu
istilah "seluruh" itu berarti semua. Yang tak setuju dengan keadaan ini memilih memberontak. Dan agar
mendapatkan dukungan masa maka mereka mengatasnamakan tokoh mereka sendiri yang populer di
masa itu namun hidupnya "teraniaya". Begitu kira-kira yang tengah dipikirkan dan yang jadi dugaan hati
Purbajaya.
 Namun benar atau tidak dugaannya ini, yang jelas, Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih memang ada
dan terasa mengganggu ketenangan masyarakat. Keutuhan persahabatan antara Sumedanglarang dan
Talaga pun terganggu oleh kehadiran pasukan misterius ini.
 Purbajaya amat bergairah dalam mengikuti upaya pengejaran ini. Mungkin dia ingin ikut menyelesaikan
masalah keberadaan kelompok ini, namun bisa juga hanya karena rasa penasaran semata-mata. Siapa
orangnya yang tak tertarik kepada masalah yang bersifat misteri? Ya, Purbajaya ingin sekali menguaknya.
Kalau urusan ini bisa dia ikut selesaikan dan dilaporkan kepada penguasa di Carbon, mungkin dia akan
dapat acungan jempol. Atau setidaknya orang tahu bahwa kehadiran dirinya di Carbon tidak percuma.
Sesudah cukup lama keluar-masuk belantara, akhirnya rombongan pun bisa menemukan kembali jalan
pedati.
 Rombongan tujuh orang dengan dua orang luka ini mulai menempuh perjalanan kembali dengan jalan
kaki berhubung kuda mereka hilang.
 Namun Wista tetap rewel dan menyayangkan alau kuda mereka yang bagus-bagus hilang tak tentu
rimbanya.
 "Sudahlah. Mengapa kau kerjanya mengeluh saja?" Yaksa mengomel.
 "Bukannya aku mengeluh karena aku tak bisa naik kuda tapi itu kan kuda mahal. Kau sendiri tak
mungkin mampu beli," bantah Wista sambil berjalan tertatih-tatih padahal Purbajaya tahu pemuda ini tak
menderita luka apa pun.
 "Tidak apa. Kuda hilang dan kita jalan kaki, ini adalah bagian dari pelatihan," kata Ki Dita menengahi.
 "Tapi apakah lukanya Aditia dan Yaksa pun bagian dari pelatihan, Ki Guru?" Wista penasaran.
 Aditia memang luka memar di punggung karena bantingan Ki Sudireja ke batang pohon. Yaksa malah
lebih parah lagi. Sebelum dia dibanting ke batang pohon seperti Aditia, dia telah banyak luka bacokan
ketika melawan komplotan perampok.
 Menerima pertanyaan yang lebih terasa sebagai rasa penasaran dari Wista, Ki Dita hanya menghela
napas.
 "Aku anggap itu sebagai pelatihan juga, sebab kehidupan penuh bahaya bagi seorang ksatria di
masa-masa mendatang pasti lebih besar lagi dari hanya ketimbang diganggu perampok," jawab Ki Dita
akhirnya.
 "Kehilangan kuda malah tak berarti apa-apa ketimbang kehilangan nyawa," Ki Bagus Sura ikut
menimpali.
 "Dan kau harus membiasakan diri bisa berjalan kaki sebab perjalanan di masa-masa mendatang pun tak
selamanya menggunakan kuda," kata Ki Dita lagi.
 "Saya tak cemaskan saya pribadi. Tapi lihatlah dua orang sahabat saya, mereka kepayahan," Wista
memberi alasan. Dan alasan ini memang tepat. Dibawa berjalan jauh seperti ini, Aditia dan Yaksa
nampak kepayahan.
 Namun demikian, Ki Dita perlu meneliti."Bagaimana, apa kalian kuat melanjutkan perjalanan?" tanyanya
kepada Aditia dan Yaksa.
 "Sebetulnya saya kuat tapi ... ya, cukup menderita," awab Yaksa.
 "Saya pun kuat tapi amat payah ..." Aditia ikut mengeluh.
 "Kalau begitu, kalian berdua tidak perlu ikut," kata Ki Dita.
 "Kalau kami tak perlu ikut, musti tunggu di mana?" tanya Aditia. Rupanya dia pun tak senang kalau
kemampuannya dilecehkan.
"Kita ini tengah mengikuti jejak orang yang berjalan di muka. Kalau kita berjalan lamban seperti kalian,
orang yang kita buru akan semakin jauh jaraknya dari kita yang di belakang ini," kata lagi Ki Dita.
 "Saya mungkin bisa berjalan cepat," jawab Yaksa.
 "Saya pun mungkin bisa," Aditia tak mau kalah.
 "Bagus kalau begitu," jawab Ki Dita sambil mengajak yang lain untuk berjalan cepat.
 Semua orang mempercepat langkahnya. Baru beberapa ratus depa saja, Aditia dan Yaksa sudah
kepayahan. Begitu pun Wista yang tak menderita luka, keringatnya sudah banyak membanjir di sekujur
tubuhnya. Napasnya pun terdengar ngosngosan dan dari mulut serta hidungnya keluar uap putih seperti
ular naga dalam dongeng.
 Karena jarak ketiga orang itu semakin lama semakin terpisah jauh dari kelompok yang berjalan cepat di
depannya, Purbajaya memilih berjalan paling belakang saja. Dia tak percaya kalau Aditia atau Yaksa
bisa bisa mengimbangi langkah orang yang berjalan cepat di depan. Baik Ki Bagus Sura atau pun Ki Dita
adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, begitu pun Paman Ranu. Dengan demikian,
kemampuan berjalan kaki ketiga orang itu pasti bagus. Aditia dan Yaksa walau pun diberi kesehatan,
belum tentu bisa mengimbanginyaa.
 Dalam waktu yang singkat, ketiga orang tua itu sudah jauh dan tak terlihat ketika jalan mulai
berkelok-kelok.
 "Kalau salah satu dari kalian ada yang capek, saya sanggup menggendong," kata Purbajaya yang jalan di
belakang.
 "Cih, memangnya aku anak kecil?" Yaksa mendelik dengan suara ketus. Ketika mendengus, ada uap
putih keluar dari hidungnya, lucu sekali kelihatannya.
 "Saya tak mempersoalkan anak kecil atau bukan. Orang dewasa kan bisa capek?" jawab Purbajaya.
 Yaksa tak mau menimpali.
 "Barangkali engkau yang sudah capek, Aditia?" Giliran Aditia yang ditawari. Namun Aditia menjawab
pun tidak. Dia hanya palingkan wajah dengan cepat.
 "Kau ke sana ke mari mau jual jasa, bagaimana bisa gendong semua orang?" tanya Wista tiba-tiba.
 "Tentu tak sekaligus semua. Kan aku bisa gendong satu-satu. Sampai ke satu tempat di depan, orang
pertama saya turunkan, lantas lari lagiu ke belakang untuk menggendong ke dua dan seterusnya."
 "Kau katakan, orang kedua dan seterusnya? Maksudmu, aku pun mau kau gendong, Purba?" tanya
Wista bergairah.
 "Mengapa tidak? Kan aku tadi hanya menawari, kalau ada yang capek dan bukan kalau ada ayang
luka," jawab Purbajaya.
 Mata Wista berbinar tapi Aditia dan Yaksa malah kian cemberut juga.
"Apa aku kelihatannya capek, Purba?" tanya Wista ragu-ragu.
 Purbajaya meneliti. Ada keringat deras di wajah Wista, ada uap putih semakin tebal di hidung Wista,
karena oleh dirinya sengaja dikembang-kempiskan napasnya. Lantas Purbajaya berkata."Menurut hasil
pemeriksaanku, kau memang seperti capek. Tapi mungkin aku salah duga. Kalau aku salah menuding
nanti aku disemprot kemarahan lagi," kata Purbajaya gurau.
 "Tidak, aku memang capek, Purba ... " Wista merengek, membuat sebal kedua temannya.
 "Wista, jangan banyak bicara dengan pemuda pembual dan pemogoran ini," teriak Aditia tak bisa
menahan rasa kesalnya.
 "Aku hanya menguji si dungu ini saja. Dia kan menyangka kalau aku tak punya kemampuan apa-apa.
Lihatlah, aku punya ilmu lari cepat dan bisa mengejar guruku!" teriak Wista. Dan mulutnya menghitung
sampai tiga. Pada hitungan yang ketiga, Wista pun melesat lari.
 Purbajaya pun ikut lari di belakang Wista. Namun baru saja beberapa saat, napas pemuda itu
ngosngosan dan uap putih keluar lebih banyak dari hidung dan mulutnya. Sebentar saja dia pun sudah
berhenti berlari dan duduk meloso bersandarkan sebuah batu terjal.
 "Aku sebenarnya tak bisa ilmu lari cepar, Purba ... "
 "Mungkin gurumu tidak sungguh-sungguh memberimu ilmu lari cepat," hibur Purbajaya.
 "Memang belum diajarkan, sih ..."
 "Sepulang dari muhibah ini, pasti dia memberikannya."
 "Mengapa kau begitu yakin?"
 "Loh, semua guru akan memberikan apa yang terbaik buat muridnya," jawab Wista.
 "Ah, Ki Guru hanya lebih mementingkan pembayaran yang tinggi saja, sementara aku tak dilatih dengan
benar," keluh Wista.
 "Ah, masa iya?"
 "Kau tak tahu, dari ayahku dia dapatkan rumah kediaman yang pantas. Dia pun diberi kuda yang baik,
bahan makanan berlimpah, pakaian dari negri lain, bahkan saban bulan ada kiriman uang logam Negri
Parasi. Coba, kurang apa ayahku? Sementara aku, begini-begini saja," Wista memberengut.
 Purbajaya tersenyum. Mungkin benar omongan Wista mungkin tidak. Biasanya orang yang ingin
menutupi kelemahan dirinya suka menjelekkan orang lain, sehingga terkesan kelemahan dirinya itu karena
kesalahan orang lain.
 "Mari kita berangkat lagi. Coba liahat, dua sahabatmu sudah bisa menyusulmu" ajak Purbajaya menarik
tubuh Wista supaya berdiri.
 "Aduh ... kakiku terkilir, Purba!"
 "Wah, celaka!"
"Aku pasti tak bisa jalan, Purba ... "
 "Wah ... wah!"
 "Jangan wahwah-wihwih saja! Cepat gendong aku!" desak Wista dan kedua tangannya sudah
merangkul punggung Purbajaya. Terpaksa Purbajaya menggendong pemuda cengeng ini.
 "Kau tak biasa jalan jauh rupanya," kata Purbajaya sambil menggendong Wista.
 "Itu lantaran kesalahan kedua orangtuaku. Sejak kecil aku disuruh diam di rumah melulu. Jauh sedikit
aku dicari ke mana-mana," jawab Wista.
 "Kasihan ..."
 "Lho, apa aku ini orang papa sehingga musti kau kasihani?" Wista tersinggung.
 "Maksudku, kau musti dikasihani sebab hidup hanya menerima rasa manja orang tua."
 "Diberi kemanjaan tandanya disayangi orangtua. Itulah hidup beruntung. Kau kuat berjalan jauh, apa kau
tidak pernah menerima kasih-sayang orangtua Purba?"
 Selintas ucapan Wista ini lucu. Namun bagi Purbajaya terasa amat pahit. Benar ucapan Wista,
Purbajaya tak pernah menerima kasih sayang orang tua. Jangankan kasih-sayang, diberi kesempatan
bertemu muka pun tidak.Purbajaya sedih. Dan untuk menekan rasa sedihnya, dia berlari cepat, cepat
sekali. Sampai-sampai Aditia dan Yaksa pun tertinggal semakin jauh. Sampai-sampai tubuh Wista pun
seperti menggigil tanda dia memang kedinginan karena adanya angin kencang menerpa tubuhnya.
 "Tenagamu hebat, Purba," Wista memuji sejujurnya sambil kedua tangannya berpegang erat pada bahu
Purbajaya.
 "Gurumu pasti sakti sekali," kata Wista lagi.
 "Tapi gurumu pun hebat," jawab Purbajaya.
 "Aku malu, masa guruku hebat aku sendiriletoy begini," keluh Wista.
 "Aku dilatih Ki Guru sudah lama. Kau pun lama kelamaan akan memiliki kepandaian hebat. Mungkin
kelak bisa melebihiku. Dan itu bergantung kepada keteguhan usahamu, Wista," kata lagi Purbajaya.
 Wista ingin terus mengajaknya bicara namun Purbajaya malah memberikan tanda agar pemuda itu
menutup mulutnya. Berbarenngan dengan itu, Purbajaya menghentikan lari cepatnya.
 "Ada apa?" tanya Wista heran.
 "Ada pertempuran ... "
 "Di mana?" Wista celingukan ke kiri dan ke kanan.
 "Saya baru dengar suaranya saja," jawab Purbajaya miringkan kepalanya dan matanya terpejam.
"Aku tak dengar suara apa-apa ... " potong Wista ikut miringkan kepala.
 "Ada ... Ada kudengar dan tidak tidak begitu jauh," kata Purbajaya lagi sambil menurunkan tubuhWista
dari gendongannya.
 "Wista, kau tunggu di sini," kata lagi Purbajaya.
 "Ah, aku pilih ikut saja!"
 "Kau akan terlibat pertempuran, padahal hari-hari belakangan ini kau terus-terusan bertempur," kata
Purbajaya."Itu tak baik bagi kesehatanmu," sambung Purbajaya tapi bicaranya cukup serius.
 Namun Wista memberengut sepertinya tak suka Purbajaya berkata begitu.
 "Saya harus cepat-cepat membantu mereka. Saya rasa gurumu dan Ki Bagus Sura dikeroyok orang,"
tutur Purbajaya.
 "Apalagi begitu, aku harus bela guruku!"desak Wista.
 Purbajaya tersenyum. Mungkin baru kali ini Wista merasakan, bahwa keberanian itu suatu kebanggaan.
 Oleh sebab itu, Purbajaya tak menahannya. Dia mengangguk mengiyakan dan setelah itu dia melesat
pergi menuju suara yang didengarnya. Dia inginkan, semakin cepat meninggalkan Wista bakal semakin
cepat pula tak memberikan peluang bagi pemuda itu untuk melibatkan diri dalam pertempuran. Purbajaya
yakin Ki Bagus Sura, Ki Dita dan Paman Ranu tengah menghadapi lawan-lawan berat. Kalau Wista yang
kepandaiannya belum seberapa ikut terjun, khawatir akan jadi gangguan saja.
 Tempat di mana pertempuran terjadi memang tak begitu jauh.Kalau tadi tidak terlihat, karena jalan
pedati banyak kelokan.
 Dan ketika tiba di tempat pertempuran, memang benar Ki Bagus Sura, Ki Dita dan Paman Ranu tengah
dikeroyok belasan orang. Yang amat aneh, Ki Bagus Sura dan Paman Ranu mendapatkan tekanan berat
sebab dikeroyok lawan dengan jumlah lebih besar ketimbang pengeroyokan terhadap Ki Dita. Purbajaya
agak sedikit lega ketika Ki Sudireja pun ada di sana dan sama menghadapi para pengeroyok.
 Siapakah yang tengah dihadapi Ki Bagus Sura? Tidakkah mereka anggota Pasukan Siluman Nyi
Rambut Kasih?
 Purbajaya lebih mendekatkan dugaannya ke arah itu. Belasan orang yang dilawan Ki Bagus Sura
kepandaiannya rata-rata tinggi dan memiliki gerakan aneh yang tak biasa dilakukan oleh akhli-akhli yang
telah dikenal di Negri Carbon, misalnya.
 Gerakan mereka aneh dan sedikit ganas dan sepertinya tak memberikan peluang bagi lawan untuk balas
menyerang. Mereka melakukan pengereyokan dengan membentuk kerja sama yang amat baik, saling
menutup dan saling memberi peluang agar teman bisa melakukan serangan dengan baik. Mereka bahkan
bisa membentuk sebuah formasi tempur yang baik sehingga kepungan rapat yang mereka lakukan sulit
ditembus baik oleh Ki Bagus Sura mau pun oleh Paman Ranu. Hanya Ki Sudireja seorang yang sanggup
mengimbangi gempuran para pengeroyok. Kendati dia tak bisa balas menyerang namun serangan lawan
bisa dihambat.
 Ki Dita pun sama dikepung. Namun jumlah pengepungnya tak begitu banyak dan mereka tidak membentuk formasi tempur khusus.
 Ini adalah pertempuran "tak adil". Masa Ki Bagus Sura dan Paman Ranu begitu ketat menghadapi
perlawanan, sementara Ki Dita santai-santai saja. Sepertinya kelompok penghadang ini hanya akan
menitikberatkan perhatiannya untuk menyerang Ki Bagus Sura dan Paman Ranu saja.
 Purbajaya tidak bisa banyak berpikir sebab dia harus segera menerjunkan diri ka kancah pertempuran
untuk membantu Ki Bagus Sura. Orang tua ini sudah nampak kepayahan. Di sana-sini sudah terlihat luka
berdarah karena goresan senjata tajam. Paman Ranu bahkan lebih parah lagi. Bahu kanannya banyak
mengucurkan darah karena tertusuk pedang.
 Purbajaya harus berhati-hati sebab baik gerakannya mau pun tenaga dalamnya, para pengeroyok terlihat
hebat. Dalam satu gebrakan saja Purbajaya hampir terluka oleh tusukan pedang dua orang lawannya
yang melakukan serangan hampir berbareng. Mereka melakukan serangan dari dua jurusan,
masing-masing mengarah kepada bagian tubuh yang lemah.
 Purbajaya agak sulit untuk memastikan serangan lawan sebab dia baru saja meloncat ke dalam arena.
Menerima serangan secepat itu, seharusnya tubuh Purbajaya mundur dengan jalan menotolkan ujung kaki
menjauh ke belakang. Namun usaha seperti itu akan percuma saja. Selain ketika tadi meloncat ke tengah
arena tubuhnya doyong ke depan juga karena serangan lawan dari depan demikian cepatnya.
 Satu-satunya cara dalam memecahkan serangan ini bukan dengan menghindarinya, melainkan dengan
menyampoknya. Oleh sebab itu Purbajaya segera melakukan tindakan cepat. Ketika serangan pedang
meluncur mengarah mata, Purbajaya mengangkat tangan kanannya. Bukan untuk merebutnya, melainkan
untuk menyampok punggung pedang keras-keras dari atas mengarah ke bawah.
 Si Penyerang seperti terkejut menerima perlawanan seperti ini. Dan kesempatan ini digunakan oleh
Purbajaya untuk kian menekan lawan. Tenaga tangkisan dan sampokan dilakukannya sepenuh tenaga.
 Menerima sampokan amat keras ini, batang pedang meluncur ke depan, tersampok ke bawah dan
membentur pedang temannya yang juga tengah meluncur mengarah perut Purbajaya. Akibat benturan dua
logam keras, bunga api berpijar ke sana ke mari.
 Purbajaya lolos dari serangan dua lawannya. Namun demikian dia tak bisa bernapas lega sebab
serangan baru mulai muncul kembali. Maka pertempuran semakin seru sebab Purbajaya mendapatkan
keroyokan yang ketat pula.
 Namun kehadiran Purbajaya agak mengubah keadaan. Pihaknya sudah terlihat tidak terlalu tertekan lagi.
Namun demikian, Ki Bagus Sura dan Paman Ranu yang dibantu Purbajaya sudah terlihat semakin payah.
Paman Ranu yang selama di perjalanan tidak terlalu banyak bicara dan kerjanya hanya mematuhi
majikan, kini bahkan sudah tergolek lemah di atas tanah dan darah di bahu kanannya terus-terusan
mengucur deras. Di mulutnya pun terlihat lelehan darah segar. Mungkin dia pun terluka dalam cukup
hebat.
 Nasib yang tak lebih baik dari itu pun melanda Ki Bagus Sura. Dia terluka parah di bahu bagian kirinya
sehingga dalam gerakannya nampak kaku dan mulutnya selalu meringis menahan sakit.
 Sementara Ki Dita pun ada terlihat berdarah. Namun dia hanya luka ringan, yaitu goresan ujung pedang
di tangan. Gerakannya masih cepat sehingga lawan tak punya kesempatan melakukan serangan
berbahaya.
Pada akhirnya, Purbajaya hanya bahu-membahu dengan Ki Sudireja saja. Dua orang itu bisa
bekerja-sama saling menutup dan saling membantu melakukan serangan sehingga lawan nampak tertekan
dan kepayahan juga.
 Purbajaya menyukai gaya permainan Ki Sudireja. Tak dinyana, dalam menghadapi pengeroyokan
lawan, Ki Sudireja bisa memadukan gerakannya dengan gerakan Purbajaya. Dan Ki Sudireja pun
nampak puas dengan penampilan Purbajaya. Kendati ada sedikit tetesan darah, namun mulut Ki Sudireja
tersenyum. Sedikit demi sedikit dua orang itu bisa menekan para pengeroyoknya.
 "Mundur!" terdengar aba-aba dari salah seorang pengeroyok.
 "Jangan lari, serahkan dulu anak itu!" teriak Ki Sudireja.
 "Anak itu dari keluarga Pajajaran. Jangan racuni dia!" jawab dari angggota pasukan itu.
 "Dungu!" dengus Ki Sudireja kesal.
 "Kalian pun harus mengembalikan surat daun lontar ... " kata Ki Bagus Sura dengan suara kepayahan.
 "Surat ada di tangan kami tapi tak boleh tiba di Talaga!" seru salah seorang dari mereka sambil kembali
memberikan aba-aba dan akhirnya semua berloncatan menuju hutan yang gelap. Mereka hanya
meninggalkan satu orang yang tergeletak lemah dan tengah ditodong dengan ujung pedang oleh Ki
Sudireja.
 Purbajaya bersyukur ada salah seorang dari anggota pasukan siluman yang bisa ditangkap. Dengan
demikian dia bisa mengorek keterangan yang diperlukan. Namun demikian, ada tersembul rasa aneh.
Mengapa pasukan misterius yang serba tersembunyi meninggalkan begitu saja temannya yang luka,
bukankah ini sama artinya memberi peluang agar komplotan itu terbuka kedoknya?
 Bertepatan dengan menghilangnya pasukan siluman ke hutan lebat, tiba pula tiga orang murid Ki Dita.
Mereka serta-merta mencabut senjata masing-masing dan dilayangkannya ke arah tubuh anggota
pasukan siluman yang tengah ditodong senjata oleh Ki Sudireja.
 Purbajaya terkejut dengan peristiwa mendadak ini. Namun Ki Sudireja dengan entengnya menepis
ketiga hujan serangan itu.Pedang dan golok beterbangan ke udara disertai pekikan kesakitan dari para
pemegangnya. Namun sambil meringis memegangi pergelangan tangan masing-masing, ketiga orang
pemuda itu lantas menghambur hendak menyerang Ki Sudireja.
 "Kau menahan kami membunuh penjahat ini, berarti kau pun komplotan mereka juga," kata Aditia
berang dan menyerang Ki Sudireja. Namun hanya dengan menggerakkan tangan kirinya saja, Aditia
terlempar ke belakang. Beruntung kali ini di sana tidak terdapat batang pohon yang dekat dengan
jatuhnya tubuh Aditia.
 Yaksa dan Wista akan segera bergerak tapi giliran Purbajaya yang menahan mereka.
 "Tak perlu melakukan pembunuhan," kata Purbajaya.
 "Purbajaya musti dibunuh!" teriak Aditia yang sudah bangun kembali.
 "Kurasa mereka bukan penjahat ..." gumam Purbajaya.
"Mereka adalah kelompok yang berbeda pendapat dengan kita, dengan penguasa di negri kita" ujar
Aditia lagi.
 "Tapi berbeda pendapat bukan berarti jahat, bukan?" tanya Purbajaya.
 "Pendapatmu aneh dan kacau, Purba. Aku hanya mau bilang kalau pasukan siluman ini pengacau dan
pengganggu ketertiban. Mereka pun amat meresahkan masyarakat. Kalau kita katakan mereka itu
berbeda pendapat dengan kita, maka itulah kejahatan sebab karena mereka beda pendapat dengan kita
maka kita menjadi resah," tutur Aditia lagi.
 "Keresahan karena beda pendapat bisa kita redam dengan cara memberikan penjelasan sebaik mungkin
sehingga mereka akhirnya mengerti bahwa tujuan kita baik. Bila mereka sudah tahu makna perjuangan
kita, rasanya mereka tak akan terus-terusan mengganggu kita," kata Purbajaya.
 Pertikaian pendapat tak berlanjut sebab secara tiba-tiba tawanan segera bangkit dan menghambur ke
depan menubrukkan tubuhnya ke mata pedang yang ditodongkan Ki Sudireja. Semua orang tercengang
dan tak bisa menggagalkan peristiwa ini. Maka tak ayal tubuh tawanan itu terpanggang batang pedang.
Dia pun tewas seketika.
 Purbajaya baru mengerti, mengapa teman-temannya membiarkan dia tertinggal seorang diri. Rupanya
semua anggota pasukan siluman sudah sepakat, kalau peluang untuk kabur sudah tak ada, maka mereka
akan bunuh diri, sehingga kerahasiaan pasukan tetap terjamin.
 "Purba ... " tiba-tiba terdengar Ki Bagus Sura memanggil lemah. Dia terlihat telentang di tanah dengan
darah bersimbah di beberapa bagian tubuhnya.
 Purbajaya memeriksa. Sebetulnya tidak ada luka yang membahayakan. Namun darah yang keluar cukup
banyak sehingga Ki Bagus Sura begitu lemah.
 "Purba ... Aku gagal mengemban tugas ... " katanya lemah.
 "Perihal surat daun lontar itukah?"
 "Benar. Itu surat amat penting dan harus sampai ke Talaga. Isinya, perihal keberadaan Raden Yudakara.
Ah ... aku tak bisa menyampaikannya ..." keluh Ki Bagus Sura. Nampak ada lelehan air mata di pipinya.
 "Saya bersedia menyelamatkan surat itu," kata Purbajaya. Dia amat tertarik sebab isi surat dikhabarkan
memperbincangkan perihal keberadaan Raden Yudakara. Purbajaya pun mengatakan kesanggupannya
karena ingin menenangkan hati Ki Bagus Sura. Namun demikian, wajah Ki Bagus Sura tetap kelabu.
Dan Purbajaya sadar, sebenarnya Ki Bagus Sura tidak percaya kalau Purbajaya bisa melaksanakan
tugas ini dengan baik. Bukankah sudah terbukti, dengan orang sebanyak ini pun upaya merebut surat dari
tangan perampasnya sungguh sulit dilakukan? Apakah dayanya Purbajaya seorang sehingga berkata
sanggup untuk melakukan tugas seberat itu?
 "Aditia, kau ke sini ... " kata Ki Dita sesudah mendengar percakapan ini.
 Aditia memang sempat terluka karena benturan di punggungnya. Tapi bila dibandingkan dengan yang
lain, dia termasuk utuh.
 "Ada apa, Ki Guru?" jawabnya sesudah menghampiri.
"Kau, Yaksa dan kemudian Wista harus temani Purbajaya mengejar surat daun lontar yang kini dikuasai
pasukan siluman. Camkan, barang berharga itu harus bisa diselamatkan," kata Ki Dita bernada perintah.
 "Tanpa Purbajaya, saya pun bisa bergerak sendiri!" jawab Aditia angkuh.
 "Diam kau, dan hilangkan sikap sombongmu itu!" teriak Ki Dita jengkel."Hanya karena keangkuhanmu
dan tak bisa tahan emosi maka kita jadi begini," kata Ki Dita lagi dengan nada kecewa
 "Mengapa saya yang disalahkan?" Aditia memberengut.
 "Kau serta-merta menyerang Ki Sudireja dan kemudian kau luka. Akibat lukamu, kau tak bisa bantu
kami dengan baik. Untuk berjalan cepat menuju ke sini saja kau kedodoran." cerca Ki Dita lagi.
 "Saya beberapa kali melakukan pertempuran sudah barang tentu banyak luka. Tapi coba Ki Guru lihat
Si Purbajaya ini, kapan dia berupaya mempertahankan keberadaan pasukan kita? Sedangkan musuh
sudah dikuasai kita pun dia malah halang-halangi kita untuk menumpasnya. Tak masuk akal. Saya
cenderung curiga kalau orang ini bersekongkol dengan musuh atau bisa juga pembelot," jawab Aditia
belok menekan Purbajaya.
 "Huh, malu aku memberikan ilmu tempur yang mengandalkan kehalusan budi. Perangaimu kasar dan tak
mungkin lulus dalam menjalankan pelatihan ini. Aneh sekali, mengapa perangai halus hanya terlihat pada
diri Si Purba dan dia kebetulan bukan muridku?" keluh Ki Dita pada akhirnya. Terlihat dia menjambak
rambutnya sendiri saking kesalnya.
 "Guru, jangan marah begitu. Kami akan taati apa kehendakmu. Sekarang pun kami berempat siap
berangkat," Wista memotong ketika dilihatnya Ki Dita demikian jengkel terhadap Aditia.
 "Purba ... Cepatlah berangkat," kata Ki Bagus Sura dan suaranya semakin lemah saja.
 "Tapi saya harus merawat luka kalian dulu," pinta Purbajaya.
 "Sudah tak ada waktu lagi. Biarlah kami bisa merawat sendiri. Yang penting, surat harus bisa
diselamatkan ... " desak Ki Bagus Sura. Batuk-batuk sebentar dan keluar darah segar walau sedikit.
 "Bagaimana bila surat tak terselamatkan?" Purbajaya mengajukan pertanyaan yang sebetulnya dia pun
tak suka.
 "Hanya satu akibatnya, tugasmu bakal semakin berat ... " desah Ki Bagus Sura payah. Lalu dia
melambaikan tangannya agar Purbajaya mendekatkan kapalanya.
 "Kalau surat tak terselamatkan, kau sendirian harus selidiki keberadaan Raden Yudakara. Tugasmu ini
bukan untuk kepentinganku semata ... Bukan pula untuk Sumedang dan Talaga, melainkan juga
kepentingan Carbon dan ketentraman di wilayah Jawa Kulon ini secara keseluruhan ... " kata-kata Ki
Bagus Sura semakin pelan juga. Namun kalimat-kalimat terakhir ini sungguh amat memukau hati
Purbajaya. Siapakah Raden Yudakara sehingga begitu dicurigai dan begitu dirisaukan sebesar ini oleh
orang Sumedanglarang?
 "Mari semua kita berangkat!" ajak Yaksa tak sabar melihat Ki Bagus Sura dan Purbajaya saling bisik
seperti layaknya dua kekasih hendak berpisah.
 "Dan ingat ... Rawatlah anakku Si Yuning. Tentramlah sudah hatiku bila anak itu bisa tinggal bersamamu
... " bisik lagi Ki Bagus Sura. Kini sepasang matanya terpejam. Hanya air matanya saja yang terus
meleleh di pipinya yang terkena debu jalanan.
 "Berangkatlah Purba ... " kata Ki Dita.
 Purbajaya menatap sejenak kepada orang tua ini. Dia tak bisa pastikan perangai dan isi hati Ki Dita.
Kadang-kadang keras kadang-kaang lemah. Tadi dia curiga mengapa orang tua ini tidak diserang
habis-habisan oleh pasukan siluman. Tapi melihat pembelaannya kepada Ki Bagus Sura dalam urusan
penyelamatan surat penting, rasa curiga terhapus pula. Apalagi ketika Ki Dita memuji dia, semakin luluh
pula kesan buruk pada orang tua ini.
 "Saya tak bisa merawat lukamu, Ki Dita ... " kata Purbajaya pelan.
 "Aku bisa merawat lukaku ... " jawab Ki Dita pendek. 
 ***
 
 Maka pergilah Purbajaya mengemban tugas, ditemani Aditia, Yaksa dan Wista. Ada seorang lagi yang
ikut menyertai mereka yaitu ki Sudireja.
 Aditia dan Yaksa berjalan di depan sepertinya sengaja menghindar dari Purbajaya. Sementara Wista
melangkah sendirian saja. Dia mungkin bimbang. Untuk berjalan bersama dua orang temannya, mereka
seperti tengah tak menyenanginya. Tapi bila bergabung kepada Purbajaya, malah dia jadi tak enak
kepada kedua orang temannya.
 Sementara itu Purbajaya berjalan paling belakang, berdua dengan Ki Sudireja.
 "Anda pernah ke Carbon ... ?" tanya Purbajaya sekadar memecah kesunyian belaka.
 "Untuk melawan Pajajaran, aku bisa pergi dan gabung ke mana saja," jawab Ki Sudireja pendek.
 "Jangan gabung ke mana saja. Bagaimana kalau ternyata diketahui gabung dengan kelompok yang ingin
mementingkan kepentingan pribadi saja?" tanya Purbajaya jadi mulai berdebat.
 "Sepanjang memiliki persamaan tujuan, kadang-kadang dengan yang tak sehaluan pun bisa bersatu.
Nanti kalau tujuan yang sama sudah tercapai, otomatis memisahkan diri," jawab Ki Sudireja enteng saja.
 Tak demikian dengan hati Purbajaya. Dia malah jadi melantur ke sana ke mari. Dan secara tak sengaja
hatinya jadi curiga kepada Ki Sudireja ini. Jangan-jangan orang seperti Ki Sudireja bakal masuk
kelompok yang sekiranya bisa mengacaukan keadaan. Dia mungkin bisa bergabung dengan Carbon
dalam upaya melawan Pajajaran. Tapi siapa kelak yang akan dia ikuti? Bukankah di Carbon sendiri
banyak kelompok yang berbeda paham dalam melihat keberadaan Pajajaran ini?
 Hati Purbajaya tersenyum kecut. Urusan mengenai Pajajaran telah menjadikannya kemelut tersendiri.
Sementara para pemegang keputusan di Carbon sendiri berpendapat bahwa Carbon sudah tak berniat
melawan Pajajaran dengan kekuatan militer. Namun demikian, di antara mereka masih ada yang
berambisi untuk mempertaruhkan kekuatan militer guna menghancurkan Pajajaran.
 "Pajajaran itu negara besar dan akan lebih besar lagi kalau dilandasi oleh tatanan agama baru," kata
Pangeran Suwarga manggala (panglima perang) Negri Carbon tempo hari. Ucapan ini sangat
mengisyaratkan bahwa Carbon tidak punya keinginan kalau Pajajaran harus hancur. Tapi tak begitu
pendapat sekelompok orang. Bahkan Purbajaya sendiri pun kini tengah "mengemban tugas" dari
Pangeran Arya Damar yang amat menginginkan agar Pajajaran segera lenyap.
 Baik Pangeran Suwarga mau pun Pangeran Arya Damar sepertinya tengah bersaing untuk memberikan
hal yang terbaik bagi negrinya namun dengan sudut pandang yang berbeda. Pangeran Suwarga
berpendapat, Carbon akan semakin besar bila memperlakukan lawan dengan arif, sementara Panageran
Arya Damar berpendapat kebesaran Negri Carbon akan mencuat bila semua negri yang ada di Jawa
Kulon berada di bawah pengaruhnya. Pangeran Arya Damar punya garis keras. Musuh yang
membangkang harus dihancurkan sebab hanya akan mengganggu kelancaran usaha dalam
mempertahankan kebesaran Carbon.
 Tapi bersama Ki Sudireja, Purbajaya jelas tak mau berdebat soal ini sebab dirasa tak akan
bersinggungan. Yang dia lakukan hanyalah bertanya itu-ini perihal keberadaan orang tua itu selama ini.
Mengapa dia mengejar terus pasukan siluman?
 "Sudah aku katakan kalau aku tengah memperebutkan seorang anak dengan kelompok itu," jawab Ki
Sudireja pendek.
 "Oh, ya. Saya dengar engkau membicarakan seorang anak. Anak siapakah gerangan?" tanya Purrbajaya
penuh perhatian.
 "Anak itu kelak akan kudidik guna melawan Pajajaran," jawab pula Ki Sudireja. Nampak ada hawa
kebencian di wajahnya yang gelap.
 "Oh, ya ... "
 "Kasihan Si Pragola, bagaimana pula nasib anak itu kini?" keluhnya.
 "Kalau dengar percakapan, anggota pasukan siluman sepertinya tak akan mengganggu anak itu,"
Purbajaya berpendapat.
 "Benar, anak itu tidak akan dianiaya. Tapi ada yang lebih kukhawatirkan selain itu. Anak itu khawatir
dicekoki oleh kepentingan yang bertolak belakang dengan kepentinganku," potong Ki Sudireja sedikit
jengkel."Pasukan siluman pro Pajajaran. Aku takut anak itu dicekoki untuk menjadi orang Pajajaran.
Lebih baik anak itu mati ketimbang menjadi orang Pajajaran," sambung lagi Ki Sudireja. Purbajaya
melihat, betapa Ki Sudireja penuh kebencian terhadap Pajajaran.
 "Yakinkah anda kalau pasukan siluman begitu bersimpati kepada Pajajaran?" tanya Purbajaya
mengerutkan dahi.
 "Mereka adalah kelompok yang bersimpati kepada Nyi Rambut Kasih yang mencoba bertahan dengan
agama lama. Padahal siapa pun tahu, pusat kehidupan agama lama ada di Pajajaran. Kekuatan mana
yang membantu keberadaan pasukan siluman kalau bukan dari Pajajaran?" kata Ki Sudireja yakin sekali.
 "Pasukan siluman dibantu Pajajaran?" tanya Purbajaya lebih menyerupai sebuah pertanyaan untuk
dirinya sendiri.
 "Aku hanya katakan, ada kemungkinan pasukan siluman pun bersimpati kepada Pajajaran. Tapi bukan
tak mungkin mereka pun sebetulnya dikendalikan oleh orang Pajajaran. Mereka ingin mempertahankan
keberadaannya. Dengan demikian, mereka pun pasti ingin berbuat kekacauan di wilayah-wilayah negri
agama baru," tutur lagi Ki Sudireja.
 "Saya jadi ingin tahu bagaimana watak orang Pajajaran itu ... " gumam Purbajaya menatap ke kejauhan.
 "Masyarakat Pajajaran pada umumnya punya disiplin mati yang terlahir dari pedoman agamanya," kata
Ki Sudireja.
 "Apa contohnya?"
 "Mereka mempertahankan kejujuran kendati tahu kejujuran akan merugikan dirinya sendiri. Contohnya,
selama mereka tak pernah mengganggu orang lain, mereka yakin orang lain pun tak akan mengganggu
mereka. Selama mereka tidak menyakiti hati orang lain, maka orang lain pun tak akan menyakitinya.
Mereka hidup bersahaja dan menerima apa adanya. Itulah sebabnya mereka tidak punya rasa iri dan
dengki."
 "Itu adalah sikap terpuji. Tapi apa hubungannya dengan pasukan siluman?" tanya Purbajaya bingung.
 "Bukankah yang aku katakan tadi adalah sikap masyarakatnya? Sementara tidak begitu dengan
orang-orang yang punya keserakahan dalam berpengetahuan. Semakin banyak memiliki pengetahuan,
maka semakin banyak pula memiliki kehendak. Agar kehendak terlaksana, maka segala macam
jerih-payah mereka lakukan. Maka bila tak berhasil dengan tindakan wajar, mereka gunakan
tipu-muslihat. Perilaku jujur dan lugu yang jadi ciri khas orang Pajajaran, mereka gunakan sebagai tempat
sembunyi. Jadi, kalau pasukan siluman demikian licik tindakannya dan selalu main sembunyi, siapa bakal
menyangka kalau kekuatan mereka didukung Pajajaran?" tanya Ki Sudireja.
 "Kalau begitu, jelas mereka dikendalikan oleh orang Pajajaran," potong Purbajaya.
 "Maksudmu, tentu oleh orang yang telah memilikiakal-akalan (politik)," Ki Sudireja balik
memotong,"Aku masih tetap punya keyakinan akan prinsip hidup masyarakat Pajajaran yang asli yang
amat menjauhi kejahatan. Melakukan sesuatu sambil main sembunyi untuk merugikan orang lain adalah
kejahatan. Dan mereka amat menjauhi sikap itu. Kalau berperang melawan musuh, maka mereka
lakukan di tempat terang dan terbuka," sambung lagi Ki Sudireja.
 Purbajaya tersenyum mendengar pendapat orang tua ini. Selintas memang kedengarannya cukup ganjil.
Di lain pihak Ki Sudireja benci Pajajaran dan kalau ada yang mau hancurkan Pajajaran dia siap bantu,
siapa pun adanya. Namun juga di lain pihak dia memuji-muji sikap hidup orang Pajajaran itu sendiri.
 Kalau demikian halnya, maka Ki Sudireja ini sebenarnya orang yang pandai memilah-milah, tidak
menggambar hitam di atas yang putih atau pun sebaliknya. Yang dia benci hanyalah para pejabatnya yang
dikatagorikan Ki Sudireja sebagai kelompok yang sudah mengertiakal-akalan (politik), sementara
masyarakatnya sendiri yang lugu dan bersahaja tetap dipujinya sebagai manusia yang memiliki perasaan
kemanusiaan.
 Namun demikian, apakah sudah pas pula penilaian Ki Sudireja ini? Mengapa kalangan bangsawan dan
pejabat pun tidak dia pilah-pilah? Atau apakah memang benar semua pejabat di Pajajaran perangainya
sudah sedemikian buruk karena mereka telah terbiasa dengan kehidupanakal-akalan ? Purbajaya jadi
teringat negrinya sendiri. Di Carbon banyak pejabat dan banyak yang sudah berkecimpung dalam
kehidupan politik namun ternyata nilai keberadaannya masih bisa dipilah-pilah. Menurut penilaian
Purbajaya, tak semua yang mengenal kehidupan politik jadi tidak memiliki nilai kemanusiaan, tapi juga
memang banyak yang kenal kehidupan politik lantas perangainya menjadi buruk.
Dan karena hal ini seharusnya manusia tidak menilai buruk atau baik hanya karena orang bergelut dalam
kehidupan politik. Nilai manusia akan didapat bila bagaimana sebenarnya mereka bisa mengendalikan
perangkat kehidupan untuk diabdikan kepada hal-hal yang berguna buat kepentingan umat manusia.
Begitu yang terpikir oleh Purbajaya ketika itu. Sadar atau tidak, dirinya kini sudah terlibat ke dalam
urusan yang bernama politik. Namun agar dia tidak terseret oleh kepentingan-kepentingan yang merusak,
maka dia perlu hati-hati dalam memilih, kekuatan mana yang musti dia dukung, kelompok mana yang
harus dia ikuti.
 Sementara Purbajaya sendiri hati kecilnya kurang setuju dengan pendapat Ki Sudireja ini. Dia akan "ikut
pada siapa saja" yang sekiranya akan menempur Pajajaran, bukan dilandasi oleh kepentingan politik
pula, melainkan hanya melulu berkutat dengan kepentingan dirinya sendiri. Katanya, dia adalah orang
yang merasa sakit hati oleh kebijakan penguasa Pajajaran, makanya dia inginkan Pajajaran hancur.
 Ki Sudireja bukan orang berpolitik dan tak kenal politik. Namun malah orang seperti inilah yang
sebenarnya bisa membahayakan kedamaian. Karena buta politik, karena rasa sakit hati pribadi dan
kecewa kepada penguasa, maka kebenciannya bisa tumpah kepada siapa saja, termasuk kepada orang
yang sebenarnya tidak berdosa. Ini amat berbahaya.
 Ki Sudireja sakit hati kepada Pajajaran karena ketika Talaga, negrinya tempat dia mengabdi,
ditaklukkan Carbon, namun Pajajaran sama sekali tak membelanya.
 "Daripada berusaha melindungi, malah memerangi," kata Ki Sudireja dengan nada suara mengandung
dendam kesumat.
 Orang tua ini memberikan contoh, beberapa tahun silam sebuah wilayahkacutakan (wilayah setingkat
kecamatan kini), diperangi pasukan dari Pakuan karena wilayah ini dicurigai telah memindahkan
kesetiaannya dari Pajajaran ke Carbon. Yang dimaksud di sini adalah Kacutakan Caringin yang terletak
di wilayah utara, berbatasan dengan kekuasaan Carbon.
 "Anak kecil berusia tujuh tahun yang aku ingin rebut dari kungkungan anggota pasukan siluman bernama
Pragola adalah anakCutak Caringin. Dalam peristiwa itu, Cutak Caringin telah kehilangan anak
pertamanya, juga seorang anak lelaki. Dan karena banyak memikirkan peristiwa ini, akhirnya Cutak
Caringin mati karena sakit keras. Belakangan istrinya pun ikut mati. Maka Si Pragola, anaknya aku urus.
Akan aku didik anak itu agar kelak sesudah dewasa menjadi orang yang bisa melawan Pajajaran," kata
Ki Sudireja gemas. Sepertinya di dalam benaknya tergambar lagi peristiwa di wilayah Caringin itu.
 Purbajaya melangkahkan kaki dengan penuh perenungan di benaknya.
 "Begitulah kebencianku kepada Pajajaran," gumam Ki Sudireja lagi."Sabda ratu takdigugu (ditiru)
sebab perilakuratu (penguasa) sudah tidak lagi mencerminkan keinginan rakyat."
 Percakapan Purbajaya dan Ki Sudireja terhenti karena di depan, Aditia, Yaksa dan Wista mendadak
menghentikan langkahnya.
 "Ada apa?" Purbajaya bertanya heran.
 "Lihat itu, terdapat puluhan jejak telapak kaki!" Yaksa menunjuk ke arah tanah berdebu.
 Purbajaya meneliti keadaan tanah di sekitar itu. Benar banyak didapat bekas telapak kaki. Telapak kaki
amat mengesankan sebagai bekas serombongan pasukan lewat ke tempat itu. Belasan atau puluhan
tapak kaki itu pada mulanya manyusuri jalan pedati, kemudian ketika jalan pedati terpotong sungai lebar
berair dangkal, telapak kaki belok memasuki kawasan hutan.
 "Mereka memasuki hutan. Mari kita ikuti terus ke hutan," kata Aditia sambil segera melangkah hendak
memasuki hutan belantara yang gelap.
 "Nanti dulu!" Purbajaya menahannya.
 "Mengapa? Kau takut?" Aditia mengejek dengan dengusan.
 "Bukan itu. Tapi kita jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Belum tentu rombongan belok ke
hutan," kata Purbajaya.
 "Ah, dasar dungu. Sudah jelas belok ke hutan. Lantas ini tapak kaki apa? Kaki gajah, gitu?" tanya Aditia
masih dengan nada ejekan.
 "Bisa saja mereka sebetulnya lurus menyusuri jalan pedati. Tapi karena terpotong sungai lebar maka
tapak kaki tak terlihat lagi," Purbajaya tetap bertahan dengan pendapatnya.
 "Mereka sudah menduga kalau kita menguntit terus. Jadi mereka pilih jalan yang sulit diikuti," bantah lagi
Aditia dengan suara ngotot.
 "Ya. Dan karena punya keyakinan begitu, maka kita dikecoh mereka dan dibawa ke jalan yang salah.
Sementara mereka sendiri berjalan lurus menyusuri jalan pedati," Purbajaya pun masih ngotot.
 "Yaksa, Wista, dari sekumpulan orang yang ada di sini, hanya kita bertiga yang asli orang
Sumedanglarang. Hanya kita bertiga yang sadar akan arti pembelaan terhadap negri kita. Purbajaya jelas
orang Carbon, sementara yang satunya kita bahkan tak tahu asal-usulnya. Oleh sebab itu, kalian harus
ikut pendapatku. Jangan takut, mari kita susuri lebatnya hutan ini. Kita harus rebut surat daun lontar yang
isinya pasti amat penting itu," kata Aditia mengajak kedua temannya untuk memilih jalan yang
dianggapnya benar.
 "Purba, aku setuju pendapatmu," Ki Sudireja menyela namun bukan menyanggah perkataan Aditia."Dan
karena begitu, aku akan susul mereka lewat jalan pedati. Sementara itu, kau ikuti saja dulu pendapat
anak-anak dungu ini."
 Ki Sudireja tak menanti jawaban Purbajaya tapi akan segera langsung meloncat dan hendak segera
pergi berlari menyusuri jalan pedati.
 "Purba, jangan kau memilih apa yang kami pilih hanya karena diperintah orang asing itu. Kalau pun ikut
aku kau harus percaya perhitunganku," kata Aditia.
 "Tapi yang penting, engkau ikut kami," Wista menyela dengan penuh harap.
 "Ah, kau jangan merengek-rengek minta bantuan orang!" hardik Aditia.
 Ki Sudireja mendengus."Purba, siapakah anak pongah yang selain angkuh tapi juga tak sopan terhadap
gurunya ini?" tanya orang tua itu mendelik.
 "Mereka adalah putra-putra pejabat dari Sumedanglarang," jawab Purbajaya.
"Jangan coba menilai diriku," potong Aditia tak senang."Diajari atau pun tidak oleh Ki Guru Dita, tak
mengubah kedudukanku sebagai anak seorang pejabat. Sementara Ki Dita sendiri hanyalah pegawai
ayahku, kebetulan saja bekerja sebagai guru kewiraan. Jadi, siapa pun dia bagiku, tetap sama saja hanya
sebagai bawahan ayahku," sambung Aditia dengan angkuhnya.
 Untuk ke sekian kalinya Ki Sudireja mendengus penuh ejekan. Sesudah itu, baru dia meloncat pergi.
 Sepeninggal Ki Sudireja, Aditia pun segera mengatur rencana dan benar-benar menempatkan dirinya
sebagai pemimpin perjalanan.
 "Engkau berjalan paling belakang, Purba, untuk mencegah hal-hal tak diinginkan di belakang kita.
Sementara tugas mencari jejak harus dikerjakan oleh orang yang teliti," kata Aditia.
 "Biar aku yang jalan di muka!" seru Wista.
 "Tidak, kau bodoh dan semberono. Biar aku saja," potong Yaksa.
 "Tidak," giliran Aditia yang memotong omongan."Yang jalan di muka meneliti jejak hanyalah aku,"
katanya pasti. Semua mentaatina, tidak juga Purbajaya.
 Maka berjalanlah empat orang muda itu secara beriringan. Aditia tak bisa jalan cepat sebab kerjanya
meneliti keadaan tanah di depannya.
 Dan nyatanya mencari jejak sungguh sulit, apalagi di dalam hutan lebat yang gelap dan terkadang tanah
yang diinjak terasa keras karena bercampur cadas.
 "Coba lihat, betul, kan?" Aditia menunjuk pada satu jejak kaki. Aditia senang karena masih tetap
berhasil menyusuri jejak yang dia maksud.
 Purbajaya pun memang melihat jejak telapak kaki. Tapi setelah diteliti dengan seksama, jejak itu penuh
keganjilan.
 "Berhenti dulu," serunya.
 Semua orang terpaksa merandek.
 "Ada apa?" Aditia mengerutkan dahi, kemudian menyeka keringatnya yang bersimbah deras di seluruh
wajahnya.
 "Aku sangsi kalau mereka betul lewat sini ... " kata Purbajaya kemudian.
 "Dasar dungu. Apa tak kau lihat jejak-jejak ini terus memanjang?" kembali Aditia berang dengan
pendapat Purbajaya ini.
 "Betul ini telapak kaki tapi keadaannya sungguh ganjil," jawab lagi Purbajaya.
 "Ganjil apanya," tanya Aditia.
 "Tanah di sekitar sini tidak begitu lembek tapi mengapa jejak telapak kaki demikian dalam?" tanya
Purbajaya sambil meneliti jejak-jejak itu.
"Kan mereka adalah anggota pasukan siluman yang punya kepandaian tinggi. Jadi sudah barang tentu
dalam berjalan mereka kerahkan tenaga dalam,"kata Aditia berkilah.
 "Untuk apa mengobral tenaga seperti itu?" tanya Purbajaya.
 Semua diam, tidak terkecuali Aditia.
 "Untuk memperlihatkan kepada kita bahwa mereka benar-benar lewat sini? Aneh, tahu dikuntit orang
malah sengaja memperlihat jejak sejelas ini?" kata lagi Purbajaya.
 Lagi-lagi semua diam, tidak pula Aditia.
 Maka Purbajaya lanjutkan perkiraannya.
 "Betul juga, jangan-jangan kita dikibuli oleh mereka," Wista nyeletuk. Namun hal ini amat tak disenangi
Aditia.
 "Jadi, tapak apakah ini kalau bukan tapak manusia," tanya Aditia mengejek.
 "Kita bukan sedang berbantahan apakah ini tapak manusia atau kera. Hanya aku katakan kalau mereka
sebenarnya tengah mengecoh kita. Mungkin mereka pernah sampai tempat ini. Namun ini bukan tujuan
mereka untuk lewat sini," kata Purbajaya.
 "Aku tak paham jalan pikiranmu," bantah Aditia.
 "Begini," potong lagi Purbajaya."Mereka berjalan dulu sampai sini, lantas mereka kembali lagi menuju
jalan pedati."
 "Tidak kulihat telapak kaki mereka pulang kembali ke arah berlawanan ... " bantah Aditia bingung.
 "Memang tidak terlihat sebab mereka menapakkan kakinya kepada bekas jejak mereka sendiri. Wista,
coba kau peragakan," kata Purbajaya menyuruh Wista.
 "Musti bagaimana?" Wista bingung.
 "Coba jejakkan sepasang kakimu, musti pas di telapak yang ini," Purbajaya memandu Wista untuk
menjejakkan kaki di bekas telapak kaki yang sudah ada.
 "Ya, sudah. Lantas, bagaimana?" tanya Wista.
 "Sekarang kau berjalan mundur sambil kakimu tetap ikut nebeng ke jejak telapak lama," kata Purbajaya.
 Wista mengikuti perintah ini. Dengan hati-hati dia berjalan mundur dan telapak kakinya menginjak pas
kepada jejak lama.
 "Nah, mereka kembali ke jalan pedati dengan cara seperti itu. Lihatlah, jejak semakin dalam sebab jejak
itu diinjak dua kali," kata Purbajaya pasti.
 Yaksa dan Wista bimbang. Mereka menatap Aditia dan tak berani salah bicara.
 "Mungkin begitu tapi belum tentu begitu ... " kata Aditia dengan nada suara yang tak pasti."Tapi mari kita
ikuti saja sampai ke mana telapak kaki ini melangkah. Siapa tahu, pendapatkulah yang benar," kata
Aditia akhirnya.
 "Lanjutkanlah dulu penelusuranmu," kata Purbajaya pada Aditia.
 Maka mereka pun melangkah kembali. Tapi semakin dalam masuk hutan, semakin gelap juga keadaan.
Matahari sudah tak tembus ke tanah saking lebatnya dedaunan.
 Dan yang lebih parah, kenyataan membuktikan, telapak itu bohong sebab terputus begitu saja.
 "Mengapa kau merandek, Aditia?" tanya Yaksa heran.
 "Jejak itu hilang ... " Aditia kecewa.
 Yaksa dan Wista nampak lebih kecewa lagi. Mereka berdua mengeluh sambil menyeka keringat deras
di wajahnya.
 Jejak itu ketika tiba di hutan yang agak terbuka seperti menghilang begitu saja. Sepertinya para pemilik
jejak kaki itu langsung terbang ke langit.
 "Mustahil hilang begitu saja ... " gumam Aditia.
 "Tentu tidak mustahil kalau pendapatku diterima," jawab Purbajaya.
 "Ya, kalau begitu pendapat Si Purbalah yang benar," kata Wista.
 "Sialan, kita ditipu mereka ... " omel Yaksa sambil memeriksa lukanya yang masih.
 "Kita kena tipu karena kebodohan Aditia. Coba kalau tadi menurut apa kata Si Purba, takkan begini
jadinya," Wista jadi menimpakan kesalahan ini kepada Aditia.
 "Kalau Si Purba pandai, mengapa dia ikut kita juga? Mustinya dia tetap bertahan dengan pendapatnya
kalau benar-benar merasa yakin," Aditia tak mau disalahkan.
 ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa