Langsung ke konten utama

KEMELUT DI CAKRA BUANA 6

 ADA satu masalah lagi yang jadi teka-teki hati Purbajaya. Kematian pemuda Wista membuat hatinya
penasaran. Ketika jasad pemuda itu mau dia kuburkan, di leher mayat Wista terdapat luka memar. Ini
hanya menandakan, pemuda itu tewas karena dibunuh orang. Ada orang membunuh Wista dengan
sebuah pukulan telak di leher. Siapa yang membunuh pemuda itu?
 Aditia memang menuduh Purbajaya yang bunuh Wista hanya karena alasan dialah yang tidurnya dekat
dengan Wista. Namun Purbajaya pun bisa menuduh kalau Aditialah yang bunuh Wista dan
tanggungjawabnya ditimpakan kepada Purbajaya.
 Purbajaya bergidik sendiri kalau dugaannya sampai sejauh itu. Benarkah Aditia yang bunuh Wista?
 Hal ini memang amat memungkinkan. Aditia mungkin marah kepada Wista yang mulai akrab dengan
Purbajaya, padahal Aditia punya keinginan semua teman-temannya memusuhi Purbajaya. Bisa saja
kebencian Aditia kepada Wista semakin berlipat setelah Wista kerapkali menyalahkan tindakan Aditia
yang dianggapnya ceroboh dan sebaliknya jadi memuji-muji Purbajaya karena Wista banyak menerima
bantuan.
 Menurut perkiraan Purbajaya, Aditia punya orang yang bisa dikambinghitamkan dalam upaya
melenyapkan nyawa Wista, yaitu dirinya. Waktu itu Wista banyak mengomel kepada Purbajaya dan
kemudian Purbajaya balik membalas dengan omelan pula karena Wista manja dan cengeng. Maka
"pertengkaran" ini digunakan Aditia sebagai peluang dalam membunuh Wista sebab kelak yang akan
dituduhnya adalah Purbajaya. Oleh sebab itu, siang harinya setelah Wista mati, Purbajaya langsung
dituduh sebagai pembunuh Wista.
 Akan halnya Yaksa yang akhirnya dibunuh Aditia, mungkin pemuda ini pun akhirnya jadi sasaran
kemarahan Aditia karena ragu-ragu dan bimbang saat diperintah untuk balik membunuh Purbajaya.
Apalagi kemarahan Aditia semakin memuncak ketika Yaksa malah balik menuding kalau Aditia mungkin
pembunuh sebenarnya. Aditia marah merasa dikhianati oleh kedua orang temannya, padahal menurut
hemat dia, kedua orang temannya musti bantu dia dalam membenci Purbajaya habis-habisan.
 Kalau benar Aditia membunuh dua temannya, maka jelaslah sudah, alasan utamanya adalah kecewa
karena sikap dua temannya yang plinplan dalam memusuhi Purbajaya. Baik Wista mau pun Yaksa
dianggapnya sudah tak mendukung lagi dan ini amat tak disukai Aditia.
 Namun benar atau tidak sangkaan ini, yang jelas, peristiwa ini telah menyeret Purbajaya ke jurang
kesulitan. Bagaimana tak begitu, secara tak sengaja dia telah terlibat pembunuhan. Aditia telah terbunuh
hanya karena Purbajaya tak bisa menahan emosi. Bagaimana kelak dia musti mempertanggungjawabkan
perkara ini kepada Ki Dita, kepada Ki Bagus Sura, bahkan kepada penguasa Sumedanglarang?
Semuanya akan menuntut dia dan mungkin akan menghukumnya.
 Purbajaya jadi susah untuk menemui mereka sebab Purbajaya tak punya apa yang musti jadi bahan yang
bisa menjelaskannya. Ki Dita pasti akan marah besar dan akan mudah saja menuding kalau ketiga
muridnya dia yang bunuh sebab selama ini antara ketiga orang muridnya dengan Purbajaya tidak punya
kecocokan. Ki Bagus Sura memang benar tak menyukai ketiga orang murid Ki Dita. Namun dalam
menghadapi urusan ini, orang tua itu akan menderita kesulitan dalam membela Purbajaya. Barangkali dia
pun akan ikut terseret oleh masalah ini mengingat antara Ki Bagus Sura dengan para orangtua ketiga
orang muda itu tidak pernah akur pula.
 Hubungan Ki Bagus Sura dengan ketiga orangtua anak muda yang tewas itu akan semakin memburuk
jua. Jelas, urusan ini akan membuat posisi Ki Bagus Sura menjadi terganggu.
 Buruk, memang buruk. Dan ini terjadi hanya karena Purbajaya tak bisa menahan diri. Memang benar
kata Paman Jayaratu, orang cepat marah hanya akan merugikan dunia.
Ah ... Kalau saja aku tak bunuh Aditia, keluhnya.
 Tidak! Aku tak bunuh dia, bantah hatinya lagi. Paling tidak, aku tak bermaksud membunuhnya. Yang
membuat dia terbunuh karena keberingasannya saja, bantah hati Purbajaya lagi. Ya, sebab kalau pun dia
tak bunuh Aditia, urusan belum tentu beres. Aditia akan tetap bertahan pada fitnahnya dan akan tetap
menuduh Purbajaya sebagai pembunuh Wista. Mungkin kematian Yaksa pun akan ditimpakan
kepadanya dengan alasan bahwa cekcoknya Yaksa dengan Aditia karena memperkarakan Purbajaya.
 "Ah ... Aku tak bisa kembali ke Sumedanglarang ... " keluh Purbajaya.
 Dan ingat Sumedanglarang jadi ingat Nyimas Yuning Purnama. Hatinya kembali menjadi sedih. Sudah
semakin jelas kini kalau dirinya tak mungkin bertemu lagi dengan gadis bermata sayu itu. Atau paling
tidak, dia sudah tak mungkin bisa melaksanakan apa yang jadi harapan Ki Bagus Sura agar Purbajaya
mau merawat dan melindungi kehidupan gadis itu.
 "Aku tak bisa berbuat apa-apa ... " keluhnya lagi berkali-kali.
 Yang bisa dia lakukan kini hanyalah ikut ke mana Raden Yudakara pergi. Mungkin ini menyebalkan
sebab harus selalu berdekatan dengan orang yang tidak dia sukai. Mungkin ini membuatnya muak sebab
harus selalu bersama-sama dengan orang yang selamanya harus dia curigai.
 Terus-terusan mencurigai seseorang bagi Purbajaya merupakan sebuah siksaan. Namun suka atau tidak
suka, pemuda pesolek yang romantis atau bahkan gila perempuan ini harus terus dikuntit. Pertama karena
pertalian amanat Ki Bagus Sura agar terus menyelidiki Raden Yudakara kalau surat daun lontar milik
negara tidak bisa diselamatkan dan kedua karena memang Purbajaya kini di bawah tekanan pemuda ini.
 Ya, halus atau tidak ucapan Raden Yudakara, maksudnya tetap satu, bahwa pemuda itu mengisyaratkan
agar Purbajaya ikut dia. Perbuatan Purbajaya yang membunuh Aditia secara tak sengaja, dijadikannya
sebuah tekanan agar Purbajaya tetap berada di samping Raden Yudakara.
 Purbajaya tak tahu, mengapa pemuda aneh itu tidak mau melepaskannya. Apa yang diharapkan Raden
Yudakara darinya? Padahal dia tahu, berdekatan satu sama lain tidak saling cocok. Raden Yudakara
selalu banyak bicara, sementara Purbajaya tidak. Raden Yudakara semberono dan gila wanita, sedang
Purbajaya selalu bertindak hati-hati dalam hal apa pun, termasuk urusan cinta.
 Sama sekali tidak ada kecocokan. Tapi mengapa Raden Yudakara selalu ingin dekat dengannya?
Mungkinkah benar pemuda bangsawan ini membutuhkan tenaga Purbajaya untuk melakukan penyusupan
ke Pajajaran dengan mengandalkan keakhlian dirinya sebagaipuhawang (akhli kelautan) atau hanya
karena ada tekanan dari pihak luar agar Raden Yudakara "menjaga" Purbajaya?
 Purbajaya ingat, Pangeran Arya Damar pun sama seperti begitu "memerlukan"nya dan dia harus ikut misi
penyusupan ke Pajajaran. Benar-benarkah amat diperlukannya, sementara Paman Jayaratu sendiri
menekankan agar misi yang dianggap gila ini dibatalkan saja?
 Segalanya masih misteri baginya. Namun justru agar misteri ini bisa terungkap, maka Purbajaya mau tak
mau musti ikut ke mana Raden Yudakara pergi. Dengan perkataan lain, biarkan dirinya dimanfaatkan
oleh pemuda aneh ini sehingga dia bisa tahu, misi apa yang sebenarnya tengah mereka lakukan.
 Satu misteri telah bisa ditelusuri sekali pun masih samar-samar. Raden Yudakara ternyata selalu
menguntit ke mana pasukan siluman bergerak.
Melihat hal ini, Purbajaya mencoba menarik kesimpulan. Pertama, pemuda itu berusaha menguntit jejak
pasukan siluman karena sama merasa merasa penasaran kepada kemisteriusan pasukan itu. Dan
kesimpulan yang kedua, Raden Yudakara pun sama menginginkan surat daun lontar itu. Bila kesimpulan
kedua yang benar, maka bisa dipastikan, Raden Yudakara sudah tahu kalau surat daun lontar itu isinya
membahayakan kedudukannya.
 Tentu saja bila dilihat sepintas, baik Purbajaya mau pun Raden Yudakara sepertinya punya keinginan
yang sama yaitu ingin merebut surat daun lontar yang kini dikuasai oleh Pasukan Siluman Nyi Rambut
Kasih. Namun motif dari keduanya tentu jauh berbeda. Purbajaya ingin surat daun lontar yang dikirimkan
Kangjeng Pangeran Santri dari Sumedanglarang harus sampai ke tangan Kangjeng Sunan Parung di
Karatuan Talaga. Sementara Raden Yudakara malah punya tujuan sebaliknya. Surat daun lontar tidak
boleh sampai. Ini hanya perkiraan-perkiraan semata sebab hal sebenarnya belum diketahui persis dan
baru bisa diketahui bila Purbajaya terus mengikuti dan meneliti tindak-tanduk pemuda aneh ini.
 Yang jelas, baik Purbajaya mau pun Raden Yudakara sekarang ini sama-sama tengah menguntit
pasukan siluman secara diam-diam tapi kalau surat daun lontar lepas dari genggaman pasukan misterius
itu, maka giliran Purbajaya dan Raden Yudakaralah yang bersaing memperebutkannya.
 
 ***
 PERJALANAN kedua orang itu akhirnya tiba di persimpangan jalan pedati. Jalan yang lurus ke selatan
akan mengarah ke Gunung Cakrabuana dan yang ke timur akan menuju Karatuan Talaga.
 Purbajaya jadi terkenang kepada peristiwa sepuluh bulan atau setahun yang silam. Waktu itu pun
Purbajaya melakukan perjalanan menuju kaki Gunung Cakrabuana. Bedanya, dulu lewat timur melalui
Karatuan Rajagaluh sementara sekarang datang dari sebelah utara. Dulu berangkat dari Carbon,
sekarang datang dari wilayah Ciguling (ibu kota Karatuan Sumedanglarang).
Purbajaya pun jadi terkenang akan gurunya. Ingin sekali dia naik ke puncak dan menemui Paman
Jayaratu. Barangkali Purbajaya akan memaksa agar dirinya diterima orang tua itu dan tetap tinggal
bersamanya hingga akhir hayat.
 Kalau ingat ini, Purbajaya merasa kalau Paman Jayaratu bertindak tak adil. Dengan alasan masih muda,
Purbajaya diperintahkan melakukan pengembaraan agar banyak menerima pahit-getirnya pengalaman
hidup, sementara Paman Jayaratu yang sudah tua tinggal menyepi di tempat sunyi dan mengasingkan diri
dari kemelut dunia.
 Ya, ini tak adil. Mengapa orang tua boleh menjauhkan diri dari kemelut sementara dirinya yang masih
muda malah "sengaja" disuruh mendekatkan diri kepada berbagai permasalahan dunia? Apakah anak
muda tidak sah menjadi manusia kalau belum merasakan pahit-getirnya kehidupan? Purbajaya ingin
bahagia, tetapi mengapa harus melalui kepahitan dulu?
 Padahal yang dimaksud kebahagiaan oleh Purbajaya tidak banyak. Dia tak ingin jadi orang terkenal, tak
ingin jabatan atau pun kekayaan. Yang dia inginkan adalah hidup yang tentram. Dan ketentraman baginya
adalah bila bisa menjauhkan diri dari berbagai permasalahan dunia, menjauhkan diri dari perbedaan
pendapat dan menjauhkan diri dari persaingan hidup. Selama bersama Paman Jayaratu di wilayah
Carbon, hal itu sudah pernah dirasakan. Purbajaya tak pernah punya masalah sebab Paman Jayaratu
tidak pernah memberinya masalah.
Masalah mulai hadir ke hadapannya setelah dia banyak berjumpa dengan orang lain yang punya
kehendak lain dan pandangan hidup berbeda. Maka di sanalah kemelut terjadi dan di sanalah
ketentraman hidupnya terganggu. Jadi menurutnya, Paman Jayaratu kejam karena telah menjauhkan
dirinya sehingga Purbajaya terlontar ke kehidupan ramai yang begitu banyak ragamnya dan amat
memusingkannya.
 Menurut kata hatinya, pendapat Paman Jayaratu itu salah. Orang tua itu mengatakan bahwa nilai
kehidupan yang sempurna adalah bila memiliki wawasan dan pengalaman yang luas. Itu salah. Menurut
Purbajaya, pengetahuan dan pengalaman hanya menambah kesulitan belaka. Karena punya pengetahuan
jadi punya keinginan. Dan karena punya pengalaman jadi punya penderitaan. Padahal selama bersama
Paman Jayaratu, dia tak punya keinginan. O, Paman Jayaratu lupa, hanya karena manusia punya
keinginan maka akan berhadapan dengan kesulitan dan penderitaan.
 Sekarang, mengunjungi Paman Jayaratu rasanya mustahil. Raden Yudakara tidak akan mengajaknya ke
puncak. Bagi pemuda bangsawan itu, puncak Cakrabuana baginya adalah mimpi buruk. Betapa tidak,
dia yang bertugas memerangi Ki Darma malah sembunyi manakala terjadi pertempuran antara pasukan
Carbon dan pasukan Pajajaran. Betapa memalukan ini. Dan agar serasa tak diingatkan kepada peristiwa
ini, maka bisa ditebak kalau pemuda bangsawan ini tidak berniat singgah di Cakrabuana.
 Nama Paman Jayaratu dan Ki Darma bagi Raden Yudakara bukanlah nama yang boleh diakrabi.
Pemuda itu tak akan cocok untuk bergaul dengan kedua orang tua bijaksana itu. Lagi pula, tujuan Raden
Yudakara adalah menguntit ke mana pasukan siluman bergerak. Kalau yang dikuntitnya menuju wilayah
Cakrabuana, barangkali baru dia mau.
 Dan kenyataannya, yang dikuntit tidak menuju ke wilayah gunung, melainkan lurus ke timur, sepertinya
mau menuju ke Bantarujeg atau ke Talaga. Tapi benarkah mereka mau menuju ke sana?
 Entah ini perjalanan yang menguntungkan atau tidak bagi Purbajaya. Bisa disebut menguntungkan sebab
Talaga sudah tak begitu jauh lagi. Dengan demikian, kepada penguasa Talaga Purbajaya bisa segera
menyampaikan hal-hal yang mencurigakan yang dikerjakan Raden Yudakara. Namun juga bisa disebut
tidak menguntungkan sebab sampai dengan hari ini, Purbajaya belum bisa merebut kembali surat daun
lontar dari genggaman pasukan siluman.
 Tanpa bukti surat ini, berita apa pun sulit dipercaya kebenarannya. Apalagi Purbajaya tidak memiliki
identitas apa-apa yang bisa diperlihatkan kepada penguasa Talaga. Orang Talaga takkan berani begitu
saja ikut mencurigai Raden Yudakara yang jadi kepercayaan Carbon selama ini.
 Dan waktu semakin sempit, sementara kesempatan untuk mendapatkan kembali surat daun lontar itu
belum juga ada.
 Malam itu mereka berdua kemalaman di sebuah hutan. Untuk menjaga diri dari bahaya binatang buas,
Raden Yudakara mengajak Purbajaya tidur di dahan pohon. Masing-masing memilih dahan pohon yang
sekiranya enak dan nyaman untuk dibuat tempat tidur. Purbajaya sengaja memilih dahan yang jaraknya
tak terlalu dekat dengan dahan yang dipilih oleh Raden Yudakara.
 Sudah diputuskan di dalam hatinya, malam ini Purbajaya akan menyelinap pergi dengan tujuan mencari
pasukan siluman seorang diri. Purbajaya menduga, bila Raden Yudakara mengajaknya beristirahat,
pertanda kelompok yang tengah dibuntutinya berada di dekat-dekat situ. Purbajaya sudah
memperhitungkan, di saat pemuda itu tertidur pulas, maka di situlah dia akan meninggalkannya.
Tengah malam di saat cuaca dingin berkabut, sudah terdengar dengkur keras pemuda bangsawan itu.
Purbajaya sebetulnya sedikit iri, orang seperti itu oleh Tuhan diberi kemudahan untuk menikmati tidur
dalam keadaan apa pun. Kata orang, yang mudah tidur dan tidurnya mendengkur bebas hanya
menandakan bahwa orang itu tidak punya permasalahan berat dalam hidupnya. Sementara Purbajaya
sendiri kalau mau tidur susahnya bukan main. Mata mengantuk tetapi pikiran jalan. Yang dipikirkan
kebanyakan yanag ruwet-ruwet saja. Nanti kalau capek dan kalau malam hampir berganti pagi, baru bisa
tidur saking lelahnya.
 Malam ini, Purbajaya pun tidak tidur barang sekejap. Makanya dia tahu persis kalau Raden Yudakara
sudah mendengkur aman. Oleh sebab itu, dia pun segera melorot turun dari dahan dengan amat hati-hati.
Begitu hati-hatinya sampai-sampai upaya menuruni batang pohon itu demikian makan waktu lama.
Purbajaya tak ingin ada gerakan walau sedikit. Jangan ada binatang serangga yang tengah bunyi
mendadak berhenti karena gerakan asing. Kalau serangga malam berhenti berbunyi, Raden Yudakara
pasti curiga.
 Tapi walau dengan susah-payah, akhirnya Purbajaya bisa juga melorot turun. Dan sambil tak mengurangi
kehati-hatian, Purbajaya meninggalkan tempat itu.Pergi ke mana? Tentu pergi ke daerah agak tinggi dari
hutan itu. Kendati malam terbungkus kabut, namun samar-samar Purbajaya sebenarnya sudah sejak tadi
bisa melihat adanya sebuah cahaya. Samar-samar dan amat tipis sekali. Tapi kalau diamati dengan baik,
cahaya yang bagaikan setitik kunang-kunang itu bisa diyakini sebagai cahaya api. Kunang-kunang akan
bercahaya kuning kehijau-hijauan sementara cahaya api kemerah-merahan. Purbajaya menduga itu
adalah cahaya api unggun.
 Memasang api unggun di saat malam gelap berkabut dengan cuaca begitu dingin memang amat cocok.
Namun, siapakah yang memasang api di tengah hutan begini? Tadi siang Purbajaya meneliti kalau di sini
tidak terdapat perkampungan penduduk, tidak juga ada petani yang menjaga huma. Satu-satunya
perkiraan Purbajaya, yang memasang api unggun di malam berkabut ini tentulah anggota pasukan
siluman.
 Dengan perasaan tegang, Purbajaya mencoba mendekati tempat itu. Tapi untuk mendekatinya musti
merambah bukit kecil sebab cahaya itu sepertinya datang dari sebuah lereng bukit. Dan ketika dia
mendekati daerah itu, semakin nyata kalau di sana ada orang tengah menyalakan api unggun.
 Purbajaya berpikir kalau anggota pasukan siluman ini amat melecehkannya. Betapa tidak. Gerakan
mereka selalu dilakukan secara misterius dan main sembunyi. Datang dan pergi tak pernah orang tahu
kapan dan di mana. Namun kali ini mereka tak memperlihatkan kebiasaan itu. Menyalakan api unggun di
tengah malam hanya menandakan bahwa mereka tak takut siapa pun.
 Namun kendati lawan demikian tangguh, Purbajaya akan tetap berusaha. Keputusannya sudah bulat
untuk merebut kembali kotak surat daun lontar yang sempat dirampas pasukan siluman. Dia harus
melaksanakan amanat Ki Bagus Sura yang tetap menginginkan keberadaan Raden Yudakara yang penuh
misteri terkuak dan diberitakan kepada penguasa Karatuan Talaga.
 Kini Purbajaya semakin mendekati cahaya api. Dan dari jarak pandang tak begitu jauh lagi, Purbajaya
melihat bahwa di sebuah hamparan tanah miring perbukitan belasan orang tengah berkumpul mengelilingi
api unggun. Ya, melihat jenis pakaian mereka yang menggunakan kain serba hitam dengan ikat kepala
hitam hampir menutupi jidatnya, bisa dipastikan kalau mereka adalah anggota Pasukan Siluman Nyi
Rambut Kasih.
 Api menjilati kayu bakar dan semakin lama semakin membuat cahaya semakin benderang juga. Kini
bunga api malah beterbangan ke udara karena api sengaja disulut semakin besar, sepertinya mereka
sengaja hendak membikin suasana jadi terang agar yang tengah mengintip bisa leluasa melihat mereka.
 Apakah ada orang yang ditunggu? Rasanya benar, sebab walau pun mereka duduk berkumpul, namun
cara duduknya seperti membentuk kuda-kuda, siap melakukan gerakan sesuatu yang mendadak.
 "Ah, yang datang bukan pimpinan kita. Tapi hai,Ki Silah (Saudara) yang sembunyi di semak, silakan
hadir ke sini untuk sama-sama menghangatkan tubuh," kata seseorang dari anggota pasukan siluman.
 Purbajaya amat terkejut. Dia mau bangun dari tempat sembunyinya sambil celingukan ke sana ke mari.
Dengan pipi terasa panas karena malu diketahui musuh, Purbajaya akan segera berdiri, ketika tiba-tiba
dari rimbunan pohon di arah sana keburu ada orang lain yang berdiri dan kemudian meloncat mendekati
tempat di mana anggota pasukan siluman berada.
 Purbajaya bernapas lega. Ternyata yang kepergok ngintip bukan dirinya, melainkan orang lain. Hanya
saja Purbajaya jadi terkejut sebab yang barusan loncat adalah Ki Sudireja. Dia heran, orang tua itu
begitu tangguh tapi ternyata ceroboh sehingga diketahui lawan kalau dia tengah mengintip.
 "Lho, malah Ki Sudireja yang datang. Tak apa. Mari ke sini. Malam sungguh dingin dan membuat tulang
serasa ngilu," kata orang dari pasukan siluman.
 "Jangan banyak basa-basi. Aku hanya inginkan anak bernama Pragola kembali ke tanganku," kata Ki
Sudireja tak menerima sambutan hangat.
 "Ah, anak itu masih terlalu kecil. Anak usia tujuh tahun jangan kau bawa-bawa ke dalam urusan
akal-akalan (politik)," jawab anggota pasukan siluman sambil menambah kayu bakar di bara api.
 "Mau dibawa ke mana anak itu, aku yang bertanggungjawab, sebab akulah yang tengah dan akan
membesarkannya," jawab Ki Sudireja kaku.
 "Sikap mau menang sendiri seperti ini amat berbahaya. Apa kau tak merasa khawatir kalau anak itu
kelak selamanya berada dalam mara-bahaya?"
 "Justru bila anak itu berada di dalam kungkungan kalian maka anak itu akan berada di dalam bahaya.
Kalian hidup dalam kurungan mimpi. Entah setan apa yang mempengaruhi kalian sehingga kalian tak
menghargai hidup masa kini," kata Ki Sudireja tandas.
 "Jangan mengolok-olok. Semua orang punya keyakinan dan semua orang hanya beranggapan,
keyakinan dirinyalah yang benar dan baik."
 "Memang benar. Tapi sejauh mana keyakinan itu punya arti? Benarkah selama ini engkau mendapatkan
wangsit (amanat) dari Nyi Rambut Kasih? Siapa di antara kalian yang pernah bertemu dengan putri
Sindangkasih yang telah menghilang puluhan tahun silam itu?" tanya Ki Sudireja.
 Tidak ada yang menjawab.
 "Kalian telah diracuni oleh jalan pikiran sendiri," cerca Ki Sudireja lagi.
 "Tidak. Kami punya pemimpin."
 "Kalau begitu, pimpinan kaliannlah yang meracuni!"
"Diam! Kau tak punya hak menilai pemimpin kami. Orang yang jauh dan tak mengenal seseorang tak
mungkin bisa menilai baik buruknya seseorang itu. Sudahlah, nyawamu di tanagan kami. Hanya karena
pemimpin tak menginginkan kau mati maka nasibmu baik hingga kini. Tempo hari kami kehilangan tiga
orang anggota hanya karena pemimpin kami tak menyukai kami menganiayamu. Sekarang pergilah
sebelum pemimpin kami berubah pikiran!" kata seorang anggota pasukan siluman bertubuh tinggi besar
berkulit hitam legam dan yang rupanya pemimpin dari mereka."Pergilah, kami jamin anak itu selamat tak
kurang suatu apa," katanya lagi.
 "Di mana anak itu?"
 "Di wilayah Sindangkasih."
 "Aku ingin bertemu pimpinan kalian!"
 "Tidak bisa. Cepatlah pergi, kami tak mau ehilangan nyawa anggota kami lagi. Hanya satu kesalahan
saja, maka pemimpin kami tak tanggung-tanggung membunuh kami seperti tempo hari!" kata si tinggi
besar dan itu membuat hati Purbajaya terkejut setengah mati. 
 ***
 "PERGILAH cepat!" untuk ke sekian kalinya anggota pasukan siluman mengusir Ki Sudireja.
 Dan rupanya orang tua setengah baya itu pun tahu diri. Sesudah mendengus sebentar, Ki Sudireja
meloncat pergi dan menghilang di kegelapan malam.
 Purbajaya pun sebetulnya setuju Ki Sudireja pergi sebab pengalaman tempo hari ketika dia melawan
anggota pasukan siluman, terlihat amat payah dikeroyok dengan ketat oleh lawan. Dan kalau saja Raden
Yudakara tidak menolongnya dengan menyambit tiga orang anggota pasukan siluman, mudah diduga
kalau Ki Sudireja akan kalah dan bahkan mungkin tewas.
 Tapi ingat sampai di sini, wajah Purbajaya kembali pucat saking terkejutnya. Tapi anggota pasukan
siluman berkata kalau pemimpin mereka telah menewaskan tiga orang dari mereka karena pemimpin tak
setuju Ki Sudireja dianiaya. Sudah gilakah jalan pikiran Purbajaya kalau kali ini dia menduga Raden
Yudakara adalah pemimpin anggota Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih?
 "Hai, engkau yang jongkok di semak, cepat ke sini!" tiba-tiba terdengar teriakan dari si tinggi besar dan
amat mengejutkan Purbajaya.
 Kembali Purbajaya celingukan. Mudah-mudahan saja kejadiannya seperti tadi, yaitu orang-orang itu
bukan memanggil dirinya. Tapi setelah ditunggu lama, tak ada orang lain muncul dari semak. Dengan
demikian, kini Purbajaya yakin kalau dirinyalah yang barusan dipanggil.
 Dengan perlahan Purbajaya keluar dari semak. Semua orang menatap dirinya dengan penuh ejekan.
 "Sebetulnya sejak tadi engkau aku panggil tapi yang datang malah orang lain. Kenapa dari tadi kau
ngintip kami?" tanya si tinggi besar berkacak pinggang.
 Purbajaya tersipu malu. Jadi benar mereka orang hebat. Ketika dia baru datang pun sebetulnya mereka
sudah tahu kehadirannya. Itulah sebabnya api unggun semakin dinyalakana. Namun barangkali Ki
Sudireja tadi salah menyangka. Disangkanya, kedatangan dirinya telah diketahui lawan sehingga dia
langsung terjun memperlihatkan diri.
"Dia dari kelompok Ki Bagus Sura!" teriak salah seorang dari mereka menudingkan telunjuknya.
 "Ya, aku pun tahu. Tapi yang aku bingungkan, mengapa pula pemuda bodoh ini menguntit kita?" tanya si
tinggi besar masih berkacak pinggang.
 "Kalian pasti sudah tahu maksud kedatanganku!"jawab Purbajaya tandas. Urat-urat di tubuhnya
menegang, siap mengahadapi hal-hal yang tak diinginkan.
 "Bahkan kami tak tahu. Engkau bersusah-payah menguntit kami, ada apakah?" tanya si tinggi besar
mengerutkan dahi.
 "Serahkan peti surat daun lontar milik Ki Bagus Sura!" tangan kanan Purbajaya menyodorkan tangan
kanan ke depan seolah-olah menyuruh agar barang yang dimintanya segera dikembalikan padanya.
 "Heh, berani-beraninya. Engkau tak punya kepentingan khusus mengenai ini. Pergilah sana!" telunjuk si
tinggi besar mengarah ke tempat jauh sepertinya memang menyuruh Purbajaya pergi jauh dan jangan
mengganggu mereka.
 "Secara pribadi mungkin benar aku tak punya kepentingan. Namun aku adalah anggota misi
Sumedanglarang, harus menyelamatkan benda yang jadi tugas kami untuk dijaga agar tiba dengan
selamat kepada orang yang berhak kami serahkan. Cepat serahkan surat itu!" bentak Purbajaya namun
hanya disambut gelak ketawa mereka
 Purbajaya marah dan terhina, orang bicara serius malah diketawain. Sepertinya Purbajaya hanyalah
anak-anak di mata mereka.
 "Kalian mungkin orang hebat dan aku tak bisa kalahkan kalian. Tapi tugas harus aku kerjakan. Mati
dalam tugas bukan sesuatu yang dosa buatku!" kata Purbajaya. Dan serentak dengan itu Purbajaya
melakukan serangan tajam. Serangan ini tak main-main. Dia mengeluarkan seluruh tenaga dan
kemampuannya karena tahu lawan orang-orang hebat semua. Namun hanaya satu kali gerakann saja,
semua serangan bisa digagalkan si tinggi besar.
 "Engkau pemberani dan setia kepada tugas. Kami butuh orang sepertimu, maka bergabunglah, anak
muda," kata si tinggi besar masih memainkan jurus-jurus menghindar karena Purbajaya tetap melakukan
serangan.
 "Keluarkan surat daun lontar dan serahkan padaku!" teriak Purbajaya tak menggubris tawaran si tinggi
besar.
 Si tinggi besar tertawa. Lantas dariendong (kantung kain) yang dari tadi tersandang di bahunya, dia
mengeluarkan sesuatu dan diangkatnya tinggi-tinggi.
 "Inikah yang engkau maksud, anak muda?"
 Purbajaya menatap susunan daun lontar yang tersusun rapi dan diikat benang sutra warna merah. Dia
memang tak tahu, apa benda itu yang dimaksud sebab sebelumnya dia pun tak pernah melihatnya.
 "Isinya tidak akan kau mengerti kecuali hanya mengacaukan keadaan saja," kata si tinggi besar masih
mengacungkan susunan daun lontar tinggi-tinggi.
"Kumengerti atau tidak, kewajibanku hanya menyelamatkan benda itu! Cepat serahkan!" kata Purbajaya
sambil kembali menyerang dan untuk ke sekian kalinya serangannya lolos begitu saja karena gerakan
hindar si tinggi besar demikian gesit dan ringan.
 "Sudah kuangkat tinggi-tinggi benda ini. Kewajibanmu ringan saja, yaitu hanya menggapainya. Mari anak
muda, semua orang perlu berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya," kata si tinggi besar
menantang.
 Ini adalah tantangan terbuka. Mereka tak mau memberikan benda itu secara cuma-cuma kecuali dengan
sebuah ujian. Purbajaya mengerti, anggota pasukan siluman terus mengujinya dan tidak berniat
mencelakakan dirinya. Dan ini amat menguntungkan Purbajaya sebab dengan demikian dia bisa leluasa
melakukan serangan tanpa khawatir dirinya terluka oleh serangan balik dari pihak lawan.
 Melihat benda yang diincarnya diangkat tinggi-tinggi, maka Purbajaya segera meloncat bagaikan macan
hendak menangkap mangsa. Tangan kanan Purbajaya segera mencakar ke depan mengarah wajah lawan
sementara kaki kiri lurus menendang menyerang ulu hati.
 Namun lawan sepertinya sudah tahu kalau gerakan yang diperagakan Purbajaya hanyalah sebuah
pancingan. Sebab gerkan ap punyang dilakukan, pada intinya tetap mengincar benda yang diangkat
tinggi-tinggi. Oleh sebab itu, ketika serangan kaki kiri datang meluncur, tubuh lawan hanya mundur satu
tindak. Dan selanjutnya dia balik menyerang tangan kanan Purbajaya melalui "patukan" tangan kirinya.
 Purbajaya tak mau tangan kanannya diserang dengan totokan. Kalau totokan itu tepat mengarah urat
nadi, maka bisa diduga tangan kanan Purbajaya akan mendadak lumpuh. Sebagai gantinya, tangan kanan
dia tarik kembali dan tangan kiri menyorong ke depan dengan telapak tangan dibuka lebar. Namun
demikian, serangan ini terpaksa harus ditarik kembali sebab tangan kiri si tinggi besar terus nyelonong
dan berubah sebagai pukulan telak mengarah dada.
 Purbajaya tak punya niat untuk menangkis serangan ini sebab dia tahu tenaga si tinggi besar amat bagus.
Untuk itu dia harus menghindar dengan cara bersalto ke belakang beberapa kali dan jatuh di tempat agak
jauh dengan kaki menapak lebih dahulu.
 Purbajaya tak menghentikan gerakan. Maka ketika baru saja kakinya menginjak tanah, segera dia
totolkan kembali untuk melesat ke depan dan mencoba merebut daun lontar.
 Si tinggi besar seperti agak terkesima melihat gerakan Purbajaya ini. Biasanya bila orang baru saja
bersalto tidak akan buru-buru membuat serangan baru sebab yang dia lakukan adalah memperbaiki
kedudukan kakinya dulu. Namun yang dilakukan Purbajaya adalah lain dari kebiasaan. Itulah memang
yang diajarkan Paman jayaratu, yaitu mencoba mengubah kebiasaan sehingga orang tak menduga.
 Si tinggi besar yang terkejut tidak melakukan gaya hindar lagi, melainkan langsung memapaki serangan
Purbajaya dengan serangan pula.
 Untunglah, serangan lawan sudah diduga sebelumnya. Maka karena Purbajaya tetap tak mau mengadu
tenaga, untuk kedua kalinya dia bersalto di udara. Kali ini putaran saltonya maju mengarah lawan dan
Purbajaya mencoba bersalto melampaui tubuh lawan. Sambil demikian, tangan kanan Purbajaya
melakukan gerakan dalam upaya merebut daun lontar di udara. Namun gerakan dan isi hati Purbajaya
sudah ditebak lawan. Maka dengan entengnya si tinggi besar melengos ke samping dan tangkapan tangan
purbajaya luput dari sasaran.
 Purbajaya kecewa dan putus asa. Dia marah oleh kemampuannya yang terbatas. Padahal hanya dengan
tangan kiri saja si tinggi besar demikian enaknya menghindar dan menyerang Purbajaya sebab tangan
kanannya sejak tadi hanya mengacung ke udara memegang ikatan surat daun lontar.
 Dalam keadaan terhina begini, Purbajaya jadi teringat gurunya, Paman Jayaratu. Orang tua ini dikenal
sebagai bekas perwira Carbon yang handal, disegani baik oleh lawan mau pun oleh kawan. Sebagai
bukti, Ki Darma saja yang dikenal hebat di Pajajaran, akhirnya tak memilih Paman Jayaratu sebagai
seteru untuk selama-lamanya.
 Kini kedua orang tua itu malah hidup damai di puncak Cakrabuana karena bila bermusuhan terus maka
satu sama lain tak pernah saling mengalahkan.
 Yang menyedihkan dari semua ini, mengapa Purbajaya yang katanya murid terkasih Paman Jayaratu
malah secuil pun tidak memiliki ilmu sehebat seperti gurunya?
 Dan inilah akibatnya. Menghadapi lawan yang punya kepandaian, pemuda ini menjadi bulan-bulanan.
Kalau saja lawan bertindak kejam, maka sudah sejak tadi dia akan kalah.
 Yang membuat Purbajaya menghargainya, biar pun lawan terkesan sombong namun sedikit pun dia tak
bermaksud melukainya. Kendati Purbajaya dijadikan mainan seperti tikus dipermainkan kucing, namun
sejauh ini tubuhnya selamat tak kurang suatu apa selain rasa malu yang menyesak di dada dan membuat
wajahnya terasa panas saking jengkel dan malunya.
 Ini adalah untuk yang kedua kalinya Purbajaya bertempur menghadapi anggota pasukan siluman. Dan
melihat cara-cara mereka bertempur, sebetulnya mereka tidak memiliki jurus-jurus keras dan kejam.
Kalau saja baik Paman Ranu, Ki Bagus Sura mau pun Ki Dita mengalami luka, itu karena tingkat
kepandaian mereka lebih rendah ketimbang kebolehan yang diperagakan anggota pasukan siluman.
 Anggota pasukan siluman memang tidak kejam. Namun demikian, Purbajaya tidak perlu memberi hati
kepada mereka. Apalagi perbutan mereka telah menimbulkan keresahan bagi yang lain.
 Purbajaya ingin sekali menghentikan aksi-aksi mereka. Tapi apa daya, kemampuannya demikian rendah.
Sekarang pun dia begitu susah-payah hanya untuk berusaha merebut sebuah benda yang
diacung-acungkan dengan santainya oleh lawan dan tanpa lawan bermaksud menempurnya.
 Untung sekali, ketika dia dijadikan mainan oleh anggota pasukan siluman, tiba-tiba muncul Raden
Yudakara. Dengan kehadirannya, siapa tahu akan mengubah keadaan kendati di dalam hatinya teringat
kembali akan kecurigaannya.
 "Raden ... bantulah saya!" kata Purbajaya sedikit menguji dan meneliti apa yang akan dilakukan pemuda
itu kelak. Namun sambil demikian, Purbajaya pun ada sedikit heran. Raden Yudakara yang tadi tidur
mendengkur nyatanya secara cepat bisa menemukan tempat ini juga.
 "Ada apa, Purba?" tanya pemuda itu mengerutkan dahi namun ada sedikit senyum di bibirnya.
 "Tolonglah ... rebutlah ..." Dan kata-kata ini tak terselesaikan sebab hatinya pun jadi ingat akan
kecurigaannya. Mana mungkin Raden Yudakara mau membantunya sementara Purbajaya menduga,
pemuda ini pun punya kepentingan dengan surat daun lontar itu.
 "Apa yang engkau inginkan dari orang-orang ini, Purba? Hai, coba kau perlihatkan padaku, benda apa
yang barusan kau acung-acungkan itu?" tanya Raden Yudakara kepada si tinggi besar.
Dan sungguh menakjubkan, dengan serta-merta benda itu dilemparkan oleh si tinggi besar kepada
Raden Yudakara yang menangkapnya dengan tenang.
 "Inikah yang engkau perlukan, Purba?" tanya Raden Yudakara. Dan ikatan surat daun lontar itu
diangkatnya tinggi-tinggi, persis seperti si tinggi besar mempermainkan dirinya.
 Serasa berhenti degup jantung Purbajaya karena rasa curiganya semakin kuat.
 "Talaga sudah tak begitu jauh dari sini, sayang surat ini tidak akan pernah sampai, Purba ... " gumam
Raden Yudakara. Dan dengan entengnya pemuda itu melemparkan ikatan surat daun lontar ke atas
gundukan api unggun yang apinya kian membesar. Hanya dalam waktu tak begitu lama, surat yang diburu
dan menimbulkan banyak korban ini berubah menjadi abu.
 Untuk sejenak Purbajaya termangu. Namun sesudah itu rasa terkejutnya muncul kembali. Benar
dugaannya, Raden Yudakara punya hubungan dekat dengan anggota pasukan siluman. Dan, Ya Tuhan,
hubungan itu demikian dekatnya. Purbajaya ingat akan perkataan anggota pasukan siluman kepada Ki
Sudireja bahwa tiga orang anngotanya tewas karena sang pemimpin tidak senang Ki Sudireja diganggu
pasukan siluman. Sementara itu Purbajaya tahu persis bahwa yang membunuh tiga orang anggota
pasukan siluman adalah Raden Yudakara.
 "Saya tak menyangka, Radenlah yang mengendalikan semua ini ..." gumam Purbaya mengusap wajahnya
sendiri. Nada suara Purbajaya terdengar bergetar. Getaran itu terjadi karena didorong oleh perasaan
kesal, marah dan juga terkejut.
 Sejak dulu dia memang telah merasa kalau pemuda bangsawan itu banyak diselimuti kabut misteri.
Tindak-tanduk Raden Yudakara selalu terlihat ganjil dan terkesan banyak memendam rahasia.
 "Terlalu banyak memikirkan urusan orang lain tak ada gunanya bagimu. Bukankah dulu di puncak
Cakrabuana aku pernah bilang ahwa urusan-urusan besar tak akan mampu dicerna oleh orang sekecil
kamu? Tugasmu bukan berpikir, melainkan hanya mentaati saja," kata Raden Yudakara masih dengan
senyum tipisnya.
 Sakit rasanya dikatakan begini oleh Raden Yudakara. Serasa benar, dirinya tak ada harganya.
 "Engkau tak bisa ke mana-mana, kecuali ikut bersamaku, Purba ..." kilah Raden Yudakara lagi.
 "Mengapa Raden menahanku, padahal engkau barusan bilang kalau saya ini orang tak berarti?" kata
Purbajaya setengah kesal.
 "Bersamaku kelak engkau akan banyak membuka mata. Tentu, kau pun akan mendapatkan tahu lebih
rinci lagi, siapa dirimu sebenarnya."
 "Saya tahu kalau saya adalah anak penguasa wilayah Tanjungpura dan keluarga saya dibantai oleh
pasukan Pangeran Arya Damar. Dengan demikian, saya tidak akan kembali lagi ke Carbon. Tak punya
manfaatnya bagi saya mengabdi kepada orang yanag membunuh kedua orangtua saya!" kata Purbajaya
dengan ketus.
 "Kau tak bisa meninggalkan Carbon begitu saja, sebab kalau begeitu kau akan dikejar. Ingat, kau punya
dosa. Di puncak Cakrabuana kau bersama Ki Jayaratu menempur empat perwira pembantu utama
Pangeran Arya Damar. Kalau berita ini sampai ke Carbon, maka secara resmi kau akan dituding
pengkhianat. Apa pun yang dilakukan pasukan itu di Cakrabuana, yang jelas itu adalah pasukan resmi
yang dikirim pemerintah," kata Raden Yudakara lagi.
 Purbajaya teringat lagi kejadian hampir setahun lalu. Betapa dia dan Paman Jayaratu menempur pasukan
Carbon karena Paman Jayaratu tak setuju pasukan itu menyerang puncak Cakrabuana.
 Ucapan Raden Yudakara benar, dia akan dicap pemberontak daan pengkhianat kalau berita ini sampai
ke Carbon. Dan kalau urusan lama ini diungkit, hanya punya arti bahwa Raden Yudakara ingin menekan
Purbajaya dengan kejadian setahun yang lalau itu.
 "Saya tak mau dituding pengkhianat, namun saya pun tak mau mau ikut engkau, Raden ... " kata
Purbajaya.
 "Tidak bisa! Engkau harus ikut aku!"
 "Mengapa harus ikut engkau?"
 "Karena kalau menolak kau akan kulaporkan sebagai pengkhianat. Sementara bila ikut aku, aku punya
rencana besar di Pakuan. Dan itu semua perlu bantuanmu. Ingat, kau adalah keluarga bangsawan di
Tanjungpura, wilayah Pajajaran."
 "Terus terang saya muak dengan rencana-rencanamu, Raden. Apa yang engkau rencanakan, sepertinya
hanya membuat kekacauan semata. Lihatlah Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih yang engkau ciptakan,
betapa hanya menghasilkan keresahan di lingkungan persahabatan Sumedanglaranga dan Talaga. Saya
tak mengerti, mengapa kau ciptakan suana seperti ini?" tanya Purbajaya tak habis mengerti.
 "Hahaha! Dengarkan, anak muda ini mempertanyakan kehadiran kalian. Adakah di antara kalian yang
ingin menjawabnya?" tanya Raden Yudakara menatap berkeliling.
 "Kaimi adalah keturunan Karatuan Sindangkasih yang merasa simpati kepada kesedihan dan rasa sakit
hati Kangjeng Nyimas Rambut Kasih. Putri itu adalah orang yang terasing, terdesak dan terhempas dari
dunianya. Mengapa kami sebagai keturunannya tidak merasa sakit hati?" kata seseorang dari anggota
pasukan siluman Nyi Rambut Kasih lantang. Aneh sekali, kendati lantang tapi nada bicaranya seperti
menahan tangis dan haru. Bahkan akhirnya semua anggota menangis sesenggukan.
 Purbajaya merasa bulu romanya berdiri. Demikian fanatiknya mereka terhadap junjungannya yang
bernama Nyimas Rambut Kasih. Padahal melihat usia mereka yang paling tinggi rata-rata sekitar
tigapuluh tahun, mereka takkan pernah mengenal tokoh Karatuan Sindangkasih itu secara dekat, tokh
Nyimas Rambut Kasih telah menghilang tak tentu rimbanya lebih dari enampuluh tahun silam.
 "Junjungan kalian puluhan tahun silam, benar memimpin Karatuan Sindangkasih. Namun setelah Nagri
Carbon berkembang, beliau menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan baru mulai muncul untuk
menggantikan kehidupan lama. Beliau rela melepaskan zaman yang dimilikinya untuk diberikannya
kepada zaman baru," kata Purbajaya mencoba menyadarkan anggota pasukan siluman.
 "Kangjeng Putri adalah wanita yang arif. Beliau tidak meminta apa yang beliau mau dan tidak menolak
apa yang beliau tak suka. Segala sesuatu terpulang kepada kita ayang memperlakukannya. Apakah kita
meminta sesuatu kepada beliau sesuai dengan kelayakan atau tidak? Itulah yang kami sakitkan. Orang
melakukan perubahan tanpa menilai apakah orang lain suka atau tidak akan perubahan itu," kata lagi
anggota pasukan siluman.
 "Sudah, hentikan pertikaian. Sebab yang akan kita kerjakan kelak, bukan mengira-ngira perihal jalan
pikiran junjungan kalian, melainkan untuk merencanakan bagaiamana perjalanan hidup kita kelak menjadi
lebih baik," Raden Yudakara menengahi."Sekarang kalian boleh pergi. Tunggulah aku di tempat biasa ..."
Raden Yudakara berkata sambil membalikkan tubuh membelakangi anggota pasukan siluman. Seperti
sudah mengerti melihat sikap ini, sepertinya benar, ini adalah perintah untuk segera angkat kaki. Buktinya
tanpa bertanya itu-ini, semua anggota pasukan segera berloncatan meninggalkan tempat ini.
 Tinggallah Raden Yudakara berdua dengan Purbajaya.
 "Engkau mempengaruhi mereka agar punya keyakinan seperti itu?" tanya Purbajaya.
 "Hahahaha. Engkau cukup pandai, Purba ... "
 "Tidak perlu sambil ketawa. Tapi kau terangkanlah Raden, mengapa hal itu musti dilakukan?" tanya
Purbajaya namun dengan nada masih ketus.
 "Masih ingatkah ucapan para pembantu Pangeran Arya Damar kepada Ki Jayaratu di puncak
Cakrabuana?"
 "Apa itu?" Purbajaya mengingat-ingat.
 "Bahwa untuk melahirkan pahlawan maka ciptakanlah kemelut dan engkau pun akan muncul!" kata
Raden Yudakara.
 "Apa keuntungan Raden menciptakan kemelut di sini?"
 "Panageran Arya Damar butuh permasalahan agar punya alasan menggempur Pajajaran. Maka aku
ciptakan Pasukan Nyi Rambut Kasih, dibentuk dari orang-orang Sindangkasih yang tetap rindu akan
masa lalu. Orang-orang yang berkutat dengan masa lalu, pasti akan membenci masa kini.
 Orang-orang Sindangkasih pasti membenci Carbon, Sumedanglarang atau Talaga dan akan berpihak
kepada Pajajaran. Inilah sebuah masalah. Tidak salahkah bukan, kalau aku bertindak pula sebagai
pahlawan dalam menyelamatkan situasi?" tutur Raden Yudakara dengan senyum dikulum namun
membuat Purbajaya semakin sebal mendengarnya.
 "Engkau dan Pangeran Arya Damara setali tiga uang!" teriak Purbajaya jengkel dan berjingkat
meninggalkan tempat itu.
 Namaun belum lagi beranjak, Purbajaya sudah dijegal Raden Yudakara. Tangan kiri Purbajaya ditarik
keras sehingga tubuh Purbajaya terjengkang ke belakang. Sebelum tubuhnya jatuh, dia segera salto.
Akibatnya, pegangan tangan Raden Yudakara lepas karena terpelintir gerakan salto.
 Purbajaya beberapa kali bersalto agar segera menjauh dari pemuda jahat itu. Namun Raden Yudakara
terus mengejar, bahkan kini mengirimkan pukulan-pukulan keras.
 Dan akhirnya terjadilah perkelahian seru.
 Sudah lama Purbajaya ingin menguji sejauh mana kepandaian pemuda yang banyak memiliki akal licik
ini. Dulu pertanding lari ke puncak Cakrabuana dan rasanya Purbajaya bisa memenangkan lomba itu.
Namun adu tenaga seperti itu tidak menjamin bahwa dalam pertempuran pun Purbajaya bakal unggul.
Bahkan Purbajaya musti berhati-hatai. Kalau Raden Yudakara sanggup memimpin pasukan siluman yang
semua anggotanya hebat-hebat, barangkali pemuda bangsawan itu kini semakin memiliki kepandaian
hebat. Purbajaya ingat, dari jarak cukup jauh, Raden Yudakara sanggup melukai tiga orang anggota
pasukan siluman hanya dengan lemparan batu kerikil.
 Purbajaya melawan Raden Yudakara dengan semangat tinggi dan hati tenang. Dia tidak khawatir Raden
Yudakara akan mencelakai atau bahakan membunuhnya. Keyakinan ini didasarkan pada perkataan
pemuda bangsawan itu sendiri yang amat memerlukan agar Purbajaya tetap berada di sampingnya.
Dengan demikian, keadaan ini akan menjamin keselamatan dirinya.
 Purbajaya lebih dahulu berinisiatif melakukan serangan. Berbagai jurus dan tipu daya yang pernah
dipelajari dari Paman Jayaratu dia kerahkan untuk melumpuhkan Raden Yudakara. Untuk sementara,
pemuda bangsawan itu kelabakan. Mungkin dia tak menduga kalau Purbajaya langsung menyerangnya
dengan mati-matian. Namun sesudah pertarungan berlangsung cukup lama, akhirnya Raden Yudakara
bisa mengimbangi permainan. Bahakan semakin pertarungan berlangsung, suasana jadi semakin berbalik,
giliran Purbajaya semakain terdesak. Mungkin setelah beberapa bertanding, Raden Yudakara bisa
mempelajari jurus-jurus yang dipergunakan Purbajaya.
 Yang membuat Purbajaya tidak menjadi kalah dalam pertarungan ini, karena Raden Yudakara memang
tidak berniat mencelakakannya. Ini sesuai dengan dugaan Purbajaya bahwa pemuda bangsawan itu amat
memerlukan dirinya.
 Namun demikian, Purbajaya tak mau berterimakasih karena "kebaikan" ini. Dia sudah tak mau lagi ikut
Raden Yudakara. Purbajaya tetap berpendapat kalau pemuda bangsawan ini tindak-tanduknya penuh
misteri dan membahayakan. Sama bahayanya dengan Pangeran Arya Damar, atau bahkan juga lebih. Ini
karena Raden Yudakara pekerjaannya sebagai mata-mata dan punya dua sisi seperti apa kata Paman
Jayaratu. Pemuda ini sekali waktu berada di Carbon namun sekali waktu berada di Pajajaran. Siapa
yang benar-benar tahu bahwa dia bekerja untuk kepentingan Carbon? Bagaimana kalau yang terjadi itu
malah sebaliknya?
 Tanda-tanda ke arah itu memang belum didapat. Namun demikian Purbajaya mendapatkan kalau
gerakan-gerakan yang dibuat oleh pemuda ini bisa membahayakan keberadaan Carbon. Sebagai contoh,
Raden Yudakara telah menciptakan sebuah keresahan. Dia menghimpun orang dari Sindangkasih agar
memiliki fanatisme kepada leluhurnya. Oleh Raden Yudakara diciptakanimage seolah-olah Nyimas
Rambut Kasih, penguasa Karatuan Sindangkasih memendam rasa sakit hati kepada perubahan zaman
yang dihembuskan oleh Carbon. Raden Yudakara telah membangkitkan rasa permusuhan orang
Sindangkasih kepada Carbon dan sekutunya.
 Orang-orang yang tergabung ke dalam Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih, menjauhi Carbon dan
mendekatkan diri kepada Pajajaran dan membuat kekacauan serta meresahkan masyarakat di wilayah
kekuasaan Carbon. Dengan adanya situasi demikian, Raden Yudakara sepertinya berharap akan ada
kebijakan lain dari penguasa Carbon dalam menangani "kekacauan yang ditimbulkan oleh sekelompok
simpatisan kehidupan masa lalu".
 Semakin resah keadaan semakin diharapkan adanya kebijakan baru dalam menindas lawan. Dan para
penganut garis keras seperti Pangeran Arya Damar misalnya, akan punya peluang untuk memilih jalan
keras dalam menguasai situasi. Banyak yang berlomba untuk menyelesaikan dan meredam situasi ini
sebab bila berhasil tentu dia akan keluar sebagai pahlawan. Begitu kira-kira yanga dicita-citakan oleh
Raden Yudakara.
 Kendati surat daun lontar yang sedianya dikirim oleh penguasa Sumedanglarang untuk Kangjeng Sunan
Parung di Talaga tidak pernah diketahui apa isinya, namaun Purbajaya bisa menduga, surat itu pasti
memperbincangkan perihal ini. Orang-orang di Sumedanglarang tentu sudah mencium kegiatan Raden
Yudakara yang dianggapnya membahayakan ketentraman.
 Menduga ke arah itu, menyebabkan Purbajaya semakin sebal kepada pemuda bangsawan itu. Itulah
sebabnya, hari ini dia bertekad melepaskan diri dari belenggu yang mengikatnya. Purbajaya sudah tak
mau ikut Raden Yudakara, apa pun yang diamanatkan Paman Jayaratu.
 Namun Purbajaya harus berjuang mati-matian untuk bisa melepas genggaman pemuda bangsawan
ini.Raden Yudakara memang berilmu tinggi. Gerakannya cepat dan ganas. Jurus-jurus yang dia keluarkan
diarahkan untuk membunuh. Namun kalau saja Purbajaya sejauh ini tidak terluka, itu karena dugaannya
tadi, yaitu Raden Yudakara membutuhkan Purbajaya.
 Karena hal ini, maka pertempuran menjadi alot. Purbajaya tak bisa mengalahkan, namun Raden
Yudakara sebaliknya tak mau melumpuhkan. Samapai matahari muncul dari timur dan kabut tebal mulai
hilang, pertempuran tidak juga selesai.
 "Berhentilah, engkau tak bisa mengalahkan aku!" teriak Raden Yudakara menangkis beberapa pukulan
Purbajaya.
 "Tapi kau pun tidak bisa membunuhku!" Purbajaya balas teriak. Keringat sudah bersimbah di seluruh
tubuh.
 "Ya. Karena itu, hentikanlah perlawananmu, sebab kita hanya akan menghabiskan tenaga sia-sia.
Ingatlah, perjalanan kita masih jauh!" kata Raden Yudakara.
 "Aku tidak akan ke mana-mana!" jawab Purbajaya sambil menjatuhkan diri saking lelahnya.
 "Tidak. Kau akan ke wilayah Pajajaran!"
 "Tidak mau!"
 "Coba sekali lagi, pilihlah hai manusia dungu," teriak Raden Yudakara dengan bertolak pinggang dan
sepasang matanya menyorot tajam ke arah Purbajaya, "Bila kau pergi ke Pajajaraan, kau akan jadi
manusia terhormat, sebaliknya bila kau tak ke mana-mana, hukumanlah ganjarannya. Kau akan dicap
pemberontak dan pengkhianat. Itu adalah derajat paling rendah yanag terdapat pada diri manausia. Apa
kau sanggup bertanggungjawab kepada gurumu?" sambung Raden Yudakara.
 Purbajaya menatap tajam kepada Raden Yudakara.
 "Sekali lagi kutegaskan, hidupmu tergantung padaku. Begitu pun derajatmu. Hanya aku yang tahu
pengkhianatanmu di Cakrabuana. Jadi dengan amat mudah aku bisa mencampakkanmu. Namun
sebaliknya, aku pun dengan mudah mengangkat derajatmu bila kau tetap ikut aku, sesuai yang
diperintahkan Carbon."
 Purbajaya menjadi bimbang mendengar perkataan Raden Yudakara ini. Kalau tadi dia bertekad
memisahkan diri, kini malah timbul keraguan. Memang benar omongan pemuda bangsawan itu, posisi
Purbajaya tergencet. Kalau dia memisahkan diri dari Raden Yudakara, semua orang akan mudah
menuduhnya sebagai pengkhianat.
 Tanpa dilaporkan perihal peristiwa di Cakrabuana pun, kalau Purbajaya tak ikut Raden Yudakara, ini
sudah pengkhianatan sebab dianggapnya melanggar perintah negara. Kalau dia tetap menolak ikut Raden
Yudakara, dia mungkin terlunta-lunta sebab tak mungkin kembali ke Carbon, Sumedanglarang atau ke
mana pun. Pulang ke Sumedanglarang pasti akan dihadang pertanyaan mengenai tewasnya tiga calon
ksatria itu. Kalau Ki Bagus Sura masih hidup, Purbajaya pasti tak tahu bagaimana musti
bertanggungjawab. Amanat dan keinginan orang tua itu, tidak satu pun yang bisa dikerjakan dengan baik.
 Satu-satunya jalan terbaik, tentu hanya ikut ke mana Raden Yudakara pergi.
 "Bagaiamana ...?" tanya Raden Yudakara.
 Tanpa menjawab sepatah pun, Purbajaya bangun dari duduknya. Namaun demikian Raden Yudakara
sepertinya mengerti akan pilihan Purbajaya. Buktinya dia segera berjalan duluan.
 Dia yakin betul bahwa Purbajaya akan mengikutinya dari belakang. 
 ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa