MALAM ITU amat gelap. Awan hitam tebal menggantung di angkasa, dan hujan rintik -
rintikpun mulai turun, Suara guntur gemuruh susul menyusul dalam malam yang pekat itu, diseling
dengan suara mengamparnya petir yang berkilatan menyambar nyambar diudara. —
Barisan tamtama pemanah yang berkuda sebanyak kira2 100 orang dibawah pimpinan Yoga
Kumala sendiri itu masih saja bergerak maju dengan pesatnya, menyusuri tebing-tebing sungai
Batangharileka yang amat licin dan berliku-liku kearah muara.
Mereka basah kuyup dan sesekali ada yang jatuh terperosok karena bertekok-lekoknya serta
licinnya jalan yang di laluinya. Namun pasukan berjalan terus tanpa mengindahkan gangguan hujan
maupun gelapnya sang malam. — Malam ini kita harus dapat menguasai hutan yang berada dihulu sungai Banyuasin itu, — kata
Yoga Kumala pada Sontani, sambil memacu kudanya.
— Tugas ini sesungguhnya Gustiku dapat menyerahkan sepenuhnya pada diri saya, — jawab
sontani yang berkuda disampingnya.
— Pendapatmu memang benar. Tetapi aku bermaksud ingin mengetahui sendiri keadaan
dihutan itu. Karena jika mungkin, sebelum fajar pasukan seluruhnya akan kupindahkan kesitu. —
—O , begitukah maksud Gusti Yoga! Jika demikian, sayapun hanya mentaati perintah Gustiku! —
Pembicaraan masing-masing terlalu singkat, hingga sukar untuk diikuit oleh yang mendengar
akan percakapannya.
Kedua duanya menunjukkan wajah yang bersungut-sungut. Langkah kudanya berderap tetap, clan
mereka berduapun selalu berjajar berdampingan, disusul oleh para tamtama yang berkuda urut-urutan
memanjang dibelakangnya.
Dataran terbuka yang luas itu, kini teIah dilaluinya hampir separo.
Tiba-tiba jauh diketinggian sebelah utara tenggara terlihat melintasnya panah api susul
menyusul lungga tiga kali. Dan bagaikan terhalang rintangan tinggi yang menghadang didepannya, Yoga
Kumala mengekang tali lis kudanya dengan santakan karena terperanjat, hingga sikuda berhenti seketika
dengan berdiri sesaat diatas kedua kakinya belakang sambil mengeluarkan suara ringkikan.
— Ah! Terlambat! — Geramnya.
— Apa yang dimaksudkan dengan terlambat, Gusti? — Sontani turut pula menghentikan langkah
kudanya secara tiba-tiba, sambil bertanya dengan penuh kecemasan.
Sesungguhnya ia pun melihat pula adanya panah api yang berturut-turut melintasi di ketinggian
jauh di sebelah teng gara itu, akan tetapi sedikitpun ia tak tahu akan arti maksudnya.
Dan kini tanpa mendapat penjelasan dari Yoga Kumala, tiba-tiba ia mendengar desisan gumam
Yoga Kumala yang jelas menunjukkan rasa penjesalan
— Gerangan apakah yang menjadikan murkanya Gustiku ini — pikirnya.
— Sontani! — Esok fajar perang terbuka sudah dimulai! Cepatlah kau kembali, dan perintahkan
seluruh pasukan bergerak maju.
Sebelum fajar kita harus dapat mengepung kota Raja Iawan dari sebelah barat! Ketahuilah,
bahwa panah api yang baru saja terlintas itu adalah isyarat, bahwa perang telah diumumkan. Dan
pasukan-pasukan penyerang kita yang lain, tentu telah mengepungnya dari sebelah timur dan selatan.
Kini tinggal kita sendirilah yang terlambat — Aku beserta pasukan panah yang ada ini akan menduduki
hutan yang berada di depan kita itu, sambil menanti kedatanganmu berserta seluruh pasukan?! —
Perintah Yoga Kumala dengan tegas...
Seakan-akan tak ada waktu lagi untuk menjelaskan lebih lanjut.
Akan tetapi sebagai seorang perwira tamtama yang cerdas, Sontani cepat dapat menangkap isi
perintah keseluruhannya. Pun ia segera dapat menarik kesimpulan, bahwa panah api yang baru saja
dilihatnya tentulah suatu isyarat dari Bupati anom Kobar.
Dengan tangkasnya ia memutarkan kudanya, serta memacunya, setelah mengucapkan singkat:
— perintah Gustiku saya junjung tinggi?! —
Sementara itu Yoga Kumala baserta pasukan tamtama yang berkuda berjalan terus, menyusuri tebing tebing sungai Batanghariteka yang berkelok-kelok dan licin itu dalam kegelapan malam, dengan
didampingi oleh Dirham si penunjuk jalan.
Sepatahpun Yoga Kumala tak berkata, selama ia menempuh perjalanan.
Mulutnya terkatub rapat, dan sebentar-sebentar sambil memacu kudanya ia mengusap air hujan
yang membasahi muka dengan lengan bajunya.
— Mengapa isyarat panah api itu munculnya dengan tiba-tiba saja, dan tak menurut ketentuan
yang telah digariskan oleh rencana semula?
Bukankah isyarat panah api itu seharusnya lusa malam baru akan muncul? Ataukah ada sesuatu
kejadian yang tak terduga-duga, hingga terpaksa perang besar harus dimulai esok fajar? —
Menurut perhitungan Yoga Kumala, ia beserta pasukannya telah akan tiba di hulu Sungai
Banyuasin dua hari lebih cepat dari pada rencana.
Akan tetapi kini bahkan hampir hampir saja ia beserta pasukan menjadi terlambat
Atau, mungkinkah Kobar mendahului membuka serangan dari muara sungai Banyuasin sebelah
timur Kota Raja sesaat setelah surat penantang perang sampai ditangan musuh? Akan tetapi apabila
demikian, bagaimana nasib Sang Senopati muda yang bertugas mengantarkan surat penantang perang
itu? Tentulah mereka semua menjadi tawanan musuh.
Ah, . . .. . itu kiranya tak mungkin. — Atau . . . . bocorkah rahasia siasat kita? — Sampai disini
pikiran Yoga Kumula menjadi kalut. Jantungnya berdebar debar penuh rasa kecemasan.
Ah, . . . . tak mungkinl — Ia mengbibur diri sendiri.
Namun masih saja rasa cemasnya berkecamuk didalam benak hatinya. Mungkin terjadi
sebaliknya. Musuh yang memulai melanggar tata susila Yudha, dan menawannya Gusti Senopati muda
berserta seluruh pengawal yang mengantarkan surat penantang perang itu, hingga Kobar terpaksa
membuka serangan lebih cepat daripada rencana yang telah ditentukan pikirnya.
— Untung saja, pasukanku telah berada tak jauh lagi dari tempat tujuan.—
Dan sebagai orang shakti janng terlatih ia dapat dengan cepat menenangkan kembali perasaan2
-
nya yang diliputi kekalutan itu.
Hujan turun semakin deras dan gunturpun masih saja menggelegar susul menyusul dengan
diselingi berkilatnya petir yang membelah kegelapan malam di angkasa.
— Dirham! Perintahkan pada tamtama barisan panah itu untuk mulai menyebar ! Sepertiga
bagian di sayap kiri, dan yang lainnya menduduki sayap kanan, membentang hingga ujung hutan sebelah
utara? — Perintah Yoga Kumala memecah kesunyian dengan tiba-tiba, sambil memperlambat langkah
kudanya.
Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, Dirham segera mengambil cerobong, yalah
potongan bambu yang berisikan kunang-kunang sebangsa binatang2 kecil sejenis serangga yang
memancarkan cahaya berkedip-kedip diwaktu malam, dari dalam kantong bajunya.
Cerobong potongan bambu itu diacung acungkan menghadap kebelakang, yang segera dapat
dilihat terang oleh para tamtama berkuda yang mengikuti dibelakangnya.
Sesaat cerobong bambu kunang2
itu digoyang-goyangkan, sebagai isjarat aba aba akan gerakan
pasukan selanjutnya, sesuai dengan perintah Yoga Kumala. Dan kemuclian dimasukkan cerobong itu
dalam kantong bajunya kembali.
Tak lama kemudian, dua pertiga bagian dari barisan panah yang berada di belakang itu segera
memacu kudanya masing-masing untuk mendahului jalan di depan, sedangkan sepertiga bagian yang
lain merapat dibelakang Yoga Kumala.
Kini dengan tangkasnya para tamtama barisan panah itu menjelinap ke dalam hutan yang gelap pekat.
Mereka menyusupi hutan dalam bentuk garis memanjang hingga sampai pada ujung sebelah
utara dengan penuh kewaspadaan. Gerakan mereka amat gesit, bagaikan kucing yang sedang mencari
mangsa.
Selain dari pada suara terinjaknya ranting ranting patah yang segera hilang tertelan oleh suara
lebatnya hujan, tak terdengar lagi.
Tak lama kemudian terdengar suara jeritan tertahan susul - menyusul dan disusul oleh suara
jatuhnya dua sosok tubuh manusia dari atas pohon yang terbanting ditanah dengan masing-masing
tertancap sebatang anak panah dipunggung dan kepalanya. Dan setelah itu, suasana menjadi sunyi
hening kembali.
Ternyata dalam gelap malam yang pekat itu, para tamtama barisan panah dapat pula
menunjukkan kemahirannya.
Cepat Yoga Kumala melompat turun dari kudanya dan melangkah menuju ke tempat suara
jatuhnya seorang pengintai musuh yang berada tak jauh didepannya dengan diikuti oleh Dirham.
Akan tetapi, sewaktu Yoga Kumala melompat turun dari kudanya dan kemudian menghampiri
sambil berjongkok meraba-raba pada tubuh orang yang telah menjadi mayat itu, tiba-tiba seorang
pengintai musuh berkelebat melayang turun dari dahan pohon yang berada diatasnya, dan langsung
menyerangnya dengan tusukan pedang.
Namun kiranya Yoga Kumala telah siap siaga pula untuk menghadapi setiap serangan yang tiba
tiba.
Pendengarannya yang amat tajam serta perangsang perasaan nalurinya, membuat ia tangkas
bergerak. la berguling ditanah, sambil langsung menyerang dengan totokan jari-jarinya tangan kiri yang
telah mengembang tegang kearah punggung lawan yang baru saja berpijak ditanah.
Tak ayal lagi, dalam satu gebrakan orang itu menjerit dan jatuh tersungkur ditanah serta
menjadi lumpuh seketika.
Ternyata jalinan syaraf penggerak kedua kakinya telah tepat terkena serangan totokan jari-jari
Yoga Kumala. Dengan satu loncatan Yoga Kumala telah menangkapnya serta menyumbat mulut orang
itu dengan dekapan telapak tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya melintir lengan musuh sebelah
kanan dengan cengkeraman yang amat kuat, sambil berseru mengancam : — Jangan bergerak dan
jangan bersuara !!! — Suaranya yang pendek tertahan serta parau itu jelas mengandung perbawa daya
shakti, hingga orang yang diancamnya menggigil tak berdaya.
— Dirham ! Ikat orang ini erat-erat diatas punggung kudamu dan sumbatlah mulutnya ! Perintah
Yoga Kumala kemudian pada Dirham yang berada di belakangnya.
Dengan mudahnya pengintai lawan itu diringkus serta diseretnya oleh Dirham dengan dibantu
oleh dua orang tamtama, untuk kemudian di ikat erat-erat diatas punggung kuda dengan mulutnya
tersumbat.
Pasukan panah masih terus bergerak maju dengan serempak, menyusupi hutan ke arah timur,
sementara Yoga Kumala dan Dirham serta dua orang tamtama menunggu tawanannya ditengah-tengah
hutan.
Tak berapa lama kemudian seorang pemimpin barisan panah yang berpangkat penatus tamtama
datang menghadap pada Yoga Kumala, serta memberi tahukan bahwa didalam hutan sampai pada
sumber hulu sungai Banyuasin itu tak nampak adanya pertahanan maupun penjagaan2 musub.
— Tak mungkin! Untuk apa musuh menempatkan pengintai disini, jika dalam hutan ini tak ada
pertahanan ataupun kubu-kubu musuh – , bantah Yoga Kumala dengan suara yang menggeram serta wajahnya bersungut sungut.
— Tetapi kami telah memeriksanya dengan teliti, Gusti ! Yang ada hanya bekas-bekas api
unggun yang telah basah dingin karena tersiram air hujan ! Dan itupun mungkin telah sejak sore tadi
ditinggalkan! —
— Dan disekitar bekas api unggun itu, apakah tak ada tanda - tanda lain yang mencurigakan ? ? !
! — Desak Yoga
— Kami rasa, tidak ada, Gusti! Keadaan sekitarnya sunyi sepi !—.
— Aneh ! Sungguh aneh ! Coba kau korek dari mulut seorang tawanan itu! Mungkin dapat
menemukan keterangan2
yang penting !!
— Baik, Gusti!– Jawab penatus tamtama barisan panah itu dengan singkat, serta segera
menjalankan tugasnya.
Hujan telah mulai berhenti, dan awan tebal hitam yang menjelimuti langitpun telah lenyap
terhembus angin.
Kini bintang-bintang telah mulai menampakkan cahayanya, walaupun masih bersinar pudar.
Malampun telah hampir larut mendekati merekahnya fajar.
Ternyata setelah dengan siksaan berbagai macam, dari orang tawanan itu hanya mendapatkan
keterangan, bahwa pertahanan perbatasan sejak hari sore telah ditinggalkan. Sedangkan tiga orang
pengintai itu mendapatkan tugas untuk mengamat-amati di sekitar hutan, dan pada fajar nanti mereka
ketiga tigana diharuskan kembali pada induk pasukannya yang berada di seberang sungai Banyuasin,
dekat batas hota Raja untuk melaporkannya.
Tiba tiba saja suara gemuruhnya derap langkah kuda terdengar semakin jelas, dan regemangnya
pasukan yang terdiri dari beribu-ribu tamtama berkuda dari kejauhan disebelah utara, nampak makin
terang. Seakan-akan sepanjang sungai Batangharileka yang menghadapkan dataran terbuka itu penuh
dengan tamtama berkuda.
Akan tetapi, . . . bersamaan dengan datangnya pasukan Yoga Kumala yang dipimpin oleh Braja
Semandang dan Sontani itu, terdengar pula suara gemuruh yang lebih dahsyat dari barat yang tak putus-
putus. Ternyata pasukan musuh yang jauh lebih besar telah bergerak maju, menutup sepanjang tebing
sungai Tungkal, menghadapkan kearah pasukan Yoga Kumala yang baru saja tiba, dari jarak yang masih
cukup jauh.
Sesaat Yoga Kumala terperanjat, melihat besarnya pasukan musuh yang kini harus dihadapinya
itu. Peluh dingin keluar dari jidatnya, demi menyaksikan bergeraknya pasukan lawan yang tak diduga
duga itu. Ternyata bukannya ia mengepung lawan, akan tetapi kini lawanlah yang mengepung
pasukannya, Jelas bahwa lawan mengambil kedudukan dan bergerak dalam bentuk barisan "Dhiradha
meta" atau disebutnya pula "gajah bangun".
Demikian pula perasaan yang menguasai Sontani dan Braja Semandang serta para perwira-
perwira tamtama lainnya. Mereka hanya dapat saling berpandangan dengan mulut masing masing yang
terkunci. perasaannya diliputi oleh ketegangan yang tak terhingga. Mereka diam bagaikan patung,
menunggu datangnya suara perintah dari pimpinannya yang tertinggi ialah Yoga Kumala.
Kebimbangan segenap para perwira tamtama itu, segera dapat diketahui oleh Yoga Kumala yang
tengah mengadakan pemeriksaan barisan secara sepintas lalu dengan pandang matanya yang tajam.
Dan sebagai seorang Bupati tamtama yang memilik i kesaktian serta terlatih, Yoga Kumala
segera dapat menguasai kembali ketenangan pada diri pribadinya.
Dengan suara yang lantang dan bersikap perkasa diatas punggung kudanya, ia membangkitkan
semangat joang para tamtama pasukannya yang kini nampak dalam kebimbangan itu. — Hai Saudara - suidara segenap tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang kita agungkan!
Ketahuilah, bahwa peperangan besar sesaat lagi akan segera dimulai. Percayalah, bahwa kemenangan
pasti akan barada difihak kita. Tak usah kalian bimbang, karena melihat besarnya barisan lawan !
Kemenangan tidak ditentukan oleh besarnya pasukan serta ampuhnya persenjataan, akan tetapi
ditentukan oleh ketabahan, keberanian, ketangkasan dan ketinggian budi pada pribadi saudara masing-
masing yang tergabung dalam pasukan dibawah pimpinan saya. Saya percaya sepenuhnya, bahwa apa
yang telah saja kemukakan itu, kini telah dimiliki oleh saudara-saudara sekalian.
Seorang tamtama yang mengemban tugas suci, tak akan kenal menyerah, serta pantang
meninggalkan gelanggang medan - laga tanpa perintah!
Nah! Junjunglah tinggi-tinggi titah Gusti Seri Baginda Maharaja yang kita mulyakan itu! Dewata
Yang Maha Agung akan menyertai kita semua! — . . . .
Suaranya menggema penuh daya perbawa, dan jelas dapat ditangkap oleh segenap para
tamtamanya.
Dan demi mendengar ketegasan pemimpinnya itu, semangat tempur pasukan kini menjadi
menyala kembali. —
Perintahnya kemudian: Sontani! Tempatkan barisan panah pada ujung kedua sajap barisan kita,
dan pusatkan inti pasukan penyerang ditengah tengah, untuk memudahkan membuka serangan dalam
bentuk "gelatik neba" ! Selanjutnya kau dan Braja Semandang jangan berpisah denganku! —
Seribu tamtama barisan panah segera terpecah menjadi dua, dan masing masing bergerak
menuju ke tempat yang telah ditentukan.
Suara bergeraknya pasukan dalam mengatur kedudukan barisan, gemuruh bagaikan banjir
melanda.
Tak lama kemudian seluruh pasukan telah siap siaga di tempat kedudukan masing-masing,
sesuai dengan kehendak Yoga Kumala. Sedangkan ia sendiri berada ditengah-tengah barisan terdepan
dengan diapit-apit oleh Sontani dan Braja Semandang menghadap kearah barisan lawan yang berada
jauh di sebelah timur.
Matanya memandang tajam kearah barisan lawan yang nampak remang.remang membentang
luas dihadapannya yang kini tengah bergerak maju dengan suaranya yang gemuruh mengumandang.
Pikirannya merana jauh, meraba-raba jawaban atas teka teki yang kini sedang dihadapi, —
Mengapa tiba-tiba pasukannya terperosok dalam perangkap musuh? — Sudah musnakah seluruh
pasukan Kobar yang akan menyerang dari sebelah timur, hingga ia kini harus menghadapi pasukan besar
lawan ini? —
Ataukah sengaja pasukan Kobar bersembunyi sebagai siasat, untuk kemudian dapat
menyerangnya dari belakang? — Akan tetapi, jika demikian mengapa tak ada seorang penghubung yang
datang untuk memberitahukan perobahan-perobahan siasat itu? —
Fajar telah merekah. Jauh disebelah timur, sang Surya menampakkan separoh tubuhnya, dengan
memancarkan cahayanya yang semburat jingga ke emasan. Dan perlahan-lahan alampun menjadi
terang benderang. —
Kini dua pasukan besar yang sedang bermusuhan itu bergerak maju dalam susunan bentuk
barisannya masing-masing.
Barisan tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu di bawah pimpinan Yoga kumala yang beribu -
ribu jumlahnya itu bergerak maju perlahan lahan, laksana samodra meluap.
Suara ringkikan kuda yang sahut menyahut dan suara gemerincingnya senjata-senjata
bercampur gaduh menjadi satu..
Seruling genderang bertalu-talu di iring dengan derap langkah barisan tamtama yang berkuda.
Panji-panji dan duaja - duaja kebesaran pasukan Kerajaan, berkibar dengan megahnya,
sedangkan senjata-senjata tajam, seperti tombak, lembing dan klewang yang telah terhunus nampak
seperti alang-alang yang tumbuh di padang subur.
Demikian pula pasukan lawan dari Kerajaan Negeri Sriwijaya, yang mengalir tak ada putusnya,
bagaikan arus banjirnya sungai Musi.
Suara gajah dan ringkikan kuda serta bergeraknya tamtama yang puluhan ribu jumlahnya,
gemuruh bercampur aduk menjadi satu.
Berkilatnya beribu - ribu senjata tajam yang telah terhunus tertimpa oleh pancaran sinar
matahari, berkilau-kilau menyilaukan pandangan.
Tiba-tiba pedang pusaka ditangan kanan Yoga Kumala berkelebat diacungkan kedepan, dan
beribu ribu tamtama , berkuda berebut ducung menyerbu Iawan, bagaikan burung gelatik meneba
dipadang padi yang sedang menguning.
Bersamaan dengan gerakan serbuan para tamtama penyerang itu, barisan panah melepaskan
anak panah dari busurnya laksana hujan.
Dan kini bagaikan benturan guntur, setelah dua pasukan itu bertemu.
Masing-masing gigih bertahan dan berusaha untuk membunuh lawan sebanyak-banyaknya.
Beradunya senjata-senjata laksana suara petir yang mengampar, dan pula di seling dengan suara jeritan
ngeri susul-menyusul serta ringkikan kuda ataupun suara jatuhnya korban.
Dimana-mana darah berkececeran, mengalir membanjir membasahi bumi.
Debu mengepul tebal bagaikan kabur, hingga membuat gelapnya pandangan. —
Dimedan laga yang dahsyat itu Yoga Kumala mengamuk punggung laksana banteng terluka.
Tiap kali pedang pusakanya berkelebat, tamtama musuh yang berada didekatnya tentu roboh
terguling ditanah dengan mandi darah. Dan demkian pula Sontani, Braja Semandang serta para perwira
tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu. Mereka mengikuti jejak pemimpinnya Yoga Kumala, dengan
semboyan „tak mengenal surut setapakpun".
Beribu ribu tamtama dari kedua belah fihak yang setia pada sumpah tamtamanya telah jatuh
berguguran sebagai bunga bangsa. Merekalah pahlawan-pahlawan Negerinya.
Difihak lawan ternyata lebih banyak lagi jatuhnya korban dalam perang besar ini. Akan tetapi
karena mengandalkan besarnya pasukan yang terdiri dari puluhan ribu tamtama itu, maka pasukan
Kerajaan Negeri Sriwijaya menggunakan siasat perangnya dengan apa yang disebut ''Candra Birawa".
Roboh satu tumbuh sepuluh, roboh sepuluh, tumbuh seratus, roboh seratus tumbuh seribu dan
seterusnya.
Mengalirnya barisan tamtama lawan ke medan laga bagaikan air bah. Betapapun tabah dan
beraninya para tamtama pasukan Yoga Kumala, niscaya akan ngeri juga, demi melihat membanjirnya
lawan yang tak kunjung putus itu.
— Tumenggung Shakti Yoga Kumala! Pengorbanan pasukanmu akan sia-sia belaka! Lebih baik
kau menyerah sebelum terlambat! Ketahuilah, bahwa kita telah mengurung dari segenap penjuru
dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari pada pasukanmu! Tiba-tiba seorang Senopati pasukan
Kerajaan Sriwijaya berseru lantang pada Yoga Kumala yang sedang bertempur mati-matian ditengah
kancah pertempuran melawan ratusan tamtama musuh yang mengurungnya.
Namun masih juga Yoga Kumala sempat menengok ke arah datangnya suara. Ternyata suara itu
datangnya dari seorang perwira yang sedang duduk di punggung gayah dengan dikitari oleh barisan
tamtama berkuda yang amat kuat dan berlapis-lapis. Melihat pakaian kebesaran yang dikenakan serta payung kuning yang berada diatas kepalanya itu, jelas menunjukkan, bahwa perwira tamtama musuh
yang berseru padanya adalah seorang Senopati yang memimpin pasukan lawan.
Ia memegang pedang terhunus ditangan kanannya, sedangkan ditangan kirinya nampak sebuah
perisai baja yang berbentuk bulat selebar daun lum bu hutan.
Tubuhnya jangkung agak kurus, dengan kumisnya yang tebal melintang tanpa jenggot. Sepasang
alisnya tebal dengan kilatan pandang mata yang amat tajam. Keningnya berkerut dan mengenakan ikat
kepala kain sutera kuning keemasan. Warna kulitnya hitam.
Suaranya parau, tetapi keras mengumandang serta mengandung daya perbawa. Ia adalah
Senopati Manggala Yudha Kerajaan Negeri Sriwijaya yang bergelar Gusti Senopati Sanggahan Alam, yang
terkenal shakti serta cakap dalam memimpin barisan di medan yudha.
Mendengar namanya dipanggil oleh seorang priyagung lawan yang ia sendiri belum
mengenalnya, Yoga Kumala terperanjat sesaat.
— Siapakah gerangan priyagung yang memimpin pasnkan musuh itu? Dan dari manakah ia
mengetahui namaku dengan jelas? — Demikian shakti dan waskitakah ia, hingga mengetahui namaku
tanpa bertanya terlebih dahulu? — Ah, . . . tak mungkin ! — bantahnya sendiri dalam hati.
— Atau seorang tamtama nara sandi lawan yang amat pandai telah merembes dalam pasukanku
ini?
Akan tetapi pertanyaan - pertanyaan dalam benak hatinya yang tak dapat dijawabnya sendiri
itu, tak sempat ia membiarkan merana lebih jauh. Ia sadar, bahwa dirinya sedang berada di medan
yudha yang amat dahsyat, serta memerlukan pemusatan perhatian sepenuhnya. Sambil membabat
dengan pedang pusakanya kearah dua orang lawan yang menjerang dari samping, serta merangkaikan
gerakan serangannya dengan jurus "menutup serangan lawan" ialah memutarkan pedang pusakanya,
Yoga Kumala menjawab seruan lawan priyagung tadi dengan tak kalah lantang. — haaiii! Priyagung
tamtama yang sombong! Tumpaslah aku berserta pasukanku, jika kau mampu dan memiliki keshaktian.
Ketahuilah, bahwa aku Yoga Kumala tak pernah mengenal kata menyerah! Sebaiknya kaulah yang
menyerah sebelum mengenal tajamnya pedang pusakaku!—
— Ha haa ha . . . . hu ha haaaa ha ……! Sungguh kau seorang Bupati tamtama Majapahit yang
memiliki keberanian dan shakti. Sayang, kau berkepala batu, hingga tak mau melihat kenyataan yang
kini sedang kau hadapi! Terimalah ini . . . . .!.—
Dan bersamaan dengan suara bentakan yang terakhir itu, sebatang tombak pendek meluncur
bagaikan kilat kearah dada Yoga Kumala. Akan tetapi Yoga Kumala yang telah mendapat tempaan ilmu
pedang shakti dari eyangnya Ajengan Cahaya Buana, serta bergelar „jago pedang darah Pajajaran" itu,
dengan tangkasnya memapaki meluncurnya tombak lawan dengan pedang pusakanya.
Sambil merendahkan badannya serta memacu kudanya, pedang pusaka ditangan kanannya
berkelebat . . . . dan tombak lawan telah patah menjadi dua potong.
Kiranya bukan hanya berhenti sekian saja. Pedang pusakanya berkelebat untuk kedua kalinya, . .
. . . dan kini potongan tombak pendek lawan yang bermata tajam terpental kembali kearah tubuh
pemiliknya, bagaikan meluncurnya anak panah.
Senopati Sanggahan Alam yang sedang ketawa terbahak-bahak, terpaksa menutup mulutnya
seketika, serta menggerakkan perisai bajanya yang berada ditangan kiri, untuk memapaki meluncurnya
potongan tombaknya sendiri, yang mengarah tubuhnya dengan tanpa diduga-duga itu. Potongan
tombak terpental dan jatuh ditanah, namun ia sendiri bergeser setapak surut kebelakang, karena
terkena dorongan tenaga benturan dari potongan tombak yang jatuh tertangkis oleh perisai bajanya itu.
Sanggahan Alam terkesiap sesaat, demi merasakan serangan balasan Yoga Kumala yang mentakjubkan itu. Dalam hati ia memuji akan keshaktian lawannya. Kiranya belum pernah ia
menghadapi lawan setangguh Yoga Kumala.
Andaikan saja ia tak berperisai baja, tentu dadanya telah tembus oleh tombaknya sendiri. Akan
tetapi sebagai seorang Senopati Manggala Yudha yang shakti dan berpengalaman luas. Sanggahan Alam
segera dapat menguasai ketenangannya kembali.
— Ha ha ha ha . . . . . ha haa hahaaa haha! Bagus, bagus! — serunya sambil memegang kembali
pedang pusakanya yang tadi disarungkannya „Temyata gelarmu "jago pedang" tak mengecewakan !
Akan tetapi, . . . . dapatkah kau menghadapi pasukanku yang beribu ribu itu hanya dengan
mengandalkan keshaktianmu? Pikirlah masak-masak! Sayang keshaktian dan usiamu yang masih muda
itu, apabila terlambat tak mau menyerah! —
Tak perlu kau menasehati lawan! Aku rela mati di medan laga daripada berlaku sebagai
pengecut! — Balas Yoga Kumala dengan suara teriakan nyaring yang memekakkan telinga, sambil
bertempur. Ia ingin menerjang Senopati Sanggalian Alam yang congkak itu, akan tetapi beratus-ratus
tamtama lawan selalu merintangi dibadapannya.
Namun setiap lawan yang berada didekatnya, tentu roboh mandi darah untuk kemudian jatuh
bergelimpangan di tanah tak bernyawa. Sontani, Braja Semandang, Dirham dan segenap para perwira
tamtamanya tak mau ketinggalan pula. Mereka mengamuk punggung bagaikan banteng terluka. Dengan
semangat tempurnya yang bernyala nyala mereka merobohkan beratus-ratus tamtama lawan yang
mengurungnya. Hampir sehari penuh mereka bertempur mati - matian dengan tanpa mengenal lelah.
Matahari telah berada diketinggian condong ke sebelah barat, menandakan bahwa waktu telah
jauh lewat siang te-ngah hari dan hampir senja. Namun pertempuran masih saja berkobar dengan
dahsyatnya.
— Sontani ! Seru Yoga Kumala sambil memutarkan pedang pusakanya serta berpaling kearah
Sontani yang berada dibelakangnya.
Komentar
Posting Komentar