Langsung ke konten utama

PENDEKAR DARAH PAJAJARAN JILID 04 B A G I A N III.

Aku tak sudi melihatmu lagi !!! Pergi !!! ...... Pergi!!! atau terpaksa ku lempar kau keluar di
 jalan !—.
— Kobar !!! Sejak kecil kau kutimang - timang . . . . . kubesarkan dan kuasuh hingga memiliki
kepandaian. Tetapi . . . . setelah kini menjadi orang berpangkat, kau tak mau lagi mengakui orang tuamu
sendiri yang cacad ini . . . . Sungguh anak terkutuk . . . kau . . . Kobar!!—
— Tutup mulutmu, jika tak ingin ku tampar! Tahu! Aku tak sudi lagi mendengarkan ocehanmu!
Lekas! Pergi !—
Suara bentakan Kobar yang amat keras itu memecah kesunyian tengab malam, hingga
membangunkan mereka yang sedang tidur njenyak di rumah masing-masing yang terletak di sebelah
kanan kirinya. Akan tetapi mereka segera membatalkan maksud untuk ingin menyaksikan dari dekat,
setelah mengetahui bahwa suara keributan itu datangnya dari tempat kediaman Bupati Anom Tamtama
Kobar.
Mereka tak mau menjadi sasaran kemarahan Kobar yang sedang meluap-luap, dan terkenal
sebagi seorang yang selalu bertindak kejam terhadap bawahannya.
Waktu itu Yoga Kumala sedang asyik berlatih mempelajari jurus-jurus gerakan dasar dari ilmu
pedang, menurut petunjuk dari kitab kuno peninggalan Mbah Duwung yang hanya terdiri dari sembilan
lembar itu. Dan ternyata dengan bekal kecerdasannya, ia segera dapat mengetahui segi-segi kehebatan
ilmu pedang yang kini tengah dipelajari, setelah mana digabungkan dengan ilmu pedangnya sendiri, ciptaan Eyangnya Cahaya Buana. Dengan demikian iapun dapat cepat menarik kesimpulan, bahwa kitab 
peninggalan Nlbah Duwung itu, sebenarnya adalah sisa bahagian yang pertama dari kitab kuno yang
berisikan ilmu pedang wurushakti, peninggalan seorang priyagung tamtama shakti yang bernama Sakya 
Abindra.
Sebagaimana dahulu telah diceritakan oleh Eyangnya, kitab kuno itu menjadi rebutan orang-
orang shakti dan akhirnya berantakan terlepas dari penjilidan dan menjadi terpisah-pisah. Dan dari 
Eyangnya ia sendiripun kini telah memiliki lembaran-lembaran sisa bagian yang akhir dari kitab kuno itu. 
Sabuk kulit peninggalan mendiang mBah Duwung, ternyata bukan hanya berisikan lembaran 
lembaran sisa kitab kuno saja. tetapi terdapat pula sebuah benda berupa cincin bermata batu yang
besarnya seibu jari kaki. Batu itu berwarna merah dan memancarkan sinar berkilauan yang warna-warni. 
Dalam gelap malam, pancaran sinar batu itu seakan-akan menyerupai nyala api. Dan oleh orang yang
ahli, dinamakannya batu "merah sapta warna". 
Oleh karena Yoga Kumala tak mengetahui kegunaan tatu itu, serta dirasanya terlalu besar untuk 
dipakainya, maka olehnya disimpan kembali, — Biarlah kelak benda peninggalan mBah Duwung ini 
kuserahkan kembali pada Kakang Talang Pati saja. Mungkin baginya lebih berguna, — pikirnya. 
Suara bentakan Kobar yang nyaring membuat ia terperanjat sesaat, hingga ia terpaksa 
menghentikan latihannya, sambil mendengarkan suara percakapan dua orang yang sedang bertengkar 
dengan pendengarannya yang tajam dan terlatih. 
— Kau kejam anakku! Kau anak terkutuk !!! —
— Cukup! Aku bukan anakmu lagi — Dan enyahlah segera dari sini! — Bentak Kobar dengan 
wayah yang semakin memerah dan pandang mata yang berkilat tajam. 
Namun orang tua yang duduk dilantai depan pintu rumah kobar itu, masih juga membandel tak 
bergeser dari tempatnya. Ia menggumam mengumpat-umpat sambil me-nuding2 dengan jari 
telunjuknya. —
Melihat mukanya yang telah berkeriput dengan rambutnya yang kusut dan telah memutih, 
orang itu usianya telah mendekati tujuhpuluhan. Dan derita yang selalu ditanggungnya, membuat ia 
menjadi lebih tua. Ia duduk bukan karena takut berdiri, melainkan memang tak mampu untuk berdiri. 
Kedua kakinya lumpuh sejak kira2 pada 15 tahun yang lampau. Ia tak dapat berjalan sebagaimana 
layaknya, melainkan mengesot yang mendekati merangkak.
Pakaiannya telah kumal dan compang-camping. 
Ia adalah ayahnya Kobar yang sejati, terkenal dengan gelarnya si Ular Merah. Ia dahuiu adalah 
kepala rampok yang amat shakti di daerah Pejajaran. Tindakannya kejam tak mengenal 
perikemanusiaan.
Tak sedikit rakyat yang tak berdosa menjadi korban kebuasannya. 
Dan hingga pada suatu ketika, sewaktu si Ular Merah sedang mengganas dengan anak buahnya, 
Petapa Shakti Ajengan Cahaya Buana yang selalu diikuti oleh harimau kumbang piaraannya itu dapat 
menggagalkan tindak kejahatannya. Dalam pertempuran dengan Cabaya Buana itu, si Ular Merah roboh 
menderita kelumpuhan pada kedua kakinya terkena pukulan aji shakti petapa Gunung Tangkuban 
Perahu. 
Dan semenjak itu, namanya yang amat ditakuti oleh rakyat tak terdengar lagi. 
Dengan harapan untuk kelak dapat membalas dendam pada keturunan si Petapa Shakti, ia 
melatih anaknya lelaki tunggal yang pada waktu itu baru berusia kira-kira sepuluh tahun dengan 
segenap kemampuannya. 
Disamping dapat membalas dendam, iapun berharap agar anaknya yang mewarisi keshaktiannya itu kelak dapat menjadi seorang tamtama yang berpangkat. Dengan demikian ia berharap 
dapat menyandarkan hidupnya dihari tua pada anaknya yang tunggal itu. Dan ternyata anaknya lelaki 
yang tunggal dapat pula mewarisi ilmu pedang serta keshaktiannya dengan tak mengecewakan. Dan 
anaknya yang tunggal itu adalah Kobar yang kini telah menjabat sebagai priyagung tamtama berpangkat 
Bupati Anom. —
Berbulan-bulan lamanya si Ular Merah merangkak-rangkak dari kota ke kota lain untuk mencari 
anaknya si Kobar, yang akhirnya dapat juga ditemukan di kota Senopaten Mojoagung. 
la tak menduga sama sekali, bahwa Kobar akan mengingkari sebagai anaknya dan mengusirnya
seperti seekor anjing kudisan. —
—Kobar! Kobar! Jika kau tak sudi lagi mengakui aku sebagai ayahmu, baiklah . . . . aku akan 
pergi. Tetapi ingat!
Kutukanku akan menyertaimu selalu! 
— Bedebah tua tak tahu adat!...Pergi! —
Membentak demikian Kobar sambil melangkah maju dan menendang ayahnya sendiri, hingga 
orang tua lumpuh itu terpental keluar dan jatuh terpelanting di halaman. 
Dengan merangkak - rangkak dan merintih - rintih, Ular Merah meninggalkan rumah Kobar di 
kegelapan malam. 
Mendengar rintihan orang tua, Sontani yang sejak tadi mengikuti keributan dari kejauhan segera 
keluar untuk memberikan pertolongan pada Ular Merah. 
Akan tetapi tiba-tiba Kobar telah menghadang didapannya sambil berseru lantang. 
— Sontani! Jangan kau turut campur tangan urusanku. Pergi! Dan biarkan orang lumpuh gila itu 
berlalu! Atau . . . kau juga ingin merasakan tendanganku?! —
— Maafkan, Gusti! Saya sama sekali tak bermaksud campur tangan dengan urusan Gusti Kobar. 
Akan tetapi karena tak sampai hati melihat orang yang telah lanjut usianya itu merangkak-rangkak di 
gelap malam. Maksud saya hanya ingin menolong memapahnya sampai di jalan besar ! — Jawab Sontani 
tenang. 
— Itupun tak perlu! Aku sengaja menendangnya karena orang tua gila itu mengacau dirumahku. 
Dan siapapun yang hendak membela orang gila semacam dia, harus berani pula berurusan denganku! . . 
. .Tahu! — Bentak Kobar dengan lantang. 
Belum juga Sontani dapat menjawab kembali, tiba-tiba Ular Merah berseru memotong: —
Bohong! Bukan aku yang gila! Dialah yang gila! Dialah anakku Kobar yang terkutuk! —
Demi mendengar seruan orang tuanya itu, Kobar bagai-an dikupas kulit mukanya. 
Kemarahannya meluap-luap tak terkendalikan lagi. 
Ia melompat hendak menerjang ayahnya dengan pukulan maut, tetapi . . . . tiba-tiba Yoga 
Kumala telah berdiri menghadang dihadapannya. 
— Kakang Kobar! Apa maksudmu memukul orang tuamu sendiri yang tak berdaya itu! —
Serunya tajam dan berwibawa. 
 Adi Tumenggung jangan campur tangan dalam urusanku! Ia bukan orang tuaku dan 
omongannya adalah ocehan orang gila! Sahutnya. 
— Jika ia bukan orang tuamu, apakah salahnya campur tangan dalam urusan ini?! —
Mendapat tegoran dari Yoga Kumala yang tepat dan beralasan itu, sesaat Kobar kehilangan akal 
untuk menjawabnya. Dengan suara yang agak lunak, ia berusaha untuk menutupi kebohongannya. Bukan demikian maksudku, Adi Tumenggung Yoga! Karena orang gila yang lumpuh itu tadi .
.datang-datang mengacau dirumahku, dan mengaku sebagai ayahku, maka kuusirnya ia keluar rumah. 
Bukankah ini semata-mata menjadi urusanku sendiri? Dan karena aku dapat pula menyelesaikan sendiri, 
kiranya tak perlu lain orang turut campur dalam urusan kecil yang tengah kuhadapi ini. —
— Baiklah, apabila anggapan Kakang Kobar demikian! sahut Yoga Kumala sambil membalikkan 
badannya dengan maksud hendak berlalu dari tempat itu. 
Tiba-tiba dari balik rumah yang terujung dalam kegelapan, terdengar suara si Ular Merah berseru pada 
mereka. 
— Sudahlah, jangan kalian bertengkar tentang diriku! Aku telah dapat menolong diriku sendiri. 
Dan biarlah anakku Kobar yang terkutuk itu, kelak mati tersambar petir. — umpatnya sambil merangkak 
semakin jauh. 
Tanpa menghiraukan lagi akan suara ayahnya, Kobar cepat masuk kembali kedalam rumahnya, 
dan Yoga Kumala serta Sontani masing - masing melangkah kembali pula ke tempat kediamannya sendiri 
dengan angan-angan diliputi teka-teki. 
Benarkah orang lumpuh tadi ayahnya Kobar? pikir mereka berdua. Jika seandainya benar, 
mengapa demikian kejamnya ia berlaku terhadap ayahnya sendiri? Dan andaikan bukan, mengapa orang 
tua yang lumpuh itu berani mengatakan bahwa ia adalah anaknya. 
Dan mengapa orang tua itu berani pula mengumpat-umpatnya sedemikian keji. Dan siapakah 
orang tua lumpuh itu? Ah, . . . . kelak tentu terjawab sendiri pertanyaan ini. pikir mereka berdua. 
*
* *
Tiga bulan telah lewat sejak peristiwa Kobar dan ayahnya itu terjadi. Dan kini sebagian besar 
para tamtama sedang sibuk mengadakan persiapan untuk berlayar menuju „Pulau Kedukan Bukit" 
mengemban titah Manggala Yudha Gusti Senopati Adityawardhana. Yoga Kumala, Kobar, Sontani, Braja 
Semandang, Nyoman Ragil, Berhala, Jala Mantra dan Jaka Gumarang nampak pula dalam kesibukan 
untuk menyiapkan sesuatu yang dianggap perlu dalam mengemban tugas yang dipandangnya sangat 
mulia itu. 
Menurut ketentuan Gusti Senopati Manggala Yudha, dua ribu tamtama terpilih dibawah 
pimpinan Bupati Tamtama Yoga Kumala dan Kobar akan segera diperintahkan untuk berangkat melalui 
darat sampai di bandar Pantai Selatan (Pelabuhan Ratu) daerah Pajajaran. 
Disana mereka diharuskan menunggu kembalinya rombongan tamtama Narasandi yang
dipimpin oleh Gusti Tumenggung Cakrawirya, dari kerajaan Sriwijaya. 
Pada dua bulan sebelumnya, Gusti Tumenggung Cakrawirya telah pergi berlajar pula menuju ke 
Bandar Muara Musi, sebagai utusan Sri Baginda Maharaja Rajasanegara untuk mengantar sumbangan 
barang barang berharga serta rombongan para penari dan para pemukul gamelan guna memeriahkan 
perayaan bertepatan dengan hari ulang tahun Sri Baginda Raja Kerajaan Sriwijaya. 
Dipilihnya Tumenggung Cakrawirya sebagai utusan Kerajaan bukan hanya semata2 untuk 
mengantar barang barang sumbangan saja, akan tetapi ia sebagai Manggala Tamtama Narasandi, 
bertujuan pula untuk menyelidiki tentang kekuatan pasukan kerajaan Sriwijaya, serta mencari tahu segi-
segi kelemahannya. Pun para penari-penarinya yang bukan lain ialah Indah Kumala Wardhani, Ratnasari, 
Sampursekar dan Ktut Chandra, adalah anggauta tamtama Narasandi Kerajaan yang terpilih, dan 
terlatih. 
Demikian pula para pemukul gamelan, mereka semuanya terdiri dari para tamtama Narasandi 
Kerajaan yang terpilih. Disamping mencari tahu tentang kekuatan pasukan Kerajaan Sriwiyaja, pun 
ketangguhan dan kesaktian para Manggala tamtamanya menjadi titik perhatian pula. Dan demikian pula.
tentang letak tempat serta banyaknya persediaan perbekalan tamtama dan persenjataannya, tak lepas 
dari pengintaian para telik sandi Majapahit. 
Berkat pengalaman dan keshaktian Tumenggung Cakrawirya, semua tugas dapat diselesaikan 
dalam waktu yang singkat serta berhasil memuaskan, tanpa mendapat kecurigaan dari para Priyagung
Kerajaan Sriwijaya. 
Pada waktu itu antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya dari Pulau Kedukan Bukit itu 
memang tak bermusuhan. 
Hubungan antara kedua Kerajaan masih berlangsung baik dengan saling menganggap sebagai 
Negara mitreka Satata atau disebutnya Negara Sahabat. 
Adapun Kerajaan Negeri Tanah Melayulah yang bermaksud untuk mengendihkan Kerajaan 
Sriwijaya, dengan maksud mempersatukan kembali rumpun suku Melayu, serta membebaskan 
rakyatnya dari penderitaan, akibat tindak sewenang-wenang para Priyagung Kerajaan Sriwijaya. 
Untuk mencapai tujuan itu, Sri Baginda Maharaja Adityawarman berkenan minta bantuan 
pasukan pada Kerajaan Agung Majapahit. 
Berulangkali utusan Kerajaan Negeri Tanah Melayu menghadap pada Sri Baginda Maharaja 
Hayam Wuruk Rajasanegara, untuk menyampaikan permohonan bantuan pasukan, demi terwujudnya
keutuhan rumpun suku Melayu. 
Hingga pada achirnya, ialah kira-kira tiga tahun yang sewaktu diadakan pasewakan paripurna, Sri 
Baginda Maharaja Majapahit berkenan memutuskau untuk menyanggupi mengirimkan bantuan pasukan 
ke Negeri Tanah Melayu dengan syarat, Ialah, kelak apabila dua negara kerajaan di Pulau Kedukan Bukit 
(Sumatra) itu dapat disatukan dan menjadi satu Negara Kerajaan Besar Negeri Tanah Melayu, maka 
hendaknya tetap berada dibawah naungan bendera agung „Gula Kelapa„ 
Dengan demikian, maka diharapkan terwujudnya Negara Kesatuan se Nuswantara dibawah satu 
lambang kebesaran Sang Dwi Warna, sesuai isi Sumpah Shakti "Tan Amukti Palapa" dari mendiang Maha 
Patih Mangkubumi Gajah Mada yang telah mangkat sebagai Pahlawan Nuswantara. 
Menurut catatan sejarah, konon Kerajaan Sriwijaya pada masa-masa yang lampau pernah pula 
mengalami jaman keemasan dan menjadi kebesaran serta kebanggaan bagi bangsa se Nuswantara. 
Kota Rajanya berada di tepi muara Sungai Musi dekat Palembang kini. la berdiri sejak abad ke 7. 
Kerajaan Sriwijaya ini dikenal oleh para pedagang-pedagang bangsa Arab dengan nama "Sri Busa, 
sedangkan para musafir Cina menyebutnya "Chele Poche" 
Kekuasaannya meluas kearah barat laut sampai Selat Malaka, dan kearah tenggara sampai di 
Selat Sunda. Guru guru yang termasyhur dari India seperti Dharmapala, Sikyakirti dan Iain-lain 
didatangkan untuk mengajar di Sriwijaya. Dan seribu pendeta Budha menjadikannya pusat yang penting 
bagi Budha aliran Hinayana. Kemudian mulai abad ke 8 Budha aliran Mahayana dari Sriwijaya lebih 
berpengaruh dari pada aliran Hinayana dan meluas ke Asia Tenggara. 
Pada tahun 775 Sriwijaya pernah pula berkuasa di Ligor, dan pada abad ke 9 dikuasainya Selat 
Malaka. Lalu-lintas di lautan, antara lain pelaYaran ke India dikuasainya, pun beberapa bandar di Malaka 
didudukinya. 
Bhikshu bikshu Cina yang kenamaan seperti I Tsing dan Wu Ling pernah, pula berkunjung di 
Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sansekerta dan naskah-naskah suci, selama kira-kira ampat tahun, 
sebelum mereka berangkat melawat ke lndia. 
Faktor-faktor yang menjebabkan pesatnya berkEmbang Kerajaan Sriwijaya diantaranya ialah: 
— Raja dan segenap Priyagung mentaati ajaran-ajaran Agama yang dipeluknya. dengan 
demikian merEka memiliki budi luhur serta selalu menjadi tauladan bagi rakYatnya, hingga Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat Agama Buddha aliran Mahayana. 
— Para Priyagung Kerajaan gemar mempertinggi ilmunya dalam segala bidang. lni dibuktikan 
dengan didirikannya`tempat-tempat perguruan tinggi dan mendatangkan mahaguru-mahaguru dari 
Negeri lain. 
— Letaknya amat strategis, ialah diantara dua Negara yang telah maju, yaitu India dan Tiongkok. 
— Mempunyai bandar yang langsung menuju ke Kota Raja yang disebutnya Bandar Muara Musi. 
— Pertahanan dengan pasukan tamtamanya yang amat kuat, terutama tamtama angkatan 
samodranya. Dan terciptanya pertahanan yang kuat ini, berkat dukungan dan bantuan segenap lapisan 
rakyat. 
— Perdagangan dengan Negara-Negara lain mendapat perhatian penuh dari Kerajaan, dan 
keamanan di lautan terjamin. 
Tamtama dan Narapraja Kerajaan Negeri Tanah Me-layu benar- benar merupakan pelindung rakyat. 
Para penyeleweng dan pemeras rakyat, dibrantasnya secara tegas dengan hukuman siksaan-
siksaan badan yang amat berat, tanpa pilih bulu. Kesejahteraan rakyatnya mendapat perhatian penuh 
dalam tempat yang utama, hingga mereka pada umumnya dapat hidup tenteram serta dapat menikmati 
penghidupan layak, dengan terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya. 
Demikianlah uraian dan catatan sejarah dari kedua Kerajaan dari Pulau Kedukan Bukit itu. 
Tiga bulan lamanya pasukan Tamtama kerajaan Agung Majapahit dibawah pimpinan Yoga 
Kumala dan Kobar berkemah di pantai Selatan Pajajaran, setelah mana Tumenggung Cakrawirya datang 
berserta rombongan para tamtama Narasandi Kerajaan 
– Aku percaya, bahwa kehendak Gustiku Baginda Maharaja Adhityawarman untuk Menaklukan 
Kerajaan Sriwijaya tentu akan berhasil — Kata Cakrawirya sewaktu membentangkan keadaan Kerajaan 
Sriwijaya pada Yoga Kumala dan Kobar beserta para perwira2
tamtama lainnya. 
— Tentu saja, apabila didalam tubuh kita sendiri tak ada keretakan-keretakan, yang 
menyebabkan lemahnya pasukan, — kata ia selanjutnya. 
Dengan panjang lebar Cakrawirya memberikan penjelasan penjelasan tentang kedudukan 
pertahanan Kerajaan Sriwijaya serta tak lupa pula memberikan petunjuk-petunjuk yang penting berguna 
sebagai bekal dalam mengemban tugas selanjutnya.
Sebagai Manggala Tamtama Narasandi yang telah berpengalaman luas, ia menekankan, bahwa
kemenangan di medan yudha hanya tercapai, apabila dalam tubuh pasukan tak ada keretakan. Musuh 
akan berusaha selalu untuk dapat berselimut dalam tubuh pasukan kita, dengan melalui celah-celah 
keretakan keretakan yang ada, walaupun keretakan itu nampaknya amat kecil. 
Dan disamping keutuhan yang harus terbina baik, pun ketabahan dan tingkah laku para 
tamtama perseorangan merupakan hal yang menentukan pula.
— ini sangat penting untuk kau sadari sedalam-dalamnya, Kobar ! — kata Cakrawirya denan 
tandas pada Kobar. Sinar pandang matanya menatap Kobar dengan amat tajam, sewaktu Cakrawirya 
mengucapkan kata peringatan ini. 
Dengan muka tertunduk, Kobar mendengarkan tanpa menjawab sepatah katapun. Mukanya
merah padam sampai diujung telinganya. 
la merasa terhina akan peringatan demikian, namun karena takut ia tak berani menentangnya. 
Kiranya tingkah laku dan sifat-sifat Kobar yang kurang baik itu, telah lama pula mendapat 
sorotan dari Tumenggung Cakrawirya. 
Menurut keterangan selanjutnya dari Cakrawirja, ia sendiri beserta rombongan tamtama narasandi akan berkenan pula mengantarkan bantuan pasukan itu ke Kerajaan Negeri Tanah Melayu, 
mewakili Gusti Senopati Manggala Yudha untuk menyerahkannya, Sedangkan para anggauta tamtama 
Narasandi selanjutnya akan ditugaskan membantu terbinanya keamanan setelah nanti Kota Raja lawan 
dapat diduduki. 
Semua menyambut dengan gembira demi mendengar bahwa Cakrawirya beserta rombongan 
para tamtama narasandi akan menyertai pula hingga sampai di Kerajaan Negeri Tanah Melayu.
Ratnasati, Indah Kumala Wardhani, Ktut Chandra dan Sampur Sekar merasa berbahagia demi 
mendapat tugas yang amat mulia itu. Pun kesempatan untuk selalu berdekatan dengan kekasih masing 
masing tentu akan menggembirakan. 
Dan kiranya kesempatan baik inipun tak disia - siakan oleh Braja Semandang yang telah lama 
menanggung derita terkena panah asmara Sampur Sekar. 
Dengan sembunyi-sembunyi mereka berdua saling mengutarakan isi hati masing-masing dengan 
hiasan kata-kata yang sangat lirih. 
Lain halnya dengan Yoga Kumala. Dibalik kegembiraan, nampak adanya rasa murung karena 
maksud untuk mengutarakan isi hatinya pada Ktut Chandra selalu tak sampai, terhalang dengan 
kehadirannya Ratnasari yang selalu mendekatinya serta menunjukkan rasa kasih dengan kemurnian 
hatinya. —
Dan untuk tidak mengecewakan, Yoga Kumala terpaksa menanggapi dua remaja putri itu 
dengan senyum dan tawa yang terbagi. Pun demi tugas yang menjadi bebannya sebagai pembimbing 
dan pelindung para putri tamtama narasandi, membuat ia selalu berlaku bijaksana. —
Sedangkan hubungan antara Indah Kumala Wardhani adiknya clan Sontani kini bertambah lebih 
akrab dan mesra. Sepanjang hari mereka berdua bersendau gurau dan ber-cakap-cakap dengan 
riangnya. 
Dan ini semua menamhah meluapnya rasa benci yang telah lama terkandung dalam lubuk hati 
Kobar. 
Telah berulang kali Kobar bemaksud hendak melampiaskan nafsu kebencian pada Sontani, akan 
tetapi selalu gagal karena terhalang dengan adanya Yoga Kumala. Sedangkan bagaimanapun Yoga 
Kumala adalah menjadi atasannya langsung. 
— Seandainya Yoga Kumala musuhku ini binasa, tentulah aku yang akan berkuasa — pikirnya, 
Dan dendam kesumat Kobar yang telah lama dikandung selalu bangkit menguasai dirinya. —
— Bukankah amat mudah bagaikan membalikan telapak tangan saja, untuk menyingkirkan 
Sontani dan memperistri Indah Kumala Wardhani, apabila kelak ia yang berkuasa? —
Suara bisikan iblis ditelinganya. 
Satu-satunya perwira tamtama bawahannya yang ia menaruh penuh kepercayaan untuk 
membantu niat jahatnya Kobar adalah Berhala. 
Tetapi disesalkan, karena keshaktian Berhala terbatas dan berada dibawah tingkatan Sontani. Ia 
masih ingat akan kegagalan pada setengah tahun berselang, sewaktu ia mencegat perjalanan Yoga clan 
Sontani di dekat desa Kasiman. Ia sengaja memakai kedok pada waktu itu, agar wayahnya tak dikenal. 
Tetapi sayang, bahwa sebelum berhasil, Berhala dan seorang temannya lari meninggalkan gelanggang, 
karena jeri melihat seorang temannya lain mati terpancung kepalanya oleh sabetan pedang Sontani. 
Lima hari kemudian armada iring iringan perahu layar dengan duaja - duaja kebesaran serta 
bendera keagungan "Gula Kelapa" yang berkibar megah di masing2 puncak tiang bendera, bergerak 
mengarungi Samodra Raya Nuswantara ke arah Barat laut dengan tujuan Bandar Teluk Bayur Kerajaan 
Negeri Tanah Melayu. Cuaca cerah, dan angin meniup dengan kencang. Layar-layar mengembang penuh, dan 
mempercepat lajunya perahu-perahu Iayar itu yang sedang mengarungi samodra. 
Gelombang - gelombang ringan bergulung gulung menggempur dinding-dinding perahu layar 
dengan tanpa mengenal jemu, dan terasalah goncangan goncangan dalam perahu dengan tiada 
hentinya. —
Lima hari lima malam lamanya Armada iring iringan perahu layar yang mengangkut pasukan 
tamtama Kerajaan Agung Majapahit itu mengarungi samodra, dan ternyata di lautan, putra putra 
Nuswantata menunjukkan kemahirannya yang dapat dibanggakan. 
Kini Armada telah sampai di Teluk Bayur Dengan rapinya iring-iringan perahu perahu layar itu 
memasuki Bandar, serta kemudian melepas jangkar untuk berlabuh. 
Pasukan yang dipimpin oleh Yoga Kumala dan Kobar semuanya mendarat mengiringkan 
Tumenggung Cakrawirya beserta para tamtama narasandi yang akan bertindak sebagai utusan Sri 
Baginda Maharaja Rajasanegara, mewakili Gusti Senopati Manggala Yudha Adhityawardhana.
Kedatangannya disambut dengan upacara kebesaran yang amat meriah oleh para priyagung
berserta seluruh tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu atas titah Sri Baginda Maharaja 
Adhityawarman sendiri. 
Pada esok harinya Sri Baginda Maharaja berkenan mengadakan pasewakan paripurna secara 
tertutup yang dihadliri oleh segenap para Manggala serta para pimpinan pasukan bantuan dari 
Majapahit, guna merundingkan sia-sat penyerangan untuk menggempur Kerajaan Sriwijaya. 
Dalam pasewakan paripurna yang berlangsung tiga hari berturut-turut dan dipimpin sendiri Sri 
Baginda Maharaja Adityawarman itu, Tumenggung Cakrawirya memberikan laporan tentang keadaan 
Kerajaan Sriwijaya pada dewasa ini, serta saran-saran sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan 
siasat perang, agar tidak mengalami kegagalan. 
Dengan panjang lebar dipaparkan, bahwa kekuatan pasukan iawan tak dapat di anggap kecil. 
Segi-segi kelemahan lawan yang titik beratnya terletak pada kerusakan akhlak perseorangan para 
priyagung serta sebagian besar para tamtama dan naraprajanya, tak ketinggalan diutarakan pula dalam 
sidang paripurna itu. 
Sedangkan keadaan alam sekitar Kota Raja Sriwiiaya yang dilintasi oleh banyak sungai-sungai itu, 
menjadi perhatian pula demi menentukan siasat selanjutnya. 
Peta bumi daerah Kerajaan Sliwijaya dibeberkan, dan segenap para manggala mempelajarinya
dengan saksama. 
Pendapat masing - masing dikumpulkan serta disaring, dan akhirnya Sri Baginda Maharaja 
berkenan sendiri memberikan ketentuan siasatnya. 
Jambi Kota Raja yang lama dipilihnya sebagai tempat pemusatan induk pasukan. Kemudian 
sebagian akan dikirim langsung dengan perahu-perahu layar untuk menduduki sepanjang Sungai Mesuji 
dengan melewati Selat Pulau Kota Kapur. Dari sanalah serangan permulaan akan dimulai dan bergerak 
kearah selatan mengikuti mengalirnya Sungai Komering untuk selanjutnya menduduki Kayu Agung.
Serangan permulaan itu dimaksudkan sebagai pancingan untuk mengalihkan sebagian kekuatan 
pertahanan lawan yang berada disepanjang Sungai Musi. 
Sebagian kekuatan pasukan lagi akan bergerak menuju hulu Sungai Banyuasin dan dari sanalah 
mereka mendesak ke arah tenggara untuk langsung menyerang pertahanan lawan yang terkuat 
disepanjang Sungai Musi, dengan dibantu oleh sebagian pasukan lagi yang akan bergerak dari muara 
Sungai Banyuasin. 
Dengan demikian Kota Raja Sriwijaya diharapkan terkepung tertebih dahulu, sesaat sebelum surat penantang perang disampaikan. 
Setelah garis besar siasat penjerangan itu ditentukan serta di fahami dengan saksama oleh para 
Manggala dan priyagung yang hadfir, maka Pasewakan paripurna segera dibubarkan. 
Kini semua sibuk untuk mempersiapkan diri dalam tugas masing-masing, siaga menghadapi 
perang besar. 
Gusti Tumenggung Cakrawirya kemudian dengan diantar oleh para priyagung sampai di Bandar 
Teluk Bayur, berlajar meninggalkan Pulau Kedukan Bukit menuju ke Kerajaan Agung Majapahit. 
Sedangkan para tamtama narasandi ditinggalkannya untuk bergabung menjadi satu dengan pasukan 
bantuan yang dipimpin oleh Yoga Kumala. 
— Perang — . . . demi terbebasnya penderitaan rakyat. . . . . — perang — . . demi terwujudnya
keutuhan bangsa, dan sekali lagi — perang — demi kejayaan lambang shakti Bendera Kesatuan se 
Nuswantara nan Agung Sang "Gula Kelapa" 
Demikianlah sembojan Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang disematkan di dada pada tiap-tiap 
tamtama Kerajaan yang akan melakukan perang besar-besaran. 
— Dalam ,.perang suci„ ini, segenap tamtama yang mengemban titah Maharaja junjungannya, 
harus memiliki keyakinan penuh, bahwa Dewa Kemenangan tentu akan berada difihaknya. Mati 
dimedan Yudha adalah „Pahlawan Bangsa„ yang akan dikenang sepanjang masa, serta menjadi 
kebanggaan para keluarga yang ditinggalkannya. Demikianlah pengertian seorang tamtama.
Sebelum berangkat ke medan YuDha mereka bermandi jamas dengan air bunga rampai suci. 
Kuil-kuil dan candi-candi serta tempat-tempat suci lainnya telah penuh dengan kembang setaman dan 
sesajian beraneka macam dan warna. 
Semua Pendeta memanjatkan do`a dan mantra-mantra, demi tercapainya kemenangan. 
Akan tetapi „perang„ bagi rakyat kecil, adalah malapetaka .,Perang., adalah sesuatu yang dibenci
dan tak diinginkan oreh rakyat. Menang ataupun kalah, rakyat akan tetap menderita karenanya. Dikala 
itu, waktu telah lewat tengah malam. Namun belum juga terdengar suara ayam berkokok yang pertama. 
Langit biru membentang bersih, dan berkeredipnya bintang-bintang diangkasa laksana cahaya 
taburan batu permata. 
Alun-alun Kota Raja Negeri Tanah Melayu kelihatan terang benderang geperti diwaktu siang 
teagah hari, karena pancaran sinar nyalanya lampu-lampu obor yang tak terhitung jumlahnya. 
Suara ringkikan kuda yang beribu-ribu dan suara bercakap-cakapnya para tamtama yang tak 
terhitung jumlahnya, walaupun lirih berkumandang mendengung bagaikan lebah dalam sarang, 
memecah kesunjian tengah malam itu. 
Seakan-akan pada malam itu seluruh Kota Raja dalam keadaan bangun. Barisan-barisan 
tamtama Kerajaan memenuhi alun-alun yang amat luas itu, bahkan hingga meluap keluar batas tembok, 
dijalan - jalan raya. Semua dalam keadaan siap siaga untuk berangkat ke medan Yudha. 
Panji - panji kebesaran serta lambang - lambang barisan kesatuan dan Bendera Shakti Dwiwarna 
berkibar-kibar megah dalam barisan yang terdepan. 
Setelah upacara pemeriksaan barisan selesai, dan segenap pasukan selesai pula memanjatkan doa pada
Dewata Yang Maba Agung untuk mohon perlindunganNya, dibawah pimpinan para Pendeta Istana, kini 
pasukan besar Kerajaan Negeri Tanah Melayu mulai bergerak meninggalkan Kota Raja, ke arah Tenggara 
dengan tujuan Kota Raja yang lama ialah Jambi.-
Sang Senopati Manggala Yudha Bintang Minang, berkenan sendiri memimpin pasukan besar 
yang akan berangkat ke medan Yudha itu. 
Suara mengaungnya gong dipukul tiga kali dan disusul dengan tiupan seruling serta bertalunya genderang yang memekakkan telinga, mengiringi bergeraknya pasukan besar meninggalkan Kota Raja. 
Suara gemerincingnya senjata-senjata yang bergesekan, ringkikan kuda yang sahut menyahut, 
serta derap langkah kaki kuda yang gemuruh tak ada putusnya, membangunkan desa-desa yang sedang 
tenggelam nyenyak dalam kesunyian malam. Namun para penduduk desa-desa yang dilaluinya itu, tak 
seorang berani menampakkan dirinya. Mereka hanya mengintip dari celah-celah dinding bambu 
anyaman, sambil memondong dan mendekap anak-anak kecil mereka dengan penuh rasa takut. karena 
tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan diantaranya banyak pula yang tcrgopoh-gopoh 
berkemas-mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu dapat segera lari mengungsi ke lain desa, apabila 
terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Bahkan ada pula yang menjumbat mulut anak-anaknya sendiri, 
mencegah keluarnya suara tangis, sambil duduk gemetar, tak tahu apa yang harus diperbuat 
selanjutnya. 
Hal itu sebenarnya tak mengherankan, karena mereka samasekali tak mengetahui sebelumnya, 
bahwa hari itu Kerajaannya akan memulai dengan perang besar, mengendihkan Kerajaan Sriwijaya. 
Pasukan besar yang berkekuatan tak kurang dari lima belas ribu tamtama bersenjata itu, 
bergerak melalui sebelah barat kaki gunung Sulasih, dan kini tiba di hulu Sungai Batanghari. 
Setelah berjalan 7 hari lamanya dengan mengikuti mengalirnya Sungai Batanghari, pasukan tiba 
di desa Muara Tebo yang terletak antara persimpangan Sungai Batanghari dan muara Sungai Tebo yang
mengalir menjadi satu dengan Sungai besar Batanghari itu. 
Sehari semalam pasukan beristirahat di dataran muara Sungai Tebo guna memulihkan tenaga. 
Dan setelah itu, pasukan bergerak lagi mengikuti mengalirnya Sungai Batanghari selama dua hari dua 
malam hingga tiba di muara Sungai Trembesi, anak cabang dari Sungai Batanghari pula. Setelah pasukan 
melepaskan lelah dengan berkemah semalam Iamanya, kini bergerak lagi langsung menuju kota Jambi 
yang tak jauh lagi letaknya. 
Pasukan berkuda mendahului memasuki Jambi untuk mempersiapkan segala sesuatu yang
bertalian dengan penampungan induk pasukan besar Kerajaan Negeri Tanah Melayu itu. 
Mendadak sontak kota Jambi menjadi ramai kembali, penuh dengan para tamtama. Pertahanan 
- pertahanan batas kota dibangun dengan amat kokohnya.- Pada esok harinya para Manggala dan 
segenap perwira-peraira tamtama merundingkan siasat penyerangan selanjutnya, sesuai garis-garis 
besar yang telah ditentukan. 
Dua pertiga bagian dari induk pasukan dengan kekuatan sebanyak kira-kira 10.000 orang 
tamtama kemudian dipecah-pecah menjadi ampat bagian. 
Sebagian pasukan dibawah Senopati Manggala tamtama Samodra Damar Kerinci yang
berkekuatan 3000 tamtama mendahului berlayar menyusuri pantai kearah tenggara dengan melalui 
Selat Pulau Kota Kapur (Bangka) untuk kemudian menuju Sungai Mesuji. 
Menyusul kemudian Kobar dengan didampingi oleh Berhala dan Gumarang memimpin pasukan 
berkekuatan 3000 tamtama dengan tujuan Muara Sungai Banjuasin, untuk kemudian menyerang 
pertahanan dekat Kota Raja yang berada di muara Sungai Musi. Dan bersamaan dwngan itu, 1000 orang 
tamtama mengawal Sang Senopati Muda dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang bertindak sebagai 
utusan Sri Baginda Maharaja Adhityawarman langsung menuju ke Kota Raja Sriwiyaja, dengan melalui 
Bandar Muara Musi, untuk menyampaikan surat penantang perang. 
Yoga Kumala dengan didampingi oleh Sontani dan Braja Semandang dIserahi tugas memimpin 
pasukan berkekuatan 3000 orang tamtama berkuda, dengan tujuan ke dataran hulu Sungai Banjuasin, 
untuk kemudian langsung menggempur pertahanan lawan yang terkuat di sepanjang Sungai Musi. 
Sedangkan induk pasukan yang tinggal berkekuatan kira-kira 5000 orang tamtama, dimaksudkan sebagai cadangan dan akan bergerak mengikuti pasukan Yoga Kumala dalam jarak yang agak jauh untuk 
dapat mengambil alih serta menguasai medan yudha. apabila pasukan Yoga Kumala mengalami 
kegagalan. Dengan demikian maka tugas Induk pasukan adalah sebagai godham terakhir. 
Jala Mantra memimpin pasukan penghubung, sedangkan para tamtama narasandhi ditugaskan 
untuk mengikuti induk pasukan, sebagai penunjuk jalan setelah nanti dapat memasuki Kota Raja lawan, 
ataupun melaksanakan tugas - tugas khuus apabila dipandang perlu. 
Sementara Jambi ditinggalkan, pasukan baru yang diberangkatkan dari Kota Raja diperkirakan 
telah tiba dan menggantikan kedudukannya, dengan tugas-tugas menyusun pertahanan demi mencegah 
kemungkinan gagalnya serangan serta menanggulangi serangan - serangan balasan lawan, Tiap - tiap 
pasukan yang kini mulai bergerak disertai pula dengan para penunjuk jalan yang telah mengenal dengan 
baik akan keadaan alam sekitarnya yang akan dilalui.—
— Berapa hari lagi kita sampai di tempat tujuan, Gusti Yoga? — tiba-tiba Sontani bertanya, 
memecah kesunyian sambil masih berkuda disamping Yoga Kumala.
— Yaaa . . . . . Aku sendiri belum tahu dengan pasti! — jawab Yoga Kumala singkat dengan 
mengerutkan keningnya, serta mengusap keringat yang membasahi muka dengan lengan bajunya. 
— Sebaiknya kita berhenti sebentar ditengah hutan ini, dan panggilah segera si Dirham 
penunjuk jalan kita yang berada di depan itu! — Perintah Yoga Kumala pada Sontani selanjutnya. 
Dengan tangkas Sontani memacu kudanya untuk menyampaikan perintah Yoga Kumala pada 
perwira-perwira tamtama pimpinan kelompok-kelompok, agar mereka menghentikan pasukannya
masing-masing, sedangkan Braja Semandang tanpa diperintah lagi telah memacu kudanya untuk 
menyusul Dirham si penunjuk jalan yang kemudian segera kembali menghadap Yoga Kumala 
bersamanya. 
— Dirham! berapa lama lagi kita akan sampai di hulu Sungai Banyuasin? — Yoga bertanya. 
— Jika tak ada rimangan, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu dua hari, Gusti 
Tumenggung! Akan tetapi . . . . . .—
— Akan tetapi . . . . . apa lagi?! — Desak Yoga Kumala. 
Berkata demikian Yoga Kumala turun dari pelana kudanya dan dikuti oleh Dirham, Sontani dan 
Braja Semandang untuk kemudian duduk ditanah dibawah sebuah pohon rindang ditengah hutan, 
setelah mana mereka menambatkan kudanya masing-masing. 
Sambil duduk menghadap Yoga Kumala, Dirham melanjutkan bicaranya. 
— Maksud saya . . . . . setelah nanti Tuanku Gusti Tumenggung beserta pasukan menyeberangi 
Sungai Tungkal, saya hendak mendahului berkuda sampai di daerah keluang. Dan apabila keadaan 
disana aman, saya akan segera kembali untuk melapor pada Gusti. 
— Daerah keluang?! Daerah siapa dan dimana itu?! —
Daerah keluang adalah daerah perbatasan antara Negeri kita dan Kerajaan musuh. Sedang 
dinamakan keluang, adalah karena daerah itu merupakan daerah yang tak bertuan. Pun keadaan alam di 
daerah Itu tak ubahnya seperti disini. Hutan belukar! Gusti! —
— Berapa jauh Sungai Tungkal dari sini? —
— Jika sekarang pasukan mulai bergerak, sebelum petang hari, tentu telah dapat melintasi 
Sungai Tungkal Gusti! 
— Baik! Sontani! Braja Semandang! Perintahkan seluruh pasukan bergerak lagi ke arah utara 
lurus, Sekarang! Dan setelah petang nanti melintasi Sungai Tungkal, masing - masing kelompok supaya 
mencari tempat untuk berkemah dalam bentuk pasukan „Naga Tapa" 
— O. . . . . . ya . . . . . ! Jangan lupa akan perubahan sandiwara untuk petang nanti serta penjagaan keamanan! —
Semua segera siap diatas punggung kuda masing - masing, dan pasukan bergerak maju lagi 
melalui hutan belukar dan rawa- rawa.
Sebelum senja pasukan telah menyeberangi Sungai Tungkal, dan mereka berhenti berkemah, 
sementara Dirham dan Sontani dengan membawa pasukan pengawal bergerak terus menyusupi hutan 
belukar ke daerah keluang untuk melihat keamanan di sekitar daerah itu. 
Dengan didampingi oleh Braja Semandang dan diiringkan pasukan pengawal, Yoga Kumala 
memeriksa segenap pasukan berserta perbekalannya. 
Perwira-perwira tamtama dan segenap pimpinan kelompok kelompok pasukan dikumpulkan, 
untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang gerakan pasukan selanjutnya. Pun pada mereka 
diperintahkan, agar kewaspadaan lebih ditingkatkan, karena pasukan kini berada tak jauh dari daerah 
perbatasan musuh. 
Terkecuali para tamtama yang berjaga, pengawal pengintai dan tamtama peronda keliling, 
semua pasukan pada malam itu diperkenankan istirahat dalam kubu masing-masing. 
Suasana amat sepi, dan gelap malaan yang pekat itu menambah tegangnya perasaan para 
tamtama yang sedang bertugas jaga. 
Tiba-tiba terdengar suara anjing hutan melolong panjang serta menyeramkan dari tempat 
pengawal pengintai yang berada tinggi diatas pohon tengah hutan. dan sesaat kemudian dari kejauhan 
terdengar suara burung hantu menggema dimalam menjelang fajar yang sunyi itu, disusul dengan suara 
derap langkah kuda yang kian mendekat. 
Mereka yang datang itu adalah Sontani dengan Dirham berserta pengawalnya. Setelah melewati 
tempat pengawal pengintai; mereka berjalan langsung menuju ke kemah besar di mana Yoga Kumala
berada. 
— Gusti Yoga! Sekitar daerah keluang aman! Akan tetapi setelah melewati daerah keluang 
terdapat dataran terbuka yang amat luas dengan batas Sungai Batangharileka di sebelah barat, dan di 
sebelah tenggara utara terbatas pada hutan dimana hulu sungai Banjuasin bersumber. Kami telah 
berusaha mendekat dengan menjusuri tebing-tebing bungai Batangharileka. Dan dari sanalah kami 
dapat melihat adanya pengawal pengintai di hutan itu. Sontani memberikan laporannya.
— Baiklah! Jika demikian, esok malam saya akan memerintahkan sebagaian pasukan panah 
untuk memasuki hutan itu. Dan jika kupandang perlu, saya sendirilah yang akan memimpinnya. 
Sekarang kau dan Dirham serta para pengawalmu sebaiknya istirahat dulu! — Perintah Yoga Kumala. 
*
* *

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa