DITEMPAT KEDIAMAN yang baru dan serba lengkap dengan perabotan yang mewah2
itu, Yoga
Kumala sedang duduk termenung seorang diri sambil bertopang dagu, menghadapi hidangan makan
pagi yang masih mengepul hangat. Memang gedung kesatrian yang serba lengkap itu dibangun khusus
untuk para perwira tamtama yang masih bujangan.
Angan-angannya jauh merana ……., dan hidangan makan yang baru saja disajikan oleh para
inang itu belum juga disentuhnya!
Wajah putri remaja dari pulau Dewata selalu membayang kembali dalam angan angannya.
Gedung ksatrian dimana ia kini tinggal itu, merupakan bangunan gedung besar yang panjang membujur
serta berpetak petak dalam corak dan bentuk yang sama. Tiap tiap petak memiliki ruangan-ruangan
tamu, kamar tidur, dapur, kamar mandi, taman dan ruang, berlatih tersendiri.
Pagi itu, udara cerah, dan langit biru nampak membentang bersih memantulkan cahaya
matahari yang terang benderang. Burung-burung piaraan berkicau disangkar masing-masing dengan
riangnya. Namun riangnya pagi yang cemerlang itu, serasa hampa belaka bagi Yoga Kumala. Entah
karena semalam matanya tak terpincingkan, ataupun karena terbangun oleh suatu impian yang
mengecewakan mska kini ia melamun sambil selalu menguap, hingga suara ketukan pintu yang berulang
kali tidak didengarnya.
Tiba-tiba suara ketukan pintu depan, terdengar lebih keras lagi, dan pelan-pelan daun pintupun
bergerit terbuka. tersentak dan sadar dari lamunannya, setelah adiknya Indah Kumala Wardhani
nampak berdiri ditengah-tengah pintu depan yang terbuka sambil berteriak. — Akang Yoga. Aku yang
datang!
— Ach aku kira siapa! — jawabnya lemah.
Akan tetapi tanpa menghiraukan sekitarnya Indah Kuma-la Wardhani langsung mendekati dan
duduk disamping Yoga Kumala, sambil berkata — Habis, kau kira siapa?, bukankah aku ini adikmu Indah?
— tanyanya menggoda sambil bersenyum girang.
— Sudahlah!. Mari kita makan saja bersama! — Yoga Kumala memotong. Ia tahu, bahwa
kedatangannya Indah Ku mala Wardhani tak lain hanya alasan menggodanya dan mengacaukan suasana
ketenangannya.
— Apakah akang mengira. bahwa kedatanganku kemari ini hanya Intuk mencari makanan saja?
— sahutnya cepat dengan wajah yang berobah asam.
— Aku tidak beranggapan demikian, adikku Indah yang maniiiis ….. Temanilah aku makan,
supaya akangmu ini dapat makan lebih banyak, dan menjadi sehat, Neng ! —
Jawaban Yoga Kumala yang lemah lembut meraju itu. kiranya bukan karena perasaan kasih
sayang, akan tetapi lebih dekat demi melampiaskan kedongkolan hatinya.
Mendengar Rajuan Kakaknya yang menjemukan itu, Indah Kumala Wardhani semakin cemberut
dan menyahut sambil membuang muka serta mencebirkan bibirnya. — Kau kira, aku ini siapa? Pakai
manis …. manis …. segala! Aku bukan Yayuk Ratnasari! —
— Indah! Jangan lancang, kau! — Dengan wajah yang memerah Yoga Kumala menyahut tak
sabar. Ia tahu, bahwa Ratnasari adalah adik kandung Panewu Tamtama Sontani, yang kebetulan kini
Panewu tamtama Sontani tinggal dalam gedung petak yang berada disebelahnya. Betapa malunya,
apabila hal ini terdengar oleh Sontani, sedangkan ia sendiri sebenarnya memang tak menaruh hati pada
Ratnasari. Akan tetapi baru saja ia menutup mulutnya, tiba2
suara ketukan pintu terdengar nyaring dan bersamaan dengan ketukan pintu itu, Ratnasari bersama Sontani telah berdiri diambang sambil
membungkukan badannya, seraya berkata. — Maafkan, Gusti Yoga! Kami berdua mengganggu
percakapan Gustiku!—
Dengan perasaan malu tersipu-sipu, Yoga Kumala dan Indah Kumala Wardhani tersentak
bangkit, menyambut kedatangan kedua tamunya.
— Ach, . . . . Sontani dan adi Ratnasari! Silahkan, silahkan masuk saja . . . . Kamipun sedang
kesepian, tanpa ada, sesuatu yang menentu! — Yoga Kumala berkata sambil tersenyum
menyembunjyikan perasaan malunya. Namun wajahnya masih nampak jelas memerah. Kini mereka
berempat telah duduk sambil asjik ber-cakap2 dengan diselingi gelak tawa riang diruang tamu yang luas
dan mewah itu.
Ternyata Sontani memiliki pula sifat2
keramahan dan pandai bergaul seperti Ratnasari adiknya.
Dengan demikian maka percakapan menjadi lancar dan sebentar saja hubungan masing2
. menjadi saling
lebih akrab. Penghormatan dalam percakapan yang ber-lebih2an dari Sontani, sebagaimana layaknya
seorang bawahan yang menghadap pada atasannya, selalu dielakkan oleh Yoga Kumala dan
kecanggunganpun menjadi lenyap dalam percakapan bebas itu.
Dari pertemuan yang pertama antara Indah Kumala Wardhani dan Sontani, telah dapat
diketahui oleh Yoga Kumala, bahwa cinta kasih diantara kedua remaja itu mulai terjalin.
Dalam hati iapun turut gembira, dan semoga saja kelak menjadi pasangan yang bahagia.
Demikian pikir Yoga Kumala. Namun dibalik kegembiraannya itu, kadang2 angan-angannya merana jauh
kembali pada bayang2 putri Pulau Dewata Ktut Chandra yang selalu melintas dalam kalbunya. Cubitan
Indah Kumala Wardhani pada pahanya membuat ia tersentak sadar lagi, dan percakapan berlangsung
dalam suasana riang kembali.
—Sontani! Jika kau tidak berkeberatan, kuharap kau dapat menemani aku dalam perjalanan
kehutan Blora pada esok lusa. Tentu saja aku akan berpamitan dahulu pada Gusti Senopati. Tentunya
kau bersedia bukan? — Tanya Yoga Kumula sewaktu Sontani dan Ramasari berpamit hendak pulang.
— Dengan senang hati, Gusti!. Akan tetapi sudilah Gustiku Yoga Kumala memberitahukan hal ini
pada Gusti Kobar, demi untuk mencegah salah faham!!
— Ach, . . . tak usah kuatir!!. Itu adalah tanggurganku!!—
— Jika aku dan Yayuk Ratnasari diperkenankan ikut serta perjalanan jauh tentu akan
menyenangkan, akang Yoga!!—
lndah Kumala Wardhani memotong pembicaraan mereka.
— Yaa . . . tapi . . . apakah akan diijinkan oleh Kangmas Indra? —
— Itu urusanku! Aku sendiri nanti yang akan menghadap padanya. Tentu kangmas Indra akan
mengijinkan! Pokoknya, asalkan akang Yoga memperbolehkan kami berdua ikut serta...Bagaimana? —
— Sabarlah dulu! Akan kupikir sejenak bagaimana sebaiknya, manis! — jawab Yoga Kumala
lemah lembut.
— Apalagi yang harus dipikirkan akang? Kan tinggal jawab pendek saja...boleh atau tidak!
Bukankah demikian Yayuk Ratnasari?! —
— Ach, ..aku terserah saja. Turut pergi ..ya senang. Tidakpun...tidak mengapa! — Ratnasari turut
menyahut lemah sambil bersenyum.
— Baik? …. baik. Tetapi nanti malam, aku sendiri yang akan menghadap pada Kangmas Indra,
untuk memintakan ijin kalian! —
Dengan diantarkan oleh Yoga Kumala dan Sontani, Indah Kumala Wardhani dan Ratnasari siang
itu kembali kegedung Senopaten kediaman Gusti Adityawardhana, dimana mereka tinggal bersama sama teman sebajanya yang menjadi tamtama narasandi Kerajaan.
Sayang bahwa siang itu Ktut Chandra tidak nampak keluar dari kamar. Harapan Yoga Kumala
untuk dapat melihat wajahnya pada hari itu terpaksa tertunda, dan hatinyapun penuh rasa kecewa.
Akan tetapi perasaan demikian, disembunyikannya rapat2
.
Tentu akan lebih kacau dan heboh, apabila adikku mengetahui rahasia ini — pikir Yoga Kumala.
Dua pasang remaja berkuda, masing - masing saling memacu kudanya melalui jalan jalan
pedesan pedesan yang berliku liku dengan pesatnya. Seakan akan mereka saling berebut untuk berada
didepan sendiri. Dan suatu gelak tawa yang nyaring menyertai derap langkah kuda mereka yang tengah
berlari dengan kencangnya. Tak lama kemudian larinya kuda diperlambat, dan kini kuda mereka berjalan
berendeng, dua-dua.
Sepasang didepan dan tak jauh antaranya sepasang lagi mengikuti dibelakangnya.
— Lihatlah akang Yoga! Betapa indahnya pemandangan alam didepan kita itu. Sawah-sawah
membentang luas dengan tanaman padinya yang menguning . . . . dan aneh benar . . . . . semuanya kini
menjadi semu merah lembayung, bagaikan disepuh emas!
— Yah . . memang demikian pemandangan alam diwaktu menjelang senja — jawab Yoga
Kumala singkat, sambil memandang tajam kedepan tanpa berpaling pada Indah Kumala Wardhani yang
tengah berkuda disampingnya.
Sepasang alisnya dikerinyitkan hingga dua deretan kerut dikeningnya nampak jelas. Mulutnya
kembali terkatub, dan rambutnya yang kusut terkena hembusan angin dibiarkan terurai.
Seakan-akan ada sesuatu yang sedang menjadi perhatiannya. Dikala itu, hari telah menjelang
senja. MIatahari telah berada dibarat, pada garis cakrawala, dengan bentuknya yang bulat ke-merah2
-
an. Sinar cahayanya yang merah lembajung memancar menyelimuti angkasa dan memantul kembali
kebumi, hingga pemandangan alam diseluruh menjadi semu merah keemasan.
Atas saran Senopati Muda Indra Sambada, mereka berempat hanya mengenakan pakaian
ringkas sederhana, tanpa sesuatu tanda kebesaran pangkat masing2
. — Biarlah mendapat tambahan
pengalaman — pesan Indra Sambada, sewaktu mereka meninggalkan Istana Senopaten. — Dan cepatlah
kembali, setelah urusanmu selesai — demikian kata2 pesannya.
Akan tetapi walaupun mereka hanya berpakaian sederhana, dari pedang pusaka yang
tersandang dipinggang Yoga Kumala dan pedang tamtama yang tergantung di pinggang Sontani, mudah
dapat diterka bahwa dua pasang remaja yang sedang menempuh perjalanan dengan berkuda itu, tentu
bukan rakyat biasa. Demikian pula kuda ke-empat2
-nya dengan pelananya, jelas menunjukkan bahwa
bukanlah kuda piaraan rakyat jelata . Sontani dan Ratnasari adiknya, yang sejak tadi selalu bergurau
sambil brrkuda, kini kedua2nya tanpa disadari menjadi terdiam dengan sendirinya. Mereka berkuda
berjajar mengikuti dibelakang Yoga Kumala dan Indah Kumala Wardhani.
— Sontanil. Sebeclum gelap malam kita harus sudah sampai didesa Kasiman!, — teriak Yoga
Kumala tiba2
, sambil memalingkan kepalanya kebelakang.
Dan derap langkah kuda2
itupun terdengar lebih cepat lagi.
Mereka serentak memacu kudanya masing2
.
Sawah sawah dan tegalan telah dilaluinya, dan kini mereka hampir memasuki desa Kasiman.
Akan tetapi sebelum mereka tiba dipersimpangan jalan desa yang berada ditengah lapang dan tandus
itu, tiba2 Yoga Kumala mengekang tali lis kudanya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya di-
angkat tinggi2
, sebagai isyarat pada Sontani dan Ratnasari agar merekapun memberhentikan langkah
kudanya masing2
.
— Sontani! Empat orang yang berdiri ditengah jalan dekat ujung desa didepan kita itu, kiraku sengaja menghadang kita.
Maka kuharap kalian waspada! — Kata Yoga Kumala, setelah kuda Soniani mengejar mendekat
— Tetapi apa kehendak mereka Gusti??! —
— Aku sendiripun kurang mengerti. Sebaiknya nanti setelah dekat ditempat mereka, kita semua
turun dan kau berjalan mendahului, untuk bertanya pada mereka. Dan jangan memanggil dengan
sebutan Gusti lagi dalam perjalanan. Biarpun, mungkin aku lebih muda, akan tetapi sebaiknya kau
memanggilku dengan sebutan kamas saja —
— Baik, kangmas !! Jawab Sontani singkat.
— Dan kau Indah!! Lindungi yayukmu Ratnasari jika aku nanti terpaksa turut turun tangan ! —
— Selama angkin merah dan keris pusakaku berada ditanganku, akang Yoga tak usah kuatir.
Sebaiknya akang Yoga saja yang melindungi yayuk Ratnasari sambil menonton cara bagaimana aku akan
menghajar mereka! — Sambut Indah Kumala Wardhani dengan ketusnya.
Sementara Ratnasari merapatkan kudanya dengan Indah Kumala Wardhani, sambil memandang
kedepan.
la masih saja tak turut bicara.
— Sudahlah disini bukan lagi tempatnya untuk berkelakar. Turutlah apa kataku! — Jawab Yiga
Kumala singkat dengan wajah yang bersungut sungut.
Makin dekat makin nampak jelas, bahwa keempat orang yang sengaja di tengah2
jalan itu, dua
diantaranya bersenjatakan pedang dan yang dua lainnya bersenjatakan tombak pendek. Keempat orang
itu kesemuanya mengenakan pakaian serba hitam dengan ikat kepala warna hitam pula menutupi
rambutnya.
Seorang diantaranya memakai topeng yang nampak mengerikan, sedangkan seorang lagi dari
batas bawah matanya, mukanya tertutup kain hitam pula. Pedang terhunus telah berada ditangan kanan
masing2
, dari kedua orang yang menyembunyikan wajahnya itu.
Selang kira2
lima puluh langkah dengan keempat orang yang menghadang itu, Yoga Kumala,
Sontani, Indah Kumala Wardhani dan Ratnasari serentak turun dari kudanya masing2 dan
menambatkannya disebuah pohon dipinggir jabn, sementara Sontani jalan mendahului untuk
menghampiri keempat orang itu dengan penuh kewaspadaan yang tinggi.
— Hai saudara !!. Apa kehendak kalian, berdiri menutup jalan? Tegur Sontani dengan
lantangnya dari jarak kira2
sepuluh langkah. Haaaa . . . haahaaaa . . . . haaaa !! Melintasi dimana kami
berdiri ini, harus meninggalkan kuda dan bebannya ! !. Sahut seorang yang bertopeng dengan diiringi
ketawa yang ber gelak2
.
Apa ??? !!. Siapakah kalian . . . . perampok pengecut yang tak mau memperlihatkan mukamu
itu ?? !'
Berkata demikian Sontani berjalan mendekat, sambil memegang tangkai pedangnya, siap
menghadapi segala ke mungkinan.
— Rampok atau bukan, terserah kepadamu. Tetapi perintah saya haruslah ditaati oleh siapapun
yang melalui jalan ini !! — Bangsat, lihat pedang !!. Bentak Sontani sambil langsung menerjang maju
dengan pedang tamtamanya
Kiranya ia tak dapat menahan lagi akan kemarahannya yang meluap2
itu. Akan tetapi orang yang
bertopeng tinggi besar itu dengan tangkasnya melompat surut kebelakang satu langkah menghindari
serangan bacokan Sontani sambil mengeluarkan dan memperdengarkan tawanya. Tiga orang temannya
serentak maju dan dengan senjata mereka masing2 memapaki berkelebatnya pedang Sontani, serta
melancarkan serangan balasan yang ber-tubi2
. Dengan tangkas Sontani berlompatan kesamping serta menggerakkan pedang tamtamanya, memapaki tiga orang lawannya. Melihat Sontani sibuk menghadapi
serangan2
yang ber-tubi2
itu, Yoga Kumala dengan pedang pusaka ditangan kanan, melesat memasuki
kancah pertempuran dengan jurus2
-nya Cahaya Tangkubanperahu yang cepat dapat mendesak tiga
orang lawan Sontani.
Sementara orang tinggi besar bertopeng telah menyambut pula serangan2
yang dilancarkan oleh
Yoga Kumala. Sesungguhnya Yoga Kumala tidak usah kuatir akan dirinya Sontani yang bertempur
melawan tiga orang itu, akan tetapi demi melihat gerakan lompatan dan suara tawanya orang yang
bertopeng yang tinggi besar itu, iapun agak cemas juga. Ia tahu, bahwa orang bertopeng itu tentu
memiliki kesaktian yang tak dapat dipandang ringan. Maka sengaja ia melibatkan diri dalam
pertempuran agar cepat dapat mengakhiri.
Segala dugaannya itu ternyata memang benar adanya. Kini pertempuran berlangsung seru
dalam dua kalangan, Yoga Kumala melawan orang yang tinggi besar bertopeng dan bersenjatakan
pedang, sedangkan Sontani melawan seorang bersenjatakan pedang dan dua orang Iainnya masing2
bersenjatakan tombak pendek.
Ternyata orang tinggi besar itu memiliki ilmu pedang yang mentakjubkan serta sangat
berbahaya. Pedang pusakanya yang bersinar semburat biru hitam berkelebatan mengarah pada bagian
tubuh Yoga Kumala yang berbahaya serta amat tangkas dan lincah gerakkannya. Dengan langkah
wurushaktinya Yoga Kumala menghindari serangan lawan yang bertubi2 dengan ter-huyung2
kebelakang
ataupun kedepan untuk kemudian melompat tinggi kesamping kanan dan kiri sambil melancarkan
serangan balasan dengan totokan jari2
tangannya yang telah mengembang tegang, sedangkan pedang
pusakanya ditangan kanannya bergerak cepat menangkis senjata lawan ataupun mengikuti gerakan
berkelebatnya pedang lawannya itu. Sepintas lalu pertempuran dua orang shakti itu kelihatan seimbang.
karena masing2 memiliki kepandaian yang mentakjubkan.
Sontani yang menghadapi tiga orang lawannyapun ternyata tidak terdesak. Pedang tamtamanya
ditangan bergerak cepat bagaikan kupu2
yang tengah menari
2
, hingga menyilaukan pandangan
lawannya.
Ketiga orang pengeroyoknya tak mampu mencrobos ciptaan perisai pedang tamtamanya.
Namun belum juga Sontani dapat merobohkan salah seorang lawannya.
Sedangkan Sontani meloncat kesamping kanan menghindari serangan serentak dari tiga orang
lawan pengeroyoknya, tiba2
sinar merah berkelebat bagaikan kilat. Dan salah seorang pengeroyoknya
terpelanting ditanah, sambil berseru mengaduh dengan tombak terlepas dari genggamannya dan
kemudian bergulingan menjauhi tempat pertempuran.
Tanpa menghiraukan pesan kakaknya, Indah Kumala Wardhani telah melompat maju menerjang
seorang lawan yang telah mengeroyok Sontani, dengan sabetan kain angkinnya. Ia tak sampai hati
melihat Sontani seorang diri dikeroyok oleh tiga orang - lawannya.
Rasa kasih sayang kepada Sontani, memaksa ia mengabaikan pesan kakaknya. Hanya
Ratnasarilah yang masih taat mematuhi pesan Yoga Kumala, karena takut akan kemarahan kakaknya. Ia
hanya berdiri terpaku sambil mengikuti pertempuran yang tengah berlangsung sengit dengan pandang
matanya. Sesungguhnya walaupun tak setingkat dengan Indah Kumala Wardhani, ia sebagai tamtama
merasakan pula sedikit kepandaian berkat ajaran d Gusti Cakrawirja. Akan tetapi perasaan tak ingin
mengecewakan Yoga Kumala dapat mengendalikan dirinya. Sesaat Sontani terperanjat melihat
terpelantingnya salah seorang lawannya itu, akan tetapi setelah mengetahui bahwa kini Indah Kumala
Wardhani yang membantunya, ia tersenyum sambil mengutarakan terima kasihnya. Sedikitpun tak
menduga, bahwa Indah Kumala Wardhani yang selalu menjadi, idaman hatinya itu ternyata memiliki kepandaian bertempur yang demikian hebat dan aneh. Ia kini lebih bersemangat lagi dan bertempur
secara berdampingan melawan dua orang yang makin lama makin nampak berada diatas angin. Kedua
orang lawannya kian sibuk mengelakkan serangan dan terdesak mundur.
Pedang Sontani berkelebatan dalam gerak sabetan dan tebangan serta bacokan mengarah
lawan. Sedang angkin menyambar2 dengan dahsatnya mendampingi berkelebatnya pedang, bagaikan
sepasang naga yang berebut mengejar mangsanya, seorang bersenjatakan tombak pendek yang tak
dapat sempat menghindar dari rangkaian serangan, terlibat samberan kain merah dan jatuh terjungkal,
serta terbebas lehernya, hingga berlumuran darah dan mati seketika. Sedangkan seorang lagi yang
berkedok kain dan bersenjatakan pedang meloncat surut kebelakang tiga langkah untuk kemudian lari
meninggalkan gelanggang disusul oleh seorang lagi yang tadi bergulingan ditanah.
Bersamaan dengan kaburnya dua orang lawan, suara terkekeh-kekeh menyeramkan dari Yoga
Kumala terdengar nyaring, dan orang tinggi besar yang bertopeng Jawannya, melompat tinggi serta
melesat jauh melarikan diri dengan terluka dibahu kirinya.
Sontani dan Indah Kumala Wardhani yang hendak serentak mengejar lawan, segera dicegahnya
oleh Yoga KumaIa.
— Tak guna kita mengejarnya. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan! — Serunya. Sebenarnya
apabila dikehendaki, Yogapun dapat mengejar lawannya akan tetapi karena pertimbangan lain ia segera
membatalkan niatnya.
Waktu itu hati telah mulai gelap remang2 dan mereka berempat kini berkuda berdampingan
menuju desa Kasiman yang tak berapa jauh lagi letaknya. Esok harinya setelah semalam istirahat
dikediaman Lurah desa Kasiman, mereka melanjutkan perjalanannya menuju ke hutan Blora.
Dalam perjalanannya berknda itu, mereka tidak lagi banyak bercakap2
. Yoga Kumala tampaknya
tak demikian gembira seperti biasanya.
Perasaannya selalu diliputi ketegangan. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam hatinya.
Siapakah orang shakti yang bertopeng dan menghadangnya kemarin sore ?. Dan apakah kehendaknya mereka sebenarnya?
Menurut perhitungannya, lawannya kemarin hanya terluka ringan saja, akan tetapi mengapa ia lalu cepat2 meninggalkan gelanggang?
Sedangkan jika pertempuran dilanjutkan terus, belum tenlu ia dapat merobohkan orang tinggi
besar itu.
Pun terlukanya orang yang bertopeng itu bukan semata mata karena kalah tangkas. Hal itu
menurut dugaannya, karena lawannya terpaksa mengarahkan perhatiannya pada temannya yang
terdesak dan pada salah seorang temannya yang roboh.. Jadi jelas bukan dikarenakan kedangkalan
ilmunya sendiri. Demikianlah pertanyaan2
yang selalu menyelimuti dirinya Yoga Kumala. Namun
pertanyaan2
itu, tak dapat ia menjawabnya. Dan kiranya Sontanipun sedang berfi-kir demikian.
— Kakek guruuuu! — Seru Yoga Kumala memanggil, setelah mereka memasuki hutan dan
menambatkan kuda2 mereka dipepohonan dipinggir hutan itu. Namun...tetap saja sunyi...tak ada
jawaban.
Waktu itu hari masih siang dan belum lewat tengah hari Karena dalam hutan itu pohon2
liar
bertumbuh lebat dan rindang, maka merekapun tak merasakan panas teriknya matahari. Ratnasari dan
Indah Kumala Wardhani berlari2
kecil, menikmati sejuknya udara sambil sibuk mencari bunga2
liar yang
banyak menarik perhatiannya, hingga berulang kali Yoga Kumala dan Sontani harus memanggil2nya
kembali.
Mereka kuatir, jika kedua adiknya kehilangan jejak dalam hutan belantara Blora itu.
— Kakek Guruuuuu! — Kembali suara Yoga Kumala menggema ditengah hutan...akan tetapi .
masih saja sunyi seperti tadi, tanpa ada jawaban. Hanya suara burung2 berterbangan meninggalkan
pepohonan dimana mereka sedang hinggap dengan riangnya itulah yang terdengar. Mungkin burung2
itu terperanjat oleh suara teriakan Yoga Kumala yang amat nyaring. Berulang kali pula Yoga Kumala
memanggil-manggil kakek Dadung Ngawuk gurunya, akan tetap saja tak ada jawaban. — Aneh —
pikirnya. Kemana kakek guruku pergi?
Bukankah nanti malam itu adalah bulan purnama yang pertama kali.
Sebagaimana pesannya waktu satu setengah tahun berselang ?. Sambil mengingat2 pesan
gurunya sewaktu ia masih dengan Eyangnya Cahayabuana dipertapaan Tangkubanperahu pada waktu
satu setengah yang lalu, ia berjalan pelan2
kearah gubug kakek Dadung Ngawuk yang berada ditepi
sendang, dengan diikuti oleh Sontani, Indah Kumala Wardhani dan R,Itnasari. Tiba2
saja Yoga Kumala
terhenti sejenak sambil mengamat2
-i sebyah batang pohon yang telah tumbang dan lapuk. Tangannya
bergerak dan meraba2 dengan kedua belah tangannya pada batang pohon yang lapuk dan melintang itu,
sambil berjongkok. Mukanya menunduk . . . . . dan per-lahan2 air matanya meleleh membasahi kedua
pipinya. Ia jatuh berlutut sambil merangkul batang pohon itu, dengan menangis terisak2
. Sontani, Indah
Kumala Wardhani dan Ratnasari berdiri terpaku dibelakang Yoga Kumala dengan diam membisu dan
saling berpandangan. Sedikitpun mereka tak mengerti, mengapa tiba2 Yoga Kumala menangis ter-isak2
dengan tingkah laku yang aneh ? Mungkinkah, gurunya telah mati dan terkubur dibawah batang pohon
yang lapuk itu ? Tetapi mengapa tak ada gundukkan tanah ataupun tanda lain sebagaimana lazimnya
sebuah kuburan ? Dan bilamana benar gurunya terkubur disitu, cara bagaimana Yoga Kumala dapat
mengetahui? Atau Yoga Kumala kini dengan tiba
2 mendapat serangan sakit jiwa ? Untuk mendekat atau
menghibur dan menanyakan langsung pada Yoga Kumala, mereka tidak berani. Jangankan Sontani
ataupun Ratnasari sedangkan Indah Kumala Wardhani adik kandungnya sendiri kini diam membisu tak
bergerak.
Tiba2
sebuah pohon jambu hutan yang berada dibelakang mereka bergetaran, hingga semuanya
terperanjat sesaat dan serentak berpaling kearah dahan pohon jambu yang bergetar iru. Cepat Indah
Kumala Wardhani melolos kain angkin meralinya, akan tetapi . . . . Yoga Kumala telah mendahuluinya, melompat didepan mereka dan langsung memanjat dengan tangkas kedahan pohon jambu itu bagaikan
kera. Ia berlompatan dari dahan kedahan yang lair, mendekati seekor kera besar yang sedang duduk
diatas sebatang dahan yang agak tinggi, sambil berseru girang : — Jamang !! Jamang !!. Aku yang datang
! — Dan seperti mengerti akan kata2 bahasanya, kera besar itu, kini melonjak2
girang, hingga dahan
dimana ia berpijak bergetar lebih keras lagi.
Setelah dekat, kera itu dirangkulnya dan dibelainya serta kemudian dipondong turun, Sontani,
Ratnasari dan Indah Kumala Wardhani, kini menjadi semakin heran melihat tingkah laku Yoga Kumala.
Semula mereka bertiga ragu2 diliputi rasa cemas, akan tetapi setelah menyaksikan sendiri
betapa jinaknya kera besar itu dalam pondongannya, rasa cemasnya segera lenyap.
— Jamang !!. Mari kukenalkan dengan adik2
-ku semua!! - Seru Yoga Kumala sambil memondong
kera itu dan menghampiri Sontani, Ratnasari dan Indah Kumala Wardhani.
— Indah!!. Sontani ?! Ratnasari !!. Serunya kemudian sambil mengangsurkan si Jamang yang
berada dipondongannya.
— Ini Jamang temanku berlatih dahulu!!.
Dengan serentak mereka bertiga mendekat dan membelai punggung si Jamang yang diam jinak
itu, akan tetapi masih juga mereka bertiga tak mengerti maksud pembicaraan Yoga Kumala. Dan kera,
itupun hanya diam memandang dengan matanya yang kecil cekung pada tiga orang yang belum
dikenalnya.
— Teman berlatihmu !?. Tanya Indah Kumala Wardhani tak sabar.
— Ya, memang ia adalah teman berlatihku, sewaktu aku tinggal di hutan ini.— Jawab Yoga
Kumala.
— Aiiiii !!. Aneh benar !!, potong Indah Kumala sambil ketawa geli.
— Kangmas Yoga, apakah kera itu piaraan mendiang gurumu ?. Sontani mulai turut bicara.
— Benar dugaanmu, Sontani !!. Tetapi guruku belum wafat. Hanya saja sedang pergi keluar
hutan!!. Jawab Yoga menjelaskan.
— Maafkan kangmas, akan kekeliruanku. Tetapi mengapa tadi kangmas berlutut dipohon yang
lapuk itu dan menangis terisak2
? Apakah kangmas tak berkeberatan memberikan penjelasan pada kami
??
— Och, itukah yang kalian maksudkan. Baiklah akan aku jelaskan tetapi jangan bertanya lagi
lebih jauh. Yoga. Kumala berkata sambil menghela nafas paujang. la diam sesaat dan melanjutkan
bicaranya. — Pohon yang telah tumbang dan kini lapuk itu, adalah pohon kemboja merah yang dahulu
telah berjasa besar padaku . . . . Yaaaahhh bahkan lebih dari itu. Dapat dikatakan . . . . pohon itulah . .
. . . guruku yang per-tama2 disamping kakek guru Dadung Ngawuk yang kini tengah kita cari . . . . . . —
Sampai Yoga Kumala berhenti bicara. Seakan-akan ada yang sedang dikenangnya kembali, Dan
kemudian ia menjingkat bicaranya sendiri sambil menggersah : — Ach, . . . . sudahlah . . . . tak ada lagi
yang harus kuceritakan mengenai pohon itu.
Dan semua yang mendengarnya, walaupun merasa tak puas, akan tetapi membungkam tak
bertanya lebih lanjut.
Si Jamang yang tadi hanya diam ber-kedip2
turut mendengarkan, tiba2
ia meronta dan turun dari
pundak Yoga Kumala serta mendahului berjalan sambil sebentar2 berpaling kearah Yoga, Kumala dan
menyeringai memperlihatkan deretan gigi2nya yang serempak putih keciI2
itu. Kiranya Yoga Kumala
telah mengerti akan maksud ajakannya. Ia mengikuti si Jamang berserta Sontani, Indah Kumala
Wardhani dan Ratnasari. Selang kira2
lima belas langkah si Jamang berhenti dan diam berjongkok sambil
menggaruk2
ketanah ditepi sendang dengan mengeluarkan suara cecowetan. Ce-pat Yoga Kumala menghampirinya, dan tahulah ia sekarang, bahwa ditempat itu kitab usadha sastra yang dahulu pernah
dipesan oleh Dadung Ngawuk agar ia mengambilnya, disimpannya. Dengan pedang pusakanya tanah itu
digali dan apa yang dikatakan gurunya pada satu setengah tahun berselang, ternyata benar adanya.
Dengan hati2
ia mengeluarkan sebuah peti kayu jati sebesar dua jengkal pesegi dari lobang yang
digalinya itu. Peti yang masih terkunci rapat itu setelah di bersihkan, segefa diberikan pada Sontani agar
dibawanya baik2
.
— Peti itu, apa isinya, Akang Yoga? Dan mengapa tak dibuka saja dahulu? Apakah saya tak boleh
melihatnya? — lndah Kumala Wardhani mendesak.
— Ach . . . . isinya hanya kitab. Nanti saja setelah kita bertemu dengan kakek guruku, kitab itu
kita lihat bersama nanti. —
Jawabnya singkat sambil bersenyum.
— Tetapi kitab apakah itu?, — desak Indah Ku-mala lagi.
— Sabarlah dulu, manis Aku sendiripun belum tahu isinya. Bagaimana aku harus menjelaskan!
— la menjawab dengan kata2
lemah lembut, agar adiknya menjadi lega hatinya. Dan kiranya rayuannya
kali ini berhasil menyabarkan adiknya.
Kini si Jamang berjalan mendahului lagi dengan tingkah laku seperti tadi, dan Yoga Kumala,
Sontani, Indah Kumala Wardhani dan Ratnasari mengikuti dibelakangnya. Namun berbeda dengan tadi,
si Jamang kali ini berjalan lebih cepat sambil berlompatan menuju kearah utara menuju gunung Butak
yang kian lama makin menanjak terjal lewat lereng2nya.
Dan jalan yang ditempuhnya itu masih saja merupakan hutan pegunungan yang tak nampak
adanya perdesan.
— Jamang. Kemana kita akan pergi ? — Seru Yoga Kumala sambil berjalan mengikuti kera itu. Si
Jamang berhenti sejenak dan berpaling serta memandang Yoga sebentar, kemudian berlari2
lagi.
Seakan-akan ia bilang — Ikutilah aku! —
Dan mereka semua berjalan terus, tanpa berhenti. Hutan itu kian lama makin menipis, karena
tanah pegunungan yang semakin meninggi itu ternyata makin tandus. Hanya ilalang dan lantara saja
yang menggerombol lebat berserakkan, dengan beberapa pepohonan besar dan rindang yang tumbuh
liar dan jarang2 antaranya, seperti pohon munggur, asam ataupun jati. Batu2 besarpun berserakan
dimana-mana. Gunung Butak itu sebenarnya tak seberapa tingginya, dan hanya merupakan gundukkan
yang besar belaka, tak berkawah. Bagian atasnya amat tandus dan gundul tak ada pepohonan. Hanya
dilereng bawah saja, terutama dilembah sekitar tebing2
kali Kening itu tanahnya subur. Kali Kening itu
memang bersumber dari gunung Butak dan mengalir keselatan untuk kemudian bertemu dan menjadi
satu dengan kali Bengawan.
Akan tetapi karena tak ada manusia yang menghuni di gunung Butak itu, maka tanah2
yang
subur itu hanya merupakan hutan dengan pepohonan dan tanam2an liar. Setelah mereka berjalan
mengitari lereng lereng pegunungan itu, kini mereka tiba disuatu dataran terbuka yang hanya ditumbuhi
oleh rumput dan ilalang saja. Sedang mercka berjaIan menyusupi ilalang yang lebat itu, tiba2
terdengar
suara parau yang menggema — Anak gilaaaa! Suara itu demikian jelas dan kerasnya sehingga seakan2
diucapkan oleh orang yang berada didekat mereka. Akan tetapi setelah mereka mengawasi kesekeliling
dataran itu, ternyata tak nampak adanya seorang manusia lainnya.
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Yoga Kumala menjawab seruan kakek gurunya Dadung
Ngawuk — Saya datang.. kakek guruuuuuu! — Suara itupun kemudian memantul kembali dan
menggema bagaikan gelombang. Dan sesaat kemudian terdengarlah suara tawa yang terkekeh2
mengumandang jauh Si Jamang berlari berlompatan semakin cepat tanpa berpaling lagi, diikuti Yoga Kumala, Sontani Indah Kumala Wardharti dan Ratnasari. Demikianlah cepatnya si Jamang berlari2
,
hingga Ratnasari dan Indah Kumala Wardhani terpaksa pontang panting dan terengah2
.
Tanah datar yang merunakan lapangan itu telah dilaluinya dan kini mereka memasuki hutan
dipinggir kali Kening yang tak demikian lebatnya. Tiba
2
... tanpa menghiraukan Sontani, Indah Kumala
dan Ratnasari yang berlari2 di belakangnya,... Yoga Kumala melompat dan menjatuhkan diri berlutut
didepan kakek gurunya Dadung Ngawuk yang sedang duduk diatas tanah bersandar pada batang pohon
dengan berlumuran darah. Ternyata sebuah kaki kiri dari kakek Dadung Ngawuk telah buntung sampai
batas pahanya. Namun ia masih juga dapat duduk dengan tenangnya.
— Kenapa, kakimu itu kakek guru ? Dan siapa orangnya yang berani berbuat demikian kejam
terhadapmu . . . . . Maafkan terlambatkah kedatanganku . . . . . ini ? — Kata Yoga Kumala terputus2
sambil menangis terisak2
Anak gila !!!. Haaaa .. . . . haaa . . . .. haaaa !. Tak usah bersedih dan jangan menangis seperti
anak perempuan !! Datangmu terlalu pagi dan bukan terlambat . . . . anakgila !!
Jawabnya sambil masih ketawa terkekeh2
serta menepuk2 bahu Yoga Kumala. Sedikitpun, seakan2
Dadung Ngawuk tidak merasakan sakit, pada hal melihat darah yang berhamburan di tanah serta
dibadannya itu jelas bahwa ia belum lama kehilangan kaki sebelah kirinya. Bahkan paha kirinya itu masih
mengeluarkan darah segar walaupun tak deras. Sementara itu Sontani, Ratnasari dan Indah Kumala
Wardhani bersujud pada kakek Dadung Ngawuk dengan perasaan terharu dan kemudian duduk bersila
dibelakang Yoga Kumala. Sedangkan si Jamang, kera yang setia itu duduk menempel pada punggungnya
Dadung Ngawuk. Mereka tak sampai hati melihat luka yang diderita oleh gurunya Yoga Ku-mala.
— Tenangkan dulu, anak gila !!!. Dan katakan dulu, siapa kedua anak yang belum aku kenal itu !!
Kini Yoga Kumala telah tenang kembali. Ia duduk bersila dekat didepan kakek Gurunya sambil
menempelkan telapak tangannya yang kanan pada paha gurunya yang buntung dan berlumuran darah
itu.
Dengan jari2nya ia menotok berulang2 pada pembuluh2 darah dipaha yang buntung itu, agar
darah tak mengalir keluar.
– Kedua orang yang kakek guru maksudkan itu adalah sahabatku Panewu tamtama Sontani dan
adiknya Ratnasari, sedangkan yang satunya itu adalah adikku Indah. Jawab Yoga Kumala dengan
tertunduk, dan kemudian mengulang pertanyaannya lagi.
— Tetapi . . . . . tetapi . . . . . kakimu sebelah ini . . . . . kenapa .. . . . . kakek guru ? ?.
Seperti tak mendengar pertanyaan Yoga Kumala, Kakek Dadung Ngawuk ketawa terkekeh2
lagi
hingga badannya bergoyang2
, sambil bicara : . . . . . Anak gila yang baik !! Adikmu yang nakal itu, aku
kenal. Heeehh . . . . Sama2 gila, seperti kau, tapi lebih pintar !! . . . . Sayang . . . . ia perempuan !!
Katanya sambil memandang pada Indah Kumala Wardhani dengan matanya yang sayu dan cekung itu.
— Kakek aneh !!. Aku tidak gila dan Akang Yogapun tidak gila!! Sahut Indah Kumala dengan
bersenyum geli. Namun jelas bahwa dalam hatinya ia menaruh kasihan pada kakek Dadung Ngawuk
yang kini terluka parah itu.
— Haaaa . . . . haaaaa . . . . haaaaaal. Pintar! Pintar! Tetapi benar2
gila . . . . . yaaa . . . . semua
gila . . " Sahabat2mu itu juga gila!! . . . . sayapun gila!!—
Suaranya terdengar semakin lemah dan sesaat kemudian ia memejamkan matanya dengan
kepalanya yang gundul bersandar pada pohon dibaelakangnya. Yoga Kumala yang sudah tahu akan
tabiat kakek gurunya yang sinting itu, segera mengetahui, bahwa Dadung Ngawuk sedang bersamadhi
untuk memulihkan kembali tenaganya.
Sontani dan Ratnasari yang sedari tadi diam tak berkata sepatah katapun, dalam hati sangat kagum akan kesaktian dan ketabahan Kakek Dadung Ngawuk. - Terluka demikian hebatnya, masih juga
ia dapat ketawa dan bersendau-gurau pikirannya. Seorang biasa tentunya akan jatuh pingsan atau mati
kehabisan darah. Suasana kini menjadi sunyi. Semua terdiam dengan lamunannya masing2
. Si
Jamangpun seakan2
turut bersedih.
Sebentar kemudian Dadung Ngawuk telah duduk tegak kembali, sambil batuk2
kecil serta
membuka matanya, dengan diiringi suara tawanya yang terkekeh2
lembut.
— Nah, . . . . adikmu dan sahabat2
-mu yang gila dan baik hati itu supaya menggeser maju
sedikit, agar aku dapat melihat mukanya yang bagus dan ayu itu lebih jelas. Tetapi hendaknya jangan
sampai kena bekas darahku yang berceceran itu ...... Mari, mari !!, Dekat disampingku dan coba berikan
peti kitab itu !!—. Katanya kemudian dengan nada yang lemah lembut.
— Apakah tidak sebaiknya aku mencari air untuk mencuci darah yang berlumuran ditangan dan
badanmu itu, kakek? — Indah Kumala memotong bicara.
— Biarlah aku yang mengambil air dikali seberang itu!!. Sahut Sontani sambil bangkit berdiri,
setelah ia menyerahkan peti kitab yang tadi dibawanya.
Akan tetapi cepat kakek Dadung Ngawuk menggeleng2
- kan kepalanya sambil berkata: — Jangan
!!. Jangan !! Tak usah sekarang!!. Itu gampang dikerjakan nanti. Sebelum hari gelap malam isi kitab ini
akan aku jelaskan tentang bagian2
yang penting !!.
Dengan mudahnya peti itu dibuka oleh kakek Dadung Ngawuk, sedang Sontani duduk bersila
kembali. Peti itu berisikan kitab yang terdiri dari lembaran kulit domba kuno. Lembaran2
yang telah
lepas dari jilidnya itu ternyata masih tersusun menurut urutannya halamannya dan masih pula lengkap,
merupakan sebuah kital, yang tebal. Seperti telah lupa pada luka yang sedang dideritanya, kakek
Dadung Ngawuk mulai membalik2
kan lembaran2
kitab kuno itu, dan kemudian mengambil tiga lembar
yang berada di-tengah2
.
Kini Dadung Ngawuk tak lagi seperti orang sinting. Wajah dan tingkah lakunya menjadi wajar
dan bersungguh2
. Sinar matanya berkilat bening dan berpengaruh. Suaranya tenang mengandung
wibawa.
— Yoga muridku! Cepatlah pelajari cara usadha yang termuat dalam tiga lembar ini. Aku percaya
dengan bekal yang ada padamu serta kecerdasan otakmu, pasti kau dapat memahami dan menghafal
dalam waktu yang singkat. Ini penting sekali, karena ada hubungannya dengan kakiku yang buntung ini!!
Berkata demikian Dadung Ngawuk sambil memberikan tiga lembar bagian kitab kuno, kitab Usadha
Sastra yang dipegangnya, yang mana segera disambutnya oleh Yoga Kumala.
Dari lembar pertama hingga lembar ketiga dibacanya oleh Yoga Kumala dengan saksama.
Ternyata lembaran kulit domba kuno itu memuat pelajaran2
cara mengobati seorang yang terluka berat
didalam rongga dadanya serta patah tulang iganya dan pecah pembuluh darahnya yang mengalir
kebagian tangannya. Juga dalam lembaran
2
itu termuatpula ramuan2 obat yang harus diminumkan pada
sipenderita, setelah mendapat pertolongan dengan menggunakan pengerahan tenaga dalam dan pijatan
ataupun totokan dengan jari2
. Setelah dipahami benar2 hingga ia sendiri percaya dapat melakukan
dengan sempurna, maka ia lalu menghafal nama2
rempah2
yang perlu digunakan untuk membuat
ramuan obat itu, hingga dapat menghafal diluar kepala.
Sedang Sontani, Ratnasari dan Indah Kumala Wardhani hanya turut membaca sepintas lalu,
tetapi tak mengerti isi maksud keseluruhannya.
— Tetapi . . . . kakek guru!!, Untuk apakah sesungguhnya, hingga aku diharuskan mempelajari
sekarang ? Apakah kakek guru juga terluka berat dalam rongga dadamu?. Tanya Yoga Kumala setelah
selesai membaca dan memahaminya.
— Bukan. bukan aku yang sakit dada . . . . tetapi musuhku dan juga sahabatku. Nah . . . .
bukankah itu ada hubungannya dengan kakiku yang kini telah buntung ? Jawab Dadung Ngawuk sambil
memandang tajam pada muridnya. Yoga Kumala semakin heran mendengar jawaban kakek gurunya itu.
Ia belum mengerti apa yang dikehendaki gurunya yang aneh itu.
Demi melihat muridnya hanya ter-longong2
tak berkata sepatah katapun, Dadung Ngawuk lalu
menceritakan riwayat buntungnya kakinya yang sebelah. Ia menceritakan bahwa semalam ia habis
bertempur dengan Mbah Duwung dan berakhir dengan masing2 menderita luka berat. Ia sendiri
tertebas kakinya sebelah kiri hingga buntung, sedangkan Mbah Duwung terluka berat dalam rongga
dadanya, terkena totokkan maut jari2
tangan kiri. Dadung Ngawuk. Menurut katanya Mbah Duwung tak
mungkin dapat hidup lebih dari tiga hari, jika tak cepat mendapat pertolongan dengan pengobatan
secara yang termuat dalam kitab itu. Akan tetapi walaupun dapat tertolong jiwanya, sipenderita itu akan
mengalami cacad seumur hidupnya, karena tangan kirinya menjadi lumpuh dan punggungnya bongkok
tak bertenaga lagi.
Ia mengakui pula akan kehebatan ilmu golok panjang dari Mbah Duwung yang mendapat
julukan bertangan besi itu akan tetapi ia masih bangga, bahwa ilmu wurushaktinya tidak kalah
dengannya.
Walaupun ia kini kehilangan sebelah kakinya, akan tetapi sedikitpun ia tak menyesal, karena
telah dapat membuktikan bahwa ilmunya wurushakti dapat mengalahkan Mbah Duwung yang terkenal
dengan julukkan sitangan besi yang shakti itu.
Oleh Dadung Ngawuk juga diceritakan, bahwa semula pertempuran itu adalah segitiga dan
menurut undian ia terlebih dahulu bertempur melawan Tadah Waja. Akan tetapi karena Tadah Waja
berlaku curang, ialah membawa anak buahnya ikut serta bartempur, maka Mbah Duwung lalu
membantunya, hingga akhirnya Tadah Waja menemui ajalnya. Mayatnya Tadah Waja diangkut oleh
anak buahnya pergi turun gunung, sedangkan Mbah Duwung dipondong oleh muridnya yang bernama
Talang Pati, pergi kearah barat. Dan katanya kemudian: — Tentang luka dipahaku ini, aku sendiri dapat
mengobatinya, setelah aku tiba kembali dipondokku. Maka dukunglah aku sekarang, untuk berjalan
sampai dipondokku, Yogal.
— Walaupun Yoga Kumala belum demikian jelas tentang maksud dan tujuan dari keharusan
mempelajari pengobatan yang serba kilat tadi, akan tetapi tanpa menunggu di ulang lagi perintah kakek
gurunya, ia segera bangkit dan momondongnya kakek gurunya, sambil berkata pelan: - Kakek tak usah
susah2
jalan dengan didukung, lebih baik jika kupondong saja! — Berkata demikian, ia sambil berjalan
menuju kehutan Blora kembali, yang tak berapa jauh letaknya. Sontani dengan membawa peti kitab
yang dimasukkan lagi dalam peti, mengikuti dibelakangnya berserta Indah Kumala Wardhani dan
Ratnasari. Sedangkan si Jamang telah mendahului, seakan-akan sebagai petunjuk jalan.
— Turunkanlah aku diluar gubug sini saja! — Kata kakek Dadung Ngawuk setelah sampai
didepan pondoknya ditengah hutan Blora dekat sendang.
— Nach, disini aku tak usah kuatir akan terlantar, karena pasukankupun masih lengkap! —
Katanya kemudian setelah turun dari pondongan Yoga Kumala.
— Pasukan yang mana yang dimaksudkan kakek gundul itu? — pikir Sontani, Indah Kumala
Wardhani dan Ratnasari. Mereka tak melihat adanya seorang manusia dihutan ini.
— Tetapi sewaktu aku tadi siang dihutan ini selain si Jamang, aku tak melihat mereka, kakek
guru!. Dimanakah kiranya mereka bersembunyi?. — Tanya Indah Kumala Wardhani.
— Haaaa...haaaa...haaaa...!. Tentu saja kau tak bertemu dengan mereka. Tanpa kupanggil, tak
mungkin mereka berani keluar dari persembunyiannya. Haaaaa... haaaa... haaaaa!. Sontani, Indah Kumala Wardlraai dan Ratnasari kini menjadi lebih heran lagi. Mengapa tadi Yoga
Kumala tak mengatakan bahwa kakek gundul itu mempunyai laskar yang tersebar dihutan itu? Jika tadi
dikatakan demikian, tentunya mereka akan berusaha mencarinya untuk mudah mendapatkan
keterangan kemana kakek gundul itu pergi. Dan tentulah akan lebih jelas, dari pada bertanya pada si
Jamang. Sedang mereka duduk diam sambil bertanya2 dalam angan2
, tiba2
kakek gundul itu bertepuk2
dengan tangannya lima kali berturut2
, sambil ketawa terkekeh nyaring, dan sesaat kemudian,
bermunculanlah dari segenap penjuru kera2 piaraan Dadung Ngawuk sejenis si Jamang dengan masing2
membawa ranting2
kering dan buah2an. Melihat banyaknya kera yang berlompatan datang dari arah
sekitarnya sambil cecowetan itu, Ratnasari dan Indah Kumala Wardhani menggigil ngeri juga. Dan
Sontani hanya terlongong2 penuh rasa heran. la tahu kini, bahwa yang dimaksudkan dengan pasukan
adalah kera2
yang kini datang bermunculan itu. Tapi bagaimana mereka dapat setaat itu, tak ubahnya
seperti manusia saja — pikir Sontani. Rasa takut kedua gadis itu hilang, setelah menyaksikan sendiri,
bahwa satupun tak ada yang berani mengganggunya. Dengan rapihnya mereka menumpuk ranting2
kering itu untuk kemudian dibuatnya perapian oleh Yoga Kumala, sedang buah2an yang mereka bawa
dinikmatilah semua bersama.
Atas petunjuk kakek Dadung Ngawuk, Yoga Kumala mengambil rempah2
ramuan obat yang tersimpan
dipondok, untuk kemudian dibobokkan pada luka dipaha Dadung Ngawuk. Setelah mana luka dan
seluruh badan Dadung Ngawuk dibasuh dengan air sendang oleh Yoga Kumala.
— Berangkatlah nialam ini juga dengan kudamu itu, menyusul Mbah Duwung, dan kerjakan
baik2
semua petunjuk2
ku itu. Adi2mu biarlah menunggu disini, sampai kau kembali. — Katanya Badung
Ngawuk kemudian: — Dan ramuan obat2an yang telah kupisahkan itu, hendaknya di masukkan dalam
kantong kulitmu. Katakan padanya bahwa aku masih sehat segar, tak kurang sesuatu, serta aku tetap
menganggapnya sebagai sahabat karibku!. —
Sebenarnya Yoga Kumala tak sampai hati meninggalkan kakek gurunya walaupun hanya
sebentar, akan tetapi karena patuh dan percaya pada Sontani serta pada kedua gadis itu, bahwa mereka
tentu akan merawatnya dengan baik. maka malam itu juga Yoga Kumala dengan berkuda mencari
perginya Mbah Duwung dengan muridnya Talang Pati.
Hati2 diperjalanan! Kakek gurunya berpesan, sewaktu Yoga Kunuila meninggalkan hutan Blora.
Ratnasarilah yang sedih diantara mereka, setelah Yoga Kumala tak nampak lagi. Ingin ia ikut serta selalu
disisinya Yoga Kumala, namun sebagai wanita ia malu untuk mengutarakan isi hatinya Garis baru orang
seperti Mbah Duwung tak mungkin mau mengganggu rakyat padesan.
Jika ia menghendaki istirahat, tentunya akan merasa lebih aman di tengah2 hutan - pikir Yoga
Kumal, Memang pendapatnya ini sangat beralasan. Setelah pada fajar pagi ia sampai dihutan dekat
dukuh Wirosari sebelah barat hutan Blora, ternyata ia dapat menemukannya. Waktu itu, Mbah Duwung
sedang rebah dengan beralaskan daun2
kering sambil batuk2
kecil dengan memuntahkan gumpalan
darah segar dan mengigau tak menentu, sedangkan Talang Pati muridnya yang setia menunggunya
deagan mengurut-urut dadanya.
Sebentar2 Talang Pati memberikan minum pada gurunya dengan mangkok yang ia dapat minta
tadi siang pada orang2 desa didekat hutan itu.
Perapian di sebelahnyapun masih menyala. Setelah turun dari kudanya, dengan amat perlahan2
Yoga Kumala mendekati mereka. Ia tak ingin mengejutkan mbah Duwung yang luka parah serta
muridnya yang kelihatan sangat letih. Sebagai seorang shakti yang terlatih, walaupun Mbah Duwung
dalam keadaan yang setengah sadar setengah tidak, dapat cepat mengetahui adanya langkah orang yang kian mendekat.
— Talang Pati!. Ada . . . orang !.— bisiknya lemah.
Dan kiranya Talang Pati telah mengetahui pula kedatangan Yoga Kumala.
— Siapa kau?. Desisnya Talang Pati dengan menghunus golok panjangnya sambil berdiri.
– Aku Yoga Kumala hendak menolong gurumu!, – jawab Yoga Kumala tenang sambil
memperlihatkan dirinya dari balik pohon, serta mendekatinya.
— Yoga Kumala!. — Talang Pati mengulang pelan, mengawasi dari kepala hingga telapak
kakinya. Jika tak salah, ia pernah melihat orang yang kini mengaku Yoga Kumala itu. Tetapi dimana...ia
tak ingat lagi. Ach, . . . . mungkin berkehendak jahat - pikirnya. Talang Pati menjadi penuh ragu. Suara
dalam hatinya bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Melihat ketenangan dan kejernihan wayah
anak muda ini, tak muugkin ia berniat jahat. Seandainya berniat jahat, tentunya telah sejak tadi ia
menghunus pedangnya yang tersandang. Akan tetapi mengapa ia malahan kian mendekat sambil
tersenyum bersahabat. Jika bermaksud menolong, mustahil orang semuda ini mengerti tentang
pengobatan luka dalam. Atau mungkin . . . . guruku telah mengenalnya. Sedang Talang Pati mengawasi
sambil mempertimbangkan pendapatnya, tiba2
terdengar suara keluhan lemah namun jelas: --
Yoga...Yoga aku tahu...murid petapa Cahayabuana...apa perlumu? -
Bukan, bukan, Mbah guru!. Aku ingat sekarang! Kaulah Sujud murid Dadung gawuk musuhku! —
Desisnya Talang Pati sambil langsung menyerang dengan sabetan golok panjangnya.
Menghadapi serangan dahsyat yang tiba2
itu, Yoga Kumala terperanjat sesaat. Ia tak menduga
sama sekali, bahwa Talang Pati akan menyerangnya. Cepat Yoga Kumala melompat surut kebelakang
selangkah menghindari serangan golok panjang, dibalik pohon yang ada
dibelakangnya...krrraaaakkkkk!!.
Dan pohon yang menghadang sabetan golok Talang Pati terbabat tumbang.
— Benar apa katamu, Kakang Talang Pati! Tetapi sabarlah dulu . . . . akan ku jelaskan . . . .
— Tak ada tetapi! — potong Talang Pati sambil menerjang lagi dengan bacokan mengarah
kepala Yoga Kumala.
Dengan tangkasnya Yoga Kumala barlompatan kesamping kanan dan kiri menghindari serangan
Iawan yang bertubi-tubi dan amat bahaya itu.
Sedikitpun tak ada dalam benak hatinya Yoga Kumala untuk menanggapi kekalapan Talang Pati.
Ia hanya berlompatan menghindar, tanpa memberi serangan balasan. Akan tetapi Talang Pati telah
sampai pada puncak kemarahan. Ia tak mau dihina secara demikian.
— Cabut pedangmu! — serunya sambil terus menyerang, dengan jurus-jurusnya yang dahsyat.
Kiranya banyaknya pepohonan dalam hutan itu menolong pula pada Yoga Kumala. Ia
berlompatan menghindari serangan dengan cara menyelinap di balik pepohonan yang berada di
sekitarnya. Dan lebih dari empat pohon telah terbabat tumbang oleh amukan golok panjang Talang Pati,
Namun Yoga Kumala tetap tenang tak bermaksud membalas serangan.
— Kakang Talang Pati! Kedatanganku untuk menolong gurumu! Dan ketahuilah . . . . apabila
terlambat. gurumu tak mungkin dapat tertolong lagi, — Sahutnya sambil melompat surut kesamping
kanan.
Akan tetapi kata-kata itu seakan-akan tak didengarnya, dan Talang Pati masih saja terus
mendesaknya dengan serangan-serangan yang bertubi tubi.
Semakin lama serangan itu tak semakin mereda, bahkan sebaliknya. Ia menyerang dengan golok
panjangnya sambil melontarkan tendangan-tendangan kilat yang dahsyat.
Dalam hati, Yoga Kumala kagum pula akan kehebatan ilmu golok panjangnya Talang Pati. Dan dibalik rasa kagum itu, iapun heran bahwa dasar-dasar gerakan jurusnya hampir menyamai ilmu
pedangnya sendiri. Hanya saja terdapat perbedaan perbedaan dalam rangkaiannya, serta pada gerakan
tangan kirinya.
Jika ia sendiri selalu menggunakan tangan kirinya sebagai serangan totokan dengan jari-jarinya
yang telah dikembangkan, maka Talang Pati menggunakan telapak tangan kirinya sebagai pukulan,
apabila serangan golok panjangnya tak mengenai sasaran.
Dan menurut pendapat Yoga Kumala golok panjang ditangan Talang Pati itu agaknya terlalu
berat, hingga pada perobahan perobahan gerakan nampak agak lambat pula. Selain itu, pun ternyata
golok panjang itu kurang panjang beberapa jari.
Seandainya saja golok panjang itu sedikit ringan dan panjang ukurannya pun cukup, mungkin
serangan-seranganya sukar untuk dielakkan dengan hanya mengandalkan pada kelincahan saja.
Namun ia sendiri memuji akan kehebatan gerakan-gerakan serangannya. Jelas, bahwa Talang
Pati memiliki ilmu golok panjang yang mendekati sempurna. Dengan demikian dapat pula diperkirakan
akan kehebatan ilmu yang dimiliki gurunya mBah Duwung. Dan suatu kenyataan, Dadung Ngawuk yang
demikian shaktinya dapat tertebas sebelah kakinya.
— Sujud! Apakah pedang yang kau sandang itu hanya hiasan belaka?! Jangan salahkan aku,
apabila lehermu tertebas oleh golok panjang ini, — serunya sambil melompat mengejar dan langsung
menyerangnya.
— Hentikan dulu. apabila Kakang Talang Pati sungguh mencintai gurumu! — Seru Yoga yang
makin lama makin berkurang pula kesabarannya.
— Bohong, . . . . pengecut! Kau Jika kau bermaksud baik, buat apa memakai nama palsu dengan
Yoga Kumala. Sedangkan aku tak lupa, . . . . namamu adalah Sujud ! Dan Kaulah pewaris tunggal ilmu
wurushakti Dadung Ngawuk yang melukai guruku! — Sahut Talang Pati sambil masih menyerang dengan
golok panjangnya.
Setelah tak ada jalan lain lagi untuk secara damai menginsyafkanuja, dan setelah pula
memperhatikan segi - segi kelemahan ilmu golok panjangnya Talang Pati. Yoga Kumala merobah
pendiriannya.
Ia akan membuktikan lebih dulu, bahwa jika dikehendaki dapat pula ia mengimbangi kesaktian Talang
Pati yang tangguh itu.
Akan tetapi masih juga ia tak bermaksud untuk melukainya. Bagaikan kilat ia mencabut pedang
pusakanya, melompat mengelakkan serangan tebasan kearah kakinya.
— Bagus! Jika kau menghendaki perlawanan dengan pedangku! — Seru Yoga Kumala, sambil
memapaki serangan lawan dengan pedang pusakanya.
Dua senjata beradu keras dan Talang Pati melompat surut kebelakang selangkah. Sesaat ia
terperanjat, demi dirasakan tlapak tangannya menjadi pedih, dan hampir saja golok panjangnya
terpental lepas. Demikian pula Yoga Kumala. la terkesiap. setelah tahu ketangguhan lawan. Dengan
tangkas dan cepat, Yoga Kumala merangkaikan serangannya. Pertempuran menjadi seru, dan masing-
masing memperlihatkan keshaktiannya yang amat tangguh.
Desiran angin dari sabetan, babatan dan bacokan kedua senjata menggetarkan ranting-ranting
pepohonan disekitarnya hingga daun-daun jatuh berterbangan. Dua sinar putih ber-gulung gulung
menyelubungi tubuh kedua orang shakti yang sedang bertempur itu.
Jika semula Yoga Kumala hanya mengelak sambil ber-lompatan menghindar, kini tiba-tiba
berobah menjadi sebaliknya. Dengan memeras segenap tenaga dan ketangkasannya Talang Pati
terpaksa harus menghadapi ketangguhan lawan, dan dirasakan semakin lama kian terdesak kedudukannya.
Setapak demi setapak dan selangkah demi selangkah, Talang Pati terpaksa harus bergerak surut
kebelakang, menghindari serangan lawan yang berbahaya dan bertubi-tubi bagaikan gelombang yang
bergulung gulung menggempur karang tak ada hentinya.
Belum pernah Talang Pati menghadapi lawan yang demikian tangguhnya. Dalam hati ia kagum
dengan penuh rasa heran. Mengapa tiba2
gerakan golok panjangnya yang biasanya ganas kini se-akan2
menjadi lumpuh. Kemanapun golok panjangnya berkelebat, pedang lawan selalu dapat mendahuluinya
dan kemudian menutup jalan rangkaian serangannya. Melihat tingkah laku dan gerakan serangan
totokkan jari2
tangan kiri lawan, jelas bahwa lawannya adalah murid Dadung Ngawuk musuh gurunya.
Akan tetapi belum pernah ia mendengar bahwa Dadung Ngawuk memiliki ilmu pedang yang demikian
shaktinya. Sepanjang pengetahuan yang didapat dari cerita gurunya, orang yang memiliki ilmu pedang
shaku hanya ada dua orang. Seorang bernama Kyai Sidik Pamungkas yang kini telah bergelar Wiku Sepuh
di Gunung Sumbing dan yang tak mau lagi menggunakan senjata pedangnya, sedang seorang lainnya lagi
ialah perampok shakti yang bergelar si Ular Merah. Akan tetapi si Ular Merah ini pada kira kira lima belas
tahun yang telah lampau, telah lumpuh terkena pukulan aji shakti dari petapa tua Pajajaran yang
bersemajam di Gunung Tangkubanperahu. Dan selanjutnya cerita tentang si Ular Merah yang memiliki
ilmu pedang shakti itu tak terdengar lagi. Pun siapa adanya petapa tua yang amat shakti itu, ia sendiri
tak pernah mendapatkan keterangan lebih jauh dari gurunya.
Akan tetapi, mengapa ia kini menghadapi kenyataan yang menyimpang dari petunjuk2
gurunya?
Dan yang lebih mengherankan lagi, seakan-akan lawannya yang kini sedang dihadapi itu telah mahir pula
akan ilmu golok panjangnya sendiri. Tiap2 perubahan gerakan serangannya selalu dapat didahuluinya
dengan serangan pedang lawan yang amat mentakjubkan.
Haruskah ia menyerah pada lawannya, sebelum ia terluka?
— Tidak!! Tidak mungkin!! — seru hatinya.
Baginya lebih baik mati tertebas pedang lawan, daripada hidup sebagai pengecut dan
pengkhianat. Demi melindungi gurunya ia harus melawan terus hingga hembusan nafas yang terakhir.
Tekadnya telah bulat.
Pandang matanya berkilat tajam. Mulutnya terkatub rapat, dan giginya bergeretak. Tubuhnya
serasa gemetar, sedangkan telapak tangan larinya mengepal meremas2
. Golok panjang ditangan
kanannya tiba2 berputaran cepat, hingga perisai baja putih yang bersinar berkemilauan. la telah
bertekad hendak mengadu jiwa dengan lawannya yang amat tangguh itu. Seruan tinggi melengking
terdengar, dan ……. Brrreeettt!!!!
Ternyata sewaktu ia hendak meloncat tinggi dengan maksud malancarkan serangan dengan
jurusnya yang terampuh, ialah "elang menyambar mangsa" digabung dengan „menerjang baja
membara", — suatu perubahan gerakan yang tiba tiba didahului dengan loncatan tinggi serta
menyerang lanasung dari atas, dalam bentuk gerakan tusukan dan sabetan golok panjang yang berantai.
tanpa menghiraukan kemungkinan serangan balasan dari lawan, — celana dari paha sampai dilututnya
terobak oleh ujung pedang pusaka Yoga Kumala hingga gerakan loncatannya menjadi gagal.
Kedua jurus berangkai itu adalah jurus simpanan, yang banya dilakukan sewaktu terdesak dan
menghadapi jalan buntu. Apa daya!! Agaknya lawannya pun telah mengetahui terlebih dahulu akan
maksud gerakannya. Jurus simpanannya terachir telah gagal sama sekali, karena didahului oleh Iawan
dengan cara menyerang sambil menutup langkahnya.
Bulu kuduknya berdiri dan peluh dingin mengucur dari keningnya. Ia melompat surut
kebelakang lima langkah, hingga hampir saja menginjak Mbah Duwung gurunya sendiri yang masih berbaring ditanah.
— Hentikan .... pertempuran!! Walaupun suara itu diucapkan amat lemah oleh Mbah Duwung,
akan tetapi oleh Talang Pati dan Yoga Kumala dapat didengar jelas, serta dirasakan pula betapa
besarnya perbawa yang disalurkan lewat suara yang lemah itu. Kiranya Mbah Duwung yang telah terluka
berat didalam dadanya, masih juga dapat mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengiringi suara
seruannya pada kedua orang yang sedang bertempur.
Cepat Yoga Kumala menghentikan gerakannya sambil menyarungkan kembali pedang
pusakanya, yang kemudian diikuti oleh Talang Pati. Tanpa rasa curiga ke-dua2nya segera berjongkok
mendekati Mbah Duwung yang tengah berbaring lemah itu.
— Talang Pati! Kau tak perlu malu . . . . kalah . . . . dengan cucunya . . . Petapa shakti
Cahayabuana itu! — Kata Mbah Duwung lemah dan terputus putus. Ia diam sejenak sambil menelan
ludah, dan menekan pada dadanya sendiri dengan telapak tangannya, serta kemudian melanjutkan lagi
kata2nya dengan nada iang semakin lemah.
— Memang . . . . ia . . . . . sebelum menemukan asal usulnya, . . . . . namanya Sujud . . . . dan
murid dari . . . . Dadung Ngawuk . . . . Tetapi . . . . kini nama aslinya . . . ialah Yoga Kumala. Ia . . . . . baik .
. . . dan pantas kau contoh . . . . pun . . . . Dadung Ngawuk juga orang . . . baik . . . . —
— Tetapi . . . . hendaknya Mbah Duwung jangan banyak bergerak. Luka didalam dadamu amat
parah. — Potong Yoga Kumala, sambil meraba dada Mbah Duwung dengan telapak tangannya.
Sementara itu Talang Pati hanya tertunduk dengan hati yang sedih demi melihat gurunya
berbaring sambil merintih2
.
— Kedatanganku kemari, memang sengaya menyusulmu memenuhi perintah guruku Dadung
Ngawuk, untuk mengobati lukamu sedapat2nya, — kata Yoga Kumala kemudian, sambil mengeluarkan
ramuan obat2an dari dalam kantong kulitnya.
— Ach . sayang . . . . kau . . . . terlambat . . . . Rasanya . . . . tak per . . . . lu . . . . lagi . . . . — Suara
Mbah Duwung amat lemah, dan berkata demikian itu ia sambil memegang tangan Yoga Kumala dan
menyisihkannya, sebagai isyarat menolak untuk diberi pengobatan.
Sejenak kemudian ia melanjutkan bicaranya dengan nada yang terputus2
serta gerak nafas yang
tak teratur.
— Ta . . . lang . . . Pati. Kau . . harus . . . mem . . . balas . . . budi . . . pada Dadung Ngawuk . .
untukku . . . ! Rawat . . . lah . . . dia sepanjang . . . masa . . . Kasihan . . . ia . . kehilangan . . . sebelah
kakinya . . Ketahui . . . lah Talang . . Pati!! Antara aku . . . dan . . . Dadung Ngawuk . . tak ada . . .
permusuhan . . . Semula . . . karena salah . . . paham . . . dan . . . kemudian . . . . karena ingin . . . menguji .
. . ilmu masing2
. . . Ter . . nya . . . ta . . . aku . . . yang . . . ka . . . lah. Maka . . belajar . . . lah . . . dari . . . dia
. . . agar . . . tak . . . mengece . . . wakanmu sen. . . diri!
Yoga . . . tentu . . . . mau menolong . . . . mu agar kau . . . . diterima . …men . . . jadi . . . . muridnya . . .
.Dadung Ngawuk . . dan . . . kelak apabila ada . . kesempatan . baik bergurulah . . pada . Yoga . . . ini.
Nach . . pesanku bersa . . . . habatlah . . . kalian . . berdua …—.
Ia berhenti sesaat dengan nafas yang terengah
2
, dan melanjutkan bicara dengan mengerahkan
sisa tenaganya: -Yoga!!, . . . . Terima . . . .lah . . muridku . . . Talang . . . Pati . . dan bimbing . . . . lah ia. Isi .
. . . .sabukku . . . ini . . untuk . . . . mu . . . sebagai . . . tanda . . . terima . . . kasih . . , ku . . — Sampai disini
suara Mbah Duwung berhenti lagi .. Ia memejamkan maranya sambil berusaha menarik nafas dalam2
.
Kedua tangannya disilangkan diatas dadanya, dan sesaat kemudian . . . ia telah tak bernafas lagi.
— Mbah . . . guruuuuuuu!!!— Jerit Talang Pati sambil menelungkup diatas tubuh Mbah Duwung
yang telah mulai dingin dan makin membeku itu. la menangis tersedu sedan dengan air mata yang deras bercucuran. Namun jerit dan tangisnya telah tak terdengar lagi oleh Gurunya. Tak mengira . . . . bahwa
riwayat gurunya yang ia sangat cintai hanya berhenti sampai disini . . . . Gurunya yang ia cintai dengan
sepenuh hatinya, yang ia bangga2
-kan dan yang ia selalu hidup bersandarkan padanya . . . . kini telah
meninggalkan untuk selama2 nya.
— Sudahlah, Kakang Talang Pati!!. Hendaknya kita mulai merawat se-baik2nya jenazah gurumu
itu. Akupun turut berduka, tetapi ingatlah bahwa semua kejadian adalah atas kehendak Dewata Hyang
maha Agung. Lahir dan matinya semua ummat adalah dalam kekuasaanNya.
Sesungguhnya akupun sangat menyesal karena tak dapat menolong gurumu, akan tetapi . . . apa
daya. Dewata Hyang Maha Agung menghendaki demikian. Maka, kakang Talang Pati hendaknya jangan
terlalu menyesali pulangnya Mbah Duwung kealam abadi. ?— Yoga Kumala berusaha menghibur Talang
Pati.
Dalam hati ia memuji akan keluhuran budi Talang Pati yang sangat setia pada gurunya itu.
Dengan per-lahan2 Talang Pati bangkit berdiri, mengikuti petunjuk Yoga Kumala.
Setelah jenazah mBah Duwung di kubur sebagaimana layaknya dihutan dekat Wirosari itu, dan
ikat pinggang dari kulit yang tebal serta lebarnya lebih setebah itu diserahkan pada Yoga Kumala oleh
Talang Pati sesuai pesan gurunya, mereka berdua segera kembali ke hutan Blora untuk menghadap
Kakek Dadung Ngamuk.
Sejak saat itulah, Talang Pati tinggal di hutan Blora, menjadi murid Dadung Ngawuk. Sedangkan
Yoga Kumala, Sontani, Indah Kumala Wardhani dan Ratnasari kembali menuju ke Kota Raja untuk
menjalankan tugasnya sebagai tamtama Kerajaan Agung Majapahit.
— Semoga Dewata Yang Maha Agung, kelak mempertemukan kita kembali, - seru Talang Pati
pada Yoga Kumala, sewaktu mereka berpisah.
*
* *
Komentar
Posting Komentar