Langsung ke konten utama

KEMELUT DI CAKRA BUANA 15

"KAU nampaknya amat memperhatikan keselamatan jiwa pejabat tua itu, Purba. Hati-hati, jangan
terlalu mencampur-adukkan perasaan pribadi dalam urusan ini," Ki Jongjo memperingatkan Purbajaya
ketika sudah tiba di rumah.
"Saya tidak terlalu bermain dengan perasaan," jawab Purbajaya mencoba mengelak dari tudingan ini.
"Kau mati-matian menyelamatkan jiwa Yogascitra," Ki Jongjo tetap penasaran.
Purbajaya menatap tajam kepada Ki Jongjo. Terkesan sekali sepertinya Ki Jongjo menginginkan jiwa
Ki Yogascitra tidak tertolong.
"Kita harus punya kesepakatan pendapat. Carbon menugaskan saya bekerja pada pejabatpuhawang
(pejabat urusan kebaharian). Supaya bisa diterima dengan baik, maka saya harus cari jasa," Purbajaya
berkilah.
"Bagus kalau begitu. Tapi sekali lagi aku ingatkan, kita tidak berusaha keras agar pejabat tua itu selamat.
Tujuan kita bukan menjaga keselamatan keluarga itu. Bahkan pada suatu waktu, mungkin kita ditugaskan
melenyapkan nyawa mereka sebab dalam upaya merebut kekuasaan Pakuan, mereka adalah tulang
punggung negara. Pakuan susah direbut selama keluarga Yogascitra masih ada," kata Ki Jongjo
memperingatkan.
Purbajaya menatap tajam ke arah Ki Jongjo. Dalam satu dua hari bersamanya, sudah terlihat betapa
sebenarnya orang ini bukanlah rakyat biasa dan apalagi hanya sekadar tukang perahu seperti pertama
kali bertemu. Mungkin di kalangan pemberontak, Ki Jongjo termasuk orang penting juga.
Dan benar juga dugaannya. Sebab malam harinya, tanpa diminta Ki Jongjo pun bercerita perihal dirinya.
 Menurutnya, dulu dia adalah prajurit setia di istana. Namun puluhan tahun mengabdi, hidupnya tak
pernah baik. Dia tak suka mendekat-dekatkan diri kepada atasan, tidak pernah menjilat tidak pula
sengaja mencari-cari jasa. Yang dia kerjakan hanyalah melaksanakan tugas dengan baik. Namun
kenyataannya, kedekatan kepada atasan dan bangsawan ternyata amat mempengaruhi kedudukan
seseorang.
 Siapa yang bisa dekat, bisa menjilat dan bisa memuji-muji atasan, maka dialah yang bisa menerima
kemudahan di istana. Banyak teman seangkatan yang posisinya kini lebih enak ketimbang dia. Bahkan
karirnya sebagai prajurit banyak terlampaui oleh prajurit yang lebih muda.
 "Aku sakit hati, kesetiaanku kalah oleh kelompok penjilat," gumam Ki Jongjo.
 "Mungkin yang menerima pangkat tinggi hanya yang diketahui memiliki kepandaian tertentu saja, Ki
Jongjo ... " berkata Purbajaya. Dan ucapan Purbajaya ini sepertinya menambah kepedihan orang tua itu.
Terlihat dia tertunduk dengan wajah keruh.
 "Ku akui, memang kepandaian berpikirku, bahkan kepandaian lahiriahku masih di bawah mereka. Tapi
apakah kesetiaanku tidak mereka hargai, Purba? Sekarang terbukti, tanpa kesetiaan dan kejujuran,
negara sebentar lagi akan runtuh." kata Ki Jongjo.
 Malamnya Purbajaya jadi susah tidur. Ucapan-ucapan Ki Jongjo terus terngiang. Memang benar, negara
amat membutuhkan orang pandai. Namun apalah kepandaian seseorang tanpa disertai kejujuran dan
kesetiaan. Oleh adanya penghargaan yang timpang, maka marabahaya semakin menggebu bagi sebuah
kehidupan. Buktinya, Ki Jongjo yang mengaku jujur dan setia, manakala merasa usaha-usahanya tidak
dihargai, maka dia berbalik menjadi orang yang akan merugikan negara.
 Purbajaya merenung. Jadi sebaiknya musti bagaimanakah orang bertindak? Hanya memiliki kejujuran
dan kesetiaan saja tanpa punya kepandaian ternyata tidak dihargai. Punya kepandaian tapi tak setia dan
tak jujur malah membahayakan. Mungkin yang benar adalah memiliki kesempurnaan dalam segalanya.
Ya, pandai ya, jujur. Itulah mungkin keinginan manusia, segalanya serba sempurna. Bukan tak ada.
 Tapi hal seperti itu susah dicari. Apa yang dimiliki manusia serba tak sempurna. Itulah mungkin yang
membuat keadaan dunia tidak pernah sepi dari permasalahan. Mungkin satu-satunya hal yang bisa
menekan permasalahan adalah bila manusia bisa meluruskan tujuan hidupnya. Untuk apakah kita punya
kepandaian? Untuk apa pula kita punya kejujuran dan kesetiaan? Untuk dihargai dan dibalas oleh
kebaikan orang? Mungkin di sanalah titik kesalahannya.
 Orang pandai mengabdikan kepandaiannya untuk kepentingan orang banyak selama orang banyak
menghargai dan membalas kebaikannya. Lantas kalau merasa tak dihargai maka dia tidak akan
mengabdikan kepandaiannya untuk kepentingan umum. Demikian pun orang yang hendak memberikan
kejujuran dan kesetiaannya, mereka pilih-pilih dulu, apakah kejujuran dan kesetiannya bakal menerima
balasan setimpal? Lalu, kalau sekiranya tidak akan dihargai, maka lebih baik tidak setia dan tidak jujur
saja.
 Inilah mungkin kesalahan yang dilakukan Ki Jongjo. Kesetiaan dan kejujuran terhadap negara dia
berikan hanya karena mengharapkan balasan dari negara. Setelah ternyata tidak menerima balasan, maka
selain tidak lagi memberikan kejujuran dan kesetiaannya, Ki Jongjo pun berbalik menjadi orang yang
merongrong negara.
 Dia keliru karena mengartikan kesetiaan dan kejujuran sebagai sesuatu yang akan "dijual" kepada orang
lain, lantas kalau tak "dibeli" maka tak usah diberikan. Kesetiaan dan kejujuran tak lebih hanya dijadikan
sebagai ajang untuk meminta dan bukan untuk memberi.
 Purbajaya susah memejamkan mata. Berbagai lamunan datang dan pergi silih berganti. Kini muncul pula
bayangan gadis dari puri Yogascitra. Wajah cantik gadis itu terus melekat di benaknya. Nyimas Banyak
Inten rupanya bukan saja memiliki kecantikan wajah namun juga cantik dalam perilaku.
 Kalau Nyimas Waningyun putri keluarga Pangeran Arya Damar pejabat Carbon, terlihat periang dan
terkadang bermulut bawel pandai bicara, adalah Nyimas Banyak Inten yang pendiam dan tak
sembarangan mengeluarkan perkataan. Kalau Nyimas Yuning Purnama putri keluarga Ki Bagus Sura
dari Sumedanglarang selalu berwajah sayu dan hanya sedikit sekali memiliki senyum, adalah Nyimas
Banyak Inten yang pandai mengulum senyum.
 Ya, Nyimas Banyak Inten tidak seperti Nyimas Waningyun, tidak persis dengan Nyimas Yuning
Purnama yang pendiam, atau bahkan jauh bedanya dengan Nyimas Wulan dari Tanjungpura yang cinta
berahinya panas membara dan sekarang telah dia calonkan sebagai istrinya. Nyimas Banyak Inten tidak
bisa dibandingkan dengan ketiga orang gadis itu.
 Memang sama-sama cantik, namun kecantikan Nyimas Banyak Inten adalah gabungan dari seluruh
banyak kecantikan. Kalau parapohaci (bidadari) saja hanya memiliki kecantikan sebagai seorang
bidadari, maka Nyimas Banyak Inten adalah gabungan kecantikan makhluk kayangan dan makhluk dunia
bernama wanita.
 Nyimas Banyak Inten, entah di mana posisinya, yang jelas telah memiliki kedudukan khusus di hati
Purbajaya. Kedudukan khusus?
 Purbajaya menggetok kepalanya sendiri. Enaknya. Baru satu kali bertemu saja sudah mabuk kepayang.
Lantas, mau dike-manakan kedudukan Nyimas Wulan gadis Tanjungpura itu?
 Dan ingat ini, Purbajaya jadi mengeluh. Untuk kedua kalinya dia getok kepalanya sendiri. Mungkin
begitulah lelaki, gombal, brengsek dan mudah tergoda wajah cantik.
 Purbajaya menyesal, dia mudah digoda cumbu-rayu asmara. Padahal dia sadar, terhadap Nyimas Wulan
dia tidak punya perasaan cinta. Tapi dasar lelaki, digoda dan dirayu wanita cantik, maka runtuh pula
imannya. Dasar lelaki! Dasar lelaki? Mengapa semua lelaki disalahkan? Kemarin dulu, lelaki jahat yang
mudah mengganggu wanita adalah Raden Yudakara dan Ki Jayasena. Sekarang ditambah dirinya.
 Jadi kalaulah mau memaki lelaki, makilah mereka berdua dan yang ketiga tentu dirinya sendiri. Belum
tentu lelaki lain sebrengsek dia dalam memandang dan memperlakukan kaum wanita. Dan berpikir seperti ini, Purbajaya kembali mengeluh. Iman yang ada di dalam dirinya ternyata masih labil. Dia mudah
terpesona melihat wajah cantik seorang wanita.
 Hatinya memang tidak bisa mungkir kalau sekarang semangatnya terbetot bayangan gadis bernama
Nyimas Banyak Inten. Dia cantik. Dia manis. Dia berwajah anggun.
 Tidak menantang namun juga tidak bersifat "kikir" dalam memperlihatkan wajah cantiknya. Lelaki
berpikiran normal tentu akan tertarik kepada gadis itu. Mungkin itu pulakah yang menyebabkan
Purbajaya mati-matian menolong nyawa Ki Yogascitra dari bahaya racun? Kini untuk ketiga kalinya dia
getok lagi kepalanya. Tadi dia menyalahkan sikap Ki Jongjo yang melakukan kebaikan karena ingin
dibalas kebaikan pula. Sekarang giliran dia sendiri yang melakukan pertolongan karena memiliki dasar
pamrih. Sialan!
 Tapi mungkin benar mungkin tidak. Purbajaya mau menolong nyawa Ki Yogascitra mungkin dasarna
karena melihat anak gadisnya yang begitu aduhai. Tapi mungkin juga dia menolong orang karena tugas
kemanusiaan semata. Taruhlah di puri itu tidak ada gadis cantik, apakah Purbajaya akan menolak
melakukan pertolongan? Tidak. Ini bukan kebiasaannya. Dan hati Purbajaya merasa menang karena
memang dia sendiri yang mengusahakan agar dirinyalah yang menang dalam mengeluarkan pendapat
seperti itu.
 Dia benar-benar melakukan pertolongan kepada Ki Yogascitra karena dasar kemanusiaan semata. Dan
dengan demikian, sebenarnya dia telah berbohong kepada Ki J cantik gadis itu terus melekat di
benaknya. Nyimas Banyak Inten rupanya bukan saja memiliki kecantikan wajah namun jugaongjo. Ki
Jongjo menginginkan agar Purbajaya di puri itu jangan melakukan sesuatu berdasarkan perasaan. Dan
dia mengangguk mengiyakan, padahal di relung hatinya dia membantahnya sendiri. Tidak. Dia menolong
Ki Yoagascitra karena berdasarkan perasaan.
 Maka ditambah oleh kehadiran Nyimas Banyak Inten, semakin lengkap pulalah perasaan Purbajaya
bermain di sana. Namun demikian, alasan politik pun tetap tak dia ingkari. Dia masuk ke puri itu adalah
sebagai penyelundup, sesuai seperti apa yang diinginkan Carbon. Dengan berbuat jasa kepada Ki
Yogascitra, maka telah melicinkan usahanya dalam menyelundup ke Pakuan.
 Ya, bagaimana pun, dia adalah mata-mata Carbon. Bukan pula bekerja untuk kepentingan Raden
Yudakara. Purbajaya harus berani mengembalikan posisinya ke arah yang benar, yaitu bekerja untuk
Carbon.
 "Namun bisakah ini kulakukan dengan baik?" pikirnya dalam hati.
 Sekarang malam sudah menjelang. Ki Jongjo sudah terlihat pulas dan terdengar dengkurnya. Maka
Purbajaya kembali menyelinap dari rumah ini untuk untuk kedua kalinya. Kali ini dia ingin menyelidik
kediaman Ki Bagus Seta. Kalau Ki Direja datang dari puri Bagus Seta, maka ada kemungkinan penghuni
puri itu terlibat rencana pembunuhan terhadap Ki Yogascitra. Mengapa mereka akan membunuh pejabat
Pakuan yang jujur itu, itulah sebabnya Purbajaya tertarik untuk menyelidikinya.
 Tadi siang pegawai puri Yogascitra telah menunjukkan di mana letak puri Bagus Seta. Maka di malam
itu, tanpa mengalami kesulitan dia telah bisa menemukan kompleks puri itu. Yang susah justru
memikirkan usaha untuk memasukinya. Puri itu dijaga dengan amat ketat. Bukan saja gerbang depan
dijaga empat orang prajurit, bahkan pada saat-saat tertentu, secara rutin benteng puri dijaga pasukan
yang berpatroli mengelilingi benteng dari ujung ke ujung.
 Purbajaya harus menunggu sekian waktu agar penjaga lewat dulu. Setiap pasukan patroli lewat, setiap itu pula Purbajaya meneliti. Sesudah beberapa kali diteliti, Purbajaya mendapatkan kesimpulan, penjaga
patroli akan kembali lewat ke tempat itu pada setiap hitungan ke limapuluh. Itu berarti untuk mencoba
memasuki wilayah benteng puri dalam, Purbajaya hanya memiliki waktu selama limapuluh hitungan.
 Penjaga yang tengah patroli sudah lewat kembali. Maka sambil hatinya tetap menghitung, Purbajaya
meloncat-loncat untuk mendekati tepi benteng. Pada hitungan ke empatpuluh, Purbajaya baru berhasil
mendekati sisi benteng. Hanya sepuluh hitungan lagi dan Purbajaya harus bisa meloncati benteng.
 Purbajaya segera menghimpun tenaga dalamnya. Sesudah itu, ujung kakinya menotol tanah. Hup,
Purbajaya berhasil meloncat ke atas benteng. Baru saja bernapas, pasukan patroli telah kembali lewat.
 Sekarang Purbajaya meneliti suasana di dalam benteng. Terlihat lengang. Bahkan beberapa bangunan
besar telah memadamkan cahaya lampunya. Namun demikian, ada satu bangunan yang terlihat masih
benderang. Maka Purbajaya memutuskan untuk mendekati ruangan itu.
Purbajaya meloncat-loncat dengan menggunakan ilmunapak-sancang agar langkah kakinya tidak
didengar orang. Ketika sudah tiba di tempat yang dituju, Purbajaya kembali meloncati bibir benteng yang
ada di dekat ruangan. Dari atas benteng dia meloncat ke bibir atap sirap.
 Purbajaya secara hati-hati menguakkan ujung atap sirap. Maka terlihatlah di ruangan dalam dua orang
tengah bersila saling berhadapan. Cahaya yang masuk hanya remang-remang saja sebab di ruangan
dalam, pelita tidak dipasang. Rupanya dua orang itu tidak menyukai cahaya dalam melakukan
percakapannya. Namun demikian, Purbajaya masih bisa saksikan, paling tidak bentuk tubuh dua orang
itu.
Yang seorang berbadan tegap, seorang lagi tubuhnya agak gemuk dengan perut sedikit buncit. Melihat
postur si buncit, Purbajaya jadi teringat peristiwa menculikan atas dirinya. Waktu itu di sebuah ruangan
remang-remang dia ditanyai seorang lelaki berbadan gempal dan berperut buncit. Purbajaya berdebar
hatinya. Dia merasa yakin kalau yang memeriksa dia waktu itu adalah orang yang kini tengah berada di
ruangan itu.
 Purbajaya segera menyimak percakapan di antara mereka. isinya amat mendebarkannya.
 "Maksudmu, Si Yogascitra kau racuni?" tanya lelaki bertubuh gempal berperut buncit.
 "Ya, tapi sayang dia lolos dari maut, Soka ... "
 "Maksudmu, kau akan bunuh Si Yogascitra, Seta?"
 Tidak terdengar jawaban.
 "Si Yogascitra itu pejabat yang terlalu jujur. Orang jujur akan membahayakan. Aku tak mau
akhir-akhirnya dia akan membahayakan gerakan kita," jawab lelaki yang pasti Ki Bagus Seta, pemilik
puri ini."Aku khawatir, lambat-laun dia akan dekat dan dipercaya Raja. Kalau sudah demikian, maka
kitalah yang terancam," katanya lagi.
 "Mustahil dia bisa dekat dengan Sang Prabu. Kau kan tahu, Si Yogascitra berani bersilang pendapat
dengan Raja, sementara itu kita pun tahu pula penguasa Pakuan ini kesenangannya disanjung dan dipuji
serta amat tabu menerima kritik. Asalkan kita sanggup menyenangkan hati Raja, aku yakin, kitalah kelak
yang akan bisa mempengaruhi dan mengendalikan kebijakan Raja," kata lawan bercakapnya yang
Purbajaya mulai menduga, orang itu adalah tokoh Pakuan bernama Bangsawan Soka.
"Aku pun punya keyakinan seperti itu. Tapi akan lebih aman bila pejabat sejujur Si Yogascitra kita
lenyapkan saja," jawab Ki Bagus Seta.
 "Anak tirimu bernama Suji Angkara amat tergila-gila kepada Nyimas Banyak Inten, mengapa tidak kau
gunakan saja perangkat ini? Kau akan lebih baik berbesan saja agar kelak Ki Yogascitra menjadi mitra
kerjamu," Bangsawan Soka memberi usul. Hanya dijawab oleh Ki Bagus Seta dengan dengusan.
 "Ah, hanya urusan anak kecil semata. Asalkan tak ada yang tahu bahwa Si Yogascitra dienyahkan
olehku, maka semuanya akan beres. Dengan kematian ayahandanya, maka Banyak Inten dan kakaknya
akan dekat dengan kita. Mereka akan memilih kita sebagai pelindungnya. Yang aku pusingkan, tugas
yang diemban Ki Direja telah digagalkan oleh seorang anak muda. Anak itu dibawa Ki Jongjo memasuki
puri Yogascitra ... "
 "Hm ... anak muda itu utusan Raden Yudakara dari Carbon. Memang rencananya disusupkan ke puri
itu," jawab Bangsawan Soka. "Yang aku risaukan, ternyata Ki Jaya Perbangsa pun sudah tahu perihal
kedatangan pemuda itu. Kelompok ini rupanya ingin menguasai anak muda itu. Makanya jauh hari Ki
Jongjo sudah menguasai anak muda Carbon itu."
 "Kau maksudkan, anak muda itu tengah diperebutkan?"
 "Tanyakan sendiri kepada Ki Banaspati kakak seperguruanmu, mengapa dia ikut memperebutkan
utusan dari Carbon?" Bangsawan Soka balik bertanya.
 "Hhhh .... Aku pusing dengan tindak-tanduk kakak seperguruanku ini," dengus Ki Bagus Seta.
 "Aku bahkan sudah lama curiga kalau Ki Banaspati sebenarnya memiliki tujuan-tujuan tertentu pula,"
gumam Bangsawan Soka.
 Mereka berdiam diri beberapa lama sampai pada saatnya, Bangsawan Soka mohon diri dari tempat itu.
 Purbajaya pun sedianya akan segera meninggalkan tempat itu ketika secara tiba-tiba terlihat beberapa
cahaya berkeredepan dari pisau-pisau terbang yang dilemparkan oleh Ki Bagus Seta dari bawah dan
diarahkan menyerang dirinya.
 Purbajaya amat terkejut. Dengan adanya serangan ini hanya membuktikan bahwa secara sadar Ki Bagus
Seta mengetahui kalau dirinya diintai orang. Saking cepatnya pisau-pisau ini melesat, Purbajaya tak
sempat menghindar atau pun menangkis.
 Dia pasrah sebab telah menduga tubuhnya akan menjadi santapan empuk serangan pisau-pisau terbang
ini.
 Namun sungguh aneh, ketika matanya sudah terpejam, serangan pisau tak pernah datang. Ke mana
larinya senjata yang tadi beterbangan itu?
 Purbajaya segera membuka matanya. Ternyata di sampingnya sudah terlihat seorang lelaki yang
diketahui sebagai Ki Rangga Guna. Di kedua belah tangannya, pisau-pisau itu telah digenggam orang tua
itu.
 "Cepat loncat sana!" Ki Rangga Guna mendesis seraya mendorong tubuh Purbajaya.
 Sementara itu di ruangan di mana Ki Bagus Seta melepas serangan, sudah terdengar ribut-ribut. Purbajaya menduga kalau para prajurit serta pengawal Ki Bagus Seta sudah diberitahu perihal hadirnya
penyelundup ke wilayahnya.
 "Ayo lari!" ajak Ki Rangga Guna.
 "Ke mana?"
 "Kita menuju wilayah Tajur Agung!"
 "Tajur Agung?" tanya Purbajaya sambil melesat mengikuti ke mana Ki Rangga Guna berlari.
 Purbajaya ingin mengimbangi larinya orang tua itu. Namun yang diimbangi ternyata memiliki ilmu
kepandaian lari yang demikian hebat. Kendati Purbajaya berusaha sekuat tenaga, kecepatan lari Ki
Rangga Guna tak bisa diimbangi. Belakangan baru dia bisa menyusul setelah Ki Rangga Guna
menurunkan tingkat kepandaian larinya.
 "Tajur Agung adalah taman buah-buahan milik keluarga istana. Tidak sembarang orang bisa keluyuran
ke tempat itu. Oleh sebab itulah kita sembunyi di sana," kata Ki Rangga Guna menerangkan di tengah
jalan.
 "Apakah yakin kita tidak akan diketahui mereka?" tanya Purbajaya sedikit ngosngosan.
 "Tentu mereka akan tahu. Tapi paling tidak, tidak akan semua prajurit mengejar kita, kecuali
orang-orang tertentu yang diberi izin masuk," jawab Ki Rangga Guna sambil tetap berlari dan diikuti oleh
Purbajaya dengan susah-payah.
 Namun demikian, Purbajaya masih berpikir untuk memuji orang ini, betapa di saat yang tepat Ki Rangga
Guna bisa menyelamatkan nyawanya. Apakah selama ini Ki Rangga Guna terus mengikutinya?
 "Ayo percepat larimu, di belakang, mereka tengah menyusul kita," kata Ki Rangga Guna mengingatkan.
 Purbajaya berlari cepat. Namun ketika tiba di daerah agak lapang, Ki Rangga Guna malah berhenti dan
bertindak seolah-olah sengaja menanti para pengejarnya.
 "Kau sembunyi di sana!" Ki Rangga Guna memerintah.
 "Sembunyi?
 "Ya, kau harus sembunyi dari pandangan mereka."
 Purbajaya mulanya kecewa sebab seperti tak dipercaya untuk ikut menghadapi musuh. Tapi kemudian
dia mengerti. Ki Rangga Guna berkata benar kalau dirinya jangan diketahui sebagai penyusup ke puri
Bagus Seta, sebab kalau tak begitu, kedudukannya di Pakuan akan terancam oleh kelompok ini.
 Ketika para pengejar sudah terlihat gerakannya, Purbajaya segera mencari tempat sembunyi. Kebetulan
di sekitar tempat itu ada banyak gundukan tanaman bunga yang daunnya amat rimbun.
 Tidak begitu lama kemudian, rombongan pengejar pun segera tiba. Terlihat ada belasan perwira yang
langsung mengepung Ki Rangga Guna.
 "Hah? Dia Rangga Guna si pemberontak! Tangkap dia!" teriak salah seorang dari mereka. Maka setelah menerima perintah ini, Ki Rangga Guna dikepung rapat. Dan sebentar kemudian terjadilah pertempuran
sengit, satu orang melawan belasan perwira Pakuan yang dikenal tangguh.
 Pertempuran demikian hebat. Mereka bertarung dengan kecepatan tinggi sehingga gerakan mereka
susah diikuti pandangan mata. Sabetan-sabetan pedang dan golok bergulung-gulung menutupi tubuh Ki
Rangga Guna dan suaranya bergaung-gaung seperti ribuan gasing diputar berbarengan.
 Belasan perwira ini rata-rata memiliki kepandaian hebat. Namun penampilan Ki Rangga Guna kendati
hanya melawan seorang diri tidak kalah hebatnya. Sedikit pun dia tidak terlihat terdesak. Gerakan dan
perlawanannya malah terlihat amat gemilang. Walau pun digulung belasan senjata tajam namun tubuhnya
sedikit pun tidak pernah tersentuh ujung-ujung senjata yang amat runcing itu.
 Jangankan bisaa disentuh, bahkan hanya sekadar mendekati saja sudah tak bisa. Tubuh Ki Rangga
Guna sepertinya dibentengi lapisan baja yang kuat, sehingga hujan serangan senjata tajam hanya terbatas
tiba di benteng baja itu saja.
 Ki Rangga Guna sigap dalam menangkis dan sigap pula dalam mengelak. Tubuhnya pun berloncatan ke
sana ke mari membuat para pengepungnya sibuk ke sana ke mari pula. Dan pertempuran sengit ini
berlangsung cukup lama sebab yang menyerang tak bisa menembus sebaliknya yang diserang tak bisa
balik menyerang.
 Atau, Purbajaya dari tempat sembunyinya bisa meneliti, sebetulnya Ki Rangga Guna bukan tak bisa
melakukan serangan, melainkan sepertinya dia tidak mau melakukannya. Ki Rangga Guna jelas tidak
mau mencelakakan lawan-lawannya.
 Sampai tiba pada suatu saat, ke tempat itu hadir pula seorang pengejar lain. Dan Purbajaya berdegup
jantungnya sebab yang datang adalah Ki Bagus Seta.
 Purbajaya gelisah. Melawan belasan perwira saja sudah sedemikian sibuknya, apalagi bila ditambah oleh
kehadiran Ki Bagus Seta yang diketahui Purbajaya berilmu tinggi pula. Sebagai bukti, serangan pisau
terbang orang itu amat hebat dan susah dihindarkan. Kalau sampai dengan sekarang nasib Purbajaya
masih baik, itu karena pertolongan Ki Rangga Guna saja.
 Purbajaya mengeluh, Ki Rangga Guna pasti akan mengalami kesulitan karena dia sejauh ini tidak mau
mencederai lawan-lawannya. Jadi kalau selama ini dia masih selamat, itu karena secara kebetulan dia bisa
mengungguli lawan-lawannya. Kalau sekarang belasan perwira dibantu Ki Bagus Seta, barangkali Ki
Rangga Guna akan kalah, kecuali dia mengubah sikap untuk tidak memberi angin kepada belasan
perwira.
 Namun belakangan Purbajaya jadi malu sendiri telah menganggap bodoh Ki Rangga Guna. Buktinya,
setelah melihat kehadiran Ki Bagus Seta, Ki Rangga Guna segera meningkatkan kebolehannya. Orang
tua itu segera menghimpun tenaga dan melakukan gerakan-gerakan hebat. Maka hanya dalam waktu
yang singkat terdengar jerit-jerit kesakitan ketika tubuh belasan perwira terlontar ke sana ke mari dan
jatuh berdebuk tak sadarkan diri.
 Tewaskah mereka? Purbajaya tak percaya Ki Rangga Guna berlaku kejam. Dia ingat kembali peristiwa
di wilayah Sagaraherang ketika Raden Yudakara dipukul roboh. Tubuh pemuda itu terlontar dan
berdebuk jauh ke depan terkena pukulan jarak jauh oleh Ki Rangga Guna. Namun anehnya, tubuh
Raden Yudakara sedikit pun tidak mengalami luka. Purbajaya mengira, Ki Rangga Guna kali ini hanya
membuat lawan menjadi pingsan saja namun tak mengakibatkan mereka tewas.
Ki Rangga Guna sengaja mempercepat perlawanan terhadap belasan perwira karena ingin menghadapi
Ki Bagus seta secara khusus.
 Purbajaya melihat keadaan dengan hati tegang. Dia menduga kalau sebentar lagi akan terjadi
pertarungan yang lebih hebat dari pertarungan yang tadi.
 Dua-duanya terlihat saling berhadapan dari jarak sekitar sepuluhdepa dan tangan-tangan mereka
meregang tegang.
 "Rangga, engkau ini adik seperguruanku. Namun mengapa kerjamu hanya mengganggguku saja?" tanya
Ki Bagus Seta dengan suara dingin dan amat mengejutkan hati Purbajaya. Mereka berdua kakak-adik
seperguruan?
 "Saya hanya ingin agar engkau tetap melangkah di jalan yang diinginkan Ki Guru Darma ... " kata Ki
Rangga Guna menatap tajam ke arah Ki Bagus Seta. Ki Bagus Seta melangkah setindak dan Ki Rangga
Guna segera mundur satu tindak.
 "Hahaha! Engkau selalu tak mempercayaiku, Rangga!"
 "Saya hanya ingin mengingatkan engkau saja, Kakak ..."
 "Sudahlah, engkau pulanglah dan rawat Ki Guru," kata Ki Bagus Seta.
 "Tidak. Ki Guru malah menugaskan saya agar menjagamu, Kak ..."
 "Sombong. Dengarkan dungu, aku ingin menolongmu juga. Selama ini aku jadi pejabat negara, namun
selama ini pula kau dikejar-kejar pemerintah. Engkau harus malu itu. Dan jangan pula kau permalukan
diriku. Betapa orang-orang akan bilang, yang satu jadi pejabat satunya jadi pembangkang. Apakah
engkau tidak malu, adik?" tanya Ki Bagus Seta namun dengan nada mengejek.
 "Seseorang menjadi terhormat tidak karena telah menjadi pejabat, demikian pun sebaliknya. Orang yang
dituding pembangkang belum tentu menjadi orang terhina," jawab Ki Bagus Seta dengan nada datar.
 "Dungu !" desis Ki Bagus Seta gemas."Jaga sifatmu, jangan kecewakan Ki Guru," lanjutnya.
 "Justru ucapan itu yang ingin saya berikan padamu, Kakak," timpal Ki Rangga Guna. Dan rupanya
jawaban Ki Rangga Guna ini telah membuat Ki Bagus Seta merasa marah.
 Buktinya tubuh Ki Bagus Seta melesat menghambur ke depan. Ki Rangga Guna tidak tinggal diam. Dia
pun segera melesat ke depan dengan kecepatan sulit dilihat pandangan mata. Maka dua tubuh berkelebat
saling menghambur. Namun keduanya tidak saling bertemu di tengah jalan, melainkan hanya saling
berpapasan saja. Gerakannya amat cepat dan hanya membentuk kelebatan saja. Tahu-tahu keduanya
sudah berpindah tempat. Tempat di mana tadi Ki Rangga Guna berdiri telah ditempati Ki Bagus Seta,
demikian pun sebaliknya. Keduanya masih saling bertatap muka namun dengan tubuh limbung.
 Dan sebelum keduanya berdiri tegak, Ki Bagus Seta membuat gerakan aneh. Mula-mula tubuhnya
membungkuk dan doyong seperti tubuhnya hampir menyentuh tanah, persis gerakan kodok yang akan
meloncat ke depan. Namun bukan loncatan yang dia lakukan, melainkan lontaran pukulan jarak jauh.
Gerakan angin pukulan menimbulkan suara berciutan dan dedaunan rontok jatuh ke tanah seperti ditiup
badai. Rupanya Ki Rangga Guna sadar kalau ini merupakan sebuah serangan amat berbahaya. Buktinya, orang
tua ini segera melakukan gerakan yang sama dan melakukan serangan pukulan jarak jauh pula. Maka
suara angin berciutan berubah menjadi gelegar petir yang menimbulkan bunga api berpijar di angkasa.
Dua buah pohon di sekitar tempat itu tumbang karena batangnya hancur berantakan.
 Purbajaya terlambat menutup sepasang lubang telinganya. Dan manakala dia periksa, terasa ada lelehan
darah segar dari lubang telinganya itu. Purbajaya terkena pengaruh adu pukulan yang dilakukan mereka.
Matanya berkunang-kunang dan kepalanya terasa pusing.
 Untuk beberapa lama Purbajaya hanya bisa memejamkan mata karena dirinya terasa menderita. Namun
kemudian secara perlahan dia memandang ke sekeliling. Hampir semua dedaunan di pohon-pohon durian
di tempat itu pada rontok seperti hari itu secara tiba-tiba musim kering tengah melanda daerah itu. Di
tengah tanah lapang, dua orang masih terlihat berdiri dan tetap berjauhan. Hanya saja, kaki Ki Rangga
Guna terlihat melesak ke tanah sampai sebatas betis, sementara Ki Bagus Seta berdiri limbung dan
seluruh pakaiannya koyak-koyak seperti secara mendadak dikoyak kuku-kuku macan.
 "Kau akan mati, Rangga ..."
 "Ya ... Kalau pertarungan ini dilanjutkan, kita berdua akan segera mati," jawab pula Ki Rangga Guna.
 Dua orang itu saling pandang dalam kebisuan. Sampai pada suatu saat, Ki Bagus Seta meninggalkan
tempat itu dengan langkah gontai.
 Sesudah Ki Bagus Seta berlalu, Purbajaya mulai berani muncul dan meloncat dengan sedikit limbung
karena kepalanya pening. Dia harus menolong Ki Rangga Guna yang diduganya mengalami luka yang
parah.
 Dan benar saja, ketika diperiksa, dari mulut, hidung, telinga bahkan dari sepasang mata Ki Rangga
Guna, terlihat ada darah menetes-netes keluar.
 "Ki Rangga, anda terluka parah ... " kata Purbajaya khawatir sekali.
 "Rupanya itu pula yang dialami Ki Bagus Seta ... " desis Ki Rangga Guna dengan sedikit menahan rasa
sakit.
 "Mari kita tinggalkan tempat ini ..." ajak Ki Rangga Guna.
 "Mereka bagaimana?" Purbajaya melihat ke sekeliling di mana terlihat tubuh belasan perwira Pakuan
bergeletakan.
 "Mereka hanya pingsan. Sebentar kemudian pasti akan siuman kembali," jawab Ki Rangga Guna yakin.
 Ki Rangga Guna akan melangkah namun terlihat limbung. Maka Purbajaya serta-merta memondongnya.
 "Bawalah aku ke Pulo Parakan Baranangsiang... " kata Ki Rangga Guna seraya menunjukkan arahnya.
 Yang dimaksud dengan tempat itu adalah sebuah gugusan pulau kecil di tengah sungai Ciliwung yang
terletak di sekitarjawi khita (benteng luar kota) sebelah timur.
 Purbajaya musti mencari perahu untuk mengangkut Ki Rangga Guna menyeberangi sungai. Dan ketika
sampai di tempai itu Purbajaya melihat ada sebuah pasanggrahan indah di sana.
*******
YANG dimaksud Pulo Parakan Baranangsiang adalah sebuah delta atau gugusan pulau kecil terletak di
tengah aliran sungai Cihaliwung. Mungkin delta itu tadinya terbentuk oleh lumpur-lumpur yang dibawa
dari wilayah hulu sungai dan lama kelamaan menumpuk membentuk sebuah gugusan.
Karena di tengah gugusan pulau itu terdapat sebuah pasanggrahan, mudah diduga kalau tempat itu
sebetulnya merupakan sebuah tempat peristirahatan.
Memang itu yang diterangkan oleh Ki Rangga Guna. Bila siang hari dan cuaca baik, maka tempat ini
merupakan sebuah tempat dengan panorama amat indah. Ki Rangga Guna mengatakan kalau tempat ini
merupakan sebuah peristirahatan bagi keluarga raja beserta kerabatnya.
Setiap tahun suka diadakan acara bernamamunday . Munday adalah upacara memanen ikan sungai
Ciliwung. Dilakukan oleh seluruh ambarahayat untuk dimakan bersama-sama dengan raja dan
kerabatnya dalam sebuah pesta makan ikan. Raja dan kerabatnya makan ikan sungai Cihaliwung di
pasanggrahan itulah.
Tapi malam itu di Pulo Parakan Baranangsiang suasana amat sepi. Kalau di saat siang amat cocok
digunakan sebagai tempat bersantai, maka di malam yang gelap dan dingin ini amat cocok digunakan
sebagai tempat sembunyi.
Ki Rangga Guna membawa Purbajaya ke tempat itu agar bebas dari kejaran lawan namun juga
digunakan sebagai tempat istirahat karena tubuh orang tua itu menderita cukup parah.
"Saya akan mencoba mengobatimu, Ki Rangga ... " kata Purbajaya membuka pakaian orang tua itu.
Dan Purbajaya tanpa sungkan mengeluarkan tenaga dalamnya. Telapak tangannya dia kerahkan
menekan punggung Ki Rangga Guna agar aliran darah orang tua itu mengalir lancar.
"Aliran tenaga dalammu kurang kuat, siapakah gurumu, anak muda?' tanya Ki Rangga Guna tiba-tiba.
Sudah barang tentu Purbajaya tersinggung dengan pertanyaan ini. Sepertinya Ki Rangga Guna
melecehkan kemampuannya.
"Kedunguan seorang murid tidak lantas merupakan gambaran kelemahan yang menjadi gurunya, Ki
Rangga ... " jawab Purbajaya sedikit ketus, membuat Ki Rangga Guna tersenyum kecil.
"Aku hanya tanya, siapakah gurumu?"
"Guruku bernama Ki Jayaratu!" jawab Purbajaya tegas untuk memberikan kesan betapa gurunya
sebenarnya seorang yang hebat.
"Hm ... Kepandaian Ki Jayaratu sebenarnya tak berada jauh dengan guruku, anak muda. Dua orang itu
dulunya musuh besar dan kerapkali melakukan pertempuran. Namun yang satu dan yang lainnya tidak
pernah saling mengalahkan. Hanya saja gurumu punya kelemahan, terlalu memberikan kebebasan kepada
muridnya untuk melakukan banyak pilihan. Sementara Ki Darma guruku selalu tegas dalam menentukan
pilihan. Yang menjadi muridnya harus sepandai gurunya. Tapi ... "
"Tapi apa, Ki Rangga?"
 "Ki Darma banyak membagikan ilmunya. Tadinya dengan harapan agar ilmunya bisa berguna bagi
keberadaan negri. Namun kenyataannya ... "
 "Murid-murid Ki Darma ada yang membelokkan ilmunya untuk kepentingan yang tidak baik," potong
Purbajaya.
 "Begitulah, anak muda. Murid-murid Ki Darma semuanya berilmu tinggi. Namun semakin tinggi ilmu
semakin berbahaya bila tidak dijalankan dengan baik," Ki Rangga Guna mengeluh ketika membicarakan
hal ini.
 "Saya pun bukan murid yang baik, Ki Rangga," potong Purbajaya untuk menghibur orang tua itu."Saya
akui, Ki Jayaratu kurang keras mendidik murid. Beliau terlalu memberikan kebebasan. Saya adalah
muridnya. Namun saya kurang menyukai hal-hal keras, jadinya saya malas dalam berlatih ilmu kewiraan,"
lanjutnya menghela napas.
 "Jalan keselamatan di dunia bukan terletak pada ilmu kewiraan, melainkan pada sikap dan perilaku
keseharian, anak muda," jawab Ki Rangga Guna yang sebentar-sebentar mengatur pernapasannya.
 "Ya, namun tetap saja saya ini murid yang buruk yang tak bisa menjaga nama baik guru ... " keluh
Purbajaya.
 "Ucapanmu menyindir kami, anak muda. Dan juga amat menguatkan kata-kataku, betapa sebetulnya
ilmu kewiraan tidak menjamin bisa menjaga nama baik guru. Kau lihatlah Ki Bagus Seta dan Ki
Banaspati kalau sudah kenal dia, mereka jadi pejabat negri namun tujuannya bukan untuk mengabdi,
melainkan hanya untuk mencari keuntungan pribadi. Belakangan aku ketahui mereka akan melakukan
perlawanan kepada penguasa."
 "Apakah itu sebagai pembelaan terhadap gurunya sendiri yang dikejar-kejar dan dituding pengkhianat?"
potong Purbajaya.
 "Hati-hati dengan bicaramu, anak muda. Ki Guru Darma adalah pengabdi kepada negri namun bukan
pengabdi bagi penguasa. Penguasa memang tidak menyenangi Ki Darma karena guruku tidak
menyanjung penguasa. Namun demikian tidak lantas guruku ingin mengkhianati negara. Ki Darma benci
pemberontakan dan pengkhianatan," kata Ki Rangga Guna sungguh-sungguh."Dan Ki Guru Darma
sungguh amat menyesali apa yang dilakukan Ki Bagus seta serta Ki Banaspati," tutur Ki Rangga Guna
lagi.
 "Karena Ki Bagus Seta serta Ki Banaspati jadi pejabat negara?"
 "Bukan karena itu. Ki Guru Darma tidak membenci pejabat. Namun kalau mau jadi pejabat, maka
jadilah pejabat pengabdi dan bukan jadi pejabat peminta. Jabatan adalah sesuatu yang harus
dipertanggungjawabkan dan bukan sesuatu yang musti disyukuri. Tindakan Ki Bagus Seta dan Ki
Banaspati semakin jauh dari harapan Ki Guru Darma sebab mereka menjadikan jabatan sebagai sesuatu
untuk digunakan sebagai perangkat dalam mencari peluang keuntungan. Itu Ki Guru Darma tak suka."
 Purbajaya menerimanya sambil termangu-mangu. Sedemikian menjelimetnya suasana di Pakuan ini. Ada
tokoh baik, ada tokoh jahat namun semuanya saling terikat oleh kekerabatan.
 Purbajaya teringat, Ki Banaspati adalah pejabatmuhara (pejabat penarik pajak) bagi wilayah timur Pajajaran namun diketahui bekerja sama dengan Ki Sunda Sembawa dalam upaya melakukan
pemberontakan. Sekarang, secara terpisah, Ki Bagus Seta pun sama melakukan upaya untuk
menjatuhkan raja. Di pusat pemerintahan, dia punya mitra-kerja namun juga melakukan pekerjaan dan
tujuan sendiri-sendiri. Dengan demikian, Pakuan telah dikepung oleh banyak kelompok yang
masing-masing punya niat yang sama yaitu menjatuhkan raja dan merebut kekuasaan.
 "Ini menyakitkan. Mungkin hanya padamu saja aku katakan, betapa hancur perasaan kami melihat
anak-murid Ki Darma ada yang melakukan kejahatan politik. Untuk itulah aku hanya bisa berjuang
melawan saudara seperguruanku secara diam-diam saja. Aku tak mau semua orang menjadi tahu kalau
anak-murid Ki Darma melakukan pengkhianatan kepada negara. Sebab kalau telanjur diketahui, maka
tudingan bahwa Ki Darma tokoh pemberontak akan sepertinya mendekati kebenaran. Gurunya
pengkhianat, muridnya pemberontak. Seperti pas rasanya ... " gumam Ki Rangga Guna dengan memelas.
 "Tugasmu mulia namun amat berat. Kau musti berhadapan dengan saudara seperguruanmu sendiri, Ki
Rangga ... " Purbajaya ikut memelas.
 "Benar, amat menyedihkan. Namun baik Ki Guru Darma mau pun aku sendiri, sudah putuskan untuk
melawan siapa pun juga yang berniat menghancur-luluhkan Pajajaran," kata Ki Rangga Guna pasti.
 "Termasuk akan melawan saya, Ki Rangga?" tanya Purbajaya ragu.
 "Kalau kau keluar dari pijakan yang telah ditetapkan Sang Susuhunan Jati dalam memperlakukan
Pajajaran, maka kau pun akan behadapan denganku sebagai musuh," jawab pula Ki Rangga Guna
tegas."Ingat, pengetahuanku hanya menyebutkan bahwa Carbon tidak akan menghancurkan Pajajaran,
melainkan akan lebih memperkuat tatanan negara Pajajaran yang sudah besar ini dengan pijakan tatanan
kehidupan agama baru. Itu saja dan aku setuju dengan itu."
 "Kalau begitu, tolonglah saya Ki Rangga, jauhkan saya dengan kelompok-kelompok petualang yang
akan mengganggu dan mempengaruhi saya agar saya membelokkan tujuan mulia ini ..." Purbajaya
mendesak dengan suara sungguh-sungguh. Dia berpikir, perjalanan hidupnya di Pakuan ini hanya bisa
berjalan dengan baik bila dijaga oleh orang yang berjuang untuk kebaikan.
 "Aku bisa bantu engkau agar bisa memenuhi tugas beratmu tanpa diganggu oleh kelompok-kelompok
petualang. Hanya saja ada gangguan paling berat yang susah dibantu dan hanya engkau sendirian yang
harus memeranginya," ujar Ki Rangga Guna.
 "Musuh apakah itu, Ki Rangga?"
 "Ya, itulah musuh yang ada di dalam hatimu sendiri. Sudah aku katakan, semua orang harus berperang
dengan ambisinya. Kalau ambisi sudah mengendalikan peranan dalam hidup ini, maka berbagai tujuan
murni sudah tak akan berarti lagi," kata Ki Rangga Guna sungguh-sungguh.
 "Ambisi ... Sekecil apa pun, Ki Rangga?" tanya Purbajaya berdebar.
 "Ya, ambisi sekecil apa pun," jawab Ki Rangga Guna tandas.
 Demi mendengar ucapan Ki Rangga Guna ini, Purbajaya mengeluh. Tempo hari, orang tua itu sendiri
yang mengatakan kalau yang namanya ambisi memang sulit dilawan. Sekarang, Ki Rangga Guna sendiri
yang mengatakan kalau ambisi yang ada dalam hatinya musti dilawan dengan keras kalau masih
menginginkan tugasnya dikerjakan secara murni.
Purbajaya hanya bisa duduk termangu memikirkannya.
 "Memang sungguh tepat kau disusupkan ke puri Yogascitra. Namun demikian, justru di sanalah engkau
akan menerima kepedihan yang sangat sebagai manusia, anak muda. Di tempat itu, kepura-pura akan
dilawan oleh kejujuran. Kau datang ke sana sebagai penyusup pasti akan menjadi orang yang penuh
pura-pura, padahal penghuni puri adalah orang-orang yang menghargai kejujuran dan kesetiaan. Mereka
adalah kelompok yang tidak pernah bercuriga dan menganggap buruk kepada orang lain. Hal inilah yang
akan membuatmu pedih karena rasa kemanusiaanmu akan terkoyak-koyak oleh kepura-puraan yang kau
jalankan. Hatimu selamanya akan saling berbenturan sendiri," tutur Ki Rangga Guna.
 Dan setelah kenyang menerima wejangan serta petuah, akhirnya Purbajaya disuruh meninggalkan tempat
itu. Ki Rangga Guna menginginkan agar Purbajaya segera kembali ke rumah Ki Jongjo agar orang tua itu
tidak curiga atas kepergian Purbajaya. Ki Rangga Guna sendiri akan berusaha mengobati lukanya di Pulo
Parakan Baranangsiang sebelum fajar menjelang.
 Purbajaya menghormat takzim sebelum meninggalkan tempat itu. Dan sebelum dia benar-benar pergi, Ki
Rangga Guna masih memberinya peringatan ulangan.
 "Hati-hatilah akan ambisi hatimu anak muda ... " kata Ki Rangga Guna.
 Purbajaya tak kuasa menjawabnya. Sebab berbareng dengan itu suasana puri Yogascitra mendahului
membayang di benaknya. Di sana ada Ki Yogascitra yang jujur dan amat mencintai negrinya. Di sana ada
Banyak Angga yang baik hati ramah dan santun dan jangan lupa, di sana pun ada Nyimas Banyak Inten
yang cantik yang amat membuat hati Purbajaya selalu berdebar. Purbajaya bergidik, tidakkah hal-hal ini
yang akan membuat dirinya goncang serta tak bisa menahan gejolak hatinya sehingga tujuannya sebagai
penyusup terganggu total?
 Sambil mendayung sampan kembali menuju daratan, hati Purbajaya tak habis-habisnya mengeluh. Dia
merasa bimbang dalam menghadapi kesemuanya ini. Di puri Yogascitra pasti akan menghadapi lawan
yang lebih tangguh dari musuh apa pun. Dan itulah yang namanya cinta. Cinta susah dihalau dan amat
membuatnya pedih.
*******

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa