HARI CERAH. Sang surya menyoroti maya pada dengan sinarnya yang terang benderang. Ia telah
berada diketinggian sebelah timur segalah tingginya. Langit biru membentang luas dan awan hitam
sedikitpun tidak nampak menodainya. Pepohonan kelihatan hijau segar, karena baru saja bertukar daun.
Ranting2
kering yang patahpun telah nampak tumbuh kembali. Lereng2
gunung Tangkubanperahu
seakan-akan baru saya terhias kembali. Burung2 berkicau riang, menambah meriahnya suasana alam.
Dan dilereng Gunung Tangkubanperahu itulah nampak jelas adanya seorang pemuda yang baru
saja menginjak alam kedewasaannya, sedang berlompatan dengan gerakan2nya yang aneh sambil
memegang pedang pusaka terhunus ditangan kanannya. Badannya yang kokoh kuat telah basah
bermandikan air peluh hingga kelihatan berkilat-kilat terkena pancaran sinar matahari. Sebentar-
sebentar ia mengusap keringat yang selalu membasahi keningnya dengan lengan tangan kirinya, seakan-
akan air peluh itu mengganggu gerakannya karena mengalir terus didahinya.
Akan tetapi maksud untuk menghentikan gerakannya, sedikitpun belum nampak ada, padanya.
Ia terus masih berlatih tanpa menghiraukan suasana sekitarnya. Ia berloncatan bagaikan burung
bersayap. Sedangkan pedang pusaka ditangan kanannya bergetar menari2 bagaikan bayangan kupu2
,
hingga kadang2 hanya menampakkan sinarnya yang putih berkilau semburat biru, bergulung-gulung
menyelubungi seluruh tubuhnya. Perobahan gerakannya sedemikian cepatnya, hingga tidak mungkin
dapat diikuti dengan penglihatan mata biasa. Rangkaian gerakan tusukanaya yang bertubi-tubi
merupakan pukulan bayangan pucuk pedang. Namun dibalik ketangkasan yang mentakjubkan itu
kadang2 diselingi suatu gerakan yang sangat aneh dan tidak demikian sedap dipandang. Sambil berdiri
setengah berjongkok dengan kedua belah kakinya terpentang lebar, dengan pedang pusaka menyilang
didepan dadanya, ia ketawa terkekeh-kekeh menyeramkan. Sebentar kemudian meloncat tinggi sambil
berjumpalitan diudara untuk kemudian meluncur kebawah dengan serangan tusukan pedang
pusakanya, sedangkan tangan kirinya mengembang dengan jari2nya yang tegang bergerak laksana
cengkeraman cakar harimau. Itulah ilmu pedang ciptaan Cahayabuana yang bersumber pada gabungan intisari dari ilmu2
pedang shakti yang dinamakan ilmu pedang „Cahaya Tangkubanperahu".
Telah lebih dari setahun lamanya, Yoga Kumala mempelajari ilmu pedang ciptaan Eyangnya,
langsung dibawah asuhan Cahayabuana sendiri.
Sedang ia meloncat tinggi sambil berpusingan diudara dengan mengayunkan pedang pusakanya
dalam gerakan babatan berangkai, tiba2
terdengar suara seruan yang amat tajam dari kejauhan — Awas
!!!. — Dan bersamaan dengan terdengarnya suara seruan itu, sebuah batu sebesar tinju meluncur
kearah-nya laksana kilat.
Dan …… CRAATTT ! ….. batu yang menyerangnya terbelah menjadi dua potong, serta potongan
batu masing2
terpental jauh kesamping. Namun belum juga potongan2 batu itu jatuh ditanah, telah pula
disusui dengan meluncurnya tiga buah batu yang semakin kecil secara beruntun dalam saat yang hampir
bersamaan, dan diiringi pula dengan suara seruan seperti serangan yang pertama — Awas !!!. —
Ketiga batu itupun menjadi berkeping keping dan susul menyusul terpental jauh kesamping
kanan kirinya Yoga Kumala.
— Heh …..hehhhh ….. hhheeehhh !!!!. Bagus ….. bagus ......... !!!!. Cahayabuana berseru puas
sambil ketawa lebar dan berjalan menghampiri cucunya Yoga Kumaia yang sedang giat berlatih.
Demi melihat kedatangan Eyangnya itu, Yoga Kumala segera menghentikan gerakannya, sambil
mengusapi peluhnya yang membasahi mukanya dengan tarrgan kirinya.
— Cukup ….. cukup untuk hari ini, cucuku Yoga ! ! ! Hanya masih ada sedikit yang harus selalu
menjadi perhatian mu. Hendaknya dalam gerakan sabetan, bacokan ataupun tebangan, mata tajam
senjatamu harus menyerong sedikit. Dengan demikian pedang ditanganmu akan menjadi lebih tajam
dengan sendirinya, serta benda2
yang kau papaki dengan senjatamu akan terpental kejurusan yang
serong pula sehingga tidak membahayakan dirimu. Selain itu semua gerakanmu cukup bagus ! !.
Selanjutnya kau tinggal melatih tentang kecepatan memindahkan pemusatan tenaga dalam dan
kecepatan membagi bagi tenaga yang terhimpun itu, dengan tanpa menghentikan gerakanmu. Karena
tanpa memiliki kemahiran dalam hal ini, seranganmu yang kelihatan dahsyat itu tidak akan berarti,
apabila kau menghadapi lawan yang-tangguh.—
— Eyang ! Apaxah kiranya cucunda kelak akan cukup berharga untuk memiliki pedang pusaka
ini, Eyang ??. Yoga Kumala berkata lemah sambil tertunduk lesu.
Mendengar pertanyaan cucunya itu, Cahayabuana cepat mendekat dan memegang bahu Yoga
Kumala sambil menjawab dengan tersenyum girang — Hehh …. heehhhh !! Tentu ….. tentu ! ! ! Cucuku
Yoga ! !. Jangankan kelak …... sekarangpun sesungguhnya kau telah dapat mengimbangi tokoh2 pedang
yang telah kawakan. Tidak perlu kau kuatir akan ilmu kepandaianmu. Maka hendaknya jangan kau
bersikap ragu2 dan hilangkan sifat2
tak percaya pada diri sendiri. Contohlah sikap budi luhur kakak
angkatmu Gustiku Senapati Indra …… Ingatlah, bahwa kau alalah satu2nya priya keturunanku ! !. Dan kini
kiranya kau telah cukup dewasa untuk mewarisi semua ilmuku …..!!. — Cucunda akan selalu patuh
Luengikuti petunjuk2 Eyang ! !.
Sebagaimana biasanya, tiap2 hari setelah berlatih, Yoga Kumala bersujud didepan batu nisan
tempat makam ibunya. Yaahhh ,,,,ibu kandungnya sendiri .,,,, Ibu yang telah ditunjuk oleh Dewata Hyang
Maha Agung sebagai perantara dari kehadlirannya didunia ramai ini ….. Seorang ibu …..yang ia harus dan
wajib menjunjung namanya setinggi tingginya ….. walaupun ia sendiri telah tidak ingat lagi, bagaimana
bentuk dan roman wajah ibunya itu.
Namun ia harus masih berterima kasih kepada Dewata Yang Maha Agung bahwa kini ia telah
dapat menemukan kembali jejak asal usulnya, yang ternyata adalah seorang darah keturunan dari Ksatrya pahlawan Pajajaran, dan cucu dari seorang petapa shakti Pajajaran yang namanya telah
menggemparkan para tokoh2 berilmu tinggi Pajajaran.
Baru saja Yoga Kumala bangkit berdiri selesai dari sujudnya, tiba2
suara auman sikumbang
terdengar jelas, disusul dengan berkelebatnya sikumbang datang kearahnya. Langsung si kumbang
mendekam dihadapannya dan kemudian mengangsurkan kaki depannya yang kiri, yang ternyata ada,
noda darah dibahagian pahanya. Dengan serta merta Yoga Kumala menyambut angsuran kaki
sikumbang sambil membongkok dan memeriksanya dengan saksama. Alangkah terkejutnya setelah
menyaksikan, bahwa paha kiri kaki depan sikumbang ternyata luka bekas tergores senjata tajam.
Maksud hendak memanggil Eyangnya segera dibatalkan, setelah mengetahui bahwa kiranya Eyang
mendahului masuk kegoa sewaktu ia bersujud didepan nisan makam ibunya. Dengan rasa iba ia
membelai kepala sikumbang dengan tangan kanannya sambil menatap dengan pandangannya yang
tajam kearah mata sikumbang. Seakan-akan sikumbangpun hendak mengatakan sesuatu. la mengerang-
erang dengan ekornya bergerak-gerak. Ternyata luka goresan itu tak demikian membahayakan. Akan
tetapi …. siapakah gerangan orangnya yang berani melukai sikumbang? ….Dimanakah ia mendapat luka
itu?
Belum juga pertanyaannya terjawab, tiba2
tiga orang berjubah abu2 mendatang bagaikan
berkelebatnya bayangan. Melihat cara mendatangnyapun telah dapat diduga, bahwa tiga orang itu
tentu orang yang memiliki kepandain tinggi. Harimau kumbang yang sedang duduk jinak dihadapan Yoga
Kumala, mengaum pendek serta hendak melompat menerjang kepada tiga orang itu yang berjubah abu2
yang tengah mendatang, tetapi cepat Yoga Kumala menepuk punggungnya serta membentak keras.
— Kumbang! Diam! Karena bentakan itu sikumbangpun menurut jinak kepada perintah
majikannya.
— Anak Kaulah kiranya yang memiliki harimau kumbang yang galak itu? Salah seorang diantara
ketiga pendatang itu bertanya dengan suara pelan.
— Maafkan atas kelancangan saudaraku ini, sehingga harimau piaraanmu menjadi terluka
sedikit, anak muda! — Ucapan kata2nya sangat sopan dan sedikitpun tidak mengandung nada
permusuhan, akan tetapi suara yang lembut itu cukup berwibawa.
— Karena saya belum mengenalnya, siapakah nama bapak2
yang datang ini? — Yoga Kumala
bangkit berdiri menyambut kedatangan tiga orang berjubah abu2
itu, sambil membungkukkan
badannya, sebagai tanda menghormat kepada orang yang usianya lebih tua, seraya bertanya.
— Haaa …. Hhhaataa …. haaaaaaa! Memang wajar bila kau tidak mengenal kami bertiga, karena
baru kali ini pula kau berjumpa denganku …. Ketahuilah, bahwa kami saudara bertiga ini yang terkenal
dengan nama — Parang Jingga — dari gunung Guntur. Kedatanganku bertiga kemari perlu menemui
petapa shakti Ajengan Cahayabuana …. Dan siapakah kau ini sebenarnya anak muda?
Ketiga orang berjubah abu2
itu memang benar tiga saudara pendekar shakti dari gunung Guntur
adanya, yang terkenal dengan gelarnya — Parang Jingga. — Jubahnya berwarna abu2 berkilat terbuat
dari kain sutra dengan masing2 bertandakan lukisan sebatang golok berwarna merah yang tersulam
didada bajunya.
Ketiga2nya hampir merupakan sekembaran. Mukanya bersih berseri dengan pandang matanya
yang tajam. Rambutnya diikat diatas kepala dengan pita sutra kuning dan merupakan gelung kecil.
Masing2 berbadan tinggi tegap. Hanya pada keningnya yang tertua terdapat tanda goresan bekas luka,
dan rambutnyapun telah kelihatan berwarna dua. Ia bersenjatakan tongkat besi sepanjang setengah
depa dan sebatang golok panjang yang tergantung dipinggang sebelah kanan.....
Yang nomor dua tingginya terpaut sedikit dibandingkan dengan yang tertua. Rambutnya hitam
pekat serta diikat keatas menyerupai yang tertua. Ia bersenjatakan sepasang golok pendek yang terselip dipinggang kanan kirinya. Sedangkan yang termuda bertubuh agak kurus dan
setinggi yang tertua. Berbeda dengan kedua saudaranya, rambutnya terurai lepas dan sepasang golok
pendek terselip dipinggang kanan kirinya.
— Saya adalah cucunya Eyang Cahayabuana, dan nama saya Yoga Kumala !!! — Jawab Yoga
Kumala singkat, sambil menatap pandang penuh curiga.
— Tak salah lagi dugaanku, — Kaukah cucunya petapa shakti Ajengan Cahayabuana !!! — Parang
jingga tertua berkata lagi. Sementara itu kedua saudara Parang Jingga lainnya berdiri diam tak berkata sepatahpun. Namun pandangannya liar menyapu sekitarnya, dan sebentar2
saling menatap pandang.
Dimana Eyangmu sekarang ? Aku bertiga ingin menemuinya !!! — Mendengar pertanyaan itu,
Yoga Kumala semakin merasa curiga. Haruskah ia menunjukkan pada Eyangnya yang mungkin sedang
bersamadi ? Ataukah ia sendiri harus mewakilinya ?
Kini ia sedang menimbang nimbang ….. dan untuk segera mengambil keputusan rasa hatinya
penuh ragu ….. Sedang ia menimbang2
tindakan apa yang harus diambilnya, tiba-tiba Parang Jingga
tertua mengulangi pertanyaan dengan nada yang agak keras.
— Hai Yoga Kumala !!! Jawablah pertanyaanku !!! Dimana Eyangmu sekarang ??? —
Jarak antara Gunung Guntur dan Gunung Tangkubanperahu bukanlah dekat. Tidak akan aku
bertiga jauh - jauh datang kemari, jika tak ada perlunya. Ataukah aku harus mencarinya sendiri dalam
gua itu. ? —
Agak gugup juga Yoga Kumala menghadapi pertanyaan ulangan yang mendesak ini. Akan tetapi
dengan cepat ia dapat menguasai ketenangannya kembali.
— Maafkan Tuan2
. Jika sekiranya sangat penting kedatangan Tuan tuan, silahkan untuk
mengatakan tentang keperluan apa, nanti akan saya sampaikan kepada Eyang !—
— Haaa …. Haaa …..! Anak muda yang tak mengerti adat! — gumamnya, sambil ketawa terbahak
bahak serta melanjutkan kata2nya. — Hai Yoga Kumala! Apakah memang demikian ajaran Eyangmu?
Dengarkan!. Aku bertiga bergelar "Parang Jingga" dan datang kemari untuk menemui Eyangmu! Cukup
apabila kau sampaikan pada Eyangmu bahwa ada tamu penting dari Gunung Guntur yang datang
kemari!, Lekas sampaikan….. atau aku akan mencarinya sendiri, tanpa kau antarkan.
Berkata demikian, Parang Jingga tertua melangkah maju dengan tangan kirinya mendorong Yoga
Kumala kesamping sedangkan kedua saudaranya sambil serentak mengumpat.
— Anak liar tak mengenal aturan! —
Kiranya dorongan tangan kiri Parang Jingga tertua itu bukan hanya gerakan sambil lalu saja, akan
tetapi ternyata di sertai daya pemusatan tenaga shaktinya, sehingga belum juga tangannya menyentuh
badan Yoga Kumala, telah dapat pula dirasakan angin dorongannya yang dahsyat . Akan tetapi ….. Yoga
Kumala yang telah memiliki tenaga shakti pemunah daya shakti dan setahun lamanya digembleng
Eyangnya sendiri, sengaja tidak menghindari serangan gelap itu. Ia sengaja memapaki dengan
terhuyung2
kedepan menerjang lawan, sambil jari2nya tegang mengembang untuk mengarah ketiak
lawan.
Sebagai seorang yang terkenal dengan nama gelarnya Parang Jingga tertua serta telah banyak
pengalamannya dalam pelbagai macam pertempuran, ia terperanjat sesaat. Sambil meloncat kesamping
untuk mengelak dari serangan totokan yang tiba2
itu. Menyaksikan sikap Yoga Kumala itu yang
dianggapnya sangat kurang ajar, kedua saudara Parang Jingga serentak menyerang menyerang Yoga
Kumala dengan maksud untuk meringkusnya.
Seorang menubruk dengan kedua tangannya kearah kedua kaki Yoga Kumala, sedangkan
seorang lagi melancarkan sebuah tendangan mengarah lambung dari samping kanan dalam jarak yang
amat dekat. Serangan serentak dari kedua Parang Jingga itu walaupun berlainan bentuknya, namun jelas
merupakan serangan yang mengandung satu titik tujuan. Karena menangkis ataupun mengelakkan
tendangan dari samping kanan, berarti menyerah pada serangan tubrukan kedua belah tangan yang
mengarah pada kakinya dari seorang lawan lainnya atau ia harus menerima serangan tendangan yang
dahsyat dari lawan satunya.
Akan tetapi Yoga Kumala yang telah menguasai ilmu "wuru shakti" tak berpendapat demikian. la
menjatuhkan diri dengan berjongkok hampir tertelungkup dan berjumpalitan menerobos dibawah kaki lawan yang sedang melancarkan tendangannyja, sambil menyerang dengan totokan jari2nya yang tepat
mengenai pangkal paha lawan bagian bawah dengan seruan tawa yang menyramkan.
Tak ayal lagi seorang termuda Parang Jingga yang melancarkan serangan tendangan segera jatuh
terlentang dan berjumpalitan kesamping, untuk menghindar dari serangan rangkaian Yoga Kumala,
sedangkan seorang lagi melompat surut kesamping dua langkah dengan berseru nyaring, menghindari
serangan terkaman sikumbang yang tak diduga2
itu. Ternyata sikumbang tak tinggal diam, melihat
majikannya diserang oleh kedua lawannya yang telah melukainya.
Cepat Yoga Kumala bangkit berjongkok lagi, sambil berseru mencegah gerakan sikumbang yang
sedang akan mengulang gerakan terkamannya.
Kumbang!, Lekas pergi! Jangan turut campur, — bentaknya. Dan mengerti seperti akan seruan
majikannya, sikumbang melompat menjauhi lawan2nya dan kemudian menyelinap dibalik makam.
Sementara itu, Parang Jingga tertua telah menerjang Yoga Kumala dengan tongkat besinya.
Sedangkan kedua saudara Parang Jingga lainnya telah pula mengurung dengan senjata masing2 dikedua
belah tangannya.
— Kurung rapat dan tangkap dia! — Perintah Parang-Jingga tertua pada kedua adiknya, sambil
memutarkan tongkat besinya dan berseru lantang pada Yoga Kumala: — Jika kau tak mau menyerah dan
mengantar kami bertiga pada Eyangmu. jangan menyesal jika kau terluka ataupun binasa ditanganku!—
Sesungguhnya ancaman ini semula hanya dimaksudkan menggertak untuk menakut-nakuti saja,
agar Yoga Kumala tidak membandel melawan mereka. Akan tetapi, siapa tahubahwa ancaman demikian,
malahan membangkitkan semangatnya untuk menguji ilmu pedang yang telah dipelajarinya.
Ia masih berdiri setengah berjongkok dengan kedua kakinya terpentang lebar. Telapak tangan
kirinya mengembang dengan jari2nya yang ditegangkan diangkat setinggi pundaknya, sedangkan tangan
kanannya telah menggenggam pedang pusaka yang terhunus, melintang didepan dadanya. Ia menyahut
dengan kata2
yang diiringi dengan tawanya yang terkekeh-kekeh menyeramkan. — Haaa.... haahaaaaa !
Silahkan Tuan Parang Jingga. — Aku ingin membuktikan sendiri akan kehebatan ilmu shakti dari Parang
Jingga bersaudaral. Haaa . . haaaa … ! —
Melihat Yoga Kumala bersiaga dengan kuda2nya yang aneh yang disertai suara tawa yang
menyeramkan itu, Parang Jingga tertua membatalkan serangannya serta memberi isyarat pada kedua
saudaranya untuk melayani Yoga Kumala, sementara itu ia sendiri mundur selangkah sambil berseru —
Hebat . ! ! Hebat ….! Pantas sebagai keturunan petapa shakti!. Yoga Kumala. Layanilah kedua saudaraku
ini dengan ilmu pedangmu yang aneh! Akan kulihat sampai berapa jurus kau mampu melawan kedua
saudara mudaku ini! Haaa …. haaaa . —
Kata2 pujian yang ditutup dengan memandang rendah ilmu pedangnya itu cukup membakar
semangatja. Ia tidak mau dihina secara demikian. Ia selalu ingat akan ajaran Eyangnya, yang pantang
bertindak sebagai pengecut.
— Jangan kalian sombong, menghina orang lain! — serunya.
— Majulah bertiga, aku tak akan mundur selanggkah menghadapi serangan kalian ..... —
Belum juga ia selesai mengucapkan kata2nya, seorang termuda Parang Jingga telah membuka
serangannya dengan sebuah bacokan kampak kearah dadanya, sambil berseru: — Awas serangan !—
Kaki kiri Yoga Kumala bergerak maju selangkah, dengan badan lebih merendah lagi ,,,, Pedang
pusaka berkelebat bagaikan kilat menangkis serangan kampak, mengarah pergelangan lawan sedangkan
tangan kirinya yang mengembang tegang menyambar kearah punggung lawan, dengan diiringi seruan
tak kalah lantangnya: — Awas balasan!—
Menghadapi serangan balasan dari Yoga Kumala yang tak diduga-duga itu Parang Jingga termuda cepat meloncat kesamping kiri dan membatalkan rangkaian serangannya. ia menjadi terkesiap
sesaat. Belum pernah serangan yang demikian dahsyatnya dihindari oleh lawan secara melancarkan
serangan balasan. Melihat adiknya sibuk mrnghindari serangan balasan dari Yoga Kumala, Parang Jingga
penengah segera langsung menerjang dengan tusukan dan babatan sepasang golok pendeknya.
Sementara itu Parang Jingga termuda telah membalikkan badannya dan kembali menyerang lagi
dengan senjata kampak dan golok panjangnya. Namun serangan2
yang dahsyat itu, oleh Yoga Kumala
dapat selalu dihindari secara aneh dan mengagumkan, hingga serangan2
kedua saudara Parang Jingga
selalu menemui tempat kosong. Pertempuran kini menjadi seru dengan gerakan2
serangan senjata2
tajam masing2
yang amat cepat serta sukar dilihat dan diduga akan perobahan2
gerakannya.
Gulungan sinar putih bersemu kebiruan diselingi dengan berkelebatnya sinar putih kemilau yang
menyambarkan bagaikan kilat susul menyusul menyelubungi tubuh ketiga orang yang sedang bertempur
dengan sengitnya.
Ternyata dalam menghadapi dua orang lawan yang tangguh itu, Yoga Kumala dapat mengimbangi
ketangkasannya, tanpa terdesak kedudukannya. Parang Jingga tertua yang menyaksikan pertempuran
dari dekat tersenyum kagum : — Bagus! Bagus! — serunya sambil mengikuti jalannya pertempuran yang
sedang berlangsung dengan sengitnya.
Akan tetapi pertempuran yang semula berjalan dengan seru dan seimbang itu, tak lama
kemudian berobah dengan tiba2
. Dua saudara Parang Jingga kini menjadi sibuk berlompatan
menghindari serangan2
yang aneh dan berbahaya, serta sukar di-duga2 akan bentuk perobahan dan
arahnya. Kiranya mereka keduanya telah merasa terdesak dan tak sampai memberikan balasan
serangan pada Yoga Kumala lawannya. Serangan kedua saudara Parang Jingga yang tadinya merupakan
serangkaian serangan yang serasa serta dahsyat , menjadi buyar dan kalang kabut, hampir2
senjata
mereka berdua salimg berbenturan sendiri.
Sedang mereka sibuk berlompatan menghindari serangan pedang pusaka yang berkelebatan susul
menyusul kearah tubuh mereka, tiba2 Yoga Kumala melompat tinggi sambil berjumpalitan diudara
dengan berseru keras : " Lepas senjata!!!". Tidak ayal lagi, kedua golok pendek ditangan kanan kiri lepas
dari genggaman dan terpental, sejauh lima langkah dari pemegangnya. Dengan seruan tertahan,
penengah Parang Jingga melompat surut kebelakang dua langkah sambil gemetaran. Tangan kanannya
terasa seperti lumpuh, sedangkan ibujari tangan kirinya terbabat oleh sabetan pedang pusaka Yoga
Kumala.
Setelah melihat kedua saudaranya terdesak hebat dan bahkan seorang diantaranya mendapat cedera
pada kedua belah tangannya, ia melompat menerjang kearah Yoga Kumala dengau suatu serangan
pukulan tongkat besinya, langsung mengarah bahu kanan Yoga Kumala. Namun kembali lagi Yoga
Kumaia dapat terhindar secara mentakjubkan sambil melancarkan serangan balasan yang tak kalah
berbahayanya. Pukulan tongkat besi yang jatuh ditempat kosong itu, oleh Parang Jingga tertua
dilanjutkan menjadi sabetan kearah kaki Yoga Kumala yang sedang mengelak kesamping dengan disertai
suatu loncatan rendah untuk menghindarkan sabetan pedang Yoga Kumala.
Akan tetapi … ia segera melompat dua langkah kesamping kiri, setelah mendapatkan kenyataan
bahwa serangan tongkat besinya yang berangkai menjadi gagal semua dan Yoga Kumala tanpa
diketahuinya telah berada dibelakangnya sambil melancarkan serangan2
yang sangat berbahaya.
Sementara itu Parang Jingga penengah telah terbebas dari kelumpuhan tangan kanannya,
sedangkan ibu jari tangan kirinya cepat dibalut dengan sobekan lengan jubahnya, untuk kemudian
melompat mendekat Parang Jingga tertua dan mengambil golok panjang yang terselip dipinggang
kakaknya. Kini mereka bertiga dengan senjata masing2 ditangan serentak maju dengan serangan2
yang
amat rapih dan teratur silih berganti susul menyusul dan kadang2
serangan serentak yang amat dahsyat .
Tongkat besi menyambar kearah kedua kaki Yoga Kumala, sedangkan ujung golok panjang dari
penengah Parang Jingga meluncur kearah dadanya, dan Parang Jingga termuda pada saat yang
bersamaan mengayunkan kampaknya kearah kepala Yoga Kumala dengan memegang golok pendek
terhunus ditangan kirinya siap untuk merangkaikan serangannya. Tiba2
sewaktu tiga senjata hampir
mengenai sasarannya, Yoga Kumala terhuyung2
kebelakang selangkah untuk kemudian meloncat tinggi
sambil berseru melengking menyeramkan.
Ia berpusingan diudara meluncur kembali dengan melancarkan serangan dalam gerak sabetan
pedang yang sangat membingungkan bagi ketiga saudara Parang Jingga yang belum siaga itu. Ketiga2nya
masing2 berlompatan surut kebelakang selangkah untuk menghindari serangan pedang maut yang tak
dikenal oleh mereka. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa serangan yang demikian rapat dan
dahsyat dapat dihindari secara aneh dan mentakjubkan.
Akan tetapi Parang Jingga termuda dengan tangkasnya telah melemparkan golok pendeknya
kearah Yoga Kumala sewaktu ia meloncat menghindar dari serangan pedang. Golok pendek meluncur
bagaikan kilat mengarah perut Yoga Kumala yang waktu itu belum berpijak ditanah. Dan ….trrraanngg
Golok pendek tertebas menjadi dua potong serta terpental jauh, masing2 mengarah tubuh kedua
lawannya yang sedang berlompatan menghindar dari serangan pedang sehingga mereka terpaksa
menangkis dengan gerakan membentuk perisai dengan senjatanya masing.
Tiba2
seorang tertua Parang Jingga melompat surut kebelakang dua langkah sambil berseru
keras — Cukup. Cukup !. Tahan senjata! Serentak semua mengikuti gerakan Parang Jingga tertua dan
berdiri tegak tak bergerak sambil memegang senjata masing2
.
Bersamaan dengan itu, Ajengan Cahayabuana berdiri dibelakang Yoga Kumala, sambil tertawa
nyaring.
— Haa ….. haa...! Bagus! …. Bagus! Yoga sambutlah kedatangan para tamu Parang Jingga itu
sebagai mana layaknya. Anggaplah ketiga tamu shakti itu seperti keluarga kita sendiri ….
Mendengar kata2 Eyangnya yang tiba2
itu, ia menjadi terkejut dan heran bukan kepalang.
Namun sebagai seorang cucu yang selalu taat akan perintah Eyangnya, Yoga Kumala cepat
menyarungkan pedang pusakanya kembali serta membungkukkan badannya kearah ketiga saudara
Parang Jingga sambil berkata minta maaf
— Tidak mengapa ! I. Dan tidak ada yang harus kami maafkan Yoga Kumala ! !, Saya bangga
menyaksikan kepandaianmu itu ! ! Berkata demikian Parang Jingga sambil membalas hormat.
— Bapak Ajengan Cahayabuana ! ! —. Ia bwrkata melanjutkan bicara tertuju pada Cahayabuana,
sambil menganggukkan kepalanya : — Maaf kan kami bertiga, yang telah lancang berani menguji cucu
Bapak Ajengan Cahayabuana sebelum mendapatkan idzin terlebih dahulu. Dan ternyata berhasil dengan
sangat memuaskan. Kelancangan kami bertiga sekedar memenuhi permintaan Gusti Senapati Indra
Sambada pada setengah tahun yang lalu. —
— Ach …. tidak ada pula yang harus saya maafkan, bahkan saya mengucap banyak terima kasih
atas jerih pajah anak2 Parang Jingga yang telah sudi menguiurkan tangan membantu aku yang telah tua
ini ! !. Dan akupun telah mengerti akan keperluan kedatangan anak2
kemari, maka sengaja tadi aku tak
menyambutnya lebih dahulu. Mari2 …. silahkan singgah digua pondokku sebentar anak2….. — Yoga !!
Kau juga harus mengucap terima kasih pada tamu2
kita yang bermurah hati itu. —
Belum juga Yoga Kumala sempat mengucapkan terima kasihnya, Parang Jingga telah berkata
lagi. — Maaf kan, Bapak Ajengan Cahayabuana ! !. Bukannya kami menolak untuk singgah di
pertapaan, akan tetapi terpaksa kami harus meninggalkan Tangkubanperahu sekarang juga, untuk
segera menghadap Gusti Senapati Indra Sambada di Kota Raja agar tak terlambat menyampaikan
laporan hasil titahnya !!. —
Baik ….. baik ! !. Aku tak mungkin dapat mencegah kalian ! !. Pesanku, sampaikan saya salam
sujudku kehadapan Gusti Indra ! !.—
Sambil menepuk nepuk Yoga Kumala ketiga saudara Parang Jingga berpesan agar
kedatangannya di Kota Raja krlak jangan sampai terlambat.
Setelah berpamitan, mereka bertiga segera berlalu dengan pesatnya sambil meninggalkan suara
seruan pesan — Yoga!!
Sampai ketemu lagi di Kota Raja !!!. — Suara itu memantul menggema kembali …. untuk kemudian
hilang lenyap sama sekali.
*
**
Pada waktu malam harinya, setelah Yoga Kumala selesai berlatih iltnu pemusatan tenaga dalam,
Cahayabuana memberikan petunjuk2 padanya dengan suara yang tenang sambil duduk bersila.
— Dahulu sewaktu kangmasmu Gusti Indra Sambada meninggalkan pondok kita ini, ia
meninggalkan pesan padaku, supaya kau berhasil mewarisi kapandaianku dalam-waktu tidak lebih dari
dua tahun. Walaupun dalam waktu yang singkat itu tentu masih ada, kekurangan2
yang belum kau
kuasai seluruhnya, akan tetapi Gustiku Indra menaruh kepercayaan, bahwa dengan mewarisi dua pertiga
bagian dari kepandaianku saya dengan ditambah ilmumu sendiri telah cukup untuk bekal dalam
mengabdi di Kerajaan. Demikianlah pesan beliau. Hal ini dianggap karena menjelang dua tahun
mendatang beliau berkenan mengadakan pemilihan calon2 perwira tamtama baru yang khusus akan
ditugaskan ke Kerajaan Tanah Melayu sebagai tamtama bantuan dari Gustiku Sri Baginda Maharaja
Hajam Wuruk kepada Sri Baginda Maharaja Adityawarman. Menurut keterangan Gustiku Senapati Indra
bantuan dari Majapahit adalah memenuhi permohonan Kerajaan Tanah Tanah Melayu yang bermaksud
untuk mengendihkan kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang kini telah suram. Maka berulang-ulang Gustiku
Indra berpesan agar kedatanganmu kelak di Kota Raja jangan hendaknya terlambat.
Maka cucuku Yoga! Jangan hendaknya kau membuang-buang kesempatan yang demikian
baiknya itu …. Tekunlah berlatih!
Demi untuk tercapainya tujuanmu. Pergunakanlah waktu fang singkat dan yang hanya tinggal setahun
lagi ini se-baik2nya ,serta semanfaat mungkin! —
— Akan tetapi, Eyang! Cucunda masih ragu …. akan kemungkinan dapatnya menguasai semua
pelajaran dari eyang dalam waktu yang sesingkat itu. Dan karenanya ….. saya takut ….. apabila nanti
…..terpaksa mengalami kegagalan. Bukankah Eyang sendiri sering mengatakan, bahwa kegagalan dalam
tahap permulaan sama halnya dengan kegagalan keseluruhan? Maka untuk tampil dalam gelanggang
pemilihan calon perwira tamtama yang akan diselenggarakan di Kota Raja pacla setahun mendatang ini,
cucunda merasa tidak mampu? …. !—
Yoga Kumala mengutarakan isi hatinya dengan se-jujur2nya, dengan kata2
yang terputus-putus serta
dengan muka yang tertunduk. Sekilaspun ia tak berani menatap pandang pada Eyangnya.
— Yoga cucuku sayang! — Cahayabuana mejawab dengan kata2
lemah lembut: — Jangan kau mudah berputus asa! Melihat bekal yang telah kau miliki sekarang saya, aku sebagai Eyangmu telah
merasa tidak kecewa dan percaya bahwa dalam waktu setahun mendatang, jika kau selalu tekun
berlatih tentu akan dapat menguasai seluruhnya pelajaran2
yang kuberikan padamu. Hanya untuk
sempurnanya, kau masih harus mencari pengalaman. Dan memang pengalaman itulah yang pada
hakekatnya akan merupakan guru yang tertinggi …. Percayalah pada dirimu sendiri!
Yaahhh ….ketahuilah bahwa kepercayaan pada diri sendiri juga merupakan bekal utama untuk
mencapai sesuatu. — Cahayabuana menghela nafas sejenak dan kemudian melanjutkan lagi bicaranya:
— Merendah hati adalah budi luhur akan tetapi …. berkecil hati bukan merupakan sifat2
ksatrya.
Buanglah jauh2
sifat2 yang demikian itu. Ketahuilah, bahwa secorang ksatrya harus selalu
menunjukkan kesanggupannya, dengan semboyan2nya — pantang menyerah. — Demi untuk
menjunjung tinggi martabatnya, demi nama bangsa dan tanah airnya, seorang ksatya akan rela hancur
lebur menjadi debu dari pada lari meninggalkan gelanggang sebagai pengkhianat. —
Setelah mendengar petunjuk dari Eyangnya itu, rasa hatinya seperti tergugah. Api juangnya
menjadi menyala kembali.
Kata2 Eyangnya seakan - akan merupakan sambaran petir disiang bolong Tidak ....... tidak! Tak
mau ia menjadi pengkhianat. Iapun rela lebur menjadi debu dari pada hidup sebagai pengkhianat.
Bukankah mendiang ayahnya juga gugur sebagai pahlawan?
Mulai sejak itu, ia berlatih lebih giat dan tekun lagi serta keinginan untuk ke!ak dapat terpilih
menjadi perwira tamtama menjadi meluap luap …..
Hari demi hari, dan bulan demi bulan telah dilaluinya dengan acara2
yang sama serta
menjemukan. Esok pagi-pagi berlatih kanuragan dan malam harinya menerima petunjuk2 ataupun
mengungkap kitab kuno.
Akan tetapi walaupun demikian, Yoga Kumala tetap mentaati perintah Eyangnya, dan berlatih
penuh ketekunan.
Teman untuk ber-cakap2
satu2nya dalam waktu beristirahat adalah Mang Jajang pengasuhnya yang
setia. Dari Mang Jajang itulah Yoga Kumala dapat mengetahui banyak tentang kisah kehidupan ayah
bundanya yang telah pulang kealam baka. Sifat2
kesatriaan mendiang ayahnya selalu didongengkan oleh
Mang Jajang dengan semangat yang menyala
2
, seakan akan ingin ia melukiskan kembali dengan kata
bahasanya agar Yoga Kumala dapat pula turut menggambarkannya dengan angan2
yang jelas.
— Wajah mendiang juragan pamegeut mirip sekali dengan Aden Yoga Kumala sekarang — Dan
apabila ceritanya sampai disini, air mata Mang Jajang deras mengalir membasahi pipinya yang telah
berkeriput iiu. Tak terasa, Yoga Kumalapun ikut pula bersedih hati. Air matanya ber-linang2 meleleh
dikedua pipinya.
Kadang2
sebagai pelipur dukanya, ia mengikuti Eyangnya Cahayabuana dimalam hari menjelajali
desa2 di-lereng2 pegunungan untuk menolong rakyat tani yang miskin atau mengobati orang2 desa yang
jauh terpencil yang sedang menderita sakit. Tak jarang pula Yoga Kumala turut serta memberantas
penjahat2
yang mengganggu ketentraman di-desa2
yang jauh terpencil dari penjagaan petugas
narapraja.
Sang waktu berjalan terus, tanpa mengenal langkah surut .... bagaikan anak panah yang telah
terlepas dari busurnya. Dan kini telah lewat satu setengah tahun lamanya ia tinggal dipertapaan
Eyangnya dilereng puncak Gunung Tangkubanperahu. Selama itu pula ia digembleng oleh Eyangnya baik
jasmani maupun rohani.
Ternyata Yoga Kumala sebagai ksatrya keturunan darah pahlawan Pajajaran dengan bakat2nya,
telah dapat mencapai kemajuan yang pesat, sesuai dengan kehendak Eyangnya, petapa shakti Ajengan Cahayabuana.
Sejak adiknya Indah Kumala Wardhani meninggalkannya, rasa2nya ia tak betah untuk tinggal
lebih lama lagi ditempat yang sunyi itu.
Ingin ia sekali waktu minta ijin kepada Eyangnya untuk menjenguk adiknya sebentar di
lndramayu, akan tetapi tak berani ia mengutarakan keinginannya kepada Eyangnya.
Keinginannya tetap hanya menjadi keinginan belaka ...
Ia tahu, bahwa permintaannya tak mungkin dikabulkan, selama ia dianggap oleh Eyangnya belum lulus
dari penempaan dalam ilmu krida kanuragan dan ilmu krida yudha. Terdorong oleh rasa ingin cepat
turun gunung, maka semua pelajaran-peiajaran yang diterimanya disambutnya dengan penuh perhatian
serta ketekunan. Ia berlatih dengan tanpa mengenal lelah .... Kiranya semua ini tak Iepas pula dari
perhatian petapa shakti Cahayabuana, Eyangnya. Akan tetapi sebagai pengasuh yang telah mendekati
titik kesempurnaan, Cahayabuana seakan-akan tidak memperdulikan akan isi hati cucunya.
Dalam hati ia selalu bersjukur pada Dewata Hyang Maha Agung, bahwa ia telah dikaruniai cucu
seorang putra yang ternyata perkasa dan berwatak ksatrya. Ia bersyukur pula, bahwa kini cucunya Yoga
Kumala telah dapat mewarisi ilmunya krida kanuragan yang dapat dibanggakan. Kini ia telah bermasud
hendak melepas cucunya dari tempat petapaan, karena dianggapnya telah cukup memiliki bekal untuk
mengabdi di Kerajaan Majapahit.
Dikala itu, malam bulan purnama. Langit biru membentang luas dan bintang2
gemerlapan
menaburi ruang angkasa. Cahaya sang bulan memancarkan sinar keemasannya dan alam semesta
menjadi terang remang-remang karenanya. Namun suasana sekitar lereng puncak Gunung
Tangkubanperahu itu tetap sunyi .. . . sepi . . . . seperti biasanya pada tiap2 malam hari. Hanya suara
jengkerik ilalanglah yang selalu terdengar nyarin g, merupakan irama malam yang tetap. Kadang2
diselingi pula dengan suara auman binatang2 buas ataupun suara anggukkan burung hantu. Akan tetapi
suara selingan itu segera lenyap tertelan oleh kesunyian malam yang kelam.
Waktupun telah lewat tengah malam, akan tetapi Cahayabuana dengan Yoga Kumala masih juga
asyik bercakap-cakap pelan sambil duduk bersila didepan batu nisan tempat makam mendiang Nyi Ayu
Darma Kusumah, sedangkan si kumbang dengan setianya mendekam tertunduk disebelah Cahayabuana.
Hawa pegunungan yang dingin itu kiranya tidak mengganggu ketenangan mereka, bahkan dihirupnya
dalam2 untuk menambah segarnya badan. Jika pada waktu malam biasanya mereka duduk diruang
semadhi dalam gua, sambil mengungkap kitab kuno, maka malam ini adalah berlainan dengan malam
biasanya. Mulai sejak sang bulan tadi bertahta disinggasananya, mereka berdua duduk diatas rumput
tanpa alas Iain sambil asyik bercakap2 pelan. Kiranya Cahayabuana ingin sekali lagi mengulang kata-kata
petuahnya pada cucunya Yoga Kumala. Seaakan-akan ingin ia menyematkan semua petuahnya kelubuk
hati cucunya pada malam itu.
— Pesanku, ….. Yoga .... jagalah adikmu Indah Kumala Wardhani dan dirimu sendiri baik2…..
Walaupun kelak pada suatu saat kau berdua terpaksa harus berpisah dan berjauhan namun aku
mmgharap …… ikatan rasa sebagai saudara sekandung hendaknya jangan sampai putus …..
Ingatlah bahwa hanya kau berdua yang menjadi penyambung obor para leluhurrnu, dan
hendaknya dapat merupakan obor penerang pula bagi mereka yang sedang terperosok dalam kegelapan
Suara itu terputus sejenak, dan suasana menjadi sunyi sepi kembali …… Dengan muka tertunduk, tiba2
Yoga Kumala menyahut pelan memecah kesunyian.
— Eyang! Cucunda ingin berbakti pada ayah bunda dan Eyang serta pada para leluhur.
Hendaknya batu nisan makam Ibunda ini menjadi saksi akan kata2
cucunda. Hasrat cucunda tidak ada
lain kecuali mengabdi pada kebaikan..
— Aku percaya akan ucapan kata2mu, Yoga! Semoga Dewata Hyang Maha Agung mengabulkan
cita2mu yang mulai itu …..Sekali lagi pesanku, …. bersikaplah selalu rendah hati!. Sesuaikan dirimu,
dimanapun kau berada. Dalam kitab kuno Niti Sastra yang telah kau pelajari terdapat sebait wejangan
ilmu shakti dari seorang pendeta Budha Sakyakirti kepada salah seorang muridnya tertulis dalam
halaman 678 yang berbunyi demikian :
Menjelma asap sewaktu campur awan . .
Menjadi setetes air dikala hujan ……
Dapat menghilang digelapan . . . .
Dan menjadi debu dikancah laga . .
Kejarlah aji shakti demikian ….
Sebagai bekal untuk mencapai tujuan …..
Arti maksud daripada wejangan itu, ialah tak lain dari pada suatu petuah, agar muridnya selalu
dapat menyesuaikan diri dimanapun ia berada. Maka buanglah jauh2
sifat tinggi hati ataupun congkak.
Janganlah sekali2 menghina ataupun memandang rendah pada orang lain. Orang2
shakti yang
berada diatas tingkatanmu masih banyak sekali. Kesaktian tanpa landasan kebenaran, pasti akan
mengalami kehancuran. Ingatlah, bahwa tujuanmu yang utama adalah „mengabdi" …. dalam arti kata
yang luas! Yaaahh . . . . mengabdi pada Kerajaan Agung Majapahit ..... mengabdi pada bangsa dan tanah
air…… mengabdi pada kebenaran dan keadilan….. mengabdi pada Dewata Hyang Maha Agung.
Ilmu, pangkat dan kekuasaan hanyalah alat belaka untuk mewujudkan suatu pengabdian . .
Kelak kau akan tahu sendiri, dimana letaknya puncak kesaktian yang sesungguhnya , …. Carilah
.... dan kau tentu akan menemukan ….. Nah …. cucuku Yoga ! Kiranya ilmu yang kau warisi dariku telah
cukup, untuk sekedar penambah bekal, dalam mencapai titik tujuan.
Siang malam aku akan selalu berdoa dalam semadhiku, agar Dewata Hyang Maha Agung selalu
melindungi dirimu ……
Disamping ilmu yang telah kau miliki, setia dan tekun merupakan dua pokok bekal utama pula.
Dalam kata setia terkandung arti: taat, patuh, serta bertanggung jawab akan semua kewajiban,
sedangkan tekun ialah rajin tak mengenal lelah ataupun jemu. Sebagai contoh …..
Walaupun hanya selangkah demi selangkah, akan tetapi dengan setia dan ketekunan, kau dapat
mendaki puncak gunung setinggi Mahameru. Sebaliknya, walaupun kau ber-sayap akan tetapi tak
memiliki ketetapan hati tidak mung-kin dapat terbang mencapai titik tujuan. Camkanah … baik2
,
pesanku yang sederhana ini. Karena orang yang masih semuda kau itu, akan banyak menjumpai godaau.
Jangan hendaknya kau mengalami kegagalan ditengah jalan, hanya karena tergelincir oleh rintangan
yang tak berarti. — Sampai disini Cahayabuana berhenti bicara, dan suasanapun menjadi hening kembali
….. Kedua2nya menghela nafas panjang, seakan akan sedang mengenangkan sesuatu. Si. Kumbangpun
mendekam tak bergerak. Hanya matanya yang berkedip2 berkilat terang seperti nyala pelita. Seakan
akan iapun turut pula mendengarkan wejangan majikannya.
Sambil batuk2
kecil, Cahayabuana melanjutkan lagi bicaranya dalam nada penuh ketenangan.
— Cucuku, Yoga Kumala !! Yaaahh ….. walaupun telah berulang kali aku katakan padamu, akan
tetapi kiranya tak ada jeleknya apabila dimalam perpisahan ini aku peringatkan sekali lagi ….. Kenanglah
sepanjang masa hidupmu akan jasa2
semua orang yang telah meltrnpahkan budi kasihnya kepadamu,
seperti Gusti Wirahadinata sekeluarga. Gusti Junjunganku Senapati Indra Sambada, Ki Dadung Ngawuk dan lain2nya. Hutang harta mudah dibayar dengan benda pula. Akan tetapi berhutang budi harus dibalas
dengan bhakti. Dan bukan dinamakan bhakti apabila tidak rela berkorban untuknya, sewaktu diperlukan
!! - Semua petuah Eyang akan saya rekam untuk saya jadikan haluan hidup cucunda, Eyang !!!.—
Baru saja Yoga Kumala selesai mengucapkan kata akhir kalimatnya, tiba2
terdengar suara tawa
yang bergelak gelak yang semakin jelas. — Haaaa haaaaaa . . haaaa ...!!.-- Si kumbang cepat bangkit
berdiri dengan sepasang dann telinganya bergerak gerak, mencari arah datangnya suara. Ia mengerang
tertahan, sambil memperlihatkan taring2nya iang runcing berkilat. Namun cepat tangan kanan
Cahayabuana menepuk pelan pada punggung sikumbang, sebagai isyarat agar ia duduk mendekam
kembali dengan tenang.
Yoga Kumala menjadi terperanjat seketika, dan hampir2
ia bangkit hendak menyambut suara
tawa yang bergelak gelak nyaring itu, Akan tetapi secepat itu pula ia dapat menguasai ketenangannya
kembali, demi disadarinya, bahwa ia sedang menghadap Eyangnya. Ia tertunduk dengan muka yang
merah padam, diliputi oleh rasa gelisah.
Sebelum gema suara tawa itu hilang tertelan oleh kesepian malam, tiba2 Cahayabuana telah
membalasnya dengan suara yang menggema pula. — Haaaiii ..... Ki Dadung Ngawuk !!!. Kedatanganmu
tepat pada waktunya !!!, -
Walaupun kata2
itu diucapkan dengan pelan sambil duduk bersila akan tetapi suaranya
menggema mengalun jauh dan memantul kembali dalam nada yang lebih jelas terdengar. Gelombang
getaran gema suaranya memenuhi alam sekitarnya, hingga suara cangkerik ilalang dan lain2nya terdesak
lenyap. ltulah seruan petapa shakti Cahayabuana yang diiringi dengan aji shaktinya „Panggendaman
Rajawana".
— Haaa …..haaaahhhaaaaa ! Kedatanganku tak bermaksud mengganggu pertemuan kakek dan
cucu! Tapi sekedar menjenguk muridku sianak gila yang baik. —
Suara itu kini semakin terdengar jelas dan seakan-akan diucapkan oleh orang yang telah berada
dihadapannya. Akan tetapi ternyata bayangannyapun belum nampak. Jelas bahwa kakek Dadung
Ngawuk menggunakan pula tenaga dalamnya untuk mengantar suaranya dari kejauhan.
— Silahkan! Silahkan!! Kedatanganmu kusambut dengan hati terbuka! — Jawab Ajengan
Cahayabuana.
Bajangan berkelebat mendatang, dan bersamaan dengan lenyapnya gema suara Cahayabuana,
seorang kakek2
gundul setengah telanyang dengan hanya memakai cawat dari kulit ular sanca serta
menggenggam cambuk terbuat dari kulit ular sanca pula ditangan kanannya, telah berdiri dihadapan
Cahayabuana sambil tertawa tarkeceh-kekeh.
— Heehhh …. Heeehhh ,.. heehhh ! Tidak kuduga bahwa petapa tua masih hidup dan tetap segar
seperti dahulu waktu lewat sepuluh tahun yang lalu! —
Tanpa menunggu perintah Eyangnya, Yoga Kumala segera bangkit dan sujud pada gurunya yang
baru saja tiba. — Kakek Dadung Ngawuk!!! Ampunilah aku muridmu yang tak berbakti ini. Sekali-kali aku
tak bermaksud mangabaikan pesan guru, akan tetapi kesempatan untuk mnemenuhi janjiku memang
belum tiba ….Sekali lagi... ampunilah kesalahanku ini …..kakek Dadung Ngawuk guruku!—
Sesungguhnya memang Yoga Kutnala selalu ingat akan pesan gurunya kakek Dadung Ngawuk,
sewaktu ia dahulu meninggalkan hutan Blora. Dan oleh karena itulah ia cepat2 mengutarakan isi hatinya,
karena kuatir mendapat teguran dari gurunya, sebelum ia mendapat kesempatan untuk memenuhi
pesan gurunya. Telah lama terkandung dalam hatinya, akan tetapi apa daya kesempatan itu belum juga
kunjung datang.
— Heeehh ….. heeeehhh !!. Anak gila yang baik! Tak ada yang harus kumaafkan ….Akupun telah tahu semua ,…. Dan bahkan tak pantas apabila kau memiliki cengeng. Bukankah kau adalah cucu petapa
tua shakti??? Haaa ….. haaa …. Sudahlah! Sudahlah! Datangku kemari hanya ingin membuktikan akan
kebenaran kataku dahulu, dan pula kau harus mengakui kalah bertaruh denganku! — Berkata demikian,
K.kek Dadung Ngawuk segera turut serta duduk sila diatas rumput sambil memegangi bahu Yoga Kumala
dan menepuk-nepuknya.
Sementara itu, Yoga Kumala diam ternganga, penuh pertanyaan. Darimana gurunya tahu akan
kejadian2
yang telah dialaminya? Cara bagaimana gurunya tahu bahwa ia kini berada ditempat
pertapaan Eyangnya? Sedang ia meraba2 mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri, Cahayabuana
telah memulai membuka percakapan.
— Kiranya sahabatku Kaki Dadung Ngawuk masih juga tetap segar bugar, dan watak2 aslinya
tidak juga berubah! — Katanya sambil tersenyum.
— Dan bahagialah anda berkunjung dipondokku yang terpencil ini! —
— Haaa haaa haaa . ! Petapa tua yang selalu pantas menjadi tauladan …. Jauh berlainan dengan
diriku yang gila ini . yaaah . memang aku benar2
gila…. Terima kasih….. terima kasih . . . . atas teguranmu
itu, orang tua! haaa ….haaa …..haaa ….!—
Dengan muka tertunduk diam dan hati yang girang, Yoga Kumala mengikuti percakapan dua
orang shakti yang tengah berlangsung itu. Ke-dua2nya adalah gurunya sejati...
Ia girang bercampur rasa kagum dan bangga. Girang karena akhirnya dua orang shakti itu
bertemu dalam suasana akrab, dan bangga karena kedua-duanya memiliki ilmu yang tinggi serta saling
mengagumi.
— Sayang kau petapa tua …... terlalu kikir akan Ilmumu….. Mudah2an saja menghadapi cucunya
sendiri kau menjadi pemurah ! —
Mendengar kata2
cemoohan dari Ki Dadung Ngawuk itu, Cahayabuana sedikitpun tidak menjadi
marah, akan tetapi bahkan turut tertawa terbahak2 pula. Ia tahu akan sifat sifat Dadung Ngawuk yang
sinting dan angin2an itu, dan iapun tahu bahwa kata2nya itu semua sama sekali ticlak mengandung
maksud jahat. Tanpa mengindahkan ucapan cemoohannya Cahayabuana berkata sambil tersenyum
lebar.
— Heeehh ….. Heeehhh …. akulah yang seharusnya berterima kasih padamu, Ki Dadung
Ngawuk! Tanpa bimbinganmu cucuku Yoga Kumala tidak akan sepandai sekarang! Orang tua seperti aku
ini tentunya tidak mungkin dapat membalas atas budi kebaikanmu yang tak ternilai itu.— Maka
terserahlah …. dan semoga Dewata Hyang Maha Agung dapat membalasnya! —
— Orang tua baik!. Ternyata kau bukan hanya pandai dalam ihnu kanuragan, tetapi juga pandai
bersilat lidah dan menyanjung orang. Haaa ….haaaa ….haaa …. Hampir2 aku jatuh terlentang karena
terlalu tinggi kau sanjung-sanjung! —
Haaa . , haaa haaa , Bukankah dahulu dengan ilmu kebanggaanku aktu pernah bertekuk lutut padamu?
Haaa …. haaa , …..haaa!. Sampai2 aku berani lancang tangan mengangkat cucumu sebagai muridku,
adalah karena semula aku tak tahu bahwa anak gila itu sesungguhnya cucumu adanya. Akan tetapi kini,
ternyata aku menang taruhan dengan cucumu. itu. Haaa …. , . haaahaaa ……bukankah benar akan
dugaanku dahulu bahwa nama Sujud adalah nama palsu! Haaa …. Bawa…. Bawa…. haaa ....! Nach,
sekarang akan aku jitak kepalamu Yoga! — Dan benar2 apa yang dikatakan, ia telah menjitak kepala Yoga
Kumala dengan tiba2
, sehingga menjadi terperanjat sesaat.
— Nach! — katanya kemudian,— Lunas sekarang! Kekalahan taruhanmu telah kau bayar dan
akupun tidak penasaran lagi. Haaa haaa .. . . haaa —
Akhirnya ketiga-tiganya menjadi ketawa atas kejadian itu. Kini suasana nampak lebih gembira dan lebih akrab lagi. Kiranya sifat2
sintingnya Dadung Ngawuk menambah meriahnya suasana pada
malam yang sunyi itu.
Percakapan itu berlangsung terus dengan sebentar-bentar diselingi dengan suara tawa yang
terbahak2
. Tanpa diperintah Eyangnya, Yoga Kumala telah pergi kedapur dan membantu Mang Jajang
yang sudah sibuk menyiapkan teh hangat dan makanan kecil sederhana untuk menjamu gurunya Ki
Dadung Ngawuk.
Ternyata suara tawa yang ber-gelak2
tadi cukup membuat terkejutnya Mang Jajang yang sedang
tidur nyenyak, sehingga ia tersentak bangun karenanya. Dengan panjang lebar penuh kelucuan Dadung
Ngawuk menceritakan, bahwa sewaktu ia mencari muridnya di Indramayu menemui Wirahadinata,
mendapatkan petunjuk2
yang sangat jelas. Dengan demikian maka ia kemudian langsung menuju ke
lereng Tangkubanperahu.
Juga sewaktu ia berada di Indramayu iapun telah pula berkenalan dengan adik muridnya Indah
Kumala Wardhani yang nakal itu. Iapun membawa juga pesan dari Bupati Wirahadinata untuk
disampaikan pada Cahayabuana. Isi pesannya ialah, agar Yoga Kumala dalam waktu dekat ini dapat
berkunjung ke Indramayu, untuk kemudian akan diantarkan sendiri oleh Wirahadinata ke Kota Raja
bersama-sama dengan adiknya Indah Kumala Wardhani.
Cahayabuana setelah menerima pesan yang dibawa oleh K i Dadung Ngawuk dari Bupati
Wirahadinata, segera memberikan penjelasan kepada Ki Dadung Ngawuk bahwia Yoga Kumala memang
pada besok paginya akan turun gunung menuju ke Kota Raja dengan singgah sebentar untuk sementara
hari di Indramayu, tempat kediaman orang tua angkatnya.
— Untung bagiku, bahwa kedatanganmu tidak terlambat — kata Cahayabuana.
— Haaa . . .. . haaa . . . , . haaa .... Akulah yang beruntung! — Sahut Ki Dadung Ngawuk, -- Tidak
kecewa aku dari jauh2 datang kemari ! —
Sambil menikmati hidangan2
yang masih hangat kedua orang shakti melanjutkan
percakapannya. Sementara itu Yoga Kumalapun telah turut serta duduk bersila mendengarkan
percakapan mereka.
— Yoga gila, muridku! — katanya Dadung Ngawuk kemudian, sambil menatap pandang
padanya. — Jika kelak kau telah diangkat menjadi priyagung di Kerajaan, jangan hendaknya kau lupa
padaku. Berusahalah untuk menjenguk diriku, waktu satu setengah tahun mendatang. Untukmu
kuberikan kitab kuno usadha sastra yang mungkin berguna bagimu.
Ambilah sendiri kitab kuno itu. Kitab itu kutanam didekat pohon semboja merah didekat
sendang ditengah hutan. Tak usah kuatir, kitab itu kusimpan rapih dalam peti yang tak mungkin rusak.
Ingatlah? satu setengah tahun lagi . . . menjelang bulan purnama pada malam pertama! —
Budi kasih kakek Guru kepadaku terlampau banyak … — Jawab Yoga Kumala sambil bersujud: —
Dengan cara bagaimanakah aku dapat membalasmu, Kakek Dadung Ngawuk?!
Haaaa … haaaa . haaaa . benar2
kau serupa dengan kakekmu sipetapa tua ... Ketahuilah, bahwa
aku sama sekali tidak mengharapkan balasan darimu . . . .
Cukup jika kau kelak dapat menjadi kebanggaan orang hanyak, seperti kakekmu itu, Akupun akan turut
merasa hangga pula. Nach! Kiraku ajaran2 dari kakekrnu petapa tua cukup padat dengan hal-hal yang
baik, dan tidak perlu aku menambah lagi. Ketahuilah, bahwa dihadapan kakekmu itu, aku pernah
menyerah kalah dan bertekuk lutut maka akupun percaya penuh padanya! —
Berkata demikian Dadung Ngawuk lalu bangkit berdiri sambil berpamit untuk kembali ke hutan
Blora tempat tinggalnya. Ajakan Ajengan Cahayabuana agar ia mau singgah lebih lama lagi dipertapaan,
sama sekali tak dihiraukannya. Ia telah melesat hilang ditelan kegelapan malam yang pekat sambil meninggalkan suara tawanya yang menggema dipantulkan oleh lereng gunung Tangkubanperahu : —
Ilaaaaa ... haaaaaa . . . haaa.aaa . —
Lain waktu kita sambung lagi! —
Cahayabuana hanya menggeleng - gelengkan kepalanya, sambil berkata pada diri sendiri: —
Orang aneh …. orang aneh, tetapi berwatak ksatrya …. —
Waktu itu telah larut malam. Bintang2pun mulai nampak pudar cahayanya. Daun2
telah basah
berlapiskan embun pagi.
Pada hari itu, pagi2 buta ayam ... Yoga Kumala dengan diantar oleh Eyangnya, Mang Jajang dan si
kumbang sampai dikaki Gunung Tangkubanperahu meninggalkan tempat pertapaan Eyangnya Ajengan
Cahayabuana serta tempat makam lbunya untuk menuju ke lndramayu, seorang diri. Sambil berkali-kali
menoleh kebelakang dengan melambai lambaikan tangannya, Yoga Kumala berjalan semakin jauh untuk
kemudian hilang dikelokan jalan padesan ….
*
* *
Komentar
Posting Komentar