— Kita harus dapat bertahan sampai petang nanti, dan ……….. — Belum juga ia dapat
mengakhiri bicaranya, tiba-tiba pasukan musuh yang mengurung dari sebelah utara menjadi berantakan
bercerai berai. Suara ringkikan kuda dan jeritan-jeritan ngeri susul-menyusul bercampur - aduk dengan
suara beradunya senjata serta derap langkah kuda yang tengah menyerbu dan tak ada hentinya.
Debu disebelah utara mengepul lebih dahsyat hingga gelapnya pandangan. Ratusan tamtama
lawan jatuh bergelimpangan ditanah dengan mandi darah. Dan kini suasana menjadi semakin gaduh.
Ternyata induk pasukan dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang dipimpin oleh Senapati
Manggala Yudha yang bergelar Bintang Minang, telah tiba pada saat pasukan Yoga Kumala hampir putus
asa. Dibawah pimpinan Bintang Minang, pasukan itu langsung menyerang musuh dari lambung kanan,
hingga lawan kocar-kacir dibuatnya.
Dari balik semak-semak belukar di dataran tebing sungai Tungkal, pasukan Bintang Minang
langsung menyerbu lawan secara bergelombang yang tak ada putusnya, dengan diiringi sorak sorai yang
gemuruh memekakkan telinga. Sesungguhnya jumlah kekuatan pasukan penyerang seluruhnya dari
Kerajaan Negeri Tanah Melayu itu, walaupun berserta induk pasukan masih juga tak seimbang jika dibandingkan kekuatan lawan.
Akan tetapi karena penyerbuan yang dilancarkan oleh Bintang Minang itu secara tiba-tiba dan
tak diduganya sama sekali oleh fihak lawan, maka tak heranlah apabila lawan menjadi berantakan dan
terpaksa menderita banyak korban. Lagi pula siasat menyerang dengan secara bergelombang itu,
membuat musuh sukar untuk mengetahui dengan pasti akan kekuatan penyerang yang sebenarnya.
Banyak diantara para perwira tamtama lawan mengira, bahwa kini merekalah yang terkurung
oleh pasukan penyerang yang amat kuat.
Dan hampir sepertiga bagian dari kekuatan lawan berebut ducung lari meninggalkan medan
pertempuran menuju kearah timur.
Sebaliknya pasukan Yoga Kumala yang tadinya hampir putus asa, kini semangat tempurnya
menjadi menyala-nyala kembali. Daya kekuatan para tamtama yang hampir lenyap, menjadi pulih
seketika, bagaikan rumput tersiram oleh embun pagi.
Dengan bersorak sorai gegap gempita, mereka bertempur dengan semangat yang menyala-
nyala. Dan harapan kemenangan difihaknya telah membayang kembali.
Musuh yang tak sempat menghindarkan diri dari amukan para tamtama, tak ayal lagi roboh
terguling dengan tak bernyawa. Dan korban peperangan yang dahsyat itu, kini bertambah lebih banyak
lagi.
Kini pasukan dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu berganti menguasai medan pertempuran.
— Tumenggung Yoga !! Mundurlah beserta pasukanmu yang telah lebih itu, dan biarlah aku
yang mengganti kedudukanmu ! — Seru Bintang Minang pada Yoga Kumala.
— Gustiku Bintang tak usah kuatir akan diri saya— jawabnya singkat. — Kedatangan Gustiku
telah memulihkan tenaga kekuatan kami semua katanya sambil masih terus bertempur.
Akan tetapi kejadian yang nampaknya menguntungkan itu, kiranya tak berlangsung lama
sebagaimana dikehendaki oleh pasukan penyerang. Karena tiba2
saja, suara Senapati Sanggahan Alam
menggema lantang bagaikan guntur disiang hari — Haiiii ! Seluruh tamtamaku dari kerajaan Sriwijaya !!
Atas nama Sri Baginda Maharaja kuperintahkan, tumpaslah musuh kita !!! Kekuatan kita masih jauh
lebih besar dari pada kekuatan mereka ! Ikutilah aku !—
Berseru demikian Sanggahan Alam meloncat turun dari punggung gajahnya dan langsung jatuh
terduduk diatas pelana kuda tunggangannya yang telah berada di-tengah-tengah para pengawalnya.
Perisai baja ditangan kirinya dilempar jauh-diauh, dan dengan pedang pusakanya yang telah terhunus
ditangan kanan ia mulai mengamuk ditengah-tengah kancah pertempuran. Kudanya yang tinggi besar
berulaskan hitam kemerah-merahan itu seakan2
telah sehati dengan tuannya.
Ternyata Sanggahan Alam sebagai seorang Senapati Manggala Yudha memiliki kesaktian yang
amat tangguh. Gerakan nya sangat tangkas, dan pedang pusakanya berkelebatan bagaikan kupu2
yang
tengah menari.
Pusakanya yang telah bercerai-berai, kini merapat bersatu kembali dan bertempur dengan
gigihnya, mengikuti jejak pimpinannya. Kiranya Sanggahan Alam yang telah berpengalaman luas itu tak
mudah menyerah dengan hanya diperdayai oleh siasat yang demikian.
— Ha ha hahaaa …… ha ha ha ….. haaaaa ……! Tumenggung Yoga Kumala ! ! Aku Sanggahan
Alam tak mungkin dapat kau tipu secara permainan anak2
! — Serunya lantang sambil memacu kudanya
ke arah Yoga Kumala.
Suara tawanya yang terbahak bahak terdengar menyeramkan. Jelas bahwa pemusatan tenaga
dalamnya mengiringi gelak tawanya yang menggema itu.
Akan tempi sewaktu Yoga Kumala siaga hendak menyambut datangnya Sanggahan Alam, tiba2
Bintang Minang telah melintang dihadapannya, sambil berseru. Mundur !II Dan serahkan priyagung
musuh padaku !—
Sesaat kemudian dua orang Senapati Manggala Yudha itu telah bertempur dengan sengitnya.
Dikala itu, matahari telah mulai memasuki garis cakrawala disebelah barat, dan kini tinggal
nampak separo saja. Pancaran sinarnya yang merah lembajung menghiasi seluruh alam. Dan perlahan-
lahan haripun menjadi gelap remang2
.
Tiba2
kuda tunggangan Bintang Minang melompat tinggi melampaui ber-puluh2
tamtama yang
mengurungnya dan lari kencang meninggalkan gelanggang pertempuran dengan diikuti oleh Yoga
Kumala, Sontani, Braja Semandang berserta seluruh pasukannya yang masih ada, menuju ke Barat.
Dan hanya suara Bintang Minanglah yang terdengar sayup-sayup dari kejauhan : — Sanggahan
Alam! Lain waktu dihari yang cerah kita tentu dapat bertemu kembali '!!—.
Kini pertempuran yang belum berakhir, berhenti dengan sendirinya.
Kedua pasukan yang bermusuhan, masing-masing mening-galkan gelanggang memenuhi
perintah pimpinannya.
Bintang Minang dan Yoga Kumala, berserta seluruh pasukan menuju ke arah barat, sedangkan
Sanggahan Alam mundur ke arah Timur dengan diikuti oleh segenap pasukannya.
Dilembah hutan utara sungai Batangharileka dan Sungai Lawas itulah pasukan Kerajaan Negeri
Tanah Melayu Pagar Ruyung kemudian membangun kubu-kubu darurat untuk beristirahat serta hendak
mengatur siasat selanjutnya.
— Bagaimana pendapatmu tentang kelanjutan peperangan ini, Tumenggung Yoga Kumala ?
Bintang Minang membuka percakapan sambil meneguk minumannya setelah ia berada dalam kemah.
— Gustiku Bintang Minang tentunya lebih mengetahui tentang hal ini, dan saya akan tetap
patuh menjunjung titah-titah Gustiku ? — jawab Yoga Kumala singkat.
— Kegagalan ….!!! Kegagalan yang membawa banyak korban ! — Geramnya Bintang Minang
pada diri sendiri. —
— Aneh ...... !! Mengapa kita harus mengalami kegagalan yang sedemikian rupa …… !!!
Wajahnya muram dan keningnya berkerut. Ia memandang tajam-tajam lurus kedepan sambil
meremas-remas batu yang berada dalam genggaman tangan kirinya hingga hancur mendebu. Mulutnya
terkatub rapat kembali dengan giginya berkerot gemertakan. Seakan-akan ia lupa bahwa dihadapannya
terdapat banyak perwira tamtama yang sedang duduk menghadap.
Namun satupun diantara para perwira tamtama itu tak ada yang berani mengucapkan sepatah
kata. Semuanya duduk dengan kepala tertunduk.
Yoga Kumala dan Sontani pun menjadi terdiam pula. Mereka tahu, bahwa Bintang Minang
panglimanya sedang murka.
Marah karena mengalami kegagalan dalam melakukan serangannya. Kemarahan yang
tercampur dengan rasa penyesalan serta kesedihan yang tak terhingga. Marah, karena siasat yang telah
diperhitungkan berbulan-bulan dengan cermat, tiba-tiba hancur berantakan dalam waktu satu hari saja.
Dan sedih, karena banyaknya tamtama yang setia terpaksa gugur dimedan laga, dan belum lagi
terhitung banyaknya tamtama yang luka2
.
Suatu kegagalan yang tak diduga-duga sama sekali.
Dan yang paling mengesalkan ialah, tak diketahuinya sebab-musabab dari kegagalan siasatnya
itu.
Seandainya saja bukan Yoga Kumala yang memimpin pasukan penyerang pertama, mungkin
akan mengalami kehancuran seluruhnya, pikirnya. Dan diam-diam ia memuji pula dalam hati akan keshaktian serta sifat-sifat ksatriaan Yoga Kumala.
Semula Bintang Minang mengharap akan mengetahui sebab musabab kegagalan serangannya
dari Yoga Kumala, akan tetapi ternyata Yoga Kumala sendiri tak mengetahui sama sekali akan latar
belakang dari kegagalan serangannya itu.
Tetapi ini semua telah terjadi. Dan ia sebagai manusia biasa tak kuasa akan merobah sesuatu
yang telah terjadi,
Sampai disini pikirannya yang keruh perlahan-lahan menjadi tenang kembali.
Ia masih harus berterima kasih pada Dewata Yang Maha Agung, bahwa hari tadi tak mengalami
kehancuran seluruhnya.
*
* *
Komentar
Posting Komentar