al-Habib
Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi terlahir di Semarang dan wafat di
Cikini, Jakarta pada tahun 1296 H/1879 M. Beliau adalah ayah dari
al-Habib Ali Kwitang.
"Habib Cikini"
(Habib Abdurrahman bin Abdullah Al Habsyi) lahir dari keluarga Al Habsyi
pada cabang keluarga Al Hadi bin Ahmad Shahib Syi'ib. Ia generasi
pertama dari garis keturunan keluarga yang terlahir di Nusantara atau
generasi kedua yang telah menetap di negeri ini. Nasab lengkapnya adalah
Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman
bin Husein bin Abdurrahman bin Al Hadi bin Ahmad Shahib Syi'ib bin
Muhammad Al Ashghar bin Alwi bin Abubakar Al Habsyi.
Silsilah Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi
adalah: al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin
Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad al-Habsyi bin
Ali bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan at-Turabi bin Ali bin
Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin
Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad
al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-‘Uraidhi
bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah
Saw.
Sebuah sumber tulisan menyebutkan
bahwa kakeknya yang bernama Habib Muhammad bin Husein Alhabsyi adalah
yang pertama kali datang dari Hadhramaut dan menetap di Pontianak dan
kemudian menikah dengan seorang putri dari keluarga Kesultanan
Pontianak. Itu artinya, Habib Cikini adalah generasi kedua yang terlahir
di Nusantara atau generasi ketiga yang menetap disini.
Tulisan
lainnya menyebutkan bahwa Habib Muhammad,kakeknya, ikut mendirikan
Kesultanan Hasyimiyah Pontianak bersama keluarga Al Qadri.
Dalam
catatan pada kitab rujukan ‘Nasab Alawiyyin’ susunan Habib Ali bin
Ja'far Assegaf ditulsikan, berdasarkan keterangan Habib Ali Kwitang yang
mendapat informasi dari Habib Alwi (tinggal di Surabaya, sepupu dua
kali Habib Ali Kwitang) bin Abdul Qadir bin Ali bin Muhammad bin Husein
Al Habsyi, disebutkan, Habib Muhammad bin Husein wafat di Tarbeh,
Hadhramaut. Kitab Habib Ali bin Ja'far juga menuliskan dengan jelas
bahwa Habib Abdullah (Ayah Habib Cikini) adalah seorang kelahiran
Hadhramut, tepatnya di Tarbeh. Berdasarkan berbagai keterangan diatas,
jelaslah ‘Habib Cikini’ adalah generasi pertama dari garis keturunan
keluarganya yang dilahirkan di Nusantara.
Informasi
yang menyebutkan bahwa Habib Muhammad bin Husein ikut mendirikan
Kesultanan Al Kadriyah Al Hasyimiyah di Pontianak kurang bisa
dibuktikan, mengingat bahwa Habib Muhammad wafat di Tarbeh dan tidak
didapat keterangan bahwa yang bersangkutan sempat menginjakkan kaki di
Nusantara.
Habib Cikini "Putra Semarang"
Selain
pernah menetap di Pontianak, Habib Abdullah bin Muhammad Al Habsyi,
(ayah Habib Cikini) yang semasa hidupnya memiliki aktivitas berdagang
antar pulau, juga pernah menetap di Semarang. Namun dari sebuah tulisan
menyatakan bahwa ia menikah pertama kali di Semarang.
Sebuah
naskah juga menyebutkan, Ibu "Habib Cikini" adalah seorang syarifah dari
keluarga Assegaf di Semarang. Dan memang, "Habib Cikini" sendiri
diketahui sebagai putra kelahiran Semarang.. Ini berkaitan dengan
catatan lainnya yang menyebutkan, "Ia wafat di Laut Kayong (daerah
Sukadana, Kalimantan Barat) pada 1249 H, atau bertepatan dengan tahun
1833 M".
Keterangan yang disebutkan terakhir
tampaknya lebih mendekati kebenaran, sebab wilayah Sukadana
berseberangan langsung dengan kota Semarang di Pulau Jawa dan Kota
Semarang merupakan kota kelahiran ‘Habib Cikini’. Hal ini juga selaras
dengan keterangan bahwa Habib Abdullah wafat saat berlayar dari
Pontianak ke Semarang. Pada Catatan itu juga disebutkan, ia wafat saat
berperang dengan ‘lanun’, sebutan orang Pontianak terhadap para perompak
laut.
Bersama Habib Syech dan Raden Saleh.
Diantara
sejarah kehidupan "Habib Cikini" yang didapat dari sejumlah sumber
adalah bahwa ia sahabat karib Habib Syech bin Ahmad Bafaqih (Botoputih -
Surabaya). Hal tersebut diantaranya dicatat dalam catatan kaki Ustadz
Dhiya' Shahab dalam bukunya "Syams azh Zhahirah". Begitu pula menurut
penulis Belanda bernama L.W.C Van Den Berg dalam buku ‘Le Hadhramout Et
Les Colonies Arabes’ yang menyebutkan bahwa Habib Syech pernah menetap
di Batavia selama kurang lebih 10 tahun. Selama menetap di Batavia
itulah tampaknya persahabatan di antara Habib Syech dengan Raden Saleh
terjalin erat.
Semasa hidupnya, Habib Cikini
menikahi Syarifah Rogayah binti Husein bin Yahya yang adalah adik dari
maestro lukis Raden Saleh. Namun karena tidak dikaruniai keturunan, ia
pun kembali menikah dengan Hajah Salmah dari Jatinegara.
Dikisahkan,
setelah lama tak mendapatkan putra, istri Habib Abdurrahman, Nyai
Salmah, seorang wanita asli Betawi yang tinggal di Mester Cornelis
(sekarang Jatinegara), suatu malam bermimpi. Dalam mimpi tersebut, Nyai
Salmah menggali sumur.Tiba-tiba dari dalam sumur itu keluarlah air yang
melimpah ke sekelilingnya.
Mimpi itu kemudian
disampaikannya kepada suaminya.Habib Abdurrahman, dan beliau segera
menemui Habib Syech untuk menanyakan perihal mimpi tersebut. Habib Syech
menjelaskan bahwa mimpi itu merupakan isyarat bahwa pasangan Habib
Abdurrahman dan Nyai Salmah akan mendapatkan seorang putra yang shalih
dan ilmunya melimpah ruah penuh keberkahannya.
Tidak
seberapa lama, Nyai Salmah pun mengandung dan pada hari Ahad 20 Jumadil
Ula 1286 H atau bertepatan dengan 20 April 1870 M, terlahirlah seorang
putra yang kemudian ia beri nama ‘Ali’.
Semua
orang pun kemudian menyaksikan kebenaran ucapan Habib Syech. Habib Ali
bin Abdurrahman Al Habsyi yang terlahir dari pasangan shalih dan
shalihah itu, dikemudian hari menjadi seorang shalih dan ulama yang
banyak menebar manfaat dan kemaslahatan bagi umat di masa hidupnya,
bahkan setelah wafatnya.
Di samping Habib Ali,
"Habib Cikini" juga mempunyai putra lainnya yang bernama, Habib Abdul
Qadir. Lewat putranya inilah "Habib Cikini" menjalin pertalian
kekeluargaan dengan Habib Utsman bin Yahya, melalui pernikahan Habib
Abdul Qadir dengan salah seorang putri Mufti Betawi ini. Dari kedua
putranya itu, hanya dari Habib Ali nasab keturunannya berlanjut, karena
Habib Abdul Qadir hanya memiliki tiga orang anak perempuan tanpa anak
lelaki sama sekali.
Kalau anak lelaki pertama
Habib Ali adalah Habib Abdurrahman, dan yang bungsu bernama Habib
Muhammad. Sementara diantara dua anak lelaki itu, lahirlah lima anaknya
yang perempuan yang masing-masing bernama :
Syarifah Rogayah,
Syarifah Khodijah, Syarifah Mahani, Syarifah Zahra dan Syarifah Sa’diyah
yang juga mengikuti jejak ayahnya untuk menggelar majlis ta’lim
‘Assa’diyah’ untuk kaum perempuan di lokasi yang sama di Kwitang.
Setelah Syarifah Sa’diyah wafat saat menunaikan ibadah haji dan
dimakamkan di di tanah suci, pengelolaan majlis ta’limnya dilanjutkan
oleh Syarifah Salma binti Abdurrahman Al Habsyi, cucu perempuan Habib
Ali Kwitang, anak dari Habib Abdurrahman.
Dari
perkawinan keduanya ia dikaruniai dua putra yang bernama Habib Ali
(Habib Kwitang) serta Habib Abdulqadir. Ketika Habib Cikini meninggal,
jenazahnya pun dimakamkan di lokasi Cikini bersama istri pertamanya dan
anak dari Habib Kwitang yang meninggal ketika belum lama dilahirkan.
Oleh
sebab itu, di makamnya yang berada di dalam masjid dapat dijumpai tiga
kuburan. Dua yang berukuran normal dan satu yang berukuran kecil. Tapi
selain dekat dengan Raden Saleh, Habib Cikini juga turut andil dalam
penyebaran Islam di Batavia.
"Beliau ini dulu
zamannya kan wajib syiar ya. Syiar daripada panglima perang beliau ini
untuk mensyiarkan agama Islam. Cuma sebelum beliau syiar, dikasih tempat
dari Raden Saleh. Ini dulu tempat kan dari Raden Saleh. Beliau sebelum
membikin pondok atau apa ini wafat tahun 1879 sehingga tidak sempat
untuk bikin majelis atau apa," lanjut Habib Muhdhor.
Namun
walau tidak sampai membuat majelis seperti anaknya Habib Kwitang, Habib
Cikini telah melakukan syiar di Batavia hingga Surabaya. Tidak heran,
beliau memiliki banyak sahabat sesama alim ulama, murid dan anak yang
meneruskan jejaknya.
Tahun 1296 H
bertepatan dengan 1879 M, Habib Cikini wafat. Saat itu, Habib Ali masih
amat belia, belum mencapai usia 11 tahun. Sebelum wafat, beliau sempat
berwasiat kepada istrinya, agar Habib Ali disekolahkan ke Hadhramaut dan
Makkah. Wasiat tersebut betul-betul dilaksanakan isterinya dengan
sepenuh hati dan keyakinan akan adanya kebaikan di balik itu semua.
Karena
‘Habib Cikini’ tidak meninggalkan warisan yang memadai,maka demi
mewujudkan pesan almarhum suaminya, Nyai Salmah, yang bukan tergolong
orang berada, kemudian menjual gelang yang dimilikinya, untuk biaya
perjalanan Habib Ali ke Hadhramaut.
Sementara
itu,Habib Syech Bafaqih sahabat karib Habib Abdurrahman,wafat pada
1883,dua tahun setelahnya.Beliau dimakamkan di Botoputih, Surabaya, yang
hingga saat ini terus didatangi para peziarah dari berbagai daerah.
Selain
dengan Habib Syech, "Habib Cikini" juga bersahabat akrab dengan Raden
Saleh, seorang pelukis termasyhur yang nama lengkapnya adalah Sayyid
Syarief Boestomi Raden Saleh bin Yahya. Sebetulnya kedekatannya dengan
pelukis tersebut bukanlah hal yang aneh. Disamping sama-sama kelahiran
Semarang, sebelum hijrah ke Batavia, Habib Cikini sempat menikah dengan
Syarifah Rogayah bin Yahya, adik Raden Saleh.
Pelukis yang
lama menetap di Eropah ini, dilahirkan pada 23 April 1811 dan wafat pada
tahun 1880, setahun setelah wafatnya "Habib Cikini".
Beliau dimakamkan di daerah Desa Bondongan, Bogor, Jawa Barat.
Mengawal Aqidah Ummat
Sebagaimana
disebutkan, Habib Cikini menjalin hubungan kekeluargaan dengan Raden
Saleh dengan menjadi iparnya. Namun dari pernikahannya dengan Syarifah
Rogayah bin Yahya, yang adik perempuan Raden Saleh,beliau tak beroleh
keturunan sama sekali.
Di tanah pekarangan rumah Raden Saleh
yang berada didaerah Cikini inilah, Jasad mulia Al-Habib Abdurrahman bin
Abdullah Al Habsyi dikebumikan.
Meski
kepemilikan tanah tersebut telah pindah tangan beberapa kali, keberadaan
makamnya tetap dilestarikan. Diatas makamnya didirikan bangunan
sederhana.
Peziarah yang datang ke makamnya
tidak seramai seperti di makam Habib Ali di Masjid Kwitang yang putranya
sendiri, tapi yang datang menziarahi makamnya hampir tidak pernah putus
dari waktu ke waktu.
Diantara murid-murid
beliau adalah : Habib Ahmad bin Alwi Al Haddad (Habib Kuncung – Kalibata
– Jakarta), dan masih banyak lagi yg lainnya.
Makam Cikini
Makam
beliau terbilang unik, karena masjid atau makamnya berada di
tengah-tengah proyek pengembangan apartemen di daerah Cikini Jl. Raden
Saleh Jakarta.
Berikut adalah hasil wawancara
Muh Subki Balya dengan Bapak Ansori, orang yang diserahi ahli bait untuk
merawat masjid, pada bulan Ramadhan tahun 1434 H:
“Bahwa
berdirinya masjid ini panjang dan katanya perebutan lahan ini dulu
sampai berdarah, tetapi tiada stasiun TV manapun yang meliputnya. Ada
seorang kaya yang berniat menggusurnya.
Sengketa
tidak boleh digusur dan mau menggusur berlanjut. Sampai akhirnya yang
berkuasa duit berhasil mau memindahkan makam Habib Abdurahman. Alat
berat bego (alat mobil berat) dikerahkan sungguh di luar rasio akal
sehat. Mobil bego itu patah.
Kemudian
diambilkan mobil bego yang lebih baru dan lebih sehat. Benar-benar
karamah Habib Abdurahman bin Abdullah al-Habsyi telah nampak. Mobil bego
yang lebih layak dan sehat itu patah juga, bahkan patahannya hampir
menyambar operator alat bego itu.
Ketika
peristiwa tersebut mereda, terjadi keributan yang keduakalinya. Orang
berduit itu tetap hendak mengeruk lahan tanah yang di situ terdapat
makam Habib Abdurrahman. Ternyata keluarlah sumber air dari kerukan
tersebut. Dari peristiwa itu dibangunlah sebuah masjid oleh keluarga di
samping makam Habib Abdurrahman al-Habsyi.
Kisah
unik irasional terjadi kembali. Saat pembangunan batas antara masjid
dengan proyek, tepatnya di tikungan jalan tidak kunjung mengering. Air
terus menggenang sehingga tidak dapat melakukan pengecoran pondasi,
kurang lebih hingga 3 bulan lamanya. Saat itulah dari pihak kontraktor
baru mau meminta izin sekedar berdoa di makam. Setelah itu air pun surut
dan pembangunan pagar bisa dilaksanakan.”
Kejadian unik lain diceritakan pula oleh Bapak Ansori sebagai berikut:
“Ada
seorang petani dengan mengendarai sepeda motor hendak melihat tanaman
cabainya yang dikira sudah cukup umurnya untuk dipanen. Namun setelah
meninjau berulangkali tanaman cabainya itu tidak kunjung dapat dipanen.
Datanglah
ia ziarah ke makam Habib Abdurahman bin Abdullah al-Habsyi. Kemudian ia
meminta kaleng yang bisa digunakan untuk mengambil air di makam Habib
Abdurrahman.
Sepulangnya di rumah, air seberat
kaleng cat itu dioplos (dicampurkan) dengan air yang digunakan untuk
menyirami tanaman cabai. Alhamdulillah setelah itu tanaman cabainya bisa
panen. Dari kejadian itu lantas ia ziarah kembali ke makam Habib
Abdurahman al-Habsyi dengan membawa tumpeng sekedar berbagi rizki untuk
selamatan atau tasyakuran.”
|
Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM · Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk · Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita · Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh · Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g
Komentar
Posting Komentar