HARI ITU telah lewat siang tengah bari. Matahari telah condong ke barat dengan memancarkan
sinar teriknya, ditengah-tengah lembah hutan yang lebat agaknya Sungai Ogan dan Sungai Komering
nampak adanya gerombolan manusia yang 3edanq duduk bercakap-cakap dengan asyiknya.
Pohon-pohon yang tumbuh liar dan lebat itu kiranya dapat dijadikan tempat persembunyian
yang aman.
Diantara pohon-pohon yang rindang dan tumbuh liar terdapat sebuah pohon raksasa yang telah
berabad-abad usianya. Daun-daunnya menyerupai pohon beringin demikian pula batang dan ranting
rantingnya. Tapi akar-akarnya yang panjang bagaikan tali tambang tumbuh lebat dibatang dan cabang-
cabangnya yang besar, bergantungan dimana-mana tak teratur. Akar pokoknya yang dibawah amat
besar dan kokoh, menonjol keluar dan menjulur kesemua penjuru.
Besar pohonnya kira-kira lebih dari pelukan lima orang bergandeng- Demikian besarnya dan
rindangnya pohon itu hingga dapat melindungi seratus oranq lebih dari panas terik matahari dan hujan
Sesungguhnya lembah hutan belantara itu tak seberapa jauh letaknya dari kota RaJja Sriwiijaya.
Ia berada disebelah selatan dan dapat ditempuh dengan jalan kaki sehari penuh hingga sampai
di Kotaraja. Akan tetapi karena lembah hutan itu amat lebatnya dan ba yak rawa rawa serta binatang-
binatang buas, maa tak seorangpun sudi memasuki hutan belukar itu.
Dan baru pertama kali inilah tempat yang tak pernah dikunjungi oleh manusia, menjadi tempat
pertemuan para Tamtama dan Priyaguna Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Ruyung yang dipimpin
oleh Yoga Kumala. Mungkin bagi mereka dipandangnya sebagai suatu tempat yang paling aman untuk
merundingkan sesuatu rahasia yang amat penting berkenaan dengan siasat rencana perangnya.
Ternyata memang benar demikian.
Kini tempat itu telah menjadi kota dan dinamakan kota Kayu Agung sebagai kenang kenangan
pada pohon raksasa yang pernah berdiri megah dan bersejarah dimasa-masa yang telah silam.
Yoga Kumala dengan didampingi oleh Talang Pati dan Dirham duduk bersandar pada pohon
raksasa.
Sedangkan Damar Kerinci duduk dekat dihadapannya. Dibelakang tamtama Damar Kerinci dan
sekitarnya nampak para tamtama utusan-utusan dari pasukan2
jang kini telah mengepung Kota Raja
Sriwijaja dari segenap penjuru dalam Susunan perang "Sandhi Yudha"
Dalam pasewakan paripurna ditengah hutan belantara ini telah ditentukan waktu dan harinya
untuk mengadakan serangan serentak yang langsung ditujukan pada Kota Raja jantung kekuasaan
Kerajaan Sriwijaya. Dan isyarat-isyarat sebagai printah pucuk pimpinan dari Mangsala Yudha Yoga
Kumala telah pula ditetapkan.
Senapati Damar Kerinci berkenan untuk sementara waktu memimpin pasukan penyerbuan,
sedangkan Yoga Kumala akan membebaskan seluruh tawanan dan menumpas gerombolan bajak laut
yang dipimpin Kobar. Pasewakan yang dihadiri para utusan utusan pasukan yang terdiri dari 100 orang priyagung
tamtama kerajaan mulai berkobar dimana-mana induk pasukan tak mengherankan karena kebanyakan
praja Kerajaan yang memegang kekuasaan pada umumnya bertindak semena-mena terhadap rakyatnya.
Para bajak laut, perampok-perampok dan orang2
jahat dibina oleh para priyagung yang mempunyai
wewenang, untuk dijadikan perisai dan alat untuk memeras rakyat.
Ajaran-ajaran agama telah dikesampingkan, dan hanya nafsu angkara murkalah yang selalu
diketengahkan. Mereka telah tak mengenal lagi pada Tuhan Penciptanya. Demikian jauhnya mereka
tersesat.
Pendeta-pendeta yang mengajar kebajikan serta membela rakyat tertindas, diusirnya dan bahkan
banyak diantaranya yang dibunuh dengan secara kejam.
Kuil-kuil dan candi-candi tempat sembahyang tidak lagi mendapat perawatan sebagaimana
mestinya.
Rakyat miskin dan hidup dalam ketakutan. Kepercayaan pada kerajaan telah lenyap. Dengan demikian
keagungan Kerajaan Sriwijaya menjadi pudar.
Kedatangan pasukan - pasukan Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Rujung disambut oleh
rakyat bagaikan mendapat pelita dalam kegelapan.
Kaum pria yang masih memiliki keberanian segera menggabungkan diri dengan kerelaan untuk
turut serta dalam menumpas penguasa-penguasa yang menyeleweng dan tersesat jauh. Sedangkan
kaum wanita membantu dibelakang barisan dengan mengumpulkan perbekalan perbekalan pangan dan
sebagainya.
Dan mereka yang takut akan peperangan telah mulai mengungsi berbondong - bondong
menjauhi Kota Raja. Kiranya bukan hanya rakyat jelata saja yang mengungsi tetapi sebagian besar dari
para priyagung yang mencintai harta bendanya telah pula sibuk mengungsi dengan membawa hasil
perasaan rakyat yang berlimpah-limpah itu.
Mereka ingin hidup terus untuk dapat menikmati harta kekajaannya yang diperolehnya dengan
tak wajar.
yaaaa, merEka telah lupa bahwa mati dan hidup manusia berada dalam Kekuasaan Tuhan.—
Desa demi desa dan kota demi kota direbut dan beralih dalam tangan kekuasaan Kerajaan Negeri Tanah
Melayu Pagar Rujung.
Dengan menYusuri Sungai Komering sEbagai nelayan, akhirnya Yoga Kumala dengan didampingi
oleh Talang Pati dan Dirham dapat pula memasuki Bandar Muara Musi.
Sementara itu pasukan-pasukan kecil telah beradu pula Tanjung Kalimantan dan sebagian lagi
telah tiba disebelah selatan Muara Sungai Musi ialah didekat Muara Sungai Sabal.
Siang telah berlalu dan hari mulai gelap Dewi malam mulai nampak diketinggian dengan
pancaran sinarnya, menerangi remang remang mayapada, bagaikan Ratu Ayu yang sedang duduk di
Singgasana. Langit biru membentang cerah dan bintang-bintang gemerlapan diangkasa, laksana batu
permata yang bertaburan.
Muara Sungai Musi yang amat lebar mengalir dengan tenang. Namun jelas nampak adanya
suatu kesibukan yang lain dari biasanya diatas permukaan air yang setenang itu.
Berpuluh puluh perahu layar besar berlabuh di Bandar Muara sungai Musi. Bendera lambang
kebesaran Kerajaan Sriwijaja dan panji-panji berkibar-kibar diatas perahu yang berlabuh.
Satu diantaranya terdapat sebuah perahu layar yang cukup besar, dan berlabuh ditengah.tengah dengan dihiasi lampu lampu dan pintu kain sutra yang beraneka warna.
Dari gladag sampai dimenara nampak terang benderang karena banyaknya Iampu yang
bergantian.
Para priyagung dan tamtama Kerajaan berpakaian kebesaran kelihatan hilir mudik di gladak
perahu itu dalam suasana kesibukan.
Kemudian terdengar sayup-sayup bunyi gamelan yang bertalu-talu dari atas geladak perahu layar itu.
Seorang priyagung dalam pakaian kebesarannya sebagai Senapati Manggala muda tamtama
Kerajaan Sriwidiaja tiba tiba muncul diatas geladak. Ia berdiri sempoyongan sambil ketawa riang
terbahak bahak dalam keadaan setengah mabok karena kebanyakan minuman keras.
Ia adalah pengkhianat Kobar yang sedang pesta pora hendak melangsungkan perkawinannya
dengan Indah Kumala Wardhani diatas geladak perahu layar itu. Sepuluh pengawal pribadinya dalam
pakaian tamtama Kerajaan mengikuti di belakangnya.
Menyusul kini para priyagung yang kebanyakan terdiri para pemimpin bajak laut, hingga hampir
memenuhi ruang diatas geladak.
— Hai, Berhala dan Kelingi!! Bawalah segera sesaat untuk upacara perkawinanku itu kemari.
Haa, ha, haaa ha !! Suara perintah Kobar terdengar lantang diiringi tawanya yang terbahak-bahak.
Dua orang yang diperintah itu segera turun kebawah dan tak lama kemudian kembali diatas
geladak dengan membawa 3 orang tawanan yang masing-masing diikat kedua tangannya kebelakang
erat-erat. Yalah 2 orang pria dan seorang wanita. Ternyata dua orang pria itu adalah Sontani dan Braja
Semandang, sedangkan wanita yang rambutnya terurai dan duduk tertunduk adalah Ktut Chandra.
Ketiga-tiganya berpakaian serba hitam dan duduk berpegang pada dinding perahu.
Sesaat suasana menjadi sunyi, karena perhatian para hadiriin kini terpusat pada ketiga tawanan
yang duduk tertunduk tak bergerak itu.
Beberapa hadirin ada yang berbisik-bisik sambil sebentar-sebentar berpaling kearah Ktut
Chandra. Ada yang merasa kasihan demi menyaksikan putri pulau Dewata itu. Tetapi banyak pula yang
hanya merasakan sayang, karena tertarik akan cantiknya, dan bukan karena perasaan perikemanusiaan.
Tak seorang berani membuka mulut menyatakan perasaannya. Semua hadirin membisu. Mereka
tahu bahwa Kobar memegang kekuasaan yang tinggi dan apapun yang dikehendaki tak akan ada yang
dapat merintanginya.
Suasana sepi itu hanya berlangsung sejenak. Karena tiba2 Kobar berbicara lantang memecah
kesunyian. — Hadirin dan segenap priyagung tamtama Kerajaan yang berada dibawah perintahku! Kini
upacara perkawinanku akan segera dimulai. Sebagai upacara pembukaan aku akan sesaji pada dewa-
dewa yang bersemayam di Sungai Musi lambang kebesaran kita ini dan Dewa2 di lautan.
Sesajiku berupa darah manusia yang segar. Darah kedua pria yang akan kupenggal lehernya
nanti adalah untuk Dewa Sungai Musi, sedangkan darah gadis remaja adalah sesajiku untuk Dewa2 di
Lautan.
Kali ini aku akan sesaji besar dan lain dari pada biasanya demi untuk syahnya perkawinanku dan
demi untuk kemenangankul Aku berjanji pula pada segenap priyagung tamtama yang berada dibawah
perintahku, bahwa kelak akan kuberi hadiah-hadiah dan pangkat yang setimpal dengan jasa-jasa
saudara-saudara.
Ketahuilah bahwa cita-citaku tentu akan tercapai. Tak lama lagi aku tentu akan duduk
disinggasana Kerajaan Sriwijaya, karena saudara-saudara telah mengetahui sendiri, bahwa si Baginda
kini telah lolos meninggalkan Kerajaan. Kiraku dengan kekuatan yang ada sekarang, aku sangat mudah untuk menumpas Sanggahan Alam beserta pasukannya.
Ini semua akan segera ku lakukan, setelah pesta perkawinanku selesai! Nah!...saudara-saudara
hadirin semua! Jika ada sesuatu usul ataupun pertanyaan-pertanyaan hendaklah segera diajukan
sebelum aku memulai dengan sesaji! —
Suaranya parau tetapi berkumandang penuh wibawa. Kata demi kata dapat jelas ditangkap oleh
para priyagung yang hadir.
Kiranya Kobar telah memusatkan tenaga shaktinya untuk memumalkan rasa maboknya. Seakan-akan ia
percaya penuh pada kemampuannya sendiri. Suatu khayalan yang bayang bayang, bahwa ia sebentar
lagi akan menjadi raja telah nampak didepannya.
Maksud siasat pengkhianatan yang kedua kalinya ini tentu akan berhasil pula pikirnya.
Ia menyapu dengan pandangan mata yang tajam kearah semua
Dan segenap priyagung yang kebanyakan terdiri dari para pimpinan bajak laut dan perampok -
perampok itu menanggapi maksud pengkhianatan Kobar dengan sangat gembira. Telah lama mereka
menunggu-nunggu ketegasan Kobar. Mereka saling berebut menunjukkan kesetiaannya, demi
kepentingan masing-masing.
Dan nafsu angkara murkanya melonjak-lonjak. Mereka ingin cepat-cepat dapat menikmati
kekuasaan yang lebih dari pada sekarang dengan harta kekayaan yang berlimpah limpah, sekalipun
harus menginjak2
kerangka2
rakyatnya sendiri.
Kini mereka berunding untuk mengajukan usul masing-masing. Suaranya beriring memenuhi
geladak perahu layar yang besar itu bagaikan lembah dalam sarang.
Kelingipun nampak mondar-mandir dan turut serta berunding dengan para priyagung yang
berkelompok2
.
Sejenak kemudian, tiba2 Kelingi menghadap Kobar dan bicara dengan semangat yang me-nyala2
.
— Gustiku Kobar! saya mewakili! segenap para priyagung untuk menyampaikan sesuatu usul.—
— Bagus ! Bagus! Bicaralah segera!— Sahut Kobar sambil tertawa lebar.
— Gustiku Kobar tentunya telah mengetahui tentang kesetiaan2
kita semua. Dan kemampuan2
serta jasa-jasa kita semua selama mengabdi pada Gustiku Kobar tentunya telah diketahui pula. Dan
kiranya gustiku tentu takkan ragu2 lagi pada kita.
Untuk apakah Gustiku Kobar menunda2 pemberian pangkat pada kita? Bukankah Gusriku Kobar
sekarang telah pula menentukan dan mengangkatnya sebagai calon dengan disaksikan oleh kita semua
yang hadir?
Dengan demikian kita akan lebih bersemangat dalam mengemban tugas masing2
.
Sesaat Kelingi berhenti bicara, sambil berpaling kearah hadirin, seakan2 menunggu suara
dukungan dari teman2nya. Namun kesemuanya diam dan hanya saling ber-bisik2
lirih, menunggu
jawaban keputusan Kobar.
Tiba2 Kobar ketawa ter-bahak2
sambil berbicara lantang: — Ha . . . Ha Haaa . . . .usul yang bagus ! Aku
telah dapat menangkap isi hati kalian, Baiklah ! Hari ini juga aku akan membentuk Kerajaan bayangan,
dan aku sendirilah Maharajanya. Susunan tatapraja.
Kerajaan bayangan ini akan kutentukan sekarang juga, agar kalian tiada ragu2
lagi, dan kelak
setelah menjadi suatu kenyataan, kalian tinggal menduduki pangkat dan jabatan sesuai dengan
ketentuan2
yang telah saya tempatkan sekarang!.
Tepuk tangan terdengar riuh gegap gempita menyambut ketegasan Kobar. Dan memang itulah
yang telah lama dinanti2 oleh mereka.
Semua puas dengan diliputi oleh rasa gembira — Diam! Dan dengarlah keputusan saya baik2
!!—
Mendengar seruan Kobar yang berwibawa itu, suasana kini menjadi sepi. Tak seorangpun berani
membuka mulutnya.
Dengan hati yang berdebar2 mereka menanti keputusan tentang pemberian pangkat bayangan
pada masing2
.
Dalam hati Sontani, Brojo Semandang dan Ktut Chandra yang duduk dilantai geladak, ketawa
geli pula demi mendengar percakapan mereka itu.
Akan tetapi ketiga2nya tetap saja duduk tertunduk dengan tenang mereka tak berdaya, karena
kedua belah tangan masing2 dibelenggu kebelakang erat2
.
— Sampai saat akan menghadapi hukuman maut, mereka tak menunjukan rasa takutnya.
Mereka telah menyerah pada Dewata Yang Maha Agung, Maha Kuasa serta Maha sayang dan asih.
Rasa cemasnya telah hilang lenyap dan sedikitpun mereka tak mengeluh.
Mereka telah percaya penuh, bahwa apapun yang akan terjadi adalah kehendak Dewata Yang Maha
Agung.
— Berhala ! Bawalah calon permaisuriku keatas geladak, agar ia turut serta menyaksikan segala
keputusanku ini . . . .. Perintah Kobar kemudian.
Sejenak kemudian semua priyagung yang berada digeladak perahu itu bergeser, untuk memberi jalan
pada seorang wanita yang berkerudung putih dan dikawal oleh Berhala.
Semua hadirin segera membungkukkan badannya sebagai penghormatan atas hadirnya calon permaisuri
itu.
Namun puteri berkerudung putih itu sedikitpun tak menghiraukan akan penghormatan yang diberikan.
Ia tetap berjalan tenang dengan langkahnya yang kecil2 matanya memandang tajam kedepan dengan
pancaran sinarnya yang penuh wibawa. la adalah Indah Kumala Wardhani semua yang hadir diam
terpaku tak bergerak.
Dengan tangan yang masih terbelenggu serta duduk bersila Sontani berpaling sesaat kearah
Indah Kumala Wardhani dan kemudian tertunduk kembali. la tahu bahwa saat ini sang maut telah
berada diubun2nya; DETAK jantung yang berdebar2 ditekannya sendiri untuk kembali tenang; Tak sudi ia
mengeluh. Dan tak sudi pula ia merengek-rengek meminta belas kasihan Kobar agar jiwanya dilindungi.
Dan demikian pula kiranya perasaan Braja Semandang dan Khut Chandra.
Mati ditangan musuh, sebagai tamtama adalah merupakan hal yang wajar.
Akan tetapi . . . . demi menyaksikan hadirnya Indah Kumala Wardhani yang sebentar lagi akan
menyerah menjadi istrinya Kobar, mereka tak rela Rasa hatinya akan membrontak, akan tetapi apa
daya! Mereka telah dibelenggu erat2 hingga tak mungkin dapat melepaskannya.
Benarkah Indah Kumala Wardhani akan menyerah sedemikian saja ? Jika tidak, mengapa lndah
Kumala Wardhani sudi datang memenuhi panggilan Kobar? Bukankah ia dapat berbuat sesuatu untuk
menentangnya ? Melawan ataupun bunuh diri? Akan tetapi kesempatan untuk melayangkan angan-
angan itu tiba-tiba berhenti seketika.
Indah Kumala Wardhani yang kini berada kira kira tiga langkah lagi dari Kobar, tiba-tiba berdiri
tegak serta membuka dengan renggutan pada krudungnya sendiri.
— Bangsat pengkhianat Kobar! trimalah hadiahku ini! — serunya.
Bersamaan dengan lenyapnya seruan Indah Kumala Wardhani, sebuah tusuk konde melesat
bagaikan kilat mengarah dada Kobar.
Serangan lemparan tusuk konde yang tidak diduga sebelumnya membuat Kobar terkesiap. sesaat. Ia melompat tinggi kesamping untuk menghindari senjata rahasia yang aneh itu, sambil berseru
mengejek dan menghunus pedangnya.
— Ha haaa haaa ha! tak kusangka bahwa calon istriku dapat pula bermain main dengan tusuk
kondenya!!!
Namun walaupun ia terhindar dari bahaya maut itu akan tetapi bulu tengkuknya berdiri juga.
Karena ternyata lengan kirinya masih dapat tergores dengan mengeluarkan darah segar.
Kiranya serangan yang dilancarkan oleh Indah Kumala Wardhani tidak berhenti hanya sekian
saja, sebagai cucu dari Ajengan Cahaya Buana yang sejak kecil mendapat warisan ilmu kanuragan dan
membenci sifat-sifat kejahatan, ia menjadi lebih marah setelah mengetahui serangannya yang pertama
gagal.
la maju selangkah sambil melepaskan angkin sutra dari pinggangnya, dan bersamaan dengan
berkelebatnya angkin sutra merah ditangan kanannya itu, dua buah tusuk kondenya dilemparkan
beruntun mengarah kepala dan dadanya Kobar.
— Sambutlah senjataku pamungkas ini serunya!
Saat itu Kobar belum berdiri tegak, dan kiranya tak mungkin untuk melompat menghindar.
Pedang pusaka ditangan kanan Kobar berputar cepat sambil merendah, menghindari
melesatnya tusuk konde emas yang mengarah kekepalanya bagaikan sambaran kilat :Criiiing! Sebuah
tusuk konde terkena sambaran pedang pusaka Kobar hingga terpental dan jatuh tertancap diatas
geladak tepat dihadapan Sontani yang sedang duduk tak berkutik.
Akan tetapi, tiba-tiba hadirin yang diam terpaku melihat ketangkasan Kobar itu, kini menjadi
gaduh.
Karena bersamaan dengan terpentalnya sebuah tusuk konde, Kobar tiba2 beseru tertahan sambil
terhuyung huyung kebelakang tiga langkah dengan mendekap pada mata sebelah kirinya. Aduh —!
Kiranya ia kurang waspada dan sebuah tusuk konde lagi mengarah dadanya kini tepat mengenai
mata sebelah kiri, secara kebetulan karena pada saat itu ia merendah.
Lebih sejari tusuk konde itu menghujani dimata kirinya dan darah mengalir deras.
— Jahanam iblis betina!— Saksikan dulu sesajiku.— Seru Kobar sambil membalikkan badannya
serta mengayunkan pedang pusakanya dalam gaya „tebangan maut„ mengarah leher Sontani yang
sedang duduk dengan terbelenggu.
— Aaaiiiii ! — Suatu jeritan panjang melontar dari mulut Indah Kumala Wardhani dan
bersamaan dengan jeritannya, ia langsung menubruk Sontani yang sedang duduk diambang maut.
Kiranya sebagai seorang putri, ia tak tega mehhat kekejaman Kobar yang akan merenggut jiwa
Sontani.
Dan lebih dari itu, iapun ingin mengadu jiwa demi melindungi Sontani kekasihnya.
Tiba tiba perahu layar itu bergoncang-goncang keras . . . . Pedang pusaka Kobar yang hampir
mengenai sasaran terbentur pada sebuah pedang pusaka lain yang berkelebat tepat menghadang
arahnya.
Yoga Kumala dengan pakaian hitam yang basah kuyub telah berada dihadapan Kobar dengan
pedang pusaka terhunus.
Beratus-ratus tamtama kerajaan Pagar Ruyung dengan pakaiannya yang basah kuyub mengikuti
jejak Yoga Kumala dan langsung menyerang para priyagung yang berada digeladak itu.
Rencana pesta upacara perkawinan kini menjadi pertempuran yang besar.
Suatu serangan yang tiba2 dan tak terduga sama sekali, Jeritan ngeri terdengar susul-menyusul diselingi oleh gemerincing beradunya senjata. Pertempuran berlangsung sengit, dan telah banyak pula
kepala manusia terpisah dart badan serta jatuh tercebur di Sungai Musi.
— Haaai Kobar!! Hukumaa maut untukmu sebagai pengkhianat, kini telah tiba pada saatnya? maka
segeralah mohon ampun pada Dewata, sebelum kau menghadapNya!! — Seru Yoga sambil menyerang.
— Haa Haaa! Jahanam budak penjilat! Yoga Kumala. Kedatanganmu adalah mengantar jiwa. Maka menyerahlah sebelum terlambat !—
Membalas demikian Kobar sambil melompat kesamping menghindari serangan Yoga Kumala
yang bertubi-tubi dan membalasnya pula dengan jurus-jurus pedang warisan ayahnya si Ular Merah
yang terkenal ampuh itu.
Walaupun matanya yang kiri telah terluka dan menjadi buta. namun Kobar yang shakti itu masih
juga dapat mengimbangi ketangkasan Yoga Kumala.
Dua pedang pusaka berkelebat menyambar-nyambar pada masing-masing lawan, dan sebentar-
sebentar terlihat muncratnya percikan api karena beradunya kedua pedang pusaka.
Sementara itu Sontani. Braja Semandang dan Ktut Chandra telah terbebas belenggunya berkat
bantuan Talang Pati, kini mereka telah mengamuk dalam kancah pertempuran.
Dengan pedang rampasan Sontani menyerang Berhala. Sedangkan Braja Semandang menghadapi Kelingi
yang sedang mengamuk punggung bagaikan Banteng terluka.
Empat priyagung tamtama pasukan Kobar mengurung Talang Pati dengan senjatanya masing2
.
Namun Talang Pati yang bersenjatakan cambuk ular dan golok panjang, murid setia Mbah Duwung dan
murid terakhir dari kakek Dadung Ngawuk yang shakti itu dengan mudah ia dapat merobohkan keempat
lawannya. Belum sampai sepuluh jurus keempat lawannya telah roboh menjadi darah dan jatuh terjebur
terbenam arus Sungai Musi.
Cepat Talang Pati melompat kesamping dan hendak membantu Yoga Kumala. Akan tetapi
kiranya ini tak dikehendaki oleh Yoga.
— Kakang Talang Pati! biarlah pengkhianat Kobar ini mati ditanganku! Dan Bantulah teman-
teman yang lain! Elak Yoga Kumala.
Dikala itu, waktu tengah malam. Langit biru membentang cerah, dan bulan nampak bulat
diketinggian dengan memancarkan cahayanya yang terang remang2
.
Bintang bintang berta buran diangkasa.
Awan putih bagaikan kapas tipis bergantungan terpencar2 merupakan hiasan yang indah.
Air sungai Musi yang keruh mengalir bercampur lumpur kini menjadi kemerah merahan karena
bercampur darah. Mayat-mayat yang terapung terbawa arus segera lenyap menjadi santapan ikan-ikan
buas. Suatu sesaji besar bagai keagungan Sungai Musi.
Pertempuran masih berlangsung terus dengan sengitnya tiba-tiba beratus-ratus panah berapi
berlintasan diudara dan perahu-perahu layar yang berlabuh disekitarnya menjadi lautan api. Kiranya
pasukan Kerajaan Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Ruyung atas perintah Damar Kerinci telah datang
membantu pasukan Yoga Kumala.
Disela-sela asap hitam yang bergulung gulung membumbung keangkasa dan api yang menjilat-jilat itu,
pertempuran sengit tengah berlangsung pula.
Beberapa perahu-perahu layar tenggelam didasar Muara Sungai Musi dengan diiringi suara
jeritan-jeritan ngeri.
Pun bersamaan waktunya, nampak disebelah barat diatas Kota Raja Kerajaan Sriwijaja asap
hitam bergulung gulung membumbung tinggi dan api menyala menjilat jilat diangkasa. Langit yang
tadinya cerah cemerlang, kini menjadi gelap tertutup awan hitam semburat merah.
Pertempuran besar di Kota Raja, kiranya tekah mengakhiri sejarah keagungan Sriwijaya.
Demi melihat lautan api disekitarnya. Kobar segera menggagalkan serangannnya. Ia melompat tinggi
tinggi dan Iangsung menceburkan diri di Sungai Musi yang deras mengalir.
Pertempuran terhenti dengan sendirinya.
Musuh yang masih hidup segera membuang senjatanya masing-masing tanda menyerah. Berhala dan Kelingi mati dengan kepala terbabat pisah dari badan oleh amukan Sontani dan Braja
Semandang.
Suara genderang bertalu dengan diiringi derap langkah kaki kuda yang beribu-ribu terdengar
didaratan tebing Muara Sungai Musi Pasukan Keradiaan Negeri Tanah Melayu Pagar Ruyung dibawah
pimpinan Bintang Minang telah tiba untuk menyambut Yoga Kumala beserta pasukannya.
Dalam sambutan besar itu, Manggala Yudha Bintang Minang berkenan pula memberikan
anugerah gelar "Pahlawan Pengemban Sumpah Palapa terachir" pada Yoga Kumala.
Fajar telah merekah diufuk timur, dan cahayanya yang cerah semburat kuning keemasan
memancar menerangi buana.
Bendera-bendera Sang Saka "Dwiwarna" berkibar kibar dengan megahnya disepanjang jalan
seluruh Kota Raja, memenuhi Sumpah " Tan Amukti Palapa ", ialah Sumpah Shakti mendiang Maha Patih
Gajah Mada. (Akhir abadXIV).
Tak lama kemudian Kota Raja mengadakan pesta besar untuk merayakan hari perkawinan
ampat pasang temanten agung.
YOGA KUMALA dengan KTUT CHANDRA
S o n t a n i mendapatkan dengan Indah Kumala Wardani
Braja Semandang dengan Sampur Sekar
Sedangkan Ratnasari hidup berbahagia dengan suaminya Talang Pati.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar