Langsung ke konten utama

PENDEKAR DARAH PAJAJARAN JILID 05 B A G I A N III

SEMUA pasukan turut serta bubar dan masing - masing berpisah jalan menjadi kelompok2
kecil
mengikuti perintah Tumenggung Yoga Kumala.
Dengan didampingi oleh Sontani, Braja Semandang serta Dirham si penunjuk jalan dan dikawal
oleh sepuluh tamtama berkuda Yoga Kumala bergerak kearah selatan mengikuti mengalirnya Sungai
Lawas.
Ia bermaksud untuk menghubungi pasukan yang berada disebelah Selatan dibawah pimpinan
Senapati Damar Kerinci dengan melintasi hutan belukar.
Hari itu masih pagi-pagi buta tatkala Yoga Kumala dengan rombongannya menempuh
perjalanan di hutan belukar mengikuti tebing tebing sungai Lawas yang berliku - liku dan curam serta
licin.
Kabut tipis yang semua mengaburkan pemandangan pelan-pelan membumbung ke angkasa, dan
mataharipun terbit dengan riahnya di ufuk timur memandikan daerah hutan belantara. Dan sungai itu
dalam cahaya yang redup, sehingga air sungai layaknya serasa berkilau2an bagaikan kaca cermin.
Kiri kanan sungai tumbuh pohon-pohon raksasa liar yang berumur puluhan tahun mewujudkan
hutan belantara yang tak pernah dijamah oleh angan manusia.
Air embun masih membasahi daun2
sehingga nampak berkilat2
karena tertimpa cahaya
matahari. Lumut hijau bertumbuh subur di-batang2 pohon raksasa yang telah tumbang dan jatuh melintasi tebing2
sungai, dan ditanah-tanah basah serta batu-batu alam bagaikan permadani yang tebal.
Berhari-hari mereka menyusupi hutan belukar dan walaupun tak pernah menghadapi rintangan-
rintangan yang berbahaya, namun perjalanan itu cukup membuat mereka sangat letih. Kadang-kadang 
mereka harus berjalan mengitari rawa2 ataupun berlompatan diatas batang-batang pohon yang 
tumbang melintang. Tidak jarang pula mereka harus berjalan satu demi seorang dengan saling 
berpegangan karena gelap dan licinnya jalan yang dilaluinya. 
Kini mereka telah tiba di Sungai Musi, dan disitulah Sungai Lawas memutahkan airnya, untuk 
kemudian bergabung mengalir menjadi Musi besar. Karena Sungai Lawas adalah hanya merupakan salah 
satu diantara anak cabang Sungai Musi.
Dengan Sampan rakit dari bambu, rombongan Yoga Kumala kemudian menyeberangi Sungai Musi yang 
lebar itu.
Walaupun permukaan airnya nampak tenang, tetapi dibawah permukaan yang tenang itu, sebenarnya 
airnya deras mengalir. Apapun yang tercebur akan segera lenyap dan hanyut terbawa derasnya arus. 
Dan karena amat lebar dan derasnya arus lebih cepat kiranya bila dinamakan "Bengawan". 
Pada tiap2 hari diwaktu pagi hingga gelap malam, banyaklah sampan2 nelayan hilir mudik di 
Sungai Musi itu. Selain para nelayan yang mencari ikanpun banyak pula perahu-perahu pedagang yang 
hilir mudik untuk menuju ke Kota Raja atau-pun sbaliknya. Pendek kata Sungai Musi selain pemberi 
nafkah abadi bagi para pencari ikanpun merupakan jalan raya yang menghubungkan antara desa-desa 
dan kota-kota sekitarnya. 
Bahkan lebih dari pada itu semua Sungai Musi adalah lambang pula bagi kejayaan Kerajaan 
Sriwijaja. Muara Sungai Musi adalah pintu gerbang Kota Raja Kerajaan Sriwijaj, dan merupakan banjir 
besar yang selalu dikunjungi oleh perahu-perahu layar dari pedagang-pedagang besar negeri-negeri 
asing serta utusan2
raja2 negeri asing sekitarnya. 
Akan tetapi waktu rombongan Yoga Kumala menieberangi Sungai Musi, ternyata suasananya 
lain dari pada hari2
 biasa. Tak sebuah perahu nelayan tampak dipermukaan air. Sekelilingnya ternyata 
sunyi sepi. 
Walaupun ditempat dimana ia menyeberang itu sangat jauh dari Muara Bandar Musi, namun keadaan 
biasanya tak demikian.
Hari itu matahari telah condong kebarat mendekati senja. Sebentar lagi akan bertukar dengan 
sang malam. 
Perlahan-lahan mereka mendarat diseberang sambil mengawasi kanan kiri, lalu berjalan 
mendaki tanggul tebing sungai itu yang tak seberapa tingginya. Semua kelihatan letih jalannyapun 
sempoyongan hanya Yoga Kumala dan Sontanilah yang masih tampak tegap dan bersemangat. Akan 
tetapi jika melihat wajahnya, kedua perwira ini diliputi oleh rasa muram serta selalu tegang. Mereka 
saling membungkam dan jarang sekali bercakap-cakap. 
Tiba-tiba saja Dirham mulai bicara memecah kesunyian sambil berjalan disamping Yoga Komala. 
— Gusti Yoga! Keadaan disini biasanya tak sesepi ini !—
— Ya! . . . . . Aku sendiri agak curiga pula demi melihat suasana yang sepi ini. Tetapi . . . . 
gerangan yang terjadi?— Jawab Yoga sambil mengawasi kanan kiri. 
— Untuk dapat melihat lebih jelas sekitarnya, sebaiknya kita mendaki tanggul sebelah barat 
sana yang agak tinggi, Gusti! Kata Dirham sambil menunjuk kearah yang dimaksud . — Ayoooh! — potong Yoga Kumala singkat sambil mempercepat langkahnya. Dan semuanya 
segera turut berlari-larian mengikuti dibelakang Yoga Kumala. 
Semakin ke barat tanggul sungai itu memang semakin menanjak, dan dataran sekitarnya pun 
mulai berbukit - bukit dengan pepohonan-pepohonan yang rindang dan lebat merupakan hutan. 
Jauh disebelah barat selatan nampak remang-remang biru semburat merah. Gunung Kaba yang tegak 
berdiri bagaikan raksasa Kumba Karna yang sedang menelan Surya. Dan dari lereng-lereng Gunung Kaba 
sebelah barat utara itulah Sungai Musi bersumber. 
— Lihatlah Gusti! Kampung jauh disana itu nampak adanya kebakaran! Sontani tiba-tiba berkata 
sambil terengah-engah dan sambil menunjuk dengan tangannya kearah timur pada sebuah desa 
dilembah bawah yang nampak jelas adanya api menyala-nyala di ketinggian. Dan semua cepat berpaling 
mengarahkan pandangan masing-masing pada sebuah desa yang ditunjuk Sontani dengan penuh 
perhatian. 
— Benar apa katamu Son:ani! mari kita segera menuruni tanggul ini dan langsung menuju 
kedesa bawah sana. Mungkin mereka memerlukan bantuan kita. — Sahut Yoga setelah mengawasi 
sejenak dengan tajam. 
— Biarlah saya dengan Braja Semandang yang mendahului ke sana, Gusti. Dan sebaiknya 
Gustiku Yoga berserta pengawal dan Dirham menunggu saja dari kejauhan. 
— Bukankah baiknya demikian. Lurah Braja Semandang? — Sahut Sontani sambil berpaling 
kearah Braja Semandang yang tengah berdiri memandang kearah desa itu dengan menghela nafas 
panjang. 
Dalam hatinya ia merasa amat kasihan pada penduduk desa yang kini tengah menderita akibat 
kebakaran itu. 
— Ya . . . . . ijinkan saya mengawal Panewu Sontani, Gusti!— potong Braja Semandang. 
— Baik, bawalah prajurit-prajurit pengawal ini dan aku dengan Dirham akan mengikuti 
dibelakang! — Jawab Yoga dengan singkat serta mengerutkan keningnya. 
Entah karena apa, tetapi ia merasa was-was. Perasaan nalurinya bekerja cepat dan dalam 
semadhi yang singkat sambil berjalan menuruni tanggni itu, perasaan cemas menyelubungi dirinya. 
Seakan-akan ia tahu bahwa bahaya menghadang didepannya. 
Demi perasaan cemas yang terkandung itu, ia berseru sambil berlari mengikuti Sontani : —
Sontaniiii . .. . jangan kau meninggalkan kewaspadaan ! —
Kini hari telah mulai gelap. Dan mereka hanya kelihatan seperti bayangan-bayangan saja yang 
sedang melayang cepat menuruni tebing yang berliku liku itu. 
Semakin dekat dengan desa yang terbakar itu, semakin terdengar jelas suara jeritan orang-orang 
perempuan dan tangis anak-anak kecil bercampur dengan seruan minta tolong yang menyayat hati. 
Suara titir kentongan sahut menyahut tak ada henti-hentinya dan disambut pula oleh penduduk desa-
desa yang berada disekitarnya. Akan tetapi belum juga api kebakaran didesa yang didatangi itu padam, menyusul kini desa 
disebelah timurnya kebakar. Asap hitam mengepul bergulung2 menjulang tinggi dan api men-jilat2 di 
tengah2
kepulan asap. 
Larinya Sontani bersama kawan-kawannya bagaikan lepasnya anak panah. Tiba-tiba saja lima 
orang bajak laut menghadang dengan kelewang terhunus dihadapannya, hingga ia terpaksa 
menghentikan langkalmja. 
— Aaiiii! Apa yang terjadi didesa ini ? — Tanya Sontani dan Braja Semandang hampir 
bersamaan. Akan tetapi lima orang bersenjata itu tanpa menjawab pertanyaan, lalu langsung 
menyerang dengan senjata masing masing. Kiranya pertempuran tak dapat lagi dihindarkan dan sekejap 
kemudian terjadilah pertempuran sengit. 
Dengan bantuan prajurit pengawalnya Sontani mengamuk, hingga sebentar saja lima orang itu 
terdesak mundur dan lari terbirit-birit. 
Belum juga lima orang itu lenyap dari pandangan, kini menyusul datang tiga orang berkuda dan 
menyerangnya dengan serentak serta tiba2
Seorang diantaranya bersenjatakan tombak bercabang. Bentuk tubuhnya kurus tinggi dengan 
roman mukanya yang bengis menyeramkan. Dua orang lainnya masih muda kira-kira sebaya dengan 
Sontani, dengan bersenjatakan klewang. Sambil menyerang dengan jurus-jurusnya maut yang 
berbahaya orang yang pertama tadi berseru lantang sambil ketawa mengejek. 
— Haiii! Bedebah anak muda! Siapakah kau, berani turut campur urusanku?!—
— Perampok hina ! Menyerahlah kalian ! Aku Panewu Tamtama Sontani dari Pagaruyung datang 
kemari untuk membasmi kalian!—
— Ha Haa Haa haa ! ! Jangan berlagak kesatria disini. Menyerahlah untuk kubelenggu tangan 
kalian! Rupa2nya kalian adalah musuh Kerajaan. — serunya dengan bengis sambil terus menyerang 
dengan senjata tombaknya. Serangan amat ganas dengan jurus2
yang berbahaya serta sukar diketahui 
akan perobahan2nya. Ternyata gerakan gerakannya sangat tangkas dan cepat. Dan diantara lawan ke 
tiga2nya itu, ialah yang paling tangguh.
Para pengawal yang kurang cepat menghindari serangannya sebentar saja terkulai roboh 
ditanah. 
Melihat banyak pengawalnya yang telah menjadi korban keganasan musuhnya itu, Sontani dan 
Braja Semandang mengamuk punggung bagaikan banteng terluka, akan tetapi ternyata lawannya amat 
tangguh. 
Segenap tenaganya telah diperas, namun orang yang kurus tinggi bersenjatakan tombak 
bercabang itu belum juga dapat dirobohkan. 
Sekali lagi Sontani melompat tinggi samhil memekik dengan nada yang tinggi melengking hingga 
memekakkan telinga. Pedang tamtama ditangan kanannya meluncur cepat dalam gaya tusukan langsung 
menyerang Iawan. Akan tetapi sekali lagi lawannya menunjukkan kemahiran yang sangat menakjubkan. 
Ia memacu kudanya untuk menghindari serangan2
sambil meloncat tinggi lepas dari pelana. 
Tombak cabangnya berputar sesaat untuk kemudiam diubah menjadi serangan yang dahsyat kearah 
lambung Sontani, selagi ia diudara menghadapi balasan serangan yang tak diduga itu. Sontani sesaat 
terperanjat dan peluh dingin keluar dari jidatnya. 
Andaikan ia bukan Sontani panewu Tamtama yang shakti tentulah terobek lambungnya. Untunglah bahwa ia masih sempat berjungkir balik diudara sehingga terhindar dari serangan 
maut lawannya.
Pedang tamtamanya cepat berputar selagi ia berjungkir balik dan membentuk sebuah lingkaran 
bagaikan perisai baja. Dua senjata beradu dan masing-masing terkesiap jatuh bergulingan surut 
kebelakang beberapa langkah, sedang kuda tunggangan lawannya lari jauh sambil meringkik, 
meninggalkan tuannya. 
Sementara Braja Semandang sedang sibuk menghadapi dua orang lawan yang tangguh pula. 
namun dalam pertempuran melawan dua orang itu ia tak merasa terdesak. bahkan kini Braja 
Semandang telah berhasil merobohkan dua ekor kuda lawan, hingga mereka terpaksa bertempur terus 
diatas tanah. 
Tiba tiba terdengar derap langkah kuda di-celah2
suara jeritan perempuan-perempuan dan anak-
anak disekitar tempat kebakaran. Semakin lama semakin jelas, dan nampaknya bukan hanya seorang 
penunggang kuda tetapi kiranya lebih dari lima belas orang. 
Sambil bertempur menghadapi dua orang lawannya, Braja Semandang berpaling sesaat untuk 
mengetahui para pendatang yang berkuda itu. 
Ia melihat jelas adanya dua orang berkuda dengan mengenakan pakaian kebesaran sebagai 
priyagung tamtama musuh Dan alangkah terperanjatnya, setelah mengetahui dengan jelas, bahwa 
kedua orang itu tak lain dari pada Kobar dan Berhala. Belum juga Braja Semandang sempat menyambut 
kedatangan Kobar dan Berhala, dalam saat ia sedang berpaling, tiba-tiba punggungnya, dirasakan panas 
bagaikan tersengat dan pandangan matanya menjadi kian kabur remang. Ia jatuh terkulai ditanah dan 
tak sadarkan diri sebilah pisau belati bersarang tepat dipunggungnya. Itulah lemparan pisau dari 
Tumenggung Anom tamtama Kobar yang terkenal shakti. 
— Jangan dibunuh! Seru Kobar sambil turun dari kudanya. Suaranya lantang dan berwibawa. 
— Ikat! Dan bawalah itu kembali ke pesanggrahan di Muara.— Tiga orang pengawalnya segera 
turun dari peIana kuda dan kemudian membelenggu kedua belah tangan Braja Semandang yang jatuh 
terkulai tak sadarkan diri, serta mengangkatnya keatas pelana kuda . . . . sepuluh orang berkata 
diperintahnya oleh Kobar untuk mengawal Braja Semandang yang masih terkulai diatas pelana kuda 
dengan tangan terbelenggu itu. Dan sekejap kemudian Braja Semandang teclah dibawanya kabur dalam 
gelap malam yang kelam itu kearah Timur. 
Bersamaan dengan robohnya Braja Semandang, Sontani yang sedang bertempur dengan 
sengitnya tiba2
tubulmja tersentak oleh seutas tali yang melingkar erat dibadannya, hingga ia jatuh 
bergulingan ditanah. Semakin ia berusaha untuk melepaskan diri dari jeratan itu, ternyata semakin erat 
tali itu menjeratnya. Hampir2
ia lupa, bahwa tangan kanannya masih menggenggam pedang 
tamtamanya, cepat tangan kanannya bergerak dan sekali tebas putuslah tali yang menjerat badannya 
itu. Ia bergulingan ditanah beberapa langkah kesamping menghindari datangnya serangan yang tiba-tiba 
dari lawan yang masih dihadapi serta serangan gelap dari belakang. 
Kini Sontani berdiri tegak dengan kuda kudanya yang kokoh kuat, siap menunggu datangnya 
serangan dari semua lawan. Alangkah terkejutnya setelah mengetahui dengan jelas bahwa dua orang 
pendatang baru yang kini berada dihadapannya adalah Kobar dan Berhala. Mimpikah ia? Hampir-hampir 
ia tak percaya pada penglihatan sendiri. 
la terkejut dan sangsi bukan karena takut. Bukan! sekali-kali bukan. Seratus Kobar, Sontani tak 
akan gentar menghadapi. Kalah atau menang, baginya bukan soal. 
Sekalipun Dewa Maut akan merenggut jiwanya, ia tak nanti akan lari terbirit-birit. Ia benci pada 
sifat-sifat pengecut dan pengkhianatan. Tak salah lagi bahwa yang tengah kuhadapi ini adalah pengkhianatan2 Kobar dan Berhala,— pikirnya. 
Darah mudanya tersirap hingga wajahnya menjadi merah matanya seakan-akan menyala, 
memandang tajam kearah Kobar dan Berhala. 
— Pengkhianat2
!!! desisnya. Ingin ia melontarkan kata2
lebih banyak lagi, namun bibirnya hanya 
bergerak2 menelan kemarahan yang meluap2
— Haiiii!! Budak Sontani!! Lebih baik kau menyerah dan menjadi budakku daripada menjadi 
budak Perwira-perwira tamtama Kerajaan. — Haa ilaaa Ha Haaaa..... Sahut Kobar sambil ketawa ter-
bahak2. 
— Bukankah kawan - kawan pasukanmu hancur berantakan dan bercerai berai, dan kini, kau 
tersesat sampai di sini? Dimana Yoga Kumala yang kau andalkan itu? Suruhlah lekas keluar dari tempat 
persembunyiannya. Ataukah sengaja ia tak mau keluar dari tempat persembunyiannya, dan kaulah yang 
akan dijadikan korban demi untuk keselamatan jiwanya Haa . . . Ha . . . . Haaaa… Haa ..Haaa!!!!!!
— Pengkhianat berlancang mulut. Kembalikan Braja Semandang dan bersiaplah untuk 
kubelenggu kedua belah tanganmu dan kuhadapkan pada Gustiku Yoga Kumala. — Berseru demikian 
Sontani sambil menyerang langsung dengan tamtamanya kearah Kobar. Kiranya ia telah tak dapat 
menahan kemurkaannya, lebih lama lagi. 
Sebagai tamtama yang berpengalaman luas dan memiliki kesaktian, Kobar telah dapat menduga 
akan datangnya serangan yang, tiba-tiba itu...Ia bergeser selangkah kesamping kanan sambil menghunus 
pedang pusakanya dengan tangan kanannya. 
Gerakannya amat cepat dan tangkas, sehingga sukar diikuti dengan pandangan mata. Dua 
senjata beradu dengan dahsyatnya hingga mengeluarkan percikan api berpijaran. 
Kedua-duanya melompat surut kebelakang satu langkah dan masing-masing merasakan pedih 
ditelapak tangannya. 
Peluh dingin keluar dari dahi Sontani setelah ia mengetahui bahwa pedang tamtama yang masih 
erat digenggam ditangan kanannya ternyata terbabat patah diujungnya. 
— Ha Ha Ha Haaa Haaa!! Sontani budak kecil! masihkah kau hendak melawan dengan 
pedangmu yang tumpul itu?! Ayoooh! panggilah segera Yoga Kumala majikanmu. Agar kalian dapat 
kuikat jadi satu dengan Braja Semandang —
Bedebah pengkhianat. Tak usah kau menyebut-nyebut Gustiku Yoga Kumala! Sambutlah ujung 
pedangku yang tumpul ini!! —
Bersamaan dengan kata seruannya yang terachir, Sontani melompat sambil menyerang kembali 
dengan tebangan dan tusukan yang berangkai. Serangannya sangat berbahaya dan dahsyat . Dan kali ini 
ia memang sengaja hendak mengadu jiwa dengan Kobar. Kebenciannya telah memuncak, rasa2nya ia 
muak melihat wajah lawannya. Dendam kesumat yang lama dikandungnya, kiranya ia ingin 
menumpahkan seluruhnya. Akan tiba-tiba Kobar meloncat jauh kebelakang menghindari serangan 
sambil ketawa terbahak dan berseru. 
— Kelingi! Berhala! tangkaplah budak kecil itu hidup-hidup dan bawalah segera bersama2
dengan Braja Semandang tawanan kita tadi! —

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa