T E R N Y A T A korban tewas dalam pertempuran sia-sia ini ada puluhan. Prajurit Carbon semuanya
tewas, begitu punb prajurit Pajajaran. Kendati tak semua tapi jumlahnya cukup banyak.
Ki Albani menderita kesedihan yang sangat. Tiga orang rekannya yang menderita luka parah dan lama
tak sadarkan diri, akhirnya tewas juga. Sedangkan dia sendiri diduga kelak akan menjadi orang yang
cacat dan tak akan sanggup melakukan perkelahian karena luka dalam, dalam pertempuran itu.
Paman Jayaratu banyak menderita luka bacokan dan tusukan, kebanyakan karena keroyokan Ki Albani
dan rekan-rekannya dalam pertempuran sebelum pasukan Pajajaran tiba.
Ya, semua pertikaian seperti selesai begitu saja seusai semua tahu bahwa apa yang diharap tak
terlaksana. Bukankah sebelumnya semua orang berebut ingin mencari Ki Darma dan Cuntang Barang
sehingga terjadi korban sia-sia? Ternyata setelah semuanya selesai, selesai pula permusuhan. Persis
dalam adegan sandiwara seperti yang diucapkan Ki Darma.
Pasukan Pajajaraan tak lagi memusuhi pasukan Carbon yang telah porak-poranda. Mereka bahkan
saling membantu menguburkan korban yang tewas. Ketika tugas itu selesai, masing-masing
mengundurkan diri dari tempat itu. Belasan perwira Pajajaran meninggalkan tempat itu dengan kelesuan
yang sangat. Ki Albani turun gunung dengan tertatih-tatih dan wajah meringis penuh rasa sakit.
Ketika Purbajaya mengajak Paman Jayaratu untuk sama-sama turun gunung, orang tua itu menolak.
"Aku akan tinggal di sini, Purba ... " kata Paman Jayaratu lesu tapi dengan suara bulat.
"Engkau akan bergabung dengan Ki Darma?" tanya Purbajaya heran.
Paman Jayaratu menggelengkan kepala.
"Bukan karena bermusuhan antarnegara. Tapi kami tak mungkin berdampingan. Dia mungkin menetap di
puncak, aku di lereng untuk mendekatkan diri pada penduduk. Ki Darma tidak mau masuk agama baru.
Mungkin bagi dirinya, hidup yang baik adalah menjauhkan diri dari khalayak. Aku di sini bahkan ingin
mengajarkan dan menyebarkan agama baru seperti apa yanag dipesankan Kangjeng Susuhunan Jati,"
tutur Paman Jayaratu panjang-lebar.
"Kalau begitu, saya akan mengikutimu, Paman ..." kata Purbajaya. Namun Paman Jayaratu
menggelengkan kepala.
"Jangan. Perjalananmu masih panjang. Tugasmu adalah mencari berita mengenai keluargamu di wilayah
Pajajaran. Kau harus ikut Raden Yudakara ke wilayah Tanjungpura," kata Paman Jayaratu.
"Bukankah Paman telah katakan kepada Ki Albani bahwa keluarga saya habis dibantai pasukan
Pangeran Arya Damar?" tanya Purbajaya menatap wajah orang tua itu.
Mendengar ucapan Purbajaya, nampak wajah Paman Jayaratu murung.
"Aku menyesal hal ini telanjur kau ketahui, padahal selama ini ingin aku rahasiakan ... " keluh Paman
Jayaratu.
"Dengan harapan agar aku tak membenci Carbon?" tanya Purbajaya.
Paman Jayaratu tak menjawab secuil pun.
"Apa pun terjadi, saya tetap orang Carbon, Paman. Saya hanya akan memiliki dugaan satu, bahwa
pembantaian itu tidak dilakukan oleh Carbon, melainkan hanya karena ambisi Pangeran Arya Damar
semata," kata Purbajaya dengan kalimat datar tak memiliki emosi sedikit pun.
"Engkau bijaksana, Purba ... " kata Paman Jayaratu memegang pundak pemuda itu. Namun demikian,
kau harus tetap mencari berita yang sebenarnya. Di Tanjungpura mungkin masih ada kerabatmu," kata
Paman Jayaratu tetap memaksa pemuda itu untuk pergi.
"Saya tak menyukai Raden Yudakara ... " keluh Purbajaya."Orang itu pengecut. Saya ke sini bersama
dia. Tapi dalam menghadapi pertempuran dia menghilang begitu saja," lanjutnya mengemukakan
kekesalannya.
"Aku bisa menduga, mengapa dia bertindak begitu," kata Paman Jayaratu."Raden Yudakara hidup dalam
dua sisi. Satu sisi dikenal sebagai warga Pajajaran, satunya lagi sebagai orang Carbon. Kalau dia ikut
terlibat pertempuran, dia takut rahasianya terbongkar oleh orang Pajajaraan. Dan itu akan
membahayakan misi Carbon. Atau, mungkin juga dia lebih dewasa dalam berpikir. Pertempuran semalam
tak menguntungkan siapa pun juga. Dia tak mau terlibat dalam urusan yang sia-sia sebab dia punya tugas
yang lebih penting dari sekadar mengobral emosi," kata Paman Jayaratu. Namun Purbajaya merasakan
kalau nada kata-kata orang tua ini seperti mengandung keraguan.
"Paman ... " Purbajaya mau membantah. Tapi Paman Jayaratu memberi tanda dengan tangannya agar
pemuda itu diam.
"Kau cepatlah pergi dan tinggalkan aku di sini," kata Paman Jayaratu.
"Saya akan pergi dari sini asalkan Paman memberikan keyakinan saya mengenai Raden Yudakara ... "
desak Purbajaya.
Sejenak Paman Jayaratu termenung.
"Kau akan semakin berat mengarungi kehidupan. Tapi semakin banyak cobaan, maka akan semakin
dewasa dirimu. Memang buruk terlalu mempercayai orang,. namun juga sama buruknya mencurigai
orang. Raden Yudakara adalah mata-mata. Artinya, setiap gerak-langkahnya selalu penuh tipu-daya.
Yang engkau perlu simak, untuk apa tipu daya itu dia kerjakan. Kalau ternyata hanya untuk kepentingan
sesaat dan tak punya nilai keluhuran, boleh kau tinggalkan. Kehati-hatian terhadap Raden Yudakara
harus kau lakukan," kata Paman Jayaratu memberikan nasihat.
"Baik, saya akan pergi setelah merawat lukamu, Paman ... "
"Kau pergilah. Ilmu pengobatanmu kan aku yang ajarkan, jadi aku pasti lebih pandai mengobati
ketimbang kamu," Paman Jayaratu berkata namun nadanya adalah perintah pergi.
Akhirnya Purbajaya berdiri. Dia mengerti kalau sebenarnya Paman Jayaratu senang hidup menyendiri.
Purbajaya menghormat takzim. Ini adalah perpisahan dan entah kapan akan bertemu lagi. Sudut-sudut
matanya terasa panas tapi Purbajaya mengerti, tangis tak boleh diperlihatkan di hadapan Paman jayaratu.
Dengan hati berat Purbajaya meninggalkan lereng gunung Cakrabuana.
***
P U R B A J A Y A menuruni lereng dengan gontai dan pikiran kalut. Hatinya hampa sekali karena
berbagai perjalanan hidupnya selama ini seperti tak berketentuan.
Dulu dia seperti punya cita-cita dan mengabdi untuk kepentingan Carbon. Paman Jayaratu seperti
mendukungnya dan dirinya diarahkannya agar memiliki berbagai kepandaian.
Belakangan dia merasa telah terjatuh kepada orang yang salah, yaitu mengabdi kepada Pangeran Arya
Damar yang hanya mengabdi untuk kepentingan dirinya sendiri.
Cita-cita Purbajaya bahkan semakin kabur setelah terlibat asmara dengan Nyimas Waningyun. Sehingga
kendati dia sudah tak setuju dengan kebijakan Pangeran Arya Damar, dia tak mau beranjak pergi dari
puri hanya karena melihat putrinya, Nyimas Waningyun.
"Ah, padahal gadis itu telah ditunangkan kepada sesama anak pejabat lainnya ... " keluh Purbajaya.
Purbajaya sedih merasakan semua ini. Akhirnya dia terlunta-lunta ke mana langkah kaki membawanya.
Jelas, dia tak mau kembali ke Carbon. Kalau kembali peristiwa pertempuran di Cakrabuana akan
menjadi urusan. Barangkali dia akan dituduh pengkhianat karena telah menempur empat perwira
pimpinan pasukan Carbon.
Purbajaya bahkan berkelana ke wilayah Karatuan Talaga, juga ke Sumedanglarang. Berbulan-bulan dia
tinggal di wilayah itu sampai pada suatu waktu datanglah khabar dari Nagri Carbon. Khabar itu sungguh
mengejutkan. Beberapa bangsawan penting dari Sumedanglarang berkenaan dengan adanya pesta
pertikahan putri Panageran Arya Damar.
Dengan hati pedih Purbajaya menerima khabar ini. Hanya yang hatinya demikian sedih, Nyimas
Waningyun ternyata bukan dipersunting oleh Ranggasena, melainkan oleh ... Raden Yudakara!
Ini mwnyakitkan. Bukankah dirinya pernah minta tolong agar nasib Nyimas Waningyun diselamatkan oleh
Raden Yudakara?
Purbajaya coba mengingat-ingat kembali permohonannya pada Raden Yudakara. Waktu itu dia
mengabarkan bahwa Nyimas Waningyun tengah dirundung duka karena dipaksa menikah dengan lelaki
bukan pilihannya. Raden Yudakara waktu itu berjanji akan menolong nasib gadis itu.
"Ya, gadis itu harus ditolong dari penderitaan cintanya. Kalau pun perjodohannya diatur orang, maka
sekurang-kurangnya harus menyertakan kepentingan gadis itu sendiri," tutur Raden Yudakara ketika itu.
Ternyata sekarang gadis itu malah dipersunting oleh Raden Yudakara. Barangkali Nyimas Waningyun
memang berkepentingan dalam pertikahan ini. Kepentingan apa?
Purbajaya ingat, betapa sebenarnya gadis itu lemah iman. Mudah tergoda berahi. Buktinya dulu dalam
malam perpisahan, gadis itu hampir menyerahkan kesuciannya kepada Purbajaya kalau pemuda itu tak
menolaknya. Bertemu dengan Raden Yudakara yang tampan, periang, romantis dan penggoda, tentu
gadis itu takkan kuat. Raden Yudakara adalah lelaki penggoda. Dan mungkin ini lebih dibutuhkan
Nyimas Waningyun ketimbang perilaku Purbajaya yang bersikap alim dan menjaga kesopanan dalam
urusan cinta berahi.
Ingat ini Purbajaya jadi tersenyum, entah menyiratkan apa. Yang jelas pemuda ini bahagia gadis itu
ditikahi orang lain. Sebab dengan demikian, dirinya terbebas dari bayangan-bayangan cinta Nyimas
Waningyun.
***
Purbajaya berada di wilayah Sumedanglarang berbulan lamanya. Sedikit banyaknya dia bisa mengenal
wilayah ini.
Sumedanglarang dulu merupakan kerajaan yang cukup besar. Wilayahnya luas mencakup beberapa
daerah seperti Tanjungpura (Karawang), Ciasem, Pamanukan, Indramayu, Sukapura, Parakanmuncang,
bahkan Talaga. Namun kendati demikian, sejak kehadirannya Sumedanglarang tetap berada di bawah
bayang-bayang kekuasaan Pajajaran. Dengan kata lain, Sumedanglarang merupakan negara bagian dari
Pajajaran.
Mengapa tak begitu, sebab Sumedanglarang dibangun oleh Sang Prabu Tajimalela. Prabu Tajimalela
adalah putra Prabu Aji Putih dan Prabu Aji Putih adalah saudara dekat dari Sang Prabu Sri Baduga
Maharaja, penguasa Pajajaran (1498-1521 Masehi).
Namun zaman terus bergulir, dengan membawa berbagai perubahannya. Di saat kekuatan Pajajaran
mulai melemah, Sumedanglarang malah berpaling dari induknya dan memindahkan kesetiaannya kepada
sang penguasa baru yaitu Nagri Carbon (Cirebon). Ini dimulai ketika Nyimas Ratu Inten Dewata
penguasa Sumedanglarang, dipersunting Kangjeng Pangeran Santri, seorang tokoh penting dari Carbon.
Babak baru mulai berlangsung, di mana Sumedanglarang mulai dipengaruhi agama baru, Islam.
Menghadapi perubahan agama seperti ini, boleh dikata orang Sumedanglarang tidak merasa sulit.
Mereka mudah beradaptrasi dan tidak susah menerima kehadiran agama baru itu sebab pada hematnya,
terdapat nilai-nilai yang sama antara agama karuhun (nenek-moyang) dengan nilai yang dikandung agama
baru. Karuhun Pajajaran memang ada juga yang terpengaruh ajaran Hindu atau pun Budha, namun
keperayaan asli mereka sebenarnya tidak menyembah patung. Tak ada benda mati yang mereka sembah.
Karuhun Sunda mengakui bahwa di dunia fana ini, kehidupan dikuasai oleh sebuah kekuatan yang berada
jauh di atas kekuatan manusia. Kekuatan apakah itu, mereka tak bisa melihat namun dapat
merasakannya. Oleh sebab itulah Sang Kekuatan Gaib disembahnya sebagaiHyang (Yang Gaib).Hyang
adalah penguasa tunggal jagat raya. Dialah Sang Maha Kuasa, Maha Melihat dengan segala kekuatannya
Dialah Yang Maha Tahu dari segala sumber pengetahuan yang ada di jagat raya. Jadi ketika Islam hadir
di Sumedanglarang, orang tak merasa kaget ketika diperkenalkan kepada Tuhan yang dimaksud oleh
agama baru itu. Tuhan dalam Islam adalah penguasa kehidupan yang tidak bisa dilihat tapi dapat
dirasakan keberadaannya. Mereka bahkan bersyukur bahwa semakin didalami dan ditekuni, maka
kesempurnaan agama baru ini semakin terasa. Mereka tetap merasa bahwa agama karuhun itu baik,
namaun agama baru bahgakan lebih baik lagi, lebih komplit dan lebih sempurna dalam meemberikan
pedoman hidup untuk kepentingan dunia dan akhirat. Itulah sebabnya, banyak orang Sumedanglarang
tidak terlalu sulit menerima kehadiran agama baru ini.
Namun secara politis, Sumedanglarang memalingkan muka dari Pajajaran ke Carbon bukan semata
perkara kepercayaan saja. Yang lebih dari itu Sumedanglarang merasa bahwa Carbon dianggap lebih
baik dan bisa dipakai sebagai pelindung ketimbang Pajajaran.Dayo (ibu kota) Pajajaran berada di
Pakuan (Bogor kini). Letaknya jauh sekali di barat. Semakin jauh dari pusat pemerintahan, wilayah
Pajajaran itu semakin tak terurus. Sementara pengaruh yang paling terasa ketika itu adalah Nagri
Carbon. Jadi amat beralasan kalau Sumedanglarang akhirnya memilih bergabung dengan
Sumedanglarang.
Perjalanan hidup negara besar di Jawa Kulon bernama Pajajaran ini semakin tak terarah selepas
pemerintahan Sang Prabu Sri Baduga Maharaja. Para penerusnya tidak memiliki kearifan dalam
memimpin negri. Sumedanglarang tak mau terombang-ambing oleh hidup yang tak berketentuan. Maka
di saat Pajajaran dipimpin oleh
Sang Prabu Surawisesa ( 1521-1535 Masehi), Sumedanglarang memisahkan diri dan memilih bergabung
dengan Nagri Carbon.
Sekarang orang Sumedanglarang malah semakin bersyukur bahwa sejak limabelas tahun silam telah ikut
Carbon, Sumedanglarang selamat dari tekanan kelompok yang bernama penguasa. Kalau tetap berada
di bawah bayang-bayang Pajajaran, bagaimana jadinya.
Kini penguasa Pajajaran adalah Sang Prabu Ratu Sakti (1535-1551 Masehi). Ratu ini tabiatnya bahkan
lebih buruk dari Sang Prabu Surawisesa, sang kakek. Kalau kakeknya gemar berperang, adalah sang
cucu yang selain punya kegemaran sama juga suka menekan rakyatnya. Sang Prabu Ratu Sakti menekan
rakyat dengan seba (pajak) yang berat. Negara bawahannya yang dianggap membangkang, tanpa pikir
panjang diserbunya. Akibatnya, rakyat menderita karena banyak terlibat perang. Sang Prabu Ratu Sakti
pun alergi terhadap kritik. Dia tak mau menerima kritik dari bawahannya.Siapa pun yang berani
mengkritiknya, maka dianggapnya sebagai lawan politik yang merongrong kewibawaannya.
Itulah sebabnya, banyak penduduk Sumedanglarang merasa hormat kepada Carbon. Kangjeng Pangeran
Santri kendati bukan ratu (penguasa, pejabat), namun dia memiliki kemampuan memimpin yang hebat,
sampai-sampai istrinya pun memberikan kelesuasaan baginya dalam menangani pemerintahan. Nyimas
Ratu Inten Dewata menyerahkan tampuk pemerintahan sehari-hariu ke pada suaminya. Kangjeng
Pangeran Santri memang pandai memimpin dan bisa menyenangkan hati rakyat serta pejabat yang ada di
bawahnya, kendati pada akhirnya dimanfaatkan oleh sementara pejabat yang ingin berada paling dekat
dan paling dipercaya oleh Kangjeng Panageran.
Harumnya Kangjeng Pangeran telah menjadi harumnya Nagri Carbon. Banyak orang tua di
Sumedanglarang bercita-cita putrinya dipersunting jejaka Carbon, dengan harapan putrinya dapat
bimbingan agama dan beroleh nasib baik.
Namun seperti kana pepatah, bambu dalam serumpun tak seluruhnya tumbuh lurus. Satu dua pasti ada
yang bengkok. Begitu pun yang terjadi pada sementara orang yang mengaku berasal dari Carbon.
Keharuman Kangjeng Pangeran Santri di Sumedanglarang, seperti dijadikan pijakan oleh orang lain
untuk mencari kesempatan.
Purbajaya yang berbulan-bulan tinggal di wilayah itu,punya penilaian lain kepada pemuda bangsawan
tampan bernama Yudakara. Di wilayah Sumedanglarang mungkin banyak orang yang menaruh hormat
kepada Raden Yudakara, namun juga tak kurang yang merasa kecewa terhadap penampilannya. Paling
tidak, kekecewaan ini dirasakan oleh keluarga Ki Bagus Sura.
Pengetahuan yang didapat Purbajaya, Ki Bagus Sura adalah mantan mertua Raden Yudakara.
Dua tahun lalu Raden Yudakara mempersunting Nyimas Yuning Purnama, putri tunggal Ki Bagus Sura.
Namun belakangan, tanpa dimulai oleh permasalahan, Raden Yudakara menceraikan gadis itu untuk
kemudian menikah lagi dengan Nyimas Waningyun putri Pangeran Arya Damar.
Menurut berita yang sampai ke telinga Purbajaya, keluarga Ki Bagus Sura amat terhina dengan peristiwa
ini. Dengan rasa bahagia dan penuh harap, Ki Bagus Sura dulu menyerahkan putri satu-satunya karena
Raden Yudakara begitu memperhatikannya dan serta-merta menyatakan cintanya. Siapa tak bahagia
putrinya semata wayang dicintai bangsawan Carbon. Raden Yudakara adalah seorang lelaki gagah,
tampan dan punya posisi tidak sembarangan di Carbon. Harga diri dan nama baik keluarga itu tentu akan
mencuat.
Selama dua tahun dipersunting Raden Yudakara, boleh dikata tak ada permasalahan rumah tangga,
kecuali Nyimas Yuning sering ditinggal pergi. Namun semua keluarga memakluminya. Kendati tidak
diketahui apa peranan Raden Yudakara di Carbon, namun semua yakin, pemuda bangsawan itu suka
menerima tugas penting dari Carbon. Keluarga Ki Bagus Sura memaklumi kalau Raden Yudakara sering
menghilang, itu karena tugas penting yang tak boleh diketahui umum. Itu tak mengapa. Hanya yang jadi
rasa tak suka keluarga Bagus Sura, sikap Raden Yudakara demikian aneh. Bukankah suatu hal yang
aneh kalau menceraikan istrinya begitu saja tanpa sebab?
"Seburuk apa pun nasib perempuan, masih lebih berharga dimadu ketimbang dicerai. Aku sudah akan
berlapang dada, kalau saja anakku dimadu. Si Yuning tak punya dosa, tak punya kesalahan namun
secara tiba-tiba diceraikan begitu saja, hanya karena Raden Yudakara akan menikahi putri keluarga
Pangeran Arya Damar," kata Ki Bagus Sura dengan perasaan sedih.
Malam itu bulan benderang. Purbajaya dimintai tolong mengajar mengaji anak-anak remaja di lingkungan
benteng.
Sudah hampir sebulan ini Purbajaya tinggal di puri Ki Bagus Sura. Pemuda ini mulanya tak ada niat untuk
tinggal di keluarga ini. Maklumlah, di sana ada janda muda yang kecantikannya demikian dikenal di
seputar istana. Para pemuda di sekitar benteng istana, baik anak bangsawan mau pun hanya pemuda
prajurit dan jagabaya begitu mendambakan cintanya Nyimas Yuning Purnama. Purbajaya tadinya tak
mau dekat-dekat dengan wanita sebab masih trauma dengan peristiwa yang menyangkut Nyimas
Waningyun.
Namun Ki Bagus Sura dengan penuh harap menginginkan Purbajaya tinggal di puri untuk memberi latihan
mengaji kepada anak-anak puri, termasuk juga melatih mengaji kepada Nyimas Yuning Purnama.
Dimintai bantuan seperti ini, Purbajaya bimbang. Kalau menerima, dia takut dekat-dekat wanita. Tapi
kalau menolak itu adalah dosa. Ya, berdosalah orang yang menolak berbuat kebajikan, apalagi yang
menyangkut urusan agama secara langsung. Bukankah dari Carbon pun dia diperintah untuk ikut
menyebarkan agama bagu?
Di wilayah Sumedanglarang, sebetulnya sudah banyak orang yang bisa mengaji. Namun nama "orang
Carbon" sepertinya sudah jaminan mutu. Ini tentu merepotkan Purbajaya yang dikenal sebagai orang
Carbon. Dia memang bisa mengaji tapi belum pandai benar. Kepandaiannya hanya untuk dilafalkannya
sendiri dan bukan untuk diajarkan kepada orang lain sebab takut salah. Namun karena orang telanjur
emenganggap dirinya sebagai orang Carbon yanaag serba bisa dalam hal agama, maka Purbajaya pun
tak berani menolak. Menolak artinya merendahkan martabat Carbon sendiri dan Purbajaya tak mau itu.
Itulah sebabnya, dia terima permintaan ini sambil dirinya sendiri pun cepat mempelajari apa-apa yang
kelak dibutuhkan dalam mengajar. Dia tak mau kelihatan oleh muridnya kalau dia sebagai "guru dari
Carbon" malah kelihatan bodoh tak tahu apa-apa.
Namun demikian, jadi guru mengaji di keluarga ini bisa pula jadi keperluan khusus baginya. Semenjak
mendengar bahwa Raden TYudakara pernah jadi menantu keluarga ini, dia jadi tertarik ingin menyelidiki
lebih jauh perihal keberadaan pemuda bangsawan itu.
Perilaku Raden Yudakara perlu disimak. Meneurut hemat Purbajaya, Raden Yudakara seperti memiliki
kepribadian ganda. Sekali waktu terlihat baik, namun sekali waktu malah menampakakan kebalikannya.
Ini misteri dan perlu diselidiki.
Menurut pengetahuan yang didapat, Raden Yudakara mengemban tugas penting bagi Carbon, yaitu
memata-matai kegiatan Pajajaran. Namun pihak Pajajaran pun sebenarnya tengah "menggunakan"
pemuda bangsawan ini sebagai mata-mata yang ditempatkan di Carbon. Carbon beranggapan bahwa
Raden Yudakara tetap bekerja untuk Carbon, sementara orang Pajajaran pun menduga pemuda ini
bekerja untuk mereka. Mana yang benar dan mana yang paling merasakan kebenaran pekerjaan Raden
Yudakara yang sebenarnya, Purbajaya tak tahu. Namun yanag elas, peranan Raden Yudakara
sebenarnya bisa membayakan semua pihak.
Beberapa lama dia melakukan perjalanan bersama pemuda itu, Purbajaya mendapatkan bahwa Raden
Yudakara adalah tetap orang misterius. Purbajaya masih ingat ketika melakukan perjalanan ke puncak
Cakrabuana. Raden Yudakara tahu sekali bahwa di puncak gunung itu secara tak sengaja akan terjadi
pertemuan antara pasukan Carbon dan pasukan Pajajaran. Namun demikian, Raden Yudakara
sepertinya tak berniat untuk mencegah pertempuran. Malah ada kesan dia membiarkan pertempuran
berlangsung.
Pertempuran di puncak Cakrabuana memang jadi berlangsung. Pasukan Carbon dan Pajajaran saling
bantai. Dan Purbajaya sungguh tak mengerti, mengapa Raden Yudakara ketika itu tetap sembunyi serta
secuil pun tidak berniat melibatkan diri dalam urusan itu? Perilaku Raden Yudakara amat
membingungkan.
Hal yang tak disenangi lainnya, menurut penilaian Purbajaya, Raden Yudakara adalah seorang pemuda
yang romantis. Dia selalu menyenangi wanita cantik. kalau pun tak disebutnya sebagai hidung belang. Di
sepanjang perjalanan antara Carbon dan wilayah Talaga, kerjanya hanya menggoda kaum perempuan
saja. Raden Yudakara pun terkesan tidak menghormati sesama kaum lelaki dalam upaya mendapatkan
cinta. Buktinya, kendati Raden Yudakara tahu bahwa Purbajaya menaruh hati kepada Nyimas
Waningyun, dan mohon pertolongan untuk mengurusnya, namun belakangan diketahui kalau "sang
comblang" itu sendiri yang makan mangsanya.
Barangkali Raden Yudakara ini orang yang kaya akan siasat licik dan pandai merekayasa keadaan
sehingga semua permasalahan pada akhirnya menjadi keuntungan bagi dirinya. Kalau tak begitu, tak nanti
sanggup mempersunting Nyimas Waningyun. Perlu taktik yang hebat dalam upaya mengenyahkan Raden
Ranggasena, tunangan Nyimas Waningyun. Siasat apa yang dijalankannya sehingga sanggup
menundukkan perangai Pangeran Arya Damar yang keras dan telah berhasil menempatkan bangsawan
itu sebagai mertuanya, Purbajaya tak bisa menduganya.
Ya, Raden Yudakara sungguh miterius. Dan Purbajaya harus menyelidikinya. Mungkin penyelidikan bisa
dimulai dari rumah bangsawan ini.
"Raden Yudakara punya masalah lebih besar ketimbang urusan pertikahan ... " gumam Purbajaya di saat
santai mengobrol dengan Ki Bagus Sura. Pendapat Purbajaya ini hanya dijaeab dengan dengus ejekan
dari Ki Bagus Sura.
Purbajaya menatap lama ke arah wajah orang tua yang kepalanya diikat kain ikat kepala jenis lohen ini.
"Maafkan bila saya menyinggung perasaanmu," sambung Purbajaya.
"Sebagai sesama orang Carbon, kau tentu akan memihak bekas menantuku itu, Purba ...," Ki Bagaus
Sura berdesah kesal.
Purbajaya tadinya akan menyamoaikan kalau dirinya pun tiada suka keada Raden Yudakara. Namun
maksud itu diurungkannya. Tak baik dengan orang baru malah menjelek-jelekkan orang lain. Namun
Purbajaya pun tak mau mengaku kalau dirinya kini sedang jadi anak-buah pemuda misterius itu. Kalau
dia katakan, Ki Bagus Sura malah akan memandang lain pula kepadanya.
"Sesama orang Carbon ... " gumam Purbajaya."Tak ada hubungannya dengan ini. Yang baik akan tetap
baik sementara yang le akan terlihat jelek," kata Purbajaya seperti bicara kepada dirinya sendiri.
"Syukur kau berpandangan begitu. Sebab aku sendiri telah keleiru menafsirkannya." Ki Bagaus Sura
membalas dengan elahan napas."Semua orang Sumesdanglarang amat hormat kepada Kangjeng
Susuhunan Jati. Tak nyana tidak semua orang punya perangai sama," kata Ki Bagaus Sura lagi. Dia
duduk bersilsa di paseban sambil memijit-mijit betisnya sendiri. Hari ini Ki Bagus Sura baru saja berlatih
kewiraan. Purbajaya memuji kepada orang tua ini yang amat rajin melatih tubuhnya. Katanya, di zaman
kini, orang hanya bisa mempertahankan keberadaan dirinya melalui kepandaian. Kalau tak memiliki
apa-apa, segalanya akan kalah dari yang lainnya.
"Engkau orang baik, Purba ... " kata Ki Bagus Sura memuji dengan jujur.
"Jangan terburu-buru menilai orang, nanti keliru lagi ..." Purbajaya tersenyum mendengar pujian ini. Secuil
pun dia tak bangga dengan pujian sebab meneurutnya, hal ini hanya akan mengurangi kewaspadaan saja.
"Tutur bahasamu sopan memikat," lanjut Ki Bagus Sura lagi.
Purbajaya hampir saja mengatakan kalau Raden Yudakara pun tutur bahasanya sopan dan memikat.
Siapa pun yang bicara dengannya pasti mudah percaya. Maksud ucapannya diurungkan. Dia tetap tak
mau orang Sumedanglarang tahu kalau dirinya punya hubungan dengan Raden Yudakara.
"Tutur bahasa belum menjamin nilai kemanusiaan. Banyak yang harus dilihat secara keseluruhan." lagi-lagi
Purbajaya tersenyum.
Percakapan terhenti manakala dari halaman muncul seseorang. Purbajaya menatap ke arah halaman dan
kebetulan orang yang baru datang pun sama menatapnya. Maka dua mata beradu pandang. Namun mata
Purbajaya kalah duluan. Purbajaya menunduk.
Dia kalah sebab lawannya adalah sorot mata seorang gadis.
Sorot mata gadis itu tak begitu tajam bahkan ada kesan kuyu tak bersemangat. Namun entah mengapa,
Purbajaya tak sanggup melawan tatapan itu.
Itu adalah tatap mata Nyimas Yuning Purnama., putri tunggal Ki Bagus Sura dan yang kini telah tidak
memiliki ibu lagi karena meninggal.
Mungkin begitu, mengapa orangtuanya menamakannya Purnama. Mata Nyimas Yuning matanya redup
seperti purnama menjelang pagi. Atau keredupan itu, apakah karena didera oleh nasib malang perbuatan
Raden Yudakara? Sungguh kejam pemuda bangsawan itu. Dia menyepelekan kehalusan perasaan
wanita.
"Silakan Nyimas duduk. Sudah lama saya menanti kalian. Eyh, mana para santri lainnya?" Purbajaya
memepersilakan gadis anggun itu duduk di bale-bale paseban.
Sungguh jahat Raden Yudakara. Mengapa gadis secantik ini dibuang begitu saja sehingga nasib Nyimas
Yuning terpuruk menjadi janda? Lagi-lagi hati Purbajaya memarahi Raden Yudakara.
"Saya ke sini untuk memberitahu, santri lain tak bisa hadir," jawab Nyimas Yuning dengan suara halus
dan merdu. Dia duduk berhadapan namun agak merentang jarak.
"Karena apa?" Purbajaya mengerenyitkan dahi.
"Ada kegiatan lain dipakalangan (arena) Ki Dita," jawab gadis itu.
"Maafkan, aku tak beritahu sebelumnya," potong Ki Bagus Sura."Ki Dita memang suka memotong
pekerjaan orang. Sudah jelas hari ini anak-anak belajar mengaji, malah diajaknya latihan kewiraan,"
ungkap Ki Bagus Sura dengan nada tersinggung.
"Sudahlah, ayahanda. Kan, saya tetap datang dan saya mau belajar mengaji ... " tutur Nyimas Yuning
seolah mencegah ayahnya terus-terusan mengomeli Ki Dita.
Purbajaya tersenyum pahit. Di mana-mana persaingan selalu ada. Tidak pula di kalangan penghuni istana
Sumedanglarang. Dalam beberapa bulan saja, Purbajaya pun sebetulnya telah mengenal situasi. Di
kalangan pejabat Sumedanglarang memang ada sementara orang yang bersaing ingin paling dekat dan
paling dipercaya penguasa. Ki Dita ini anak buahnya Ki Sanja, pejabat yang jadi pesaing utama Ki Bagus
Sura. Mereka tidak bermusuhan secara berterang, namun satu sama lain tidak saling menyukai. Di puri
Bagus Sura, kegiatan utama adalah mengajar remaja mengaji, sementara di puri Ki Sanja belajar
kewiraan. Dua puri ini saling berebut pengaruh dalam memberikan pengajaran. Kadang-kadang
waktunya suka bersamaan, seperti hari ini misalnya.
"Malam ini bulan lagi purnama. Barangkali waktu yang tepat untuk bermain-main dipakalangan ,
ayahanda," tutur Nyimas Yuning sepertinya membela Ki Dita.
"Ya, mungkin kau benar ... " gumam Ki Bagus Sura."Sekarang, bagaimana kau mengaji sendirian? Purba,
apakah engkau mau mengajari anakku sendirian saja?"
Purbajaya tak bisa menjawab serentak, kecuali menatap Nyimas Yuning.
"Saya hanya melihat kesediaan Nyimas saja," jawab Purbajaya pendek."Atau sebetulnya Nyimas pun
ingin ikut latihan kewiraan? Saya tahu, di zaman kini, banyak wanita menyukai ilmu kewiraan juga," kata
Purbajaya lagi masih menatap gadis itu.
Nampak Nyimas Yuning menggelengkan kepala sambil tersipu.
"Saya tak menyukai kekerasan ..." kilahnya menunduk. Dan ketika menunduk itu, ujung rambut di
pelipisnya bergoyang pelan. Indah sekali. Purbajaya terpana. Dan untuk yang ke sekian kalinya
Purbajaya menatap lagi. Kini tatapnya sempurna menyapu ke seluruh wajah gadis itu yang bundar dan
halus. Dan Purbajaya sadar. Hampir saja dia menampar pipinya sendiri. Dia malu. Malu pada siapa pun.
Kata Paman Jayaratu, pandangan mata yang pertama mungkin murni tapi pandangan kedua adalah setan
yang menggoda. Jadi kalau dia pandang keelokan wanita terus-menerus, bukan lagi sekadar mensyukuri
keagungan Tuhan, melainkan sudah gangguan setan agar berahinya melonjak naik.
Purbajaya merasakan kalau sepasang pipinya terasa panas saking malunya sebab nyatanya perbuatan
dirinya diketahui pasti oleh Ki Bagus Sura.
"Bagaimana, Nyimas? Maukah engkau mengaji sendirian saja? Maksudku, hanya berdua dengan
Purbajaya?" tanya Ki Bagus Sura seperti mengandung arti tersendiri.
"Saya ingin mendalami pelajaran agama ... " jawab Nyimas Yuning lirih dan menunduk.
"Nah, layanilah anakku mengaji seorang diri. Jangan khawatir, semakin baik engkau memperhatikan
anakku, maka akan semakin baik pula penghargaanku padamu," Ki Bagus Sura melirik ke arah Nyimas
Yuning Purnama dan hal ini amat mengejutkan Purbajaya. Tidakkah orang tua ini punya maksud
"macam-macam" dalam siratan kalimat-kalimat yang diucapkannya?
Sebelum sempat berpikir jauh, Ki Bagaus Sura sendiri sudah berjingkat meninggalkan Purbajaya yang
ditemani gadis ayu pemurung itu.
Ini adalah pengalaman pertama dia dan Nyimas Yuning Purnama berdua berhadapan, disaksikan bulan
benderang.
***
NAMUN belakangan, duduk berduaan di paseban atau di beranda depan bersama Nyimas Yuning
Purnama kerap terjadi. Menurut pikir pemuda itu, bisa saja itu bukan sebuah rekayasa agar mereka
kerap bertemu. Sebab melihat kenyataannya memang demikian. Nyimas Yuning Purnama begitu
bersemangatnya dalam mempelajari agama. Setiap mengaji, gadis it sepertinya ingat waktu. Kalau
Purbajaya tak memperingatkannya, bisa-bisa gadis itu kuat bertahan hingga subuh hari. Namun paling
tidak, gadis itu selalu pulang paling akhir. Sementara anak santri lainnya sudah lama bubar, gadis itu
malah masih berkutat dengan semangat belajarnya.
Tak ada yang melarang Nyimas Yuning Purnama belajar mengaji berlarut-larut. Apalagi belajar dilakukan
di lingkungan puri. Ki Bagaus Sura pun bahkan terlihat bangga putrinya sungguh-sungguh mendalami
agama. Sampai pada suatu saat Purbajaya mendapatkan kenyataan yang mengejutkan.
"Aku bersyukur kau mau membimbing anakku. Namun akan lebih bersyukur lagi kalau pada suatu
waktu, engkau pun mau menerima anakku satu-satunya sebagai istrimu," kata Ki Bagus Sura.
Tentu saja ini amat mengejutkan Purbajaya. Dia tatap mata orang tua itu dalam-dalam. Dan Purbajaya
mendapatkan keyakinan bahwa ucapan Ki Bagus Sura keluar dari lubuk hatinya paling dalam.
Untuk beberapa lama, Purbajaya tak bisa berkata apa. Terlalu cepat baginya untuk memeutuskan
sesuatu dan apalagi bernama cinta. Nyimas Yuning Purnama cantik. Sama cantiknya dengan Nyimas
Waningyun. Bedanya, Nyimas Waningyun bermata binar bagaikan bintang pagi dan sebaliknya Nyimas
Yuning Purnama bermata redup namun menyejukkan hati. Nyimas Waningyun panas dan agresip
menantang gejolak berahi hati muda, sementara Nyimas Yuning Purnama sendu namun membuat hati
berdebar. Ya, Nyimas Yuning cantik secantik purnama dan memaksa siapa pun untuk berkasihan
kepadanya. Purbajaya pun berkasihan dan bersimpati. Namun untuk perasaan cinta, dia masih ragu
kendati peluang terbuka dengan lebarnya.
Purbajaya mengerti kedaan ini. Sudah dia ketahui sejak hari kedatangannya, bahwa sementara orang
Sumedanglarang begitu bangga kepada orang Carbon yang dianggapnya banyak memiliki ilmu agama
dan bisa membimbing orang menjadi baik. Semua orang bahkan percaya kalau Nagri Carbon itu
dikukuhkan oleh Sang Wali Sembilan sebagaiPuser Bumi Agama Islam dan seluruh penghuninya
orang-orang salih semua dalam menjunjung kiprah agama. Itulah sebabnua kalau hampir semua orangtua
bercita-cita memiliki mantu lelaki Carbon.
Namun yang Purbajaya tak habis mengerti, Ki Bagus Sura malah dikecewakan oleh bangsawan yang
datang dari Carbon. Dan lebih tak dimengertinya lagi, mengapa Ki Bagus Sura sepertinya "tak jera"
menghadapi kekecewaan ini. Buktinya, kini hadir "pemuda Carbon" lain dan langsung percaya saja. Di
lain pihak, Purbajaya memiliki rasa bangga tersendiri. Namun di pihak laindia pun merasa prihatin.
Prihatin oleh sikap Ki Bagus Sura. Dia adalah orang tua yang mudah tergoda oleh pengharapan. Harapan
lamanya yang musna, begitu saja tergantikan oleh harapan yang baru. Mungkin dia menginginkan nasib
putrinya terangkat. Namun demikian tetap saja dia telah mengorbankan kepentingan putrinya sendiri.
Dulu barangkali Nyimas Yuning tak mencintai Raden Yudakara. Tapi hanya karena ketaatan dan
pengabdian kepada orangtua semata maka dia terima keinginan Ki Bagus Sura. Sekarang, gadis itu
malah sudah akan "dioper" kepada Purbajaya tanpa Nyimas Yuning dimintai pendapatnya. Ini yang
membuatnya prihatin.
"Aku sadar, putriku sudah tak berharga lagi. Ibarat sekuntum bunga, dia sudah dipetik orang. Mungkin
disimpan di sebuah jamban, namun bisa saja tergeletak begitu saja di rumpun kering. Keinginanku ini
lebih didasarkan pada sebuah permohonan ketimbang sebuah cita-cita.Si Yuning ini hidupnya sedang
goncang. Dia butuh orang untuk membimbingnya," tutur Ki Bagus Sura panjang-lebar.
"Sekarang oun saya tengah berusaha untuk membimbingnya ... " kata Purbajaya pelan dan tak berani
menatap orang tua itu.
"Yang aku maksud, dia butuh pelindung dan penjaganya. Dia butuh ketentraman hidup. Hidup seorang
wanita baru terasa tentram kalau ada yang mengayominya. Dia butuh seorang lelaki. Bukan hanya berupa
seorang ayah, namun jauh lebih berarti dari itu ..."
"Tapi mengapa musti saya?"
"Engkau terlihat memenuhi harapanku, anak muda. Kendati usiamu masih sangat muda tapi kau
berpikiran dewasa. Kendati kau bukan seorang bangsawan tapi wawasan berpikirmu sungguh luas.
Engkau juga amat sederhana dan tak sombong akan kemampuan diri," Ki Bagus Sura habis-habisan
memuji Purbajaya yang menjadi kikuk karenanya.
"Maafkan aku terlalu berani mengemukakan hal ini, padahal sudah aku katakan tadi bahwa putriku tak
berharga ..." akhirnya Ki Bagus Sura "tahu diri".
"Bukan itu maksud saya ..." Purbajaya jadi serba-salah. Dia takut kalau Ki Bagus Sura jadi keliru
menafsirkan dan malah tersinggung dengan sikapnya ini.
Dan Purbajaya semakin khawatir ketika orang tua itu nampak menunduk lesu sepertinya harapannya
didepak sudah.
"Berita ini terlalu tergesa-gesa datangnya," kata Purbajaya termangu.
Ki Bagus Sura kini baru mau menatap Purbajaya. Sepertinya dia kembali memperoleh harapannya lagi.
"Kuakui memang tergesa-agesa. Aku sadar kalau urusan seperti ini tidak seyogyanya dilakukan secara
begini. Engkau perlu waktu untuk mempelajarinya terlebih dahulu," kata Ki Bagus Sura.
"Begitu kira-kira yang saya maksud ... "
"Ya, pikirkanlah hal ini, Purba. Namun engkau harus tahu bahwa ini adalah harapanku yang amat sangat
ke padamu," ungkap orang tua itu sepenuh hati. Purbajaya mengangguk dan mencoba akan berusaha
memikirkan "tawaran" ini.
Malam hari Purbajaya jadi susah tidur.Obrolan di senja hari bersama Ki Bagus Sura ini ternyata amat
mengganjal hati dan perasaannya.
Tidak diragukan, sebenarnya Purbajaya pun senang melihat kecantikan Nyimas Yuning Purnama. Hampir
semua pemuda di Sumedanglarang khabarnya sama mendambakan kasih gadis itu. Hanya menandakan
bahwa Nyimas Yuning memang gadis yang punya nilai lebih dibandingkan dengan gadis-gadis istana
lainnya. Kalau tak begitu tak nanti semua pemuda bangsawan saling berebut ingin memilikinya. Purbajaya
sebagai pemuda normal, tentu sama dengan yang lainnya, yaitu melihat Nyimas Yuning Purnama sebagai
gadis istimewa.
Gadis itu penampilan karakternya sungguh bersahaja dan tak mengada-ada. Tutur katanya sopan, tidak
pula terhadap dayang pengasuhnya. Wajahnya jauh dari sederhana walau pun pupur yang dikenakan di
wajahnya amat sederhana. Justru kesederhanaan pupurnya ini semakin memperlihatkan kecantikannya
yang asli. Sudah Purbajaya katakan bahwa orangtuanya memberikan nama "Purnama" karena wajah
gadis itu bak purnama di subuh hari. Redup namun cemerlang tanpa gangguan awan.
Ya, sebagai pemuda normal, Purbajaya tentu tertarik kepada gadis ini. Namaun di hati pemuda ini
banyak tabir menghalangi. Salah satu di antaranya adalah trauma terhadap apa yang bernama cinta-kasih.
Tak bisa disembunyikan lagi kalau peristiwa yang menyangkut nama gadis Nyimas Waningyun telah dan
selalu membekas hingga kini. Purbajaya bukan merasa iri gadis itu digaet Raden Yudakara. Bila benar
mereka bergandengan tangan berdasarkan cinta-kasih, Purbajaya akan merelakannya. Namun yanag
segalanya jadi membekas sedih di hati Purbajaya, betapa susah sebenarnya menimba cinta-kasih itu.
Purbajaya tak boleh gegabah. , tak boleh asal-asalan. Tak boleh memiliki aji-mumpung. Mumpung diberi
kepercayaan, maka bagaikan kucing melihat tikus, tidak dipikir dua kali langsung diterkamnya dengan
rakus. Purbajaya tak suka itu.
Cinta tak boleh dilakukan hanya karena terkuaknya peluang. Betapa Nyimas Waningyun gadis
bangsawan Carbon rela menyerahkan jiwa raganya. Namun belakangan ternyata gadis itu bukan
jodohnya. Sekarang peluang terkuak lagi. Namun Purbajaya tak boleh semberono menerimanya.
Cinta-kasih itu bukan permainan benda mati. Ada hati dan perasaan yang ikut berperan dan itu yang
menentukan segalanya.
Purbajaya memang amat menyukai kecantikan anak bangsawan Bagus Sura ini. Namun cintakah dia
kepada Nyi Yuning Purnama? Dan lagi hal lain yang sama-sama tak boleh diabaikan, cinta jugakah
Nyimas Yuning kepadanya? Antara Nyimas Wanibngyun dan dirinya mungkin terjadi cinta sehingga
keduanya sepakat akan berbuat hal-hal yang dianggap akan merunyamkan keadaan. Namun dengan
Nyimas Yuning belum tentu ada tali benang merah yang mengikat kendati sikap orangtuanya begitu
menyetujuinya.
Memang akhir-akhir ini gadis itu semakin dekat kepadanya. Tapi hal ini punya alasan lain, yaitu gadis itu
ingin mempelajari agama lebih dalam. Atau, benar-benarkah belajar mengaji hanya digunakannya sebagai
batu loncatan agar gadis itu selalu berdekatan dengan dirinya?
Pemuda itu menampar pipinya sendiri. Gila, lamunan itu terlalu jauh!
***
MALAM ini bulan kembali benderang. Anak-anak sanbtri yang lain kembali "tergoda" untuk memilih
latihan kewiraan bersama Ki Dita. Ini hanya punya arti bahwa untuk ke sekian kalinya di paseban hanya
tinggal Purbajaya berdua dengan Nyimas Yuning Purnama.
Untuk ke sekian kalinya duduk saling berhadapan, hanya terbatasi oleh bantal berlapis kain satin biru
buatan Negri Campa sebagai alat penopang Kitab Suci.
Tentu tak begitu jauh. Jadi Purbajaya bisa leluasa menatap wajah anggun gadis itu.
Nyimas Yuning memang tengah tak sadar kalau wajahnya ditatap terus Purbajaya sebab dia tengah tekun
membaca lafadz Kitab Suci. Suaranya pelan namun merdu mengalun. Sepertinya gadis itu tengah
bernyanyi melantunkan lagu indah.
Bibir itu bergerak-gerak mungil bagaikan menantang. Hidungnya yang kecil mancung kembang-kempis
karena desahan. Amboi, hidung itu bersemu merah dan sesekali disekanya dengan setangan sutra yang
sejak tadi dipegangnya di tangan berjari-jari lentik.
Purbajaya menahan napas.
Kalau peristiwa ini terjadi beberapa bulan silam dan bukan di saat mengaji seperti ini, tentu gadis itu
sudah digodanya. Betapa tidak. Purbajaya pada dasarnya adalah seorang periang. Dia teringat
masa-masa indah bersama Nyimas Waningyun. Pertama berkenalan dengan gadis itu dilaluinya dengan
cara-cara yang lucu dan konyol. Ketika gadis itu tengah bersampan di kolam Taman Petratean Istana
Pakungwati, secara diam-diam Purbajaya melubangi lunas perahu. Akibatnya, semua penumpang
berteriak-teriak karena perahu akan tenggelam. Penumpang berloncatan panik namun tak bisa berenang.
Purbajaya segera tampil sebagai "pahlawan" dan menyelamatkan Nyimas Waningyun. Itulah saat
pertemuan dengan gadis manis dan periang itu.
Belum berlalu setahun. Namun waktu sesingkat itu telah mengubah segalanya. Nyimas Waningyun sudah
dipersunting Raden Yudakara dan Purbajaya telah menjadi guru mengaji. Karena sudah jadi guru maka
perilakunya menjadi lain, menjadi "dipaksa" untuk dewasa. Jadi mana mungkin seorang guru kerjanya
menggoda murid wanitanya. Itu aib namanya. Makanya Purbajaya lebih terkesan sebagai seorang yang
pendiam dan tutur katanya suka serius melulu. Senyum tentu masih membekas namun jauh dari keceriaan
seorang belia.
Purbajaya ingin mengaku, semua perubahan ini tentu karena figurnya seorang guru dan bukan karena
sisa-sisa cinta yang terpuruk. Kendati dia menyukai Nyimas Yunig Purnama, namun secuil pun dia tidak
berniat untuk menggoda gadis itu dengan celoteh-celoteh lucu dan bengal seperti hari-hari lalu. Dia
memang tengah menatap paras gadis cantik itu tapi bukan tatapan penuh berahi. Tatapan ini lebih
berkesan sebagai pelampiasan rasa kasihan dan iba hati. Gadis itu bernasib malang. Kecantikan parasnya
tidak membawanya sebuah berkah, kecuali jadi permainan keserakahan seorang laki-laki semacam
Raden Yudakara. Sekarang oleh ayahandanyaa, sepertinya gadis itu mau "diserahkan" kembali kepada
lelaki lainnya. Mungkin Purbajaya tak sekejam Raden Yudakara. Mungkin saja Purbajaya sanggup
memberikan penghargaan kepada gadis itu dengan rasa cinta yang tulus. Namun demikian, dia tetap
merasa iba. Kalau pun ada cinta, cinta karena berdasarkan iba semata. Betapa karena ingin melihat gadis
itu terobati lukanya, maka oleh ayahandanya dia diserahkan kepada Purbajaya. Bila Nyimas Yuning
akhirnya jadi dipersunting, Purbajaya bukannya bahagaia, tapi malah menjadi sedih, sedih karena nasib
gadis itu yang buruk.
Purbajaya tak habais mengerti, mengapa Ki Bagus Sura tidak pernah mencoba menguak perasaan
putrinya. Mungkin hati kecil gadis itu tidak suka dianggap benda mati yang bisa digeser ke sana ke mari.
Cinta sebenarnya tidak untuk dipaksakan. Tidak pula bagi seorang janda.
Purbajaya kembali menatap wajah gadis itu. Dia anggun, dia cantik. Kasihan kalau keanggunan dan
kecantikannya hanya digilir ke sana ke mari tanpa perasaan cinta ikut serta. Namun Purbajaya tahu, tentu
gadis itu tak kuasa menentang kehendak ayahnya.Ya, kalau ibu gadis itu telah tiada, kepada siapa lagi dia
akan menurut dan mengabdi kalau tidak kepada ayahandanya? Purbajaya tahu kalau banyak anak gadis
kehilangan cinta kasih remaja hanya karena ingin berbakti kepada orang tuanya.
Malam ini gadis itu tidak terlalu banyak bicara. Kecuali suara lantunannya yang merdu di malam yang sepi
ini.
Purbajaya menduga, gadis ini tak banyak bicara mungkin sudah tahu kehendak ayahandanya dan dia tak
suka keputusan itu. Kalau benar begitu, Purbajaya jadi tak enak hati.
Kalau benar begitu, Purbajaya harus segera duluan bicara dan mengemukakan isi hatinya. Dia harus
katakan yang sebenarnya agar tak jadi siksaan bagi gadis itu.
Ya, harus malam ini, sebab sebentar hari Purbajaya diajak Ki Bagus Sura untuk melakukan perjalanan
muhibah ke Karatuan Talaga. Sebelum dia pergi, isi hatinya yang sebenarnya harus diketahui dulu oleh
Nyimas Yuning Purnama.
Suara merdu Nyimas Yuning Purnama berhenti. Mengajinya selesai. Sesudah menghirup udara sejenak,
gadis itu menatap Purbajaya. Kebetulan pemuda itu pun tengah menatapnya sehingga tak pelak dua
pasang mata beradu pandang.
"Nyimas ... "
"Ustad ... "
Keduanya bertatap lama kembali. Namun Nyimas Yuning kalah lebih dahulu. Gadis itu menunduk
dengan rona merah di wajahnya. Belakangan Purbajaya pun ikut menunduk dan sepasang pipinya terasa
panas.
Lama mereka saling berdiam diri.Dan hal ini tak membuat hati Purbajaya semakin tenang.
"Nyimas .... Sepertinya ada yang ingin kau katakan padaku," kata Purbajaya pada akhirnya.
"Malah saya yang menduga, Ustadlah yang sepertinya punya sesuatu yang akan disampaikan kepada
saya," Nyimas Yuning balik bertanya.
Kembali Purbajaya menunduk. Untuk beberapa lama lidahnya kelu kembali.
"Mengapa, Ustad?"
"Ada memang yang akan saya katakan. Tapi saya khawatir, engkau tak akan senang mendengarnya,"
kata Purbajaya sejujurnya.
Pemuda ini memang jadi berpikir lain. Bagaimana seandainya gadis itu sebenarnya mau dipersunting
olehnya? Bukankah bila dia bicara tak mengakui mencintai gadis itu maka akan terjadi musibah derita
yang kedua bagi gadis itu?
Ah, Purbajaya jadi serba salah.
"Nyimas ... silakan engkau saja yang bicara duluan," akhirnya Purbajaya memutuskan.
Kini giliran Nyimas Yuning Purnama yang terlongong-longong diam. Sepertinya gadis itu memendam
perasaan bingung untuk menyampaikan sesuatu.
"Mengapa, Nyimas ...?"
"Kalaua saya sampaiakan, takut menyinggung perasaanmu, Ustad ..." jawab gadis itu berani menatap
Purbajaya.
Purbajaya kembali balik menatap.
"Tentu ini menyakitkan sebab tak biasanya seorang gadis mengemukakan kehendak," tuturnya lagi.
"Katakanlah apa adanya, Nyimas," potong Purbajaya tak sabar sebab ucapan gadis ini semakin
membuatnya penasaran.
Namun ditantang seperti ini, malah gadis itu kembali menundukkan kepalanya. Dan hal ini semakin
menambah rasa penasaran Purbajaya.
"Jangan ragu, ucapkanlah, Nyimas," Purbajaya mendesak.
Dia sudah menduga kalau pada akhirnya gadis itu akan tunduk kepasa keinginan ayahandanya, yaitu
mandah untuk dijodohkan dengannya. Barangkali juga tidak sekadar mentaati keinginan orangtua semata,
melainkan juga karena hasratnya. Sekali lagi Purbajaya berkeyakinan bahwa sudah umum gadis di sini
mengharap dipersunting oleh pemuda asal Carbon.
Sesudah agak lama membisu, akhirnya Nyimas Yuning berkata juga. Rentetan kalimatnya tenang tak
tergesa-gesa dan ada kesan diucapkan dengan penuh kehati-hatian.
"Saya sudah diberitahu perihal maksud ayahanda ... "
"Oh, ya? Tentang apa?" Purbajaya pura-pura terkejut.
"Tentang rencana pertalian jodoh kita," Nyimas Yuning Purnama berkata dengan nada agak bergetar.
"Hm ... Lalu, bagaimana?"
"Bolehkah saya mengemukakan keinginan?"
"Engkau adalah orang merdeka, tentu boleh saja mengemukakan apa pun yang ada di hatimu, Nyimas,"
kata Purbajaya mulai mencoba memecahkan teka-teki.
Lalu Nyimas Yuning Purnama terdiam lagi sejenak. Dihirupnya lagi udara dalam-dalam seolah-olah ingin
mengumpulkan tenaga agar kata-kata yang akan diluncurkannya kelak tidak mandeg lagi di tengah jalan.
Lama sekali.
"Ucapkanlah, Nyimas ... " Purbajaya kian tak sabar.
"Kalau boleh saya punya keinginan, saya ingin menolak pertalian jodoh ini ... " Nyimas Yuning Purnama
berkata sambil tetap menunduk. Sepertinya betul dia takut ucapannya menyinggung perasaan orang yang
mendengarnya.
Purbajaya terhenyak untuk seketika. Duduknya tegak namun diam mematung.
"Tersinggungkah Ustad oleh ucapan saya ini?" tanya gadis itu kemudian. Tampak sekali ada mimik penuh
khawatir di wajahnya.
Namun Purbajaya malah senyum dikulum. Dia mengangguk-angguk. Dan senyumnya tetap tak hilang.
"Mengapa musti tersinggung?" Purbajaya masih juga tersenyum. Ditatapnya wajah gadis itu lama-lama.
Tadinya dia pun ingin mengatakan kalau dirinya sebenarnya kurang setuju dengan keinginan Ki Bagus
Sura, Namun maksud ini dia urungkan. Dia tetap khawatir kalau gadis itu malah yang tersinggung.
"Sungguh, saya tak tersinggung oleh ucapanmu, Nyimas ... " ungkap lagi Purbajaya.
"Kalau begitu, tentu Ustad tak mencintai saya ... " potong gadis itu.
Purbajaya menghentikan senyumnya. Inilah memang salah satu keanehan seorang wanita. Mengapa ada
pertanyaan seperti itu yang meluncur keluar dari benaknya, padahal menurut hemat Purbajaya tak perlu
dikemukakan.
"Saya tak bisa jawab pertanyaan itu. Yang penting saya sekarang tahu bahwa Nyimas menolak urusan
perjodohan," jawab Purbajaya memotong harapan gadis itu.
"Saya pasti menyinggungmu ... "
"Tidak. Bahkan saya bahagia. Engkau punya keberanian dalam mengemukakan kehendak. Saya
berkehendak, siapa pun berhak mengemukakan apa yang ada di lubuk hatinya, termasuk dalam urusan
cinta-kasih. Sudah terbiasa memang, orang muda berkorban dalam cinta hanya karena berbakti kepada
orangtua. Padahal, jangan campur-adukkan cinta kasih dengan bakti kepada orangtua. Cinta-kasih
adalah urusan pribadi. Yang akan melakukannya pun pribadi masing-masing dan bukan perintah dari
pihak lain. Kalau kau tak suka, maka tak perlu memaksakan diri. Cinta-kasih adalah kebahagiaan dan
bukan pengorbanan. Makanya tak baik perasaan cinta dilalui dengan duka," ujar Purbajaya lirih dan
panjang lebar.
Nyimas Yuning menatap lama, sudah itu tersenyum cerah, sepertinya dia mendapatkan dorongan moral
dalam mengukuhkan pendapatnya.
"Tapi saya ini tetap saja seoraang wanita. Kepada ayahanda, saya tak bisa bicara seperti ini," keluh
gadis ini. Dan Purbajaya mengerti maksudnya.
"Biar saya yang membantumu bicara," Purbajaya memotong.
"Bagaimana caranya?"
"Tentu akan saya katakan bahwa sebenarnya saya tak mencintaimu. Jadi perjodohan ini harus
dihapuskan. Begitu kan beres?"
Nyimas Yuning merenung sejenak sepertinya tengah mempertimbangkan usul ini.
"Engkau yang merugi sebab ayahanda pasti menyalahkanmu," gumam gadis itu kemudian.
"Yang penting, ayahandamu semakin menyayangimu, Nyimas. Betapa menyakitkan seorang gadis
secantikmu ditolak pria. Dan ayahandamu pasti semakin iba padamu sebab disangkanya kau
terus-terusan dirundung malang," kata Purbajaya tak sadar. Belakangan dia baru tahu kalau ucapannya
ini membuat wajah gadis itu murung.
"Tapi maafkan ucapan saya ini, Nyimas," sambung Purbajaya.
"Tak apa, Ustad. Namun sebetulnya saya malu kalau ada orang mengatakan saya gadis malang," jawab
gadis itu.."Jodoh adalah urusan Tuhan. Apa pun yang dikehendaki Tuhan, pasti itu yang terbaik buat
umatNya. Jadi saya tak berani berkata kalau keputusan Tuhan dianggap sebuah kemalangan,"
sambungnya. Terasa ditampar pipi Purbajaya oleh pendapat gadis itu. Ya, dia bodoh. Mengapa seorang
guru agama malah tak becus bicara benar dan melantur ke mana saja.
"Maafkan sekali lagi, saya menyakiti hatimu, Nyimas."
"Tidak. Malah saya yang harus kau maafkan. Saya menyakitimu karena berani menolak perjodohan,"
bantah gadis itu.
Purbajaya emenggelengkan kepalanya.
"Betulkah engkau tak sakit hati?" Nyimas Yuning masih penasaran.
"Tidak."
Dan sepasang mata gadis itu nampak berkaca-kaca. Purbajaya tak tahu, mengapa gadis itu malah
menurunkan air matanya.
Hingga gadis itu pergi dan menghilang dari pandangan matanya, Purbajaya tetap belum mengerti makna
air mata itu.
***
MASIH tersisa satu hari lagi untuk meninggalkan Sumedanglarang. Ini punya arti, Purbajaya masih diberi
kesempatan bertemu Nyimas Yuning Purnama satu malam lagi.
Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu duduk bersimpuh dengan anggunnya di atas bale-bale dan
saling berhadapan dengan Purbajaya.
"Ke mana lagi santri lainnya, Nyimas? Apakah mereka lagi-lagi berlatih kewiraan di padepokan Ki Dita?"
tanya Purbajaya heran.
"Yang saya tahu, tak ada latihan kewiraan di sana. Barangkali mereka masih di perjalanan," jawab gadis
itu membenahi kerudung sutra putihnya.
"Kita tunggu saja mereka sebelum pelajaran dimulai," Purbajaya berpendapat.
Sudah beberapa kali dia hanya mengajar Nyimas Yuning saja. Ini artinya, untuk beberapa kali ini dia
hanya berduaan saja dengan gadis itu.
Sambil menunggu yang lain tiba, akhirnya dua orang muda-mudi ini mengobrol. Purbajayalah yang
banyak berbicara.
Ditunggu beberapa lama, para santri lain memang datang. Tapi Purbajaya mengerutkan dahi sebab di
belakang mereka ada beberapa orang pemuda ikut serta dan perangainya mencurigakan.
"Kalian kami tunggu lama sekali, ke mana sajakah?" tanya Purbajaya kepada para santri.
Namun yang menjawab malah pemuda asing di belakang para santri itu.
"Mengapa musti menunggu anak-anak lain, kan lebih asyik berduaan saja?" kata salah seorang dari
kelompok pemuda itu. Wajahnya tampan tapi mimiknya angkuh.
Purbajaya meneliti semua pemuda asing itu.Usianya barangkali sebaya dengannya, atau lebih muda satu
dua tahun. Yang khas, wajah mereka cukup tampan dan berpakaian santana (golongan menengah),
menandakan bahwa mereka anak-anak orang berada. Karena bisa masuk ke puri seenaknya, barangkali
mereka anak-anak bangsawan di sini.
Purbajaya berhadapan dengan pemuda yang barusan bicara. Kulit wajah pemuda itu putih bersih.
Rambutnya bergelombang hitam dan diikat kain halus warna nila. Matanya tajam serta sepasang alaisnya
tebal bagaikan sepasang golok melengkung. Hanya yang Purbajaya tak suka, hidung pemuda ini
melengkung, mengingatkan dirinya kepada Raden Yudakara. Raden Yudakara pun bertampang begitu
dan perilakunya sombong namun penuh misteri.
"Saya tak mengerti perkataanmu, sobat ... " kata Purbajaya pelan.
"Aku hanya ingin tanya, apa sih kerjamu di sini?" tanya pemuda itu sambil bertolak pinggang.
"Tanyalah pada anak-anak santri ini kalau kehadiran saya di sini adalah mengajar mereka mengaji,"
jawab lagi Purbajaya.
"Mengajar mengaji? Mengaji apa ngobrol-ngobrol berduaan di malam-malam begini sambil sesekali
berbisik-bisik sambil mengobral senyum?" Pemuda itu tertawa diikuti oleh tawa teman-temannya.
"Kalian ini bukan pasangan sah. Guru dan murid lagi. Mengapa kerjanya berduaan saja?" tanya yang
lainnya. Nampak sekali semua pemuda ini hendak menekan Purbajaya.
"Kami tak melakukan hal apa pun, apalagi yang dilarang agama," tutur Purbajaya lagi. Namun terdengar
lagi kekeh mengejek dari para pemuda itu.
"Dengaralah hai kawan, betapa pintarnya si hidung belang ini berkilah. Santri lain disuruh pergi berlatih
kewiraan sementara dia berupaya menggoda janda muda yang cantik! Hai teman, mari hajar si bedebah
ini!" kata si pemuda tampan sambil bergerak maju. Teman-temannya ada sekitar lima orang serentak ikut
maju.
Purbajaya tidak punya kesempatan untuk menghindar. Maka tak ayal bentrokan pun terjadi. Dia seorang
diri dikeroyok lima orang pemuda.
Purbajaya meloncat ke depan agak ke arah tempat yang lapang agar tidak menyulitkan gerakannya.
Sementara Nyimas Yuning berseru agar pertikaian tidak berlangsung. Beberapa anak santri malah
menyingkir agak jauh kendati mereka seolah membiarkan pertempuran berlangsung. Tapi santri putri
kebanyakan sudah menyingkir mencari selamat.
Kelompok pemuda ini membentuk lingkaran dalam upaya mengepung Purbajaya. Mereka terus bergerak
sambil memutar. Yang aneh, pasangan kuda-kudanya begitu indah dan gerakannya mirip orang menari.
Purbajaya mengenal beberapa ilmu kewiraan. Ada yang diperlihatkan dengan gaya keras, ada pula yang
dikemas dalam gaya lembut. Purbajaya bahkan mengenal, ilmu kewiraan yang dikembangkan oleh Ki
Dita mengutamakan kelembutan gerak. Khabarnya dalam melatih ilmu ini, juruys-jurus Ki Dita diiringi
dawai kecapi dan tiupan suling.
Bagi orang awam, gerakan indah yang diiringi dentingan dawai kecapi dan bunyi suling hanyalah gerak
tarian biasa. Padahal di balik kelembutan itu ada tenaga dahsyat yang bisa membahayakan jiwa lawan.
Namun demikian, tenaga dahsyat yang dikemas kelembutan ini harus dimainkan oleh orang yang memiliki
kelembutan hati pula dan jauh dari sifat emosi. Purbajaya sangsi, apakah kelima orang itu sanggup
memainkan jurus ini dengan baik?
Purbajaya sedikit terkejut melihat gerakan mereka. Jangan-jangan kelompok pemuda ini murid-murid Ki
Dita. Kalau benar, dia perlu hati-hati. Bukan takut menghadapi mereka, namun yang Purbajaya
khawatirkan, antara Ki Bagus Sura dengan Ki Dita bahkan dengan majikan Ki Dita yaitu Ki Sanja, tidak
memiliki kesesuaian paham. Purbajaya tak mau, urusan malam ini jadi kian menyulut pertikaian mereka.
Purbajaya tak bisa berpikir lama sebab serangan-serangan datang beruntun.
Serangan itu memang dilakukan dengan menampilkan tarian lembut. Namun ketika ada sodokan kepalan
tangan mengarah ulu hati, Purbajaya merasakan adanya terjangan angin pukulan.
Sodokan dilakukan oleh pemuda tampan itu. Mulanya diawali oleh gerakan meliuk telapak tanagan kiri
daeri atas ke bawah. Purbajaya terpesona oleh gerak liukan itu hingga hampir lupa oleh serangan
sodokan yang datang dari bawah yang dilakukan tangan kanan, meluncur dari balik liukan tangan kiri.
Purbajaya terkejut namun tak merasa khawatir sebab desiran angin pukulan yang dilontarkan tidak
terasa deras. Hanya menandakan bahwa si pelaku tidak menyertakan tenaga dalam yang kuat.
Sebenarnya Purbajaya dengan mudah bisa menepis serangan ini kalau saja dalam waktu bersamaan tidak
datang serangan lain. Serangan ini datang dari samping kirinya, berupa tendangan lurus mengarah
pinggang. Sementara itu dari samping kanan datang pula sodokan kepalan lain.
Purbajaya tidak menjadi panik oleh situasi ini. Ki Jayaratu yang menjadi gurunya di Carbon pernah
mengatakan, bahwa tubuh manausia dilengkapi pertahanan amat sempurna. Sepasang tangan dan kaki
adalah senjata dan sekaligus alat pertahanan amat ampuh. Karena memiliki unsur pertahanan yang kuat
itulah maka Ki Jayaratu selalu menekankan agar tak takut dengan berbagai pengeroyokan. Asalkan kita
sanggup memanfaatkan sepasang tangan dan kaki dengan tepat, anggota tubuh itu bisa digunakan sebagai
alat pertahanan dan juga sekaligus sebagai alat untuk menyerang.
Dalam latihan ilmu bela diri di Carbon, Purbajaya kerap kali dilatih untuk menghadapi pengeroyokan
belasan orang bahkan puluhan orang. Oleh karena itulah, dalam menghadapi pengeroyokan enam orang
ini, Purbajaya tidak merasa panik.
Ada tiga serangan yang datang secara bersamaan, yaitu dari depan berupa sodokan pukulan mengarah
ulu hati, pukulan dari samping kanan dan tendangan dari samping kirinya. Bila serangan ini ditepis satu
persatu, Purbajaya tidak akan sempat menepisnya. Maka satu-satunya cara untuk menepisnya adalah
sama-sekali memanfaatkan ketiga serangan lawan untuk berbalik menyerang tuannya sendiri.
Ketika sodokan dari depan meluncur deras, Purbajaya menarik langkahnya ke belakang. Kepalan tangan
musuh yang telanjur menyodok dia tangkap erat dan dia gunakan untuk menangkis pukulan tangan lain
yang datang dari samping kanannya. Si pemukul dari arah depan tampak menyeringai kesakitan karena
pergelangan tangannya kena pukul temannya sendiri. Sementara itu dari arah kiri meluncur pula
tendangan. Datangnya cukup keras dan cepat. Namun tendangan itu menyapu dua tangan temannya
sendiri secara keras pula. Maka berbareng dengan itu terdengar jeritan keras. Jeritan datang dari dua
mulut hampir berbarengan. Mengapa tak begitu sebab yang kena sabetan tendangan kaki adalah dua
orang sekaligus.
Si pelaku tendangan terlihat kaget. Mungkin tak menyangka kalau serangan derasnya malah menyapu
temannya sendiri. Dan sebelum hilang kagetnya, dia pun terdengar menjerit pula karena pahanya dipukul
keras oleh Purbajaya. Pukulan itu sebenarnya hanya mengandalkan tenaga kasar saja. Kalau
menggunakan tenaga dalam barangkali akibatnya bukan hanya sekadar sakit, melainkan paha beserta
tulangnya akan hancur.
Dalam satu gebrakan, tiga orang sudah dilumpuhkan. Kini tinggal tiga orang lagi. Purbajaya menunggu
datangnya serangan baru. Namun ditunggu beberapa saat tak ada serangan. Ternyata tiga orang sisanya
sudah menghilang di kegelapan. Sementara yang tiga orang lagi, sambil meringis menahan sakit akhirnya
mengundurkan diri dari tempat itu, percis anjing kena gebuk.
Anak-anak santri pun pang menghilang. Kini tinggallah kembali Purbajaya dan Nyimas Yuning.
"Siapakah mereka, Nyimas ... ?"
"Mereka adalah murid-murid Ki Dita. Yang terlihat begitu marah padamu adalah Aditia, putra tunggal Ki
Sanja." Nyimas Yuning Purnama menerangkan dengan nada sedih. Bahkan ada tersirat perasaan
khawatir.
"Hanya itu, Nyimas?"
"Di kalangan sesama anak bangsawan, Aditia disegani para pemuda lainnya."
"Apakah seharusnya saya pun segan padanya, Nyimas?" tanya Purbajaya. Hanya dijawab elahan napas
oleh Nyimas Yuning.
Purbajaya masih belum mengerti, apa yang dirisaukan gadis ini.
"Barangkali kita akan mendapatkan petaka ... " gumam Purbajaya menduga jalan pikiran gadis ini.
Dan belum juga kalimatnya berakhir, ke tempat itu datang sekelompok orang. Mereka adalah pemuda
yang tadi termasuk Aditi, namun sambil diikuti seorang tua di belakangnya. Nyimas Yuning berbisik kalau
orang tua itu adalah Ki Dita.
Begitu berhadapan dengan Purbajaya, pemuda-pemuda itu langsung saja mencak-mencak memarahi.
Semua telunjuk mereka diarahkan kepada hidung Purbajaya.
"Ki Guru, inilah dia Si Anak Bengal itu. Lihatlah, Si Tebal Muka ini kendati sudah kami usir namun tetap
saja merayu Nyimas Yuning. Diberi peringatan malah marah-marah dan memukuli kami. Dia pasti
pemuda jahat dan menyelundup ke sini pura-pura jadi guru mengaji!" kata salah seorang dari para
pemuda itu menunjuk-nunjuk hidung Purbajaya. Pemuda itu bertubuh ceking seperti kurang makan.
Ki Dita yang bertubuh gemuk dengan wajah bulat dan berkumis tebal itu tidak menyambut pengaduan ini
begitu saja. Dia hanya meneliti Purbajaya dengan tatapan tajam.
Purbajaya tidak balas menatap. Bukannya takut kepada Ki Dita. Tapi dia pikir alangkah tak sopan balik
menatap pada orang tua dan apalagi Ki Dita seorang guru yang disegani di sini.
Namun sebelum kejadian selanjutnya berlangsung, tiba-tiba dsatang pula Ki Bagus Sura. Dia nampak
tergopoh-gopoh mendatangi ke tempat di mana banyak orang berkumpul.
"Ki Guru Dita, ada apakah ini?" tanyanya mengerutkan alis. Ki Bagus Sura bertanya dengan nada halus
namun kerutan alisnya menandakan bahwa orang tua ini tidak senang ada orang bergerombol memasuki
wilayah purinya.
Ki Dita belum menjawab, kecuali memandangi para muridnya satu persatu. Terakhir dipandanginya
Aditia seolah-olah Ki Dita minta agar anak muda itu yang mewakilinya bicara.
Dan benar saja, sebab Aditia maju dan langsung menyampaikan apa terjadi. Tentu saja dengan versi
miliknya.
"Ki Bagus, apakah engkau tidak tahu kalau pemuda culas ini saban malam kerjanya merayu putrimu?"
tanya Aditia ketus. Kemudian diarahkannya matanya yang tajam dan penuh kebencian itu kepada
Purbajaya.
"Maksudmu, Purbajaya tidak sopan kepada putriku?" tanya Ki Bagus Sura.
"Betul begitu!"
"Tidak benar, Ki Bagus," Purbajaya menyela.
Ki Dita menatap bergantian ke arah Aditia dan Purbajaya, sepertinya dia ingin tahu perkataan siapa yang
benar. Demikian pun Ki Bagus Sura menatap mereka bergantian.
"Tapi Purbajaya guru mengaji putriku," cetus Ki Bagus Sura kemudian.
"Nah, apalagi begitu. Uh, sangat menjijikkan!" Aditia mencibir.
"Dia calon suami anakku."
"Apa?" Aditia terbelalak, seperti amat kaget dengan apa yang didengarnya.
"Benar, pemuda ini calon suami Si Yuning," Ki Bagus Sura menegaskan kembali.
"Bohong. Nyimas Yuning suudah bilang padaku kalau tak mau lagi punya suami. Betul kan, Nyimas?"
Aditia menoleh kepada Nyimas Yuning. Yang ditatap hanya menunduk.
"Betul, kan?" Aditia mendesak.
"Betul. Kakang Purba calon suami saya ... " kata Nyimas Yuning akhirnya.
Purbajaya dan Aditia sama-sama melongo akan jawaban ini.
"Nyimas, betulkah itu?" tanya Aditia. Purbajaya pun sebetulnya hampir mengatakan ucapan yang sama
namun keburu dibatalkan.
"Kau ... Kau bohong padaku, Nyimas ... " wajah Aditia nampak merah-padam. Sepasang tangannya
bahkan terkepal.
"Aditia, mari pulang!" ajak Ki Dita sama berwajah tak senang. Namun pemuda itu masih mengepalkan
tinjunya dengan berang sekali.
"Kau memalukan. Sepertinya gadis di dunia hanya dia seorang!" kata lagi Ki Dita.
"Bukan itu yang saya pikirkan. Memang masih banyak gadis yang jauh lebih cantik, lebih sempurna dan
lebih utuh. Yang aku tak enak, betapa mudahnya dia membual. Ketika saya pinang, dia bilang belum
saatnya. Namun belakangan, dia menikah dengan Raden Yudakara. Hanya sebentar saja sudah
dicampakkan. Dan aku mau tolong dia agar jadi istri yang baik, namun pinanganku dia tolak untuk kedua
kalinya dengan alasan tak mau punya suami lagi. Nah, sekarang, nyatanya dia masih ingin dipermainkan
orang Carbon. Rupanya dia masih belum kapok dipermainkan begundal dari Carbon!" teriak Aditia
berang.
"Sudah. Mari kita pulang saja!" Ki Dita tak sabar dan menarik tangan Aditia.
Aditia terpaksa beranjak namun dengan wajah memberengut marah.
"Anak muda, suatu waktu kita saling jajal kepandaian," kata Ki Dita kepada Purbajaya.
Tinggallah tiga orang itu. Namun rupanya Ki Bagus Sura tak mau tinggal terlalu lama. Buktinya dia segera
beranjak dari tempat itu.
"Lain kali kalau mau mengobrol berlama-lama, lebih baik di dalam rumah saja," kata Ki Bagus Sura.
Purbajaya mau bicara, kalau-kalau Ki Bagus Sura salah sangka. Namun orang tua itu keburu pergi.
"Nyimas, saya heran akan sikapmu tadi ... " gumam Purbajaya menyesalkan sikap gadis itu.
Nyimas Yuning tidak menjawab, melainkan dia pun segera berlalu dari tempat itu.
***
Purbajaya menerima khabar bahwa Ki Bagus Sura akan mengemban tugas muhibah ke wilayah
Karatuan Talaga. Entah apa penyebabnya orang tua itu mengajaknya pergi.
Namun tentu saja Purbajaya merasa gembira diajak serta. Pada dasarnya pemuda ini senang memiliki
pengalaman. Pengalaman baik atau pun buruk baginya adalah pengetahuan yang bisa menambah
wawasannya.
Karatuan Talaga sebetulnya tidak begitu jauh dari Sumedanglarang. Bila berkuda dengan santai, paling
lama hanya menghabiskan waktu sekitar dua hari perjalanan atau mungkin tiga hari saja.
Namun begitu, sebetulnya Purbajaya belum tahu betul di mana persisnya letak ibu negri Talaga ini.
Beberapa bulan silam memang pernah melakukan perjalanan bersama Raden Yudakara, namun hanya
sampai ke lereng timur Gunung Cakrabuana lewat wilayah Rajagaluh dan terus ke Guranteng.
Sekarang dia diajak serta melakukan perjalanan ke tempat itu tentu saja hatinya berminat. Ki Bagus Sura
mau mengejaknya, barangkali karena menganggap Purbajaya telah dianggap "orang sendiri".
Namun yang membuat Purbajaya merasa ada ganjalan, Aditia dan teman-temannya akan ikut serta.
Ketika ditanyakan kepada Ki Bagus Sura, dia mengatakan kalau perjalanan muhibah ini pun benar musti
diikuti oleh rombongan Ki Dita.
"Banyak murid Ki Dita dipersiapkan untuk jadi calon perwira Sumedanglarang. Secara periodik para
calon mendapatkan pelatihan mental dan fisik. Muhibah dalam mengunjungi negri-negri di luar
Sumedanglarang adalah bagian dari kewajiban mereka dalam memenuhi persyarakatan untuk diangkat
sebagai perwira," kata Ki Bagus Sura.
Purbajaya mau menegerti akan penjelasan ini.Dia pun pernah mendengar khabar kalau sasana kewiraan
yang dipimpin oleh Ki Dita ini telah banyak menghasilkanlulusan dan kini banyak menjadi perwira
kerajaan. Pemuda Aditia dan beberapa teman-temannya tentu
diharapkan akan menjadi perwira handal kelak. Itulah sebabnya perlu menerima bekal epengalaman agar
kelak bisa mengabdi kepada negara dengan baik.
Purbajaya mengerti ini. Namun karena hal ini pula, maka kegembiraannya dalam melakukan perjalanan
ini menjadi sedikit terganggu. Peristiwa tadi malam tentu susah dilupakan, terutama oleh pemuda Aditia.
Dalam perkelahian singkat, dia dan teman-temannya dipecundangi oleh Purbajaya. Namun juga yang
amat menyakitkan hati Aditia, bukan hanya sekadar kalah bertarung, melainkan juga kalah dalam
"rebutan cinta".
Betapa akan bencinya mereka kepada Purbajaya. Sekarang Purbajaya malah akan jadi teman
seperjalanan. Maukah mereka?
Namun sungguh di luar dugaan, ketika mereka tahu bahwa Purbajaya ikut serta, mereka malah nampak
gembira. Mengapa gembira? Itulah misteri sebab Purbajaya menerimanya dengan penuh curiga.
"Mungkin sudah mereka lupakan peristiwa malam itu," tutur Ki Bagus Sura.
Dugaan Ki Bagus Sura ini tidak melegakan Purbajaya. Dia tetap merasa kalau mereka sebetulnya masih
memendam rasa penasaran ke padanya.
Namun demikian, Purbajaya tak mau mengemukakah hal ini. Ki Bagus Sura nampaknya tak memiliki
perasaan curiga apa pun. Malah malam itu, yang jadi orang bersalah sepertinya Purbajaya sendiri. Malam
itu jelas-jelas Ki Bagus Sura seperti menyesalkan kepada Purbajaya perihal tudingan Aditia. Mungkin Ki
Bagus Sura menganggap laporan itu benar adanya.
Hati Purbajaya mengeluh. Untuk ke sekian kalinya dia bertemu lagi dengan pemuda yang mudah emosi
dan mudah merasa iri. Mereka menyatroni dirinya malam itu karena iri saja. Iri karena ada gadis di
negrinya yang dipersunting pemuda negri lain.
Aditia seperti memendam dendam kepada "wong grage" sebab mereka pikir semua pemuda Carbon
tukang permainkan wanita.
Ingat ini, Purbajaya jadi sedih. Hanya karena perbuatan Raden Yudakara maka semua pemuda Carbon
kena getahnya.
***
Hari ini adalah hari pemberangkatan rombongan muhibah. Subuh itu Purbajaya baru turun dari surau
ketika di pelataran taman dilihatnya Nyi Yuning Purnama berdiri menghadang. Gadis itu seperti sengaja
mencegatnya.
"Ustad ... " gadis itu menyapa pelan.
"Nyimas, saya pergi hari ini ... " gumam Purbajaya masih ingat peristiwa malam itu.
"Ini sebungkus makanan, khusus buat bekalmu di perjalanan ...." gadis itu menyodorkan sebuah
bungkusan penganan.
"Yang lainnya, bagaimana?"
"Ayahanda serta Paman Ranu sudah disediakan para dayang lain," jawab gadis itu.
"Aditia dan teman-temannya?"
Nyimas Yuning menunduk.
"Saya tak mau ada orang yang iri. Perasaan iri suka mendatangkan musibah," kata Purbajaya.
Nyimas Yuning menghela napas.
"Maafkan saya, Ustad ... " kata gadis itu akhirnya.
"Engkau berurusan dengan mereka, Nyimas?"
"Benar. Tadinya ini hanya urusan saya, tapi jadi melibatkanmu juga, Ustad."
"Soal apa, sih?" tanya Purbajaya kendati pun sudah tahu.
"Ya, karena saya menolak cinta dia ... "
"Mengapa menolak"
"Mengapa kau pertanyakan itu, sepertinya ada kewajiban setiap pria musti dilayani?" Nyimas Yuning
balik bertanya.
"Engkau gadis pemberani. Namun pada akhirnya, saya nilai kau pun gadis biasa juga," kata Purbajaya
sedikit menggores.
Nyimas Yuning tak tersinggung malah tersenyum tipis.
"Saya memang gadis biasa. Tapi apa sebenarnya maksud perkataanmu, Ustad?" tanya gadis itu menatap
tajam.
"Ya, engkau gadis biasa dan terkadang terkesan lugu dalam membuat putusan," kata Purbajaya.
"Adakah yang keliru dalam putusan saya?"
"Bukan sesuatu hal yang keliru. Namun kau bertindak ganjil dan membuat orang lain bingung, Malam itu
sebelum rombongan Aditia datang, kau menolak perjodohan. Tapi di hadapan semua orang, kau malah
mengaku kalau saya ini calon suamimu. Coba, di hadapan semua orang. Bagaimana itu?" tanya Purbajaya
penasaran.
"Kalau saya mengakau hal itu, mengapa?"
Mendapatkan pertanyaan balasan seperti ini, Purbajaya jadi gelagapan. Ya, apa yang harus dia jawab.
Maukah dia menolak kenyataan ini? Maukah dia menyinggung perasaan gadis ini. Mungkin pada mulanya
dia mau tolak kehendak ayahnya. Namun sesudah beberapa kali ditimbang, dia putuskan untuk
menerima saja.
"Pengakuan saya malam itu adalah untuk menolongmu dan juga sekalian menolong saya. Saya dihina
habis-habisan oleh Aditia. Jadi kalau saya tak katakan engkau calon suamiku, maka hinaannya akan
semakin menjadi-jadi."
Purbajaya melongo dan tak bisa berkata apa.
"Bagaimana, apa Ustad keberatan dengan ini?" Nyimas Yuning mendesak dan Purbajaya kembali
gelagapan seperti mulut kemasukan air.
"Saya memang gadis biasa bahkan sudah tak bernilai, Ustad ... Kau tentu tahu apa maksud perkataan
Adsitia malam itu," keluh Nyimas Yuning parau.
"Bukan ... Bukan itu. Saya tak berpikir seperti itu," kata Purbajaya. Dia takut sekali kalau dirinya
menyinggung perasaan gadis itu.
Nyimas Yuning berbalik dan Purbajaya akan mengejar. Namun dari beranda depan ada suara panggilan
untuknya. Suara itu mengatakan kalau semua orang sudah siap untuk berangkat.
"Nyimas ... Saya harus berangkat!"
Sejenak gadis itu menoleh.
"Ya ... berangkatlah!" ujarnya dan kembali berbalik.
Percakapan yang terakhir ini terlalu singkat sehingga Purbajaya tidak bisa meraba apa arti jawaban gadis
itu. Sebuah pengharapan agar dia lekas kembali ataukah usiran agar Purbajaya memang "harus pergi"?
Ah, ini membingungkan, pikirnya.
Kini terdengar suara Ki Bagus Sura memanggil-manggil.
"Ya, saya segera datang!" jawab Purbajaya bergegas.
Benar saja, Ki Bagus Sura telah siap menantinya.
"Yang lain sudah lama menunggu. Tapi, apakah kau telah minta diri sama Si Yuning?" tanya Ki Bagus
Sura membuat Purbajaya tersipu.
Ki Bagus Sura nampak berpakaian amat ringkas. Pakaiannya jenis yang biasa digunakan oleh kaum
santana (golongan pertengahan) yaitu baju kampret dan celana komprang namun terbuat dari kain halus
buatan Nagri Campa. Ikat kepalannya berwarna sama dengan warna bajunya.
Keluar dari pekarangan puri, rombongan Ki Dita sudah menunggu sebanyak empat orang, yaitu Ki Dita
dan tiga orang muridnya.
Semuanya mengangguk seadanya kepada Ki Bagaus Sura namun tidak kepada Purbajaya. Dan hal ini
hanya menandakan bahwa mereka masih memendam rasa penasaran kepadanya..
Dengan demikian, rombongan muhibah ini terdiri dari tujuh orang. Mereka naik kuda beriringan. Ki
Bagus Sura, Paman Ranu dan Purbajaya berjalan sejajar dan di belakangnya Ki Dita, Aditia, dituturkan
oleh dua orang teman Aditia yang belakangan diketahui sebagai Yaksa dan Wista.
Seperti sudah diketahui di bagian depan, rombongan ini akan melakukan perjalanan muhibah ke
Karatuan Talaga.
Talaga sebetulnya masih berada di bawah Sumedanglarang manakala kedua negri itu ada di bawah
kekuasaan Pajajaran. Namun sesudah pengaruh Carbon masuk, tahapan kekuasaan ini sudah tak begitu
kentara. Sang Susuhunan Jati yang oleh Wali Sanga dinibatkan sebagaipanatagama (penata kehidupan
beragama) dan Carbon ditunjuk sebagaipuser bumi agama Islam, sudah tak menempatkan negri-negri
yang ada seperti hirarki pemerintahan semula. Dengan demikian, Sumedanglarang pun kini tak
menganggap Talaga sebagai bawahannya lagi, sebab keduanya sama-sama menganggap, pusat
kekuasaan hanya ada di Carbon saja.
Namun sudah barang tentu, kebijakan seperti ini tidak selamanya diakui. Walau pun jumlah orang yang
berpikir beda tidak begitu banyak namun tetap mengganggu.
Selama manausia diberi kemampuan untuk berpikir dan berkehendak, tidak selamanya jalan pikiran dan
kehendak mereka sama. Ketika Sumedanglarang dan Talaga bergabung dengan Carbon saja, sudah
terlihat ada kelompok yang tak setuju dan memilih minggir dari percaturan politik. Ada juga
kelompok-kelompok tertentu yang malah menginginkan baik Sumedanglarang mau pun Talaga tetap
mempertahankan kesetiaannya kepada Pajajaran.
Baik Kangjeng Pangeran Santri di Sumedanglarang mau pun Kangjeng Sunan Parung di Talaga,ingin
mencoba menghalau kelompok-kelompok ini dan tetap berusaha menjalin persatuan dan kesatuan. Maka
untuk itulah kedua negara secara berkala saling mengirimkan utusan persahabatan.
***
Komentar
Posting Komentar