Langsung ke konten utama

KEMELUT DI CAKRA BUANA 5

UPAYA kembali mencari jalan pedati dilakukan dengan saling salah-menyalahkan. Di sepanjang jalan
Wista kerjanya mengomel sebab akibat dari kekeliruan ini tenaga jadi terkuras dengan percuma.
 "Aditia kurang periksa," omel Wista.
 "Kau malah dungu. Kenapa dari tadi kerjanya diam saja? Kenapa hanya ikut-ikutan pendapat orang lain
saja? Dasar orang bodoh, dibawa masuk jurang pun pasti mau!" Aditia menghardik dengan berangnya.
 "Kau angkuh dan juga bodoh. Maka yang paling duluan masuk jurang tentu engkau!" Wista balas
menghardik.
 Hampir saja dua orang itu saling getok kalau saja Yaksa tak melerainya.
 "Diamlah. Kenapa jadi saling cakar begini. Hemat tenaga kalian. Kalau sebelum ketemu lawan sudah
gontok-gontokan begini, maka nanti tenaga kita tinggal sisanya saja dan mudah digerus lawan," kata Yaksa kesal.
 "Jangankan untuk menghadapi perkelahian, sedangkan untuk sekadar melangkah saja, kaki pun sudah
demikian payah," jawab Wista memegangi pahanya."Perutku pun bahkan sudah lapar. Sejak kemarin
belum diisi," keluhnya lagi.
 Purbajaya melihat ke atas. Suasana sudah mulai gelap. Mungkin senja telah menjelang.
 "Kita harus berjalan cepat, jangan sampai kemalaman di hutan belukar," kata Purbajaya.
 Aditia dan Yaksa tidak menjawab. Tapi langkahnya dipercepat mengikuti gerak langkah Purbajaya.
Maka Wista pun terpaksa ikut jalan cepat pula.
 Hanya beberapa ratus langkah saja Wista sudah jatuh berdebuk. Dia bahkan mogok berdiri.
 "Aku sudah tak kuat lagi ... " keluhnya seperti putus asa.
 Agar tidak kemalaman di dalam hutan lebat, terpaksa Purbajaya "bertugas" kembali menggendong
Wista. Aditia mengomel dan mencerca Wista namun yang dicerca pura-pura tak mendengar.
 Tiba di tepi jalan pedati, malam sudah menjelang. Tidak terlihat bulan atau pun bintang. Yang melayang
di angkasa malah gumpalan awan pekat pertanda hari mau hujan.
 "Kita musti segera mencari tempat untuk berlindung," kata Purbajaya sambil menurunkan tubuh Wista.
 "Di mana mencari tempat berlindung? Aku tak mau tidur dalam hujan," Wista merengek manja. Tubuh
pemuda itu menggigil entah kenapa.
 "Ya, kita cari tempat berlindung yang baik ..."
 "Tapi di mana itu? Cepat, aku ingin sekali tidur!" Wista mendesak dengan nada marah dan kesal.
 "Engkau membuatku panik, padahal aku tak henti-hentinya mencari," Purbajaya pun akhirnya jadi kesal
juga.
 "Engkau musti tanggung jawab sebab gara-garamu juga kami jadi begini!" Wista membentak saking tak
sabarnya.
 "Mengapa begitu?"
 "Kau dulu tak membantu dengan baik ketika terjadi pertempuran, jadinya semua luka, bahkan surat
daun lontar pun dirampas lawan." tuding Wista.
 Purbajaya mau marah tapi tak jadi. Sebagai upaya dalam melampiaskan kekesalahannya, Wista dia
gendong lagi. Purbajaya kelayaban ke sana ke mari sambil mencari tempat berlindung.
 Hujan mulai turun.
 Untunglah ada pohon besar dan batangnya bolong saking tuanya. Maka tubuh Wista dia masukkan ke
lubang pohon. Purbajaya sendiri sembunyi di balik batang pohon lainnya namun tak begitu jauh dari
tempat di mana Wista duduk bersandar.
Hujan sudah turun dan makin lama semakin besar seperti air bah dikucurkan dari langit saja laiknya.
 Purbajaya hanya bersandar di batang pohon. Kalau agak terlindung, itu karena dedaunan demikian
rimbunnya.
 Dia tak tahu, di mana Aditia dan Wista berlindung. Purbajaya tak berniat mencari mereka. Terus-terang,
hatinya kesal dan kecewa. Murid-murid Ki Dita semuanya tak ada yang benar. Mereka manja dan
pemberang dan sepertinya tak kerasan dengan suasana yang penuh derita. Dia sangsi, kalau mereka jadi
pejabat tapi tak tahan uji, bisakah kelak mengurus negri dengan baik?
 Purbajaya menghela napas kalau memikirkan ini semua.
 Ketika dalam hujan begini, dia malah jadi teringat teman-teman lainnya yang ditinggalkan. Paman Ranu
tergolek di tanah dengan darah bersimbah dari tiap bagian tubuhnya. Entah bagaimana nasib orang tua ini.
Waktu itu Paman Ranu tak bergerak. Mungkin pingsan mungkin tewas.
 Nasib Ki Bagus Sura pun tidak lebih baik dari bawahannya. Ketika ditinggalkan olehnya, Ki Bagus Sura
pun menderita luka-luka yang parah di sana-sini. Ya, mereka semua menderita luka. Yang agak baikan
hanya Ki Dita saja. Tapi dalam hujan deras begini, bagaimana mereka bisa saling tolong-menolong dan
saling melindungi? Bisakah Ki Bagus Sura dan Ki Dita saling membela?
 Menyakitkan memang. Orang baru bisa saling memperhatikan kalau memiliki persamaan nasib dalam
penderitaan. Padahal jauh sebelumnya, dua orang tokoh tua itu saling menjauh, saling berdiam diri dan
terkadang saling tak memiliki kesesuaian paham. Itu semua karena dipisahkan oleh kepentingan
kelompoknya masing-masing. Ki Dita anak buah Ki Sanjadirja, sementara antara Ki Bagus Sura dan Ki
Sanja tak punya kesesuaian paham selamanya.
 Ki Dita mungkin saja tak punya kepentingan khusus. Namun seperti apa yang ditudingkan Ki Bagus
Sura, anjing mana yang tak setia tuannya. Itulah barangkali yang terjadi pada Ki Dita.
 Tapi dalam penderitaan yang sama dan di saat sang anjing jauh dari tuannya, Purbajaya berdoa,
muga-muga Ki Dita menemukan kembali jati diri kemanusiaannya dan mau berkorban untuk saling
tolong-menolong dengan orang yang sebelumnya dianggap seteru.
 Mungkin Ki Bagus Sura dan Ki Dita bisa baikan sebab punya penderitaan sama. Namun bagaimana
pula dengan keadaan di sini?
 Maka sungguh aneh, kalau di saat sama-sama menderita, di antara mereka tak bisa bersatu.
 Aditia dan Yaksa benci Purbajaya. Namun dua orang itu pun kadang-kadang benci Wista. Wista baru
baikan padanya kalau dilayani dengan baik. Sementara kalau ada "layanan" Purbajaya yang dianggap
mengecewakannya, dengan mudahnya Wista benci Purbajaya.
 Kalau Purbajaya tak bisa menjaga kesabarannya, sudah sejak lama ketiga orang itu dilabraknya. Namun
Purbajaya tak bisa begitu. Dia sekarang ini tengah berusaha ingin menjaga nama baikwong grage .
Orang Carbon, teristimewa kaum pemudanya, oleh orang Sumedanglarang tengah disorot berhubung
dengan tingkah Raden Yudakara yang dianggapnya memalukan. Jadi kalau Purbajaya pun bersikap
ugal-ugalan, maka orang akan mudah menuding bahwa semua orang Carbon sombong dan tukang
ugal-ugalan.
Terhadap Aditia, bahkan Purbajaya harus menjaga citra. Aditia sudah punya modal kebencian terhadap
dirinya karena urusan wanita. Pemuda itu habis-habisan mencintai Nyimas Yuning Purnama, namun
belakangan, sesudah dinikahi dan diceraikan Raden Yudakara, gadis itu malah mencintai Purbajaya.
Kalah dua kali oleh "orang Carbon" maka membuat kebencian pada diri Aditia susah padam. Itulah
sebabnya, Aditia selalu menghina dan merendahkannya. Jadi kalau sikap ini dia layani, maka permusuhan
akan semakin menjadi-jadi.
 Perlukah Purbajaya berterus-terang kalau sebenarnya Nyimas Yuning tak benar-benar mencintainya?
 Susah untuk meyakinkannya sebab gadis itu telah "mengaku cinta" di hadapan banyak orang dan bahkan
Ki Bagus Sura sebagai ayahandanya pun telah dengan senang hati menjodohkannya.
 Gadis itu telah mempermainkan banyak orang, pikir Purbajaya. Ya, termasuk dirinya pun telah
dipermainkan gadis itu.
 Purbajaya memang mengerti. Kalau malam itu Nyimas Yuniung langsung mengaku cinta, padahal
beberapa saat sebelumnya di kala berduaan saja dia malah menolak perjodohan, maksudnya hanya
menolong keadaan.
 Namun yang Purbajaya tak mengerti, belakangan pun gadis itu tetap mengaku kalau dirinya siap
dijodohkan dengan Purbajaya.
 Purbajaya bingung dengan pernyataan gadis ini. Benar-benarkah gadis itu mencintai dirinya, atau hanya
karena taat orangtua? Maukah Purbajaya menerima kesediaan gadis itu untuk dinikahinya hanya karena
alasan tak mau membangkang kepada keinginan orangtua? Purbajaya tak bisa mengambil keputusan.
 Kebimbangan dirinya pun berkenaan pula dengan tingkah Aditia. Aditia benci dirinya karena "berdosa"
menerima cinta Nyimas Yuning Purnama.
 Cinta-kasih itu indah tapi bisa menimbulkan kebencian bagi pihak-pihak yang dirugikan. Aditia
contohnya.
 Sudah dua kali Purbajaya dibenci oleh pemuda yang "kalah cinta". Dulu ketika di Carbon Raden
Ranggasena begitu benci dia karena Nyimas Waningyun mencintai Purbajaya ketimbang Ranggasena.
Peristiwa kedua kalinya melanda lagi. Kini yang mengajak perang adalah Aditia karena cintanya
kedodoran.
 Kalau dia jadi Aditia, barangkali dia pun akan sakit hati dan merasa rendah. Bagaimana tak begitu.
Ketika Nyimas Yuning masih perawan, cinta Aditia sudah ditawarkan namun Nyimas Yuning menolak
dengan alasan belum mau menikah. Belakangan gadis itu malah dipersunting pemuda bangsawan Carbon,
yaitu Raden Yudakara. Ketika Nyimas Yuning diceraikan dan jadi janda, dan ketika Aditia datang lagi
melamar, lagi-lagi gadis itu menolak dengan alasan tidak akan punya suami lagi. Tapi ketika hadir
Purbajaya, serta-merta gadis itu mengaku mau bersuamikan Purbajaya. Itulah hinaan yang tak terkira
bagi derajat Aditia. Celakanya, Nyimas Yuning dan Aditia yang berperang, malah Purbajaya yang kena
pukulnya.
 Purbajaya tidak mau menjadikan dirinya sebagai "musuh baru" bagi Aditia. Maka itulah sebabnya,
selama ini dia banyak mengalah kendati pemuda itu terus-terusan menghina dan melecehkannya.
 Dalam hujan begini, Purbajaya susah tidur. Selain pikirannya kalut, air hujan pun banyak menerpa. Baru
sesudah hujan reda, Purbajaya bisa memejamkan matanya. Dia tidur bersandar di batang pohon.
Hanya saja di saat dia tidur nyenyak, dia dikejutkan oleh beberapa pukulan dari benda keras yang
mengarah kepalanya. Purbajaya tak sangggup menerka, dalam mimpikah kejadian ini atau memang
benar-benar di alam nyata? Dia susah berpikir karena kesadarannya hilang kembali.
 Manakala matahari memancarkan sinarnya, baru dia siuman. Tapi pandangannya serasa
berkunang-kunang dan kepalanya berat serta nyeri. Ketika Purbajaya hendak bangkit, rasanya sulit
sekali. Belakangan baru dia sadar kalau tubuhnya diikat oleh semacam serat batang pohon yang amat
alot dan kuat. Siapakah yang mengikat dirinya?
 Purbajaya mencoba untuk membuka matanya lagi. Kini samar-samar terlihat dua bayangan tubuh berdiri
di hadapannya. Sesudah matanya dikejap-kejapkan dan telah terbiasa menatap, baru dia tahu kalau yang
berdiri adalah Aditia dan Yaksa.
 "Mengapa aku ini?" tanya Purbajaya heran dan mencoba melepas tali yang melilit erat di tubuhnya.
 "Engkau kami ikat," kata Aditia dengan suara dingin dan wajahnya amat pucat.
 "Ya, mengapa ... ?"
 "Engkau telah membunuh Wista!" desis Aditia.
 "Apa?" Purbajaya membelalakkan mata. Dia menatap sekeliling mencari Wista. Tubuh Wista terlihat
terbaring tak bergerak. Tempatnya sudah berpindah, tidak lagi bersandar di lobang batang pohon.
 "Ya, Wista mati. Aditia menyangka, kau yang bunuh dia," kata Yaksa penuh selidik.
 Namun Purbajaya balik menatap dalam-dalam kepada pemuda ini. Sebetulnya di sepasang mata Yaksa
terlihat sorot mata keraguan. Ketika Purbajaya terus menatap, Yaksa akhirnya memalingkan wajah dan
pura-pura menatap ke arah lain.
 "Kalau aku tak cegah, mustinya kau tadi sudah tewas di tangan Wista. Tapi aku cegah agar kau punya
kesempatan untuk mengaku dosa," kata Aditia. Ketika Aditia bicara begitu, Yaksa menoleh sepertinya
tak senang temannya bicara begitu."Benarkah kau bunuh Wista?" tanya Yaksa serius.
 Purbajaya menggelengkan kepala dan terasa sakit sekali. Dia menduga, salah seorang dari mereka, atau
malah kedua-duanya, telah memukuli dia ketika tengah tidur lelap.
 "Aku tak bunuh Wista ... " gumam Purbajaya kembali menatap tubuh terbujur kaku.
 "Nyatanya Wista mati!" bentak Aditia.
 "Ketika Wista dalam gendonganku, tubuhnya menggigil seperti demam sepertinya dia menderita sakit,"
Purbajaya mengingat-ingat.
 "Mungkin sakitnya benar. Tapi kematiannya bukan karena sakit tapi olehmu!" desak Aditia tetap berang.
 "Mengapa aku musti bunuh Wista?" tanya Purbajaya.
 "Mengapa? Tentu saja banyak alasannya. Kau kan tak menyukai kami. Tadi malam aku tahau Si Wista
mengomel padamu dan kau pun marah-marah sama Wista. Dengan demikian, kebencianmu pada kami
cukup digunakan sebagai alasanmu membunuh Wista. Mungkin kau sudah rencanakan untuk
melenyapkan kami satu-persatu," tuding Aditia."Benar, kan?" tanyanya minta dukungan pendapat kepada
Yaksa.
 "Pikiranku tak sekejam itu ... " bantah Purbajaya mengerutkan alis karena berpikir keras.
 "Yaksa, cabut senjatamu, bunuhlah si bedebah ini!" Aditia memerintah kepada temannya.
 Tapi Yaksa malah menatap Aditia.
 "Ayo, cabut Yaksa!"
 "Tidakkah sebaiknya dia kita serahkan dan adili di hadapanbale watangan (pengadilan) saja, Aditia?"
Yaksa berpendapat.
 "Penjahat hina seperti ini hanya akan merepotkan kita semua. Kita banyak pekerjaan. Maka supaya
urusan cepat beres, kita bunuh saja dia. Ayo cabut pedangmu dan tusukkan pada lambungnya, pada
lehernya, matanya, atau pada bagian tubuhnya yang mana saja. Yang penting bangsat kecil ini musti mati.
Bangkainya jangan dikubur tapi cincang dan sebarkan ke segala arah agar habis dimakan binatang
hutan!" Aditia bicara nyeroscos dan sorot matanya bagaikan sepasang mata iblis yang sarat dengan
kebencian.
 Purbajaya khawatir. Memang terlihat ada hawa kebencian pada diri pemuda ini. Untung saja Yaksa
terlihat ragu. Dia masih diam terpaku padahal terus ditekan Aditia agar mencabut senjatanya.
 Karena Yaksa tak mau mencabut pedangnya, maka pedang Yaksa yang masih di pinggangnya secara
paksa dicabut Aditia dan digenggamkan kepada pemiliknya.
 "Ayo bunuh si bedebah dan nanti akan aku laporkan kau berjasa membunuh seorang pengkhianat. Kau
pasti akan segera lulus menjadi ksatria dan barangkali juga akan diangkat menjadi perwira keraton," kata
Aditia tetap memaksa.
 "Mengapa tidak engkau saja yang lakukan? Bukankah kau sendiri yang katakan bahwa Si Purba yang
bunuh teman kita?" Yaksa berteriak kesal karena dipaksa-paksa terus.
 Demi mendengar bantahan ini, terlihat wajah Aditia merah-padam. Purbajaya menduga, pemuda angkuh
ini amat tersinggung oleh penolakan Yaksa.
 Purbajaya tahu, di sepanjang jalan Aditia selalu menempatkan diri sebagai pemimpin. Kerjanya
memerintah dan memberikan pengarahan kepada ayang lainnya. Sekarang dia amat marah karena
perintahnya dibantah keras oleh Yaksa.
 Dan sungguh mengagetkan, Yaksa yang membangkang secara tiba-tiba diserang oleh Aditia.
 "Aditia, ada apa ini, ada apa ini?" Yaksa berteriak kaget sambil mundur.
 Aditia tak memberinya kesempatan. Pemuda ini malah merebut kembali pedangnya yang tadi secara
paksa digenggamkan ke tangan Yaksa.
 "Engkau manusia dungu! Pembelot! Pengkhianat!" teriak Aditia gusar.
"He, kau memakiku demikian?" Yaksa mendelik.
 "Karena engkau pengecut melebihi tikus! Kau pembelot seperti bangau. Dan kau pun dungu serta
pemalas seperti buaya!"
 "Setan!" teriak Yaksa semakin mendelik marah."Aku tahu, kau paksa aku bunuh Si Purba agar kelak
dosanya kau timpakan kepadaku. Kau ingin bunuh Si Purba dengan pinjam tangan orang lain. Cih! Aku
tak mau itu. Aku bahkan tak mau berteman dengan orang bodoh dan pecundang!"
 Dimaki habis-habisan seperti ini,kemarahan Aditia sudah tak bisa ditahan lagi. Dan akhirnya dengan cara
yang membabi-buta dia menyerang Yaksa dengan pedangnya. Gerakannya ganas dan tak
memperlihatkan jurus-jurus halus yang pernah diajarkan Ki Dita. Tujuannya jelas untuk membunuh
temannya sendiri.
 "He, kau mau bunuh aku,ya? Mau bunuh aku, ya?" Yaksa berkelit ke sana ke mari. Dan kalau ada
kesempatan, dia balas menyerang dengan pukulan. Namun karena serangan Aditia begitu ganas, Yaksa
pun akhirnya terpaksa mencabut pedangnya sendiri. Maka terjadilah pertarungan dua murid Ki Dita,
hanya disaksikan Purbajaya yang duduk tak berdaya karena tali yang mengikatnya.
 "Kau mau bunuh aku?" teriak lagi Yaksa sambil menangkis sabetan pedang sehingga bunga api berpijar
karena dua logam baja saling berbenturan.
 "Ya, akan kuhabisi nyawamu! Kau calon ksatria cengeng dan malas dan tak patut untuk bekerja di
Sumedanglarang!" cerca Aditia masih sambil memainkan gerakan ganas.
 "Kalau begitu, Wista pun kau yang bunuh. Bukankah kau yang kerapkali mengumpat dan mengejek
Wista yang cengeng, manja dan bodoh? Ya, kau yang sebenarnya sebal kepada Wista. Kau takut Wista
yang lulus uji karena ayahanda anak itu lebih banyak memberikan upah ketimbang ayahandamu yang
kikir itu! Pasti kau yang bunuh Wista!" teriak Yaksa dan pedangnya mulai menyerang lawan.
 Maka semakin marah pula Aditia karena caci-maki pedas ini. Dan daya serangannya kian ditambah.
Aditia bahkan tidak berpikir untuk menangkis kecuali menyerang dan menyerang. Sehingga suatu saat dia
berteriak kesakitan karena bahu kirinya tertusuk pedang Yaksa. Namun luka ini seperti tak dirasakan.
Serangan Aditia semakin gencar. Dia mungkin marah dan terhina. Yaksa yang sebetulnya masih
menderita luka, mengapa bisa mendahului serangan yang membuat dia luka, sementara serangan pedang
yang dilancarkan dirinya belum berhasil menerobos masuk.
 Namun ketika pertempuran berlangsung agak lama, ternyata tenaga Yaksa yang lebih dahulu terkuras
habis. Bisa saja ini terjadi karena luka-luka Yaksa yang sebetulnya belum sembuh.
 Kini Yaksa mulai terdesak hebat. Luka baru dari tusukan dan sabetan pedang Aditia membuat sekujur
tubuh Yaksa banyak dipenuhi darah segar. Sementara itu, Yaksa sendiri sudah tak mampu balas
menyerang. Jangankan untuk menyerang, bahkan hanya sekadar untuk menangkis saja dia sudah tak
mampu. Kalau keadaan dibiarkan berlarut-larut begini, Yaksa lambat-laun akan lumat oleh cecaran
pedang Aditia yang demikian ganasnya.
 "Aditi, jangan bunuh teman sendiri!" teriak Purbajaya beberapa kali. Namun mana Aditia mau
mendengar. Hatinya barangkali sudah kerasukan setan dan hawa membunuh sudah lekat di napasnya.
 Suatu ketika kedudukan Yaksa amat membahayakan. Tubuhnya jatuh terjengkang dan tangan kanannya
yang pegang pedang tertindih oleh pinggangnya.
Untuk menahan gerak laju pedang Aditia yang dibacokkan mengarah kepala, Yaksa hanya memiliki
tangan kiri yang masih leluasa. Maka satu-satunya cara dalam menyelamatkan kepala, hanya dilakukan
dengan jalan menangkis pedang oleh tangan kiri. Maka akibatnya sungguh fatal. Hanya dalam sekejap
potongan tangan kiri Yaksa terlontar ketika terbabat kutung oleh gerakan ganas pedang Aditia.
 Yaksa melolong-lolong kesakitan. Namun Aditia masih terus mencecarnya.
 Purbajaya marah melihat keadaan ini. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melepas tali. Namun usaha ini
sia-sia, padahal di hadapannya tengah berlangsung dua orang bodoh tengah berebut nyawa.
 Ketika serangan Aditia datanag kembali dan pedangnya kali ini mengarah dada, Purbajaya kembali
mencoba mengerahkan tenaga untuk memutuskan tali.
 Usaha ini hampir sia-sia ketika di belakangnya ada suara seseorang.
 "Ayo larilah kalau kau mampu mencegah adegan ini!" kata suara itu. Dan bret-bret, tali yang mengikat
Purbajaya putus di beberapa bagian.
 Purbajaya tak sempat melihat siapa yang datang memutuskan tali sedemikian mudahnya. Yang dia
pikirkan ketika itu hanyalah bagaimana caranya menggagalkan serangan tusukan Aditia agar nyawa
Yaksa tertolong.
 Purbajaya menotolkan ujung jarikaki keras-keras, maka tubuhnya melesat bagaikan terbang mendekati
dua orang yang tengah bertempur. Tusukan pedang Aditia hampir tiba di dada Yaksa. Purbajaya tak bisa
menangkis pedang begitu saja, kecuali menendangnya keras-keras.
 Pedang terlontar keras dan gagangnya menyambar jidat Aditia. Tuk! Gagang pedang itu tepat mengarah
jidat. Saking kerasnya tenaga lontaran, tubuh Aditia pun terjengkang ke belakang. Punggungnya
berdebuk jatuh di tanah dan Aditia telentang tak bisa bangun lagi.
 Purbajaya terkejut. Dia memburu tubuh Aditia dan memeriksanya. Wajah Purbajaya pucat-pasi dan
tubuhnya mendadak lemas ketika dilihatnya jidat Aditia retak dan ada lelehan darah keluar dari luka
retak itu. Purbajaya pun memeriksa jantung Aditia. Ternyata benar sangkaannya, Aditia tewas.
 Dengan perasaan tak keruan, Purbajaya beralih perhatiannya untuk memeriksa tubuh Yaksa. Pemuda ini
belum mati namun nasibnya sudah amat mengkhawatirkan. Sewluruh tubuh Yaksa bermandikan darah
dan tangan kirinya kutung. Potongan tangan itu terpisah agak jauh dari tubuhnya. Yaksa mengerang
menahan sakit yang hebat. Mengenaskan sekali.
 "Yaksa ... Yaksa ... "
 "Purba ... " terdengar jawaban kendati agak lemah. Yaksa masih memiliki kesadarannya.
 "Yaksa ... aku telah bunuh Aditia."
 "Syukurlah ... terima kasih ..."
 "Jangan begitu. Aku tak sengaja lakukan itu. Yang aku maksudkan hanya untuk menolongmu. Tak
sangka gerakanku terlalu ganas sehingga menewaskannya ..." Purbajaya panik.
"Terima kasih ... Terima kasih ...." suara Yaksa semakin lemah juga.
 "Kau pun harus percaya, aku tak bunuh Wista!"
 "Terim ...ma ... terr .. terima kasihhh ...."
 "Yaksa! Yaksa!" Purbajaya mengguncang-guncangkan tubuh pemuda itu namun Yaksa sudah diam tak
bergerak.
 "Sudahlah, dia sudah mati. Mari kita pergi!" terdengar lagi suara di belakang Purbajaya. Pemuda ini
menengok ke belakang.
 Raden Yudakara!
 Untuk sementara Purbajaya bengong. Dia terkejut sekali. Bagaimana tidak begitu. Korban berjatuhan.
Dan ini semua untuk mengejar surat rahasia yang khabarnya berisi perihal keberadaan pemuda
bangsawan aneh ini. Sekarang, Raden Yudakara malah berdiri di hadapannya. Mengapa pula pemuda ini
secara tiba-tiba bisa berada di sini?
 "Raden ... " Purbajaya bergumam dengan nada dingin.
 "Hahaha! Engkau masih ingat aku. Ini hanya punya arti, kau masih memiliki kesetiaan tinggi padaku,"
tutur pemuda tampan itu.
 Purbajaya tidak mengomentari pujian ini sebab hatinya tak berketentuan. Panik, bingung dan marah,
bergumul menjadi satu.
 Di sekitarnya, tiga mayat bergelimpangan. Semuanya mati sia-asia karena sebab-sebab yang tak tentu.
Mula-mula Wista diketahui mati dan Purbajaya yang dituding pembunuhnya. Belakangan Aditia dan
Yaksa malah jadi saling bunuh hanya karena mempertentangkan bagaimana caranya memperlakukan
Purbajaya. Sekarang dua orang pemuda itu tewas mengenaskan. Salah seorang dari mereka malah mati
oleh Purbajaya sendiri. Mengenaskan, sekaligus juga amat menyebalkan.
 Kemarahan membuat orang tak bisa berpikir waras. Aditia dipenuhi kebencian sehingga semua orang
jadi sasaran kemarahan tidak pula temannya sendiri. Purbajaya pun tak bisa mengendalikan pikirannya
karena dipenuhi hawa amarah. Betapa dia membunuh orang padahal itu terjadi tanpa dipikirkan jauh
sebelumnya. Purbajaya membunuh mungkin karena ada dendam terselubung. Betapa tidak, bukankah
selama ini Aditia selalu merendahkan dan menghina Purbajaya? Mungkin pikirannya tak bermaksud
membunuh namun nalurinya sudah demikian. Naluri keluar dari dasar pikiran yang terpendam dan
tersembunyi dan bisa keluar begitu saja kalau hati serta kesadaran berkurang.
 Ya, itulah dendam dan akan menimbulkan sesal setelah kesadaran pulih kembali.
 "Mari kita pergi dari sini!" kembali Raden Yudakara mengajaknya berangkat.
 "Pergi? Ke mana ...?"
 "Pergi ke mana? Kewajibanmu hanyalah ikut aku dan bukan bertanya seperti itu," kata pemuda
bangsawan itu tandas.
 Purbajaya bimbang. Betul, kewajibannya belum lepas sebab dulu dia ditugaskan untuk ikut Raden
Yudakara. Tapi itu sudah setahun lalu. Dia kini malah sedang jadi "utusan" Karatuan Sumedanglarang.
Tugasnya tentu amat bertolak belakang dengan keinginan Raden Yudakara. Bukankah tugas yang
diberikan Ki Bagus Sura kepadanya adalah menyelamatkan surat daun lontar yang isinya mengabarkan
perihal pemuda ini?
 "Kalau kau tak ikut aku, maka kau akan jadi buruan pasukan Sumedanglarang!" kata Raden Yudakara.
 "Mengapa begitu?"
 "Bukankah engkau telah membunuh salah seorang dari mereka? Barusan bahkan aku dengar, kau
dituding membunuh yang satunya lagi. Siapa yang akan buktikan kalau kau tak bersalah dalam hal ini?"
tanya Raden Yudakara.
 Purbajaya diam membisu. Ucapan Raden Yudakara masuk akal dan amat merisaukan Purbajaya.
 "Lantas apa bedanya bila saya ikut engkau, Raden?" tanyanya kemudian.
 "Jelas ada bedanya. Dari peristiwa apa pun yang sekiranya bisa mencoreng namamu, aku bisa
melindunginya. Bukankah kau tak pernah lupa kalau kau mencelakakan para pembantu dekat Pangeran
Arya Damar di puncak Cakrabuana hampir setahun lalu? Kau tak bisa pulang ke Carbon tanpaku sebab
di sana kau pasti dihadang berita kalau kau jadi pengkhianat dan melawan pasukanmu sendiri," kata lagi
Raden Yudakara.
 Purbajaya mengeluh. Peristiwa di puncak Cakrabuana telah amat merugikannya sebab dia bertikai
dengan empat perwira bawahan Pangeran Arya Damar. Kini dia sadar kalau dirinya ditekan Raden
Yudakara. Artinya, apa pun terjadi, Purbajaya musti ikut lagi pemuda aneh ini kalau dirinya tak mau
ditekan seperti itu.
 "Saya musti menguburkan ketika jasad ini dulu ... " kata Purbajaya. Dan tanpa meminta persetujuan,
Purbajaya menggali kuburan bagi tiga jasad teman-teman seperjalanannya. Hampir setengah hari waktu
dihabiskan untuk mengerjakan ini.
 "Mari ..." ajak lagi Raden Yudakara setelah Purbajaya selesai mengubur jasad.
 Dengan tubuh lesu Purbajaya terpaksa ikut pemuda bangsawan itu. Di sepanjang perjalanan Purbajaya
diam seribu-bahasa.
 Beberapa hari lamanya mereka melakukan perjalanan entah ke mana. Purbajaya tak mau tanya dan
sebaliknya Raden Yudakara tak cerita.
 Namun yang lebih aneh dari itu, pemuda bangsawan ini secuil pun tidak bertanya perihal apa yang
dilakukan Purbajaya selama ini. Tentu terasa aneh, padahal mereka berpisah lebih dari sepuluh bulan
lamanya. Kalau Raden Yudakara mengatakan Purbajaya masih diakui sebagai bawahannya, sudah
barang tentu pemuda ini musti menegur atau bertanya ke mana saja Purbajaya selama ini.
 Aneh juga, Raden Yudakara tak bertanya mengapa Purbajaya ditemukan dalam keadaan terikat. Raden
Yudakara pun tak bertanya, apa hubungannya antara Purbajaya dan ketiga orang pemuda yang tewas
itu. Kalau tak bertanya ada dua kemungkinan. Pertama dia tak merasa tertarik. Dan yang kedua dia
sudah tahu. Sudah tahu? Dari mana Raden Yudakara tahu perjalanan Purbajaya selama ini? Apakah
memang dia menguntit terus? Purbajaya tak sanggup berpikir lagi.
Ya, ini jadi teka-teki hati Purbajaya. Apalagi Raden Yudakara selama di perjalanan tak berbicara
hal-hal yang penting. Sampai pada suatu saat dia dikejutkan oleh suara orang bertempur.
 "Ada pertempuran ... " kata Raden Yudakara menahan langkah.
 Purbajaya pun sama menahan langkah.
 "Mari kita lihat mereka !" Raden Yukadara meloncat lebih dahulu. Lari-lari kecil ke arah di mana suara
pertempuran berada.
 Dan Purbajaya memuji, kepandaian Raden Yudakara telah benar-benar hebat. Dia bisa berlari sambil
mendengarkan suara senjata beradu yang sebetulnya amat terdengar sayup-sayup saja. Bagi
pendengaran orang biasa suara sekecil ini tidak akan tertangkap telinga.
 Sampai pada suatu saat, di depannya terlihat orang bertempur. Pertempuran berlangsung di sebuah
dataran agak rendah, sementara dia berdua mengintai dari tanah yang tinggi, agak tersembunyi karena
banyak pepohonan.
 Purbajaya mengintip dari sela-sela dahan dan dia terkejut. Ternyata yang bertempur adalah Ki Sudireja,
tengah dikeroyok anggota pasukan siluman.
 Purbajaya hampir saja ikut terjun untuk membantu Ki Sudireja kalau saja tak ingat ada Raden Yudakara
di sampingnya. Kalau dia ikut membantu Ki Sudireja tentu akan amat mengherankan Raden Yudakara.
Setidaknya, pemuda itu akan bertanya mengapa melawan pasukan siluman. Tapi kalau dia membiarkan
Ki Sudireja dikeroyok, dia khawatir orang itu akan celaka. Sepintas dia saksikan, Ki Sudireja didesak
hebat dan tak punya kesempatan untuk meloloskan diri. Dan semakin pertempuran berlangsung, semakin
payah keadaan Ki Sudireja. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu saja, kapan Ki Sudireja akan
ambruk.
 Untuk ke sekian kalinya, kengerian akan melanda hati Purbajaya. Barangkali sebentar lagi akan terjadi
pembunuhan baru. Memang bukan dia yang melakukan. Tapi ini pun sama saja sebab dia sepertinya
akan membiarkan pembunuhan terjadi.
 Tapi sesuatu yang tak dia duga malah terjadi. Raden Yudakara serta-merta melontarkan beberapa butir
kerikil dengan pengerahan tenaga dalam yang hebat. Batu-batu kecil itu telak menghantam tiga anggota
pasukan siluman yang hendak menusukkan senjata mereka, sementara tubuh Ki Sudireja tak berdaya
dalam keadaan telentang. Ketika butir-butir kerikil itu mengenai sasaran, ketiga orang anggota pasukan
siluman menjerit ngeri dan langsung meloso di tanah. Mendapatkan kesempatan yang baik ini, walau pun
terlihat wajahnya keheranan namun Ki Sudireja segera meloncat pergi dari tempat itu. Yang aneh,
anggota pasukan siluman tidak mengejar Ki Sudireja, melainkan berdiri terpaku. Sesudah itu anggota
pasukan pun menghilang dari tempat itu.
 "Mari kita lanjutkan perjalanan ..." ajak Raden Yudakara seperti tak pernah terjadi apa-apa.
 "Ada tiga orang terluka, bagaimana?"
 "Ah biarkan saja ... " jawab Raden Yudakara pendek seraya berjingkat pergi.
 Mereka terus berjalan dan Raden Yudakara tak membicarakan peristiwa itu. Tentu, ini pun sebuah
keanehan bagi Purbajaya. Mengapa pemuda itu menolong Ki Sudireja? Apakah dia sudah mengenal
orang tua setengah baya itu?
Purbajaya memang tak mau bertanya perihal ini. Namun kendati begitu, hatinya tetap bertekad akan
menyelidiki semua keganjilan ini.
 Belakangan Purbajaya bisa mengambil kesimpulan kendati masih samar, bahwa Raden Yudakara
sepertinya tengah mengikuti anggota pasukan siluman. Bisa dibuktikan, di mana ada kejadian yang
melibatkan anggota pasukan siluman, Raden Yudakara dan Purbajaya bisa memergokinya. Hanya saja
bila pasukan siluman terlihat mengganggu para saudagar dan merebut hartanya, Raden Yudakara tak mau
ambil pusing. Dan selama ini, pemuda itu hanya bersikap mengawasi saja apa yang dilakukan anggota
pasukan siluman tanpa mau mengganggunya.
 Tentu saja tindak-tanduk seperti ini pun diperhatikan oleh Purbajaya. Raden Yudakara yang
memilah-milah permasalahan yang menyangkut tindak-tanduk anggota pasukan siluman jadi perhatian
khusus pula.
 Purbajaya ingat perkataan Ki Bagus Sura bahwa isi surat daun lontar ada berbicara mengenai
keberadaan Raden Yudakara. Dan bila Ki Bagus Sura demikian tak senangnya kepada Raden
Yudakara, hanya menandakan bahwa isi surat bukan mengenai hal-hal baik mengenai pemuda misterius
ini.
 Tidakkah Raden Yudakara tahu bahwa anggota pasukan memegang surat yang merugikan dirinya? Dari
mana pula dia bisa tahu perihal ini? Dan apa pula keinginan anggota pasukan siluman sehingga
susah-payah mempertahankan surat daun lontar yang sedianya musti dikirimkan ke penguasa Talaga?
Purbajaya tak bisa menebak teka-teki ini.
 "Bila begitu halnya, aku harus tetap ikut pemuda ini ..." katanya di dalam hati.
 Ya, bila dia terus ikut Raden Yudakara, maka diharapkan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Dengan mengikuti pemuda ini, Purbajaya bisa terus menyelidiki, apa yang sebenarnya tengah dilakukan
Raden Yudakara. Bahkan dengan mengikuti Raden Yudakara, Purbajaya pun bisa menguak tabir yang
menyelimuti keberadaan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih. Dia bisa mendompleng kepentingan ini
kepada usaha Raden Yudakara yang terus-terusan menguntit anggota pasukan tersebut. Dengan
demikian, Purbajaya diharap bisa menjalankan apa yang diamanatkan Ki Bagus Sura.
 Hanya saja yang membuat Purbajaya sedih adalah keinginan orang tua itu agar dia mau merawat dan
melindungi putrinya, Nyimas Yuning Purnama. Purbajaya amat menyesal kalau dirinya tak akan sanggup
melaksanakan amanat yang satu ini. Ini karena Purbajaya akan terus-terusan ikut Raden Yudakara dan
akan memakan waktu tak terbatas. Entah bisa selesai entah tidak. Raden Yudakara tetap menganggap
bahwa Purbajaya adalah petugas yang tengah berupaya menyelusup ke wilayah Pajajaran.
 Dan alasan yang tak kalah rumitnya, Purbajaya tetap "ingin" berjanji kalau antara dia dan gadis itu
"sepakat" untuk tidak saling mencinta seperti apa yang dipercakapkan ketika hanya berduaan saja.
Sementara ketika gadis itu bicara lain dan amat kebalikan dengan ketika berbicara di hadapan umum,
Purbajaya akan tetap menganggap itu ucapan bohong belaka karena hendak menolong keadaan dari
tekanan fitnah Aditia.
 Tapi bagaimana dengan ucapan yang ketiga yang sepertinya Nyimas Yuning jadi mandah menerima
perjodohan ini?
 Ah, ini hanya ucapan seorang anak yang tak mau menolak keinginan orang tua saja. Dan kalau pun
Nyimas Yuning menerima perjodohan ini, hal ini bukan untuk dirinya tapi untuk orangtuanya semata. Dan
kalau benar begitu, maka jelas Purbajaya tak mau. Bukan begitu caranya seorang pria dan wanita
menempuh perjalanan sebagai suami-istri. Tapi benar pulakah gadis itu tak mencintai Purbajaya?
 Ada sepasang mata jernih tapi dengan sorot yang amat sayu. Hati dan perasaan Purbajaya terguncang
dan ada getar berahi meresap ke dadanya. Namun aneh, manakala getaran itu ditelusuri, getaran tak
diakuinya sebagai getaran.
 Nyimas Yuning Purnama bisa jadi benar tak sepenuhnya mencintai Purbajaya. Tapi bagaimana dengan
dirinya sendiri? Apakah Purbajaya merasakan kalau dia mencintai gadis itu? Ah, aku pun harus "sama"
mengaku kalau aku pun "tidak" mencintainya, pikir Purbajaya. Aku takut dengan yang namanya cinta
sebab cinta selalu membawa nestapa, katanya di dalam hatinya.
 Ya, betapa menyakitkan cinta itu. Aditia tersiksa batinnya sebab selama dia melihat Purbajaya berduaan
dengan Nyimas Yuning rasa bencinya bergolak memecah dadanya. Betapa tidak nyaman perasaan hati
Raden Ranggasena. Setiap saat dia harus berseteru dengan Purbajaya karena selalu kalah bertarung
dalam memperebutkan perhatian Nyimas Waningyun. Lantas, Purbajaya sendiri pun memendam
kesedihan yang dalam ketika perasaan cintanya kepada Nyimas Waningyun begitu saja dirampas oleh
Raden Yudakara.
 Sungguh tak berperasaan hati pemuda bangsawan itu. Purbajaya mengeluh dan meminta tolong
kepadanya, agar ikut mememikirkan perasaan cintanya kepada Nyimas Waningyun. Namun yang terjadi
belakangan, malah Raden Yudakara sendiri yang mempersunting gadis itu.
 Betapa sakitnya punya kekasih direbut orang. Betapa sakitnya. Oh, betapa sakitnya! Jadi amat
beralasan bila Aditia membenci Purbajaya habis-habisan. Sungguh bisa dimengerti bila Raden
Ranggasena dari Carbon begitu memusuhinya. Sementara Purbajaya sendiri, tidak ingin punya musuh dan
tidak ingin memiliki dendam hanya karena urusan cinta-kasih. Itulah sebabnya, sesedih apa pun karena
cinta, Purbajaya tak mau terikat oleh yang namanya cinta.
 Ketika suatu malam sebelum berangkat tugas, baik di Carbon mau pun di Sumedanglarang, Purbajaya
selalu dilepas oleh tatapan mata indah seorang gadis. Baik Nyimas Waningyun mau pun Nyimas Yuning
Purnama, keduanya sama-sama melepas Purbajaya dengan menyembunyikan sebuah perasaan berat
bernama cinta. Namun Purbajaya mencoba menulikan telinga dan membutakan mata, agar langkahnya
tidak terhambat dan agar wajahnya tak berpaling ke belakang untuk menguak kenangan. Segala masalah
dilewatkan begitu saja, hanya menghasilkan hilangnya dendan dan benci di hati. Itulah sebabnya,
Purbajaya sanggup mengikuti ke mana Raden Yudakara pergi. Tanpa perasaan dendam di hati, maka
penyelidikan bisa berjalan dengan lancar. Paling tidak, Purbajaya bisa mencari kebenaran tanpa
memperhitungkan kepentingan pribadi.
 Itu pula sebabnya, berhari-hari Purbajaya bersama Raden Yudakara, tidak secuil pun dia bertanya
perihal Nyimas Waningyun. Dia tak ingin tahu, mengapa pemuda bangsawan yang "dititipi amanat" malah
memakan isi kebun yang musti dijaganya. Purbajaya tak bertanya sebab kalau bertanya hanya akan
menguak luka lama saja. Satu-satunya kepentingan Purbajaya mengikuti Raden Yudakara, hanyalah
untuk menyelidiki misteri yang menyelimuti pemuda bangsawan itu. 
 ***
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa