DENGAN langkah yang gontai Yoga KumaTa dengan diikuti oleh Dirham berjalan menyusuri
tebing sungai Musi kemuara dalam gelap malam.
Beberapa macam perasaan menyekap dirinya. Ia sedih karena tak mengetahui bagaimana kini
nasib Indah Kumala Wardhani adiknya. Dan menyesal mengapa ia membiarkan adiknya terlibat dalam
peperangan ini . . . sifat-sifat kenakalan dan kelucuannya membayang kembali dihadapannya. Yaaaa . . . .
dan bagaimanakah nasib Ktut Ghandra putri pulau Dewata yang menjadi idam-idamannya itu . . . .
Sampai disini hatinya menjadi tersayat sayat sedih diliputi kecemasan. Ia menyesal mengapa tak dapat
langsung melindunginya. Wajahnya ayu yang selalu dihiasi dengan senyuman dan kerlingan matanya
yang memikat hati itu kini membayangk5an kembali dalam angan2nya.
Ia terkenang pula akan kelincahan Ratnasari yang selalu dekat padanya.
Jasa-jasa Sontani dan Braja Semandang yang selalu mendampingi dalam suka dan derita, tak mudah pula
untuk dihilangkan dari ingatannya.
Tapi apa mau dikata. Nasib umat manusia telah ditentukan oleh Penciptanya.
Dikala itu, waktu telah larut malam mendekati terang tanah. Bintang bintang bertaburan
diangkasa dengan sinar pancaran yang berkelipan.
Semakin lama sinar pancaran gemerlapan bintang-bintang itu menjadi semakin pudar, dan
lambat laun hilang lenyap tersapu oleh cahaya merah keemasan, menyambut merekahnya sang
matahari dari ufuk Timur . . . Fajar. Kabut tipis perlahan-lahan membumbung ke-angkasa dan
mataharipun terbit dengan riahnya.
Berhari-hari Yoga Kumala dengan diikuti Dirharn berjalan terus menuju kearah Timur mengikuti
arus air sungai Musi, dengan angan-angan yang sedih kusut dan jauh merana. Kadang-kadang mereka
beristirahat di tengah-tengah hutan ataupun diperdesan di rumah-rumah para petani yang dijumpainya
dalam perjalanan, ada kalanya jalan yang ditempuhnya terputus karena menjumpai daerah rawa-rawa
yang sukar untuk dilaluinya, sehingga mereka harus menempuh perjalanan memutar arah.
Dalam perjalanan itu mereka tak banyak bercakap-cakap hanya Dirhamlah yang selalu berusaha
menghibur Yoga Kumala dengan nasehat-nasehat demi berhasil dalam mengemban tugas yang mulia
itu. Dan kiranya Yoga Kumala menjadi sadar kembali. Dalam hati ia bersumpah, tak akan kembali
sebelum dapat memenangkan peperangan dan membebaskan seluruh tawanan serta menumpas
gerombolan pengkhianat Kobar. Iapun rela untuk mengorbankan jiwa, demi menjunjung tinggi tugasnya
itu.
Sebulan telah berlalu, dan kini mereka berdua telah tiba diperbatasan Kotaraja Sriwijaya dekat
bandar Muara Musi. Mereka singgah disebuah desa pinggir kota raja itu dan atas petunjuk Dirham,
mereka berdua berganti pakaian sebagai petani-petani biasa. Dengan demikian mereka tak kuatir akan
di curigai oleh para tamtama kerajaan musuh.
Sambil menunggu saat para utusan dari pasukan yang terpecah pecah sebagaimana dahulu kala
telah ditentukan, Yoga Kumala dan Dirham menjelajahi Kota Raja dengan menyamar sebagai rakyat
biasa, ataupun sebagai pedagang keliling.
Tiba-tiba diwaktu larut malam, sedang mereka berdua merebahkan badan untuk mengaso
disebuah rumah penginapan, pintunya diketuk pelan-pelan oleh orang. Cepat Yoga Kumala dan Dirham
menyandang pedangnya dan membuka pintu, sambil bersiap siap untuk menghadapi segala
kemungkinan. Orang itu segera memasuki kamar dan dengan tangkasnya ia menutup rapat pintunya
kembali, dengan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Ia mengenakan pakaian serba hitam dengan
kepalanya tertutup topi anyaman dari alang-alang liar, melihat gerakan tamu yang tak, diundang itu,
ujung pedang pusaka Yoga Kumala berkelebat dan telah menempel di punggung orang yang sedang
menutup pintu.
— Jangan bergerak!!! Perintah Yoga Kumala singkat dengan nada yang tertahan. Namun aneh.
Orang itu sedikitpun tak memperlihatkan kecemasannya, bahkan seakan-akan tak menghiraukan sama
sekali ancaman Yoga Kumala.
Dengan tenangnya ia memalingkan kepalanya kearah Yoga Kumala, sambil membuka topinya
yang lebar dan hampir menutupi matanya itu.
Sesaat Yoga Kumala terperanjat demi melihat wajah tamunya itu. Pedang pusaka disarungkan
kembali dan ia menubruk orang yang berbaju serba hitam serta memeluknya erat-erat.
— Kakang Talang Pati! Tak kusangka bahwa aku dapat berjumpa denganmu disini . . . . !!
— Adi Yoga! Hampir satu tahun aku menjelajah mengembara untuk mencarimu dan akhirnya
dewata mempertemukan kita kembali. Suatu pertemuan yang sangat mengharukan.
Mereka saling berpelukan dengan eratnya. Sedangkan Dirham hanya berdiri dengan mulut
ternganga.
Perlahan lahan mereka masing - masing melepaskan pelukannya dan kini kedua saudara angkat
duduk berdekatan ditempat pembaringan Yoga Kumala.
— Oh Ya, hampir-hampir aku lupa memperkenalkan denganmu Dirham! Ini adalah kakak
angkatku kakang Talang Pati! kata Yoga pada Dirham yang masih saja berdiri ternganga.
Cepat Dirham mendekat dan membungkukkan badannya sambil berkata pelan — Selamat datang Gustiku Talang Pati.
— Saya adalah pengawal pribadi Gustiku Yoga Kumala!—
Sambil memegang pundak Dirham dan mempersilahkan untuk duduk didekatnya, Talang Pati
menyahut jangan menyebutku dengan Gusti, karena aku bukan priyagung seperti adikku Yoga Kumala!
Panggillah aku dengan Kakang Talang Pati saja.
Sejenak Dirham memandang pada Yoga Kumala dan kemudian menundukkan kepalanya. Ia
merasa janggal dan canggung untuk menyebutnya Talang Pati dengan kakang. Bukankah ia berhak pula
akan sebutan Gusti, karena adi angkatnya seorang priyagung yang mempunyai kekuasaan penuh sebagai
penjabat Senapati Manggala Yudha Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Ruyung yang besar itu.
Kiranya Yoga Kumala cepat dapat mengungkap isi hati Dirham. Dan sambil bersenyum ia berkata
padanya — Penuhilah kehendak kakang Talang Pati itu, Dirham. Ia memang aneh dan selalu bersikap
merendahkan diri. Maka panggillah ia dengan sebutan "Kakang" saja agar hubunganmu dengannya tak
canggung lagi.—
— Baik Gusti! ... Dan maafkan kakang Talang Pati. Demi memenuhi kehendakmu dan perintah
Gustiku, perkenankanlah saya memanggilmu "Kakang" sahut Dirham sambil berpaling pada Talang
Pati.—
— Bagus! Bagus! Aku lebih senang akan perlakuan yang dernikian, Dirham! — Jawab Talang Pati
dengan senyumnya lebar. Kini ketiganya menjadi lebih akrab lagi dan percakapan berlangsung dengan
asyiknya hingga pagi hari walau percakapan itu, Talang Pati menceritakan, bahwa kedatangannya adalah
memenuhi perintah gurunya Kakek Dadung Ngawuk. Ia diharuskan mencari Yoga Kumala hingga ketemu
dan selanjutnya mendampingi dalam suka deritanya.
Dalam perdialanan Talang Pati telah pernah bertemu dengan Martiman dan Martinem dan kedua anak
itu kini dititipkan pada Bupati Indramayu Wirahadinata ayah angkat Yoga Kumala. Dengan singkat
diceriterakan bahwa pertemuan dengan Martiman dan Wirtinem waktu itu dalam keadaan yang sangat
menyedihkan. Kedua anak itu berada dalam cengkeraman seorang penjahat lumpuh yang shakti
bergelar „si Ular Merah" Mereka dipaksa bekerja sebagai pengemis secara bergantian demi kebutuhan
hidupnya si Ular Merah. Ia menjumpai Martinem sewaktu anak itu sedang mengemis dengan pakaian
yang kumal dan compang camping. Anak itu sendiri kurus kering.
Dengan menangis terisak-isak Martinem menceriterakan bahwa kantong kulit yang berisikan harta milik
Yoga Kumala dahulu dirampasnya dan kakaknya Martiman diikatnya dan diancam akan dibunuh jika ia
tak mau mengemis untuk kepentingan sipenjahat itu. Dan jika kakaknya Martiman yang dilepas untuk
mengemis maka ia Martinemlah yang diikat sebagai jaminan, agar Martiman tak dapat melarikan diri.
Penderitaan itu baru berakhir setelah Talang Pati dalam pertempuran yang sengit dapat membunuh si
penjahat Ular Merah.
Dan dari mulut si Ular Merah sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir Talang Pati mengetahui,
bahwa Kobar adalah keturunan tunggal dari sipenjahat shakti. Kepada Yoga Kumala dinasehatkan agar
selalu waspada dalam menghadapi Bupati Anom Tamtama Kobar.
Yoga Kumala mendengarkan ceritera Talang Pati dengan perasaan2
yang sangat iba.
Dalam kesempatan itu Yoga Kumala tak lupa pula menyerahkan sebuah cincin batu akik „panca warna
warisan mendiang gurunya mbah Duwung.
Akan tetapi cincin batu itu diserahkan kembali pada Yoga Kumala dan dijelaskan akan
khasiatnya. Dalam menjelajahi hutan belantara, cincin batu " Panca warna" itu apabila dipakai dapat
mengusir binatang binatang buas, karena binatang-binatang itu takut pada pancaran sinarnya.
*
* *
Komentar
Posting Komentar