ANEHNYA DALAM WAKTU yang hampir bersamaan itu, ibunya Mbah Duwung, seorang nenek
yang telah lanjut usianya yang tinggal disebuah desa didaerah pantai selatan dekat dengan gua Rongkob
itu, juga terbunuh secara kejam, dengan ticlak diketahui siapa pembunuhnya. Si Duwungpun pernah
juga berkunjung kemari sebelum Dadung Ngawuk datang, untuk minta pendapatku. Dengan merendah,
aku hanya dapat memberikan jawaban bahwa aku tidak mengetahui sama sekali tentang hal itu.
Kiranya datangnya kemari bukan semata-mata hanya untuk minta pendapatku saya, akan tetapi
sebenernya iapun menaruh curiga terhadap diriku. Setelah yakin bahwa aku bukan pembunuh orang
tuanya, ia berlalu meainggalkan tem-pat pertapaan ini. Hal itu juga saya ceritakan pada Dadung Ngawuk.
Tidak kuduga sama sekali, bahwa ceritaku tentang kedatangan si Duwung itu dianggapnya sebagai
petunjuk jalan untuk dapat menemukan pembunuh isterinya. Dengan penuh penyesalan, Dadung
Ngawuk kunasehati agar ia berlaku hati hati dengan pertimbangan2
yang wajar, untuk jangan sampai
salah terka. Karena mungkin ada orang ketiga yang memang sengaja hendak memancing untuk
mengadu dombakan antara Dadung Ngawuk dengan Mbah Duwung, demi keuntungannya. Sejak itu, aku
tidak pernah jumpa lagi dengan mereka. Dalam perpisahan dulu, masih juga Dadung Ngawuk sempat
mengatakan penyesalannya dan berjanji tak akan mengganggu keturunanku. Siapa tahu sekarang
cucuku Yoga Kumala, malah menjadi muridnya ,,,,,. Cahayabuana mengakhiri ceritanya. Ia menatap pandang kearah Indra Sambada sambil ber kata pelan — Ooo …. yaaaa tentang
pertanyaan nak-mas Gustiku tadi belum kujawab ….. Maafkan nakmas Gustiku. Bukan aku lupa, tetapi
memang sengaja aku hendak menutup ceritaku tentang Dadung Ngawuk lebih dahulu, agar cucuku Yoga
Kumala puas ….. Nah, ….. sekarang akan kujawab sedapat dapatku tentang pertanyaan Gustiku itu. —
Cahayabuana menggeser duduknya sambil membetulkan letak kaki bersilanya, — Lembaran kitab bagian
akhir itu, ….. masih ada ….. dan kini kusimpan campur dengan benda2
kuno lainnya dalam gudangku …..
Jika Gustiku menginginkan, baiklah besok saya kubongkar gudang itu.....
Besok setelah dipelajari bersama, nanti akan kujelaskan bagian2
yang sekira penting bagi nakmas
Gustiku ... dan aku rasa, untuk cucuku Yogapun ada pula bagian2
yang penting yang harus dipelajari. ---
— Saya mengucapkan banyak terima kasih akan kemurahan hati Bapak Ajengan Cahayabuana
yang selalu dilunturkan padaku, — jawab Indra Sambacia dengan perasaan puas, walaupun ia harus
menunggu dan bersabar sampai esok hari lagi.
Hanya yang sangat mengherankan bagi ketiga2nya ialah gudang tempat penyimpanan barang2
kuno yang di sebut2
tadi oleh Cahayabuana. Jelas bahwa selain dari pada ruangan2
kosong seperti dapur,
ruangan semadhi dimana mereka sekarang sedang berada, dan ruangan dekat mulut gua yang hanya
sempit dan gelap itu, tak ada lagi ruangan lain. Tetapi mengapa Cahayabuana menyebutkan gudang
tempat penyimpanan. Dimana lagi ada ruangan untuk gudang pikir mereka.
Namun untuk bertanya lebih lanjut mengenai hal itu yang dianggap kurang penting, mereka tak
berani mengemukakannya. Maka ketiga tiganyapun hanya diam dengan masih meraba raba akan
tebakan dari teka-tekinya itu.
Sementara itu Mang Jajang telah siap dengan masakan hidangannya untuk makan siang.
Juga daging utar yang tadi diterima dari Yoga Kumala telah selesai juga dimasaknya.
Si Kumbang kiranya telah bangun dan mengaum ngaum panjang minta diisi perutnya. Dan Mang
Jajangpun telah mengerti akan kewajibannya mengurus binatang piaraan yang setia itu.
Hujan diluar turun semakin deras. Suara guntur gemuruh mengumandang susul-menyusul, dan
sebentar-bentar diselingi suara samberan halifintar yang mengampar diudara.
Hawapun menjadi lebih dingin dan sejuk karenanya.
*
* *
Pada esok harinya yang cerah, Cahayabuana dengan diikuti oleh Indra Sambada, Yoga Kumala
dan Indah Kumala Wardhani menunjukkan letak gudang tempat penyimpanan barang2
kuno, yang
berada disebelah dalam mulut gua tembusan yang mengarah ketimut. Dinding gua didekat mulut yang
kelihatan rata dan licin tertutup batu alam itu ternyata dapat dibuka dengan mengungkap sebuah batu
besar yang berukuran kira2
selangkah persegi. Dengan dibukanya batu yang merupakan penutup lobang
itu, Cahayabuana merangkak memasuki lorong gelap itu, dengan diikuti oleh Indra Sambada, Yoga
Kumala dan Indah Kumala Wardhani. Kira2
selang 50 tindak lorong itu menanjak terjal, untuk kemudian
tiba disebuah ruangan yang luasnya kurang lebih 20 langkah persegi. Seperti halnya dengan ruangan
tempat semadhi Cahayabuana, ruangan itupun berdinding dan berlantai batu alam putih yang
mengeluarkan cahaya, hingga ruangan itu menjadi terang remang2
. Kini Cahayabuana menyalakan pelita
yang telah tersedia diatas meja batu alam yang berada didalam ruangan itu. Ruangan menjadi terang
benderang karena dinding sekitarnya memantulkan kembali cahaya penerang nyala api pelita itu.
Namun dalam ruangan itu kelihatan tak nampak sebuah benda ataupun selembar kitab, kecuali meja
batu alam dan pelita yang telah dinyalakan itu. Akan tetapi selama mengikuti langkah Cahayabuana,
mereka bertiga sepatah katapun tidak berani mendahului bertanya. Mereka hanya diam sambil rnengamat amati dinding2 batu alam yang mengelilingi ruangan itu.
— Nah … inilah gudang tempat penyimpan barang2
kuno. yang telah kuceritakan kemaren —
tiba2 Cahayabuana bicara memecah kesunyian: — Bagus, bukan?! tanyanya kemudian, yang oleh
mereka hanya dijawab dengan anggukan kepala serentak. Sambil turut mengangguk
2
kan kepala
Cahayabuana melanjutkan bicaranya.
— Gudang inilah . kurencanakan pula untuk kelak pada saatnya yang dikehendaki oleh Dewata
Hyang Maha Agung tiba, sebagai tempat penyimpanan tubuh kerangkaku. Karena nakmas Gustiku Indra
telah sudi menganggap sebagai keluarga sendiri, maka tak ada jeleknya mengetahui seluk beluk gua ini
dan maksud rencanaku yang mendatang. —
Demi menclengar penjelasan dari Ajengan Cahayabuana, bahwa ruangan itu hendak akan
dipergunakan tempat peristirahatan yang terakhir, bulu kuduk mereka serasa berdiri, dan perasaan
sedih menyusul bergolak meliputi lubuk hati karena bertiga. Seakan-akan mereka berdiri diambang
pintu ruang kedukaan. Semua terdiam dengan menelan rasa duka yang tak terhingga. Tak mampu
mereka menanyakan lebih lanjut. Suasanapun menjadi lebih sunyi. Namun seakan-akan Cahayabuana
dapat membaca isi hati mereka, dan dengan tersenyum ia berkata: — Apa yang kalian susahkan.?!. Tadi
yang aku katakan adalah wajar belaka. Cobalah pikirkan dengan tenang. bukankah semua orang akan
mati? Demikian aku yang sudah tua begini.
Hanya kapan kita semua tidak mengetahui dengan pasti, karena …. semua itu telah ada yang
mengaturNya. Kita serahkan penuh pada Dewata Hyang Maha Agung yang menguasai kehidupan kita
semua. Maka janganlah bersedih hati, hanya karena mendengar uraianku tadi.
Aku hanya sekedar mengemukakan rencanaku, dan semoga Dewata Hyang Maha Agung
mengabulkan permohonanku itu. Aku kira persiapan untuk menyambut akan datangnya Panggilan
Dewata Hyang Maha Agung seperti aku ini adalah wajar …. Nah, ….. mari sekarang kutunjukkan barang2
kuno yang kusimpan itu, — berkata demikian, Cahayabuana melangkah menuju kesebuah sudut
belakang dalam ruangan itu.
Sedangkan mereka bertiga dengan masih terdiam mengikuti dibelakangnya. Setelah sampai
disudut ruangan. Cahayabuana mengamat-amati dengan saksama sesaat pada dinding2 batu putih alam
itu, dan kemudian ….. ia berdiri mendekat dinding, serta menaruh telapak tangan kanannya dan
mendorongnya dengaa pelan pada dinding yang berada dihadapannya itu . ….Tiba2 dinding yang
didorongnya itu mulai bergerak dan membungkah retak selebar selangkah persegi, dan kini batu itu
bergeser perlahan menyerupai daun pintu yang sedang membuka kedalam. Dengan hati2 Cahayabuana
mengambil dua buah peti dari dalam almari batu alam itu, kemudian diangsurkan pada Yoga Kumala
cucunya, sambil berkata — Coba kau terimalah ini peti dengan hati2
. Kiraku barang2
lainnya lagi yang
masih tersimpan itu tidak demikian penting bagi kalian.—
Peti itu terbuat dari jati yang berukir halus. Sebuah peti berbentuk segi panjang yang lebarnya
hanya sejengkal, sedangkan panjangnya kira2 hampir setengah depa. Sebuah peti lagi berbentuk bujur
sangkar yang sisinya selebar dua jengkal. Dengan menekan kembali dengan ujung telapak tangan pada
ujung daun pintu batu itu, almari batu alam tertutup kembali rapat. Semua tertegun heran demi melihat
tempat penyimpanan Ajengan Cahayabuana itu.
Dengan membawa dua peti kaju, mereka kini kembali keruangan samadhi.
Nafsu masing2 untuk ingin mengetahui isi dari peti yang dibawanya, kiranya telah melonjak-
lonjak, namun terpaksa mereka bersabar menunggu, tidak berani mendahului membuka tanpa seijin
Ajengan Cahayabuana. Sambil duduk bersila Cahayabuana menarik sebuah peti panjang dihadapannya,
serta mengamat-amati sambil me-raba2 dengan jari2
tangannya. Seakan-akan mengagumi keindahan ukiran yang terpahat diatas tutupnya yang menonjol. Sedangkan mereka bertiga dengan berdebar -
debar mengikuti gerakan2
jari Cahayabuana dengan pandangan mata yang tak berkedip. Tiba2
jari
telundiuk Cahayahuana menekan pada benda logam yang kecil menonjol, dan peti panjang menjadi
terbuka dengan sendirinya. Bau harum semerbak memenuhi ruangan ….. Kini mereka bertiga
menggeser duduk bersila untuk lebih mendekat lagi, agar dapat melihat isinya dengan jelas. Perlahan-
lahan Cahayabuana mengeluarkan sebilah pedang yang masih rapat terselubung dalam sarungnya.
Tangkai pedang itu berlapis mas murni dan bertatahkan permata berlian dan batu merah.
Bentuk dari pada tangkai pedang itu menyerupai seorang yang sedang berdiri dengan kedua
belah tangannya bersilang didada.
Sedangkan sarung pedangnya berlapiskan perak yang terukir halus berlukiskan kembang2
yang
sangat indah. Sambil tersenyum dikulum Cahayabuana berkata pelan: — Cucuku Yoga Kumala ! Kini
telah tiba saatnya …. pedang pusaka ini menjadi milikmu …. Telah lama pedang ini kusimpan, menanti
kedatanganmu maka terimalah pedang pusaka ini sebagai bekalmu dalarn mengabdi pada Ibu Pertiwi
,…. Aku percaya bahwa dalam bimbingan Gustiku Indra Sambada, kau tentu akan mendapat kesempatan
untuk menunjukkan dharma baktimu..... maka patuhilah semua perintah dan petunjuk2nya dengan
ketulusan hatimu …. Harapanku, semoga kau kelak dapat menjunjung martabat nama para leluhurmu,
— Berkata demikian Cahayabuana menghunus pedang pusaka itu dengan perlahan dari sarungnya.
Pedang pusaka yang amat tajam itu mengeluarkan sinar cahaja putih semburat biru kemilauan. Semua
menjadi terpesona demi melihat pedang pusaka yang demikian indahnya, menyerupai pusaka Kerajaan.
Dengan air mata yang berlinang-linang meleleh membasahi kedua pipinya, Yoga Kumala
menyambut pemberian pedang pusaka dari Eyangnya dengan kedua belah tangannya. Sambil menangis
terisak-isak ia berkata terputus-putus: — Eyang, …. maafkan cucunda ….. yang amat bodoh ini …..
Bagaimana saya dapat memenuhi ….. harapan Eyang ….. karena pedang pusaka pemberian Eyang …..
ditangan cucunda hanya akan menjadi …. benda mati …. walaupun demikian . . . ampuhnya pedang
pusaka itu … Tidak!! Tidak Eyang! …. Saya tak berhak memilikinya …
— Dengan tangan yang gemetar Yoga Kumala menyerahkan kembali pedang pusaka itu, dengan
masih menangis terisak-isak.
Indah Kumala Wardhani yang biasanya senang menggoda kakaknya, kini duduk terpaku dengan
muka tertunduk penuh dengan rasa haru.
Sedangkan Indra Sambada duduk diam penuh rasa iba, melihat adik angkatnya yang sedang
menggigil dan sambil menangis terisak-isak itu. Ingin ia berkata sesuatu untuk raenghibur Yoga Kumala,
namun perasaan budi luhurnya mencegah ia tak berbuat demikian. Bukankah Ajengan Cahayabuana
sebagai Eyangnya lebih berhak menghibur Yoga Kumala??. Ketenangannya kini kembali menguasai
dirinya. Selagi Indra Sambada masih duduk terdiam, tiba2 Cahayabuana berkata lirih: —Yoga Kumala
cucuku. — Jangan kau bersedih hati dan cepat berputus asa . . Tenangkanlah perasaanmu, dan
dengarkan petunjuk2
ku ini .... Aku tahu maksudmu yang terkandung dalam lubuk hatimu …..yang jujur
itu, yaaahh …. bahkan aku lega mendengar pengakuanmu yang secara jujur itu …. maka letakkanlah
pedang pusaka itu dipangkuanmu dahulu.–
Tanpa membantah Eyangnya Yoga Kumala mengikuti semua perintah Cahayabuana. Perlahan-
lahan isak tangisnya mereda untuk kemudian tidak kedengaran lagi. Ia duduk tertunduk sambil
mengusapi air matanya yang membasahi dengan ujung bajunya.
— Cucuku Yoga Kumala! — Cahayabuana melanjutkan bicaranya, dengan menatap pedang
kearah Yoga Kumala. Suaranya terdengar lemah lembut penuh rasa sayang. — Ketahuilah, bahwa kau
adalah cucuku priya yang tunggal. Dengan bakatmu, serta dasar2
ilmu krida yudha yang pernah kau
pelajari dari kangmas angkatmu Gustiku Senapati Indra Sambada, dan ilmu kanuragan aneh yang telah
kau miliki sebagai pemberian dari gurumu Dadung Ngawuk, aku yakin benar bahwa dalam waktu yang
sangat singkat kau akan dapat memahami ilmu pedangku ini yang akan kuwariskan padamu
…..Walaupun ilmu pedangku ini jauh belum sempurna, akan tetapi cukup untuk di-gunakan sebagai
bekal daiam pengabdianmu kelak. Aku percaya, bahwa Gustiku Indrapun tentunya bersedia pula untuk
memberikan petunjuk2
yang berguna, agar kau dapat menggunakan pedang pusakamu dengan tidak
mengecewakan.
Karena kata2 Cahayabuana itu secara tidak langsung memuji ketinggian ilmu Indra Sambada,
maka cepat2
Indra Sambada mengelak serta merendahkan diri secara tidak Iangsung pula, katanya : —
Adikku, Yoga Kumala ! !. Kiranua tidak alasan kau untuk berkecil hati. Percayalah, bahwa dalam asuhan
Eyangmu sendiri, kelak ilmu krida Yudhamu akan jauh melampaui kepandaianku. Berbahagialah kau
adikku Yoga …. yang masih mempunyai Eyang sebagai junjunganmu ….. yang ilmunya baik jasmani
ataupun rohani telah mumpuni tidak ada taranya. Akupun turut merasa bahagia, setelah Eyangmu sudi
mengangkatku sebagai anggauta keluargamu dan juga sebagai muridnya …. Maka pesanku, tekunlah
berlatih dibawah asuhan Eyangmu ! !. Dan sambil berpaling kepada Ajengan Cahayabuana ia berkata
dengan penuh hormat : — Maafkan Bapak Ajengan Cahayabuana ! !. Atas kelancanganku ini, sekedar
petunjuk untuk adikku Yoga Kumala, agar ia tidak kehilangan semangatnya ! ! —
— Heh, ... . heehh …. heeehhh . … Benar2
seorang priyagung yang berbudi luhur yang tak pernah
mau menerima kata pujian, tetapi selalu merendah diri. Semoga kedua cucuku dapat mencontoh
tauladan yang luhur itu !! — Cahayabuana mejawab pelan sambil ketawa.
Suasana yang diliputi rasa keharuan tadi menjadi lenyap, bagaikan kabut tipis tersapu oleh
angin.
— Nah, …. jangan kau iri kepada akangmu, cucuku manis ! ! Untukmupun ada pula sebuah
benda pusaka yang tak kalah indahnya dengan pedang milik akangmu itu. Kukira, benda ini memang
pantas untuk menjadi milikmu. Indah Kumala Wardhani ! !. Cahayabuana berhenti sejenak dan
mengeluarkan sebuah peti kecil yang panjangnya sekira satu setengah jengkal. Dari dalam peti kecil itu,
ia mengambil sebuah keris pusaka berukuran kecil dan pendek, kira2
sepanjang sejengkal yang memang
khusus merupakan senjata untuk kaum wanita. Keris itu lazim disebut dengan istilah „ patrem ", Konon
ceritanya keris wanita ataupun patrem itu dimiliki oleh tiap-tiap putri raja.
Disamping dipergunakan sebagai senjata untuk menghadapi lawan, patrem itu juga
dipergunakan sebagai senjata untuk bunuh diri dalam membela kehormatannya, apabila tidak ada
kemungkinan lain untuk mempertahankannya.
Hadiah yang diberikan oleh Ajengan Cahayabuana kepada Indah Kumala Wardhani yang berupa
patrem itu tak kalah indahnya dengan pedang panjang yang dihadiahkan kepada Yoga Kumala.
Tangkainya terbuat dari gading yang dipahat halus berbentuk kepala garuda dengan sepasang
batu mirah sebagai mata kepala garuda itu.
Werangkanya dilapis emas murni seluruhnya serta dihiasi pula dengan permata berlian dan mirah. Keris
Patrem itu setelah dihunus dari werangkanya, mengeluarkan bau harmm semerbak.
Warnanya kehitam-hitaman dengan pamornya berwarna putih bersinar.
Bentuknya lurus meruncing dengan kedua sisinya bermata tajam.
Berbeda dengan kakaknya Yoga Kumala yang menangis terisak isak sewaktu menerima
pemberian Eyangnya, kini Indah Kumala Wardhani menyambut pemberian patrem pusaka itu dengan
tersenyum girang bercampur bangga, sambil mengucapkan rasa terima kasihnya yang tak terhingga.
Keris pusaka ditimang-timang ditelapak tangannya, untuk diamat amati sambil tersenyum girang2 puas. Tak puas2nya ia mengagumi benda pusaka yang kini telah menjadi miliknya.
Tanpa malu malu lagi Indah Kumala Wardhani memamerkan milik pusakanya pada Indra
Sambada, yang olehnya disambut dengan senyum gembira pula.
Demi melihat cucunya yang lucu itu, Ajengan Cahayabuana turut pula bersenyum bangga.
— Simpanlah baik2 dahulu, manis!! Lain hari akan kujelaskan penggunaannya secara lebih
mendalam. — Cahayabuana berkata kepada Indah Kumala Wardhani.
Peti panjang yang telah kosong itu, disisihkan kesudut oleh Cahayabuana dan selanjutnya ia
berganti meraih peti persegi lainnya untuk diletakkan dekat dihadapannya.
Ia menyerahkan gulungan kulit domba yang halus yang diambilnya dari peti persegi itu, kepada
Indra Sambada sambil berkata dengan nada yang tenang.
— Nakmas Gustiku Senapati Indra Sambada! Gulungan kulit domba itu aku persembahkan
kepada Gustiku Mungkin sangat berguna juga untuk Gustiku Indra!
— Cepat Indra Sambada menyambut pemberian kulit dom ba itu dengan kedua belah
tangannya, untuk kemudian di gelar serta dilihatnya dengan seksama. Wajah Indra Sambada menjadi
berseri-seri serta kagum, setelah melihat dengan jelas lukisan peta bumi yang menggambarkan seluruh
Nusantara lengkap dengan gunung dan sungai2
serta batas2 daerah Kerajaan2
. Ia belum pernah melihat
peta bumi yang demikian lengkapnya, serta luasnya sebagaimana yang berada ditangannya sekarang.
— Pemberian Bapak Ajengan Cahayabuana ini sangat berharga bagiku dalam mengemban tugas
sebagai tamtama Kerajaan. Saya kira di Kerajaanpun tidak ada peta bumi yang demikian lengkap dan
jelas serta demikian indah buatannya. Sungguh merupakan hadiah bagiku yang tak ternilai. Jika kapak
Ajengan Cahayabuana tidak keberatan, peta bumi ini akan saya persembahkan kepada Gustiku Sri
Baginda Maharaja, — Indra Sambada menyambut dengan kata2nya penuh hormat serta mengemukakan
kehendaknya.
— Barang yang tak berguna untukku itu telah kupersembahkan pada Gustiku Indra. Untuk
dibuat apapun selanjutnya terserah kepada Gusti Junjunganku sendiri. Kiranya aku telah tidak berhak
lagi untuk menyampuri akan kebijaksanaan Gustiku Indra, — jawab Cahayabuana sambil tersenyum lirih.
Setelah Indra Sambada puas mengagumi peta bumi dari kulit domba yang diterimanya, kini
Cahayabuana memperlihatkan lagi tumpukan lembaran kulit domba yang berisikan tulisan2
kuno. itulah
sisa lembaran2
kitab kuno buah karya Sakya Abindra pada abad ke VII yang telah diceritakan kemarin.
Kesemuanya terdiri dari empat belas lembar bagian terakhir dari kitab kuno itu, yang mana dua lembar
diantaranya telah sobek terpotong pada ujungnya. Akan tetapi guratan huruf2
kuno yang terdapat pada
lembaran2
kulit domba itu masih nampak jelas dan mudah dibaca. Sewaktu Indra Sambada masih
meneliti akan urutan halaman itu, tiba2 Cahayabuana berkata memecah kesunyian: — Nakmas Gusti
Junjunganku Indra! Sebaiknya kitab kuno itu kita bawa keluar saya, agar dapat kita pelajari bersama
ditempat yang lebih terang. Maaf kan, nakmas Gustiku. Ditempat yang remang2 demikian ini, mataku
yang telah di makan oleh umur tidak dapat diajak bekerja, — Cahayabuana segera bangkit sambil
tersenyum dan kemudian Indra Sambada, Yoga Kumala dan Indah Kumala Wardhani mengikuti pula
sambil tersenyum geli demi mendengar pengakuan Cahayabuana bahwa matanya teIah dimakan oleh
umur. Bukankah Cahayabuana selalu gemar berjalan dalam malam hari? — pikir mereka.
Dengan pedang pusaka yang disandang dipinggang kirinya. Yoga Kumala menjadi lebih kelihatan
perkasa.
Setelah mereka tiba dilapangan terbuka didepan mulut gua, segera mereka duduk ditempat
yang teduh dibawah sebuah pohon asem yang rindang. Sambil tersenyum2
ringan serta memegang
lembaran2
kitab kuno dengan tangan kanannya, Cahayabuana mulai bicara lagi tertuju pada Indra Nakmas Gustiku Indra !
— Nakmas Gustiku Indra! Dalam Iembaran pertama, kedua, dan ketiga, yang mana ketiga
lembar sisa kitab itu masing - masing ditandai dengan angka 34, 35, dan 36, jelas menunjukkan bahwa
potongan lembaran itu adalah lembaran / halaman yang ke 34, 35 dan 36 dari kitab " Wuru - Shakti '
yang menjadi rebutan para orang2
shakti. Dan ketiga lembar itulah yang memuat tulisan2 mengenai
kunci dari pada jurus jurus gerakan " wuru shakti ". Karena lembaran2
yang memuat bagian jurus2
langkah wuru shakti tidak ada dalam sisa kitab yang kumiliki ini, maka ….. untuk memahaminya lebih
lanjut secara jelas, hendaknya Gustiku Indra membuktikan dahulu akan kehebatan dari pada gerakan
langkah2 wuru shakti yang telah dimiliki oleh cucuku Yoga Kumala.
— Nach,. . , . sekarang sebaiknya cucuku Yoga supaya mempertunjukkan ilmu "wuru shakti"
yang telah kau miliki dan kau pelajari dari gurumu Dadung Ngawuk, agar kita semua mendapat
gambaran yang lebih jelas tentang kehebatan dari pada ilmumu itu. Mlaka hendaknya cucuku Yoga tidak
usah bersikap malu2
. — Berkata demikian Cahayabuana menatap pandang pada Yoga Kumala, sebagai
isyarat agar cucunya Yoga Kumala mau ruempertunjukkan sebentar ilmunya.
Dengan sikap yang canggung dan ragu2
karena agak malu, Yoga Kumala bangkit berdiri sambil
melepaskan pedang pusakanya, dan melangkah maju ketengah-tengah lapangan. Dengan gerakan yang
kurang bersemangat, ia mulai sendiri dengan langkah
2
jurus wuru shakti yang diikuti dengan penuh
perhatian oleh Cahayabuana dan Indra Sambada serta Indah Kumala Wardhana.
Demi melihat gerakan Yoga Kumala yang canggung penuh keraguan itu, Indra Sambada bangkit
berdiri dan mendekat sambil berseru: — Yoga Kumala!! Marilah .... saya temani agar gerakanmu lebih
gesit! — Kata2
itu diiringi suara senyum ketawa, yang menghilangkan rasa keragu2annya. — Adikku Yoga,
cobalah kau elakkan seranganku ini! — Indra Sambada melanjutkan bicaranya - Jika dalam waktu
sepengunyah sirih pergelangan tanganmu yang kanan tak dapat kutangkap ... aku kakakmu Indra
menyerah kalah serta mengakui akan kehebatan ilmu wuru shakti yang menjadi kebanggaanmu itu!—
Kata2
sanjungan itu memang sengaja diucapkan olah Indra Sambada agar Yoga Kumala dapat
mempertunjukkan ilmunya dengan sepenuh hatinya. Dengan demikian, gerakan2
langkah aneh dari
jurus2
ilmu kanuragan wuru shakti itu dapat dibuktikan sendiri kehebatannya serta untuk memudahkan
dalam mempelajari kunci2nya ilmu ancli itu yang termuat dalam lembaran2
kitab kuno, yang kini sedang
dipelajari dengan Cahayabuana.
Setelah mendengar seruan kakaknya Indra Sambada, Yoga Kumal cepat berdiri siap siaga untuk
menantikan datangnya serangan dari Indra Sambada dengan penuh semangat dan tanpa ragu2
lagi . . . .
Ia berdiri merendah setengah berjongkok dengan kedua kakinya dipentang lebar. Tangan kirinya ditekuk
keatas setinggi baunya dengan jari2
yang tegang mengembang dan menghadap kedepan. Tangan kanan
bergerak dalam gaya menjangkau, lurus setinggi jajar dengan dadanya sendiri. Telapak tangannya
mengembang dengan jari2
yang ditegangkan pula. Matanya mernandang tajam kedepan dengan mulut
yang tersenyum menyeringai.
Inilah gerak langkah wuru shakti dalam bentuk jurus yang dikenal dengan nama „menyarnbut
serangan maut dari empat penjuru". Jurus Wurushakti yang demikian ini, khusus diciptakan untuk
menghadapi serangan2 dahsyat yang belum diketahui bentuk gerakan serangan lawannya serta yang
tidak diketahui pula dari arah mana serangan itu mendatang.
Walaupun gerakan itu tak sedap dipandang karena memang tak memiliki gaya keindahan, akan
tetapi cukup membingungkan bagi lawan yang akan menyerang. Dari gerakan itupun dapat dilihat,
bahwa tiap2
gerakan sambutan serangan dari lawan, tentu akan mengandung unsur2
serangan balasan
yang cukup berbahaya.
Jurus menyambut serangan maut dari empat penjuru itu diciptakan sedemikian rupa, sehingga
dengan secara cepat bagaikan kilat dapat menukar arah dengan hanya menggeser salah satu kakinya
saja tanpa merobah bentuk gerakannya.
— Awas serangan!! — seru Indra Sambada sambil melompat langsung menerjang dari samping
kanan dengan pukulan telapak tangan kearah pelipis Yoga Kumala, sedangkan telapak tangan kirinya
menyambar secepaa kilat kearah pergelangan tangan kanannya Yoga Kumala untuk ditangkapnya.
Suatu gerakan serangan yang dahsyat dan sukar untuk dapat diduga sebelumnya. Akan tetapi
sebagai murid Dadung Ngawuk yang pernah pula memakan buah „ daru saketi ", Yoga Kumala dengan
perasaan nalurinya, tiba-tiba mengubah jangkauan tangan kanannya menjadi sebuah serangan tebangan
kearah lengan kiri Indra Sambada sambil terhuyung-huyung melangkah kedepan dengan jari2nya tangan
kiri yang mengembang tegang menyambut pukulan tangan kanan Indra yang menyambar kearah
pelipisnya.
Sesaat Indra Sambada terperanjat dan cepat menarik kembali serangan tangan kirinya sambil
melompat kesamping kanan, sedangkan tangan kanannya dirubah menadi kepalan untuk memapaki
datangnya sambaran tangan kiri Yoga Kumala. Dua lengan berbenturan keras, dan masing2 berseru
tertahan karena merasakan dahsjyatnya tenaga beaturan yang mengakibatkan rasa ngilu ditulang
lengannya.
— Benar2
suatu ilmu tata kelahi yang aneh— pikir Indra Sambada. Pada umumnya, orang
menyambut serangan yang pertama kali dengan suatu gerakan mengelak …… akan tetapi kini apa yang
disaksikan olehnya adalah sebaliknya.
Serangan yang pertama kali disambut dengan sebuah gerakan serangan pula yang tidak kalah
dahsyatnya, tanpa menghiraukan akan kekuatan lawan tarlebih dahulu. Lebih mengherankan lagi ialah
bahwa Yoga Kumala tidak mau menghindar kesamping, justru malah menerjang dan menerobos
kedepan dengan langkah-langkah yang aneh serta membingungkan, hingga ia menjadi berada
dibelakangnya. Karena kuatir akan datangnya rangkaian serangan aneh dari adiknya, Indra Sambada
cepat membalikkan badannya serta melontarkan serangan tendangan yang berangkai.
Sambil berseru nyaring: — Awas serangan kedua!—
Akan tetapi malah ia sendiri yang dibuat menjadi sibuk, karena tanpa diketahui, Yoga Kumala
telah menjatuhkan diri dan berjumpalitan kearahnya secara menelusup dibawah kakinya sambil
menyerang dengan totokan jari2nya kearah paha kakinya. Menghadapi serangan yang sukar untuk di
duga itu, Indra Sambada terpaksa meloncat tinggi dan berpusingan agar dapat jatuh berdiri dengan
menghadap pada lawannya kembali. Kini tanpa memberikan peringatan Indra Sambada. cepat
menyerang lagi dengan sebuali tinjunya yang disusul dengan tendangan berangkai, sambil menyambar
per-gelangan tangan kanan lawan dengan tangan kirinya. Akan tetapi ternyata semua serangan2nya tak
pernah menyentuh sasaran dan selalu jatuh pada tempat kosong. Gerakan adiknya yang mirip seorang
setengah mabok dan kelihatan lambat itu, ternyata merupakan pengelakan dan sekaligus merangkap
unsur serangan balasan yang dahsyat dan berbahaya. Pertarungan yang hanya merupakan latihan dan
pertunjukan. kini menjadi seru dan berlangsung dengan gerakan yang lebih cepat dan lebih dahsyat ,
sehingga mengeluarkan angin sambaran yang menderu-deru.
Masing2
saling memperlihatkan ketangkasannya, serta ketinggihan ilmunya dalam tata kelahi
bertangan kosong dengan gaya gerakan satu sama lain yang jauh berlainan.
Pun seruan2 melengking sebagai peringatan dari Indra Sambada selalu disambut oleh Yoga
Kumala dengan suara terkekeh-kekeh yang menyeramkan.
Pertarungan yang seru itu telah berlangsung agak lama, tanpa ada yang roboh terluka.
Tiba2 Cahayabuana berseru dengan suaranya yang penuh wibawa, menghentikan pertarungan
yang masih berlangsung dengan sengitnya. Keduanya yang sedang bertempur, serentak menghentikan
gerakannya, sambil tersenyum dan kemudian berjabatan tangan.
— Aku mengaku kalali, Yoga ! ! Sungguh bangga mempunyai adik seperti kau ini ! ! Indra
Sambada mulai bicara pada adik angkatnya Yoga Kumala.
— Ach, ….. kangmas Indra sengaja mengalah ! ! — Yoga menjawab sambil ketawa.
— Bukannya aku mengalah, akan tetapi aku memang tidak mampu menangkap pergelangan
tanganmu. Hampir2 aku lupa bahwa waktu sepengunyah sirih telah lama lewat. Dan ternyata, belum
juga aku berhasil menangkap pergelangan tanganmu, walaupun seluruh kepandaianku telah kuperas
……. Ilmumu yang aneh sungguh mengagumkan !!!
— Dengan bergandengan tangan, mereka berdua berjalan kembali untuk menghadap Ajengan
Cahayabuana yang masih saja duduk bersila dengan Indah Kumala Wardhani disampingnya.
— Nach, bagaimana sekarang pendapat nakmas Gustiku tentang ilmu wuru shakti yang baru saja
dipertunjukkan oleh cucuku Yoga Kumala itu ?. — Cahayabuana mulai berkata, setelah mereka berdua
duduk bersila dihadapannya,
— Ilmu yang sangat aneh dan mengagumkan, Bapak Ajengan ! Jika aku tidak membuktikan
sendiri tentunya tidak akan percaya akan kehebatan ilmu „Wuru shakti" itu. Tak mengira bahwa adikku
Yoga Kumala telah dapat menguasai ilmunya yang aneh itu dengan sempurna. — Indra Sambada
mejawab dengan sungguh2 dalam mengutarakan pendapatnya.
— Heh …. hehh …. heeeehh I I ….. Cucuku Yoga!! Terimalah dengan rasa bangga, bahwa
kangmasmu Indra Sambada hari ini berkenan memuji ilmu kepandaianmu - —
Demi mendengar kata2 pujian yang tertuju pada dirinya, Yoga Kumala menundukkan kepalanya
sambil tersenyum tersipu sipu.
— Idiiiihh …. Akang Yoga pura2 malu !!. — Indah Kumala Wardhani menyahut memotong
pembicaraan, sambil tersenyum menggoda kakaknya.
— Kau selalu ceriwis !!.— Tegur kakaknya. Dan mukanya semakin menjadi lebih merah sampai
diujung telinganya. Ia tak dapat berkutik menghadapi ejekan adiknya yang usilan itu.
Ajengan Cahayabuana dan Indra Sambada tersenyum geli menyaksikan sifat2
kelucuan dari
kedua remaja itu. Dengan suara yang lemah lembut penuh rasa kasih sayang, Cahayabuana kemudian
menyapih kedua cucunya, agar mereka tidak saling bertengkar.
Kini mereka berempat segera asyik mempelajari tulisan2
yang tertera dalam lembaran2
kitab
kuno. Dengan tenang dan penuh kesabaran Cahavabuana selalu membwrikan jawaban penjelasannya
atas pertanyaan2
yang diajukan berganti ganti dari kedua cucunya itu.
Sementara itu Indra Sambada mencurahkan perhatiannya sendiri pada uraian kalimat2
yang
termaktub dalam kitab kuno itu, dengan daya ingatan dan pikiran yang tajam.
Dengan cepat ia telah dapat menangkap semua intisari dari pada kunci „ wuru shakti " yang
termuat dalam tiga lembar pertama dari kitab kuno itu, yang oleh penciptanya kunci .,, wuru shakti " itu,
dinamakan „ penutup langkah wuru shakti ". Dalam lembaran kedua dan ketiga dengan jelas diuraikan,
bahwa untuk menutup langkah2 wuru shakti, serangan harus dilancarkan dengan pertama tama
mengikuti gerakannya, kemudian rangkaian serangannya justru harus tertuju pada tempat kosong
kearah yang berlawanan dengan kedudukan lawan. Lagi pula rangkaian serangan yang dilancarkan pada
tempat kosong itu harus dilancarkan dengan tenaga sepenuhnya, dan bukan sebagai gerak tipu atau
serangan pancingan. .
Karena apabila serangan susulan itu dilancarkan tanpa menggunakan sepenuh tenaga, maka akan berbahaya bagi sipenyerang sendiri. Hal ini disebabkan karena tiap2
gerakan jurus wuru shakti
selalu mengandung unsur2
gerakan serangan balasan. Akan tetapi dalam akhir uraian itu dijelaskan
bahwa penutup langkah wuru shakti khusus diciptakan hanya untuk menghadapi — ilmu wuru shakti
yang bertangan kosong —
Sedangkan ilmu pedang wuru shakti memiliki sifat2
gerakan tersendiri.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dalam kitab kuno itu tentu ada pula lembaran2
lain yang
memuat bagian dari pada pelajaran2
ilmu pedang wuru shakti. Sayang, bahwa kitab itu tak dapat
dikuasai seluruhnya — pikir Indra Sibambada.
Sewaktu Indra Sambada masih memperhatikan lembaran2 berikutnya tiba2 Cahayabuana
berkata memecah kesu-nyian: — Nakmas Gustiku Indra. —
Lembaran2
yang penting lainnya adalah tuju lembar yang terakhir ini.
— Berkata demikian ia mengangsurkan tuju lembar bagian terakhir dari pada sisa kitab kuno
yang berada di hadapannya, sambil melanjutkan katanya: — Dalam tuju lembar bagian akhir ini,
memuat pelajaran ilmu pedang wuru shakti, sebagaimana diuraikan dalam lembar ketiga tadi. Akan
tetapi setelah saya teliti, ternyata ilmu pedang wuru-shakti yang termaktub dalam lembaran2
yang
dimiliki ini, hanya merupakan bagian terakhir saja, tanpa ada penjelasan mengenai pelajaran
permulaannya serta bagian2
tengahnya. Maka dengan demikian, tak mungkin kita untuk meyakinkan
akan kehebatan ilmu pedang wuru shakti itu. Lagi pula bagi yang memiliki lembaran2
lainnya tidak akan
dapat menguasai ilmu pedang aneh itu secara sempurna pula. —
Cobalah kita teliti bersama mengenai intisari dari peIajaran2 babak terakhir ini, mungkin dengan
ketajaman Gustiku Indra Sambada dapat kita mencari segi2 manfaatnya bagi Yoga Kumala cucuku,
ataupun untuk Gustiku Indra sendiri. —
Setelah lembaran2
sisa kitab kuno bagian akhir itu diteliti dengan seksama, disamping pelajaran
babak akhir dari pada ilmu pedang wuru shakti juga memuat tentang ketentuan dari bentuk pedang
yang dipergunakan khusus dalam ilmu pedang wuru-shakti itu.
Panjang pedang clalam ilmu pedang wuru-shakti seluruhnya termasuk gagangnya harus sehasta
dari pemegangnya, ialah dari pangkal lengan hingga ujung jari. Sedangkan gagangnya harus berukuran
satu setengah tebah. Selain dari pada keterangan tentang ketentuan ukuran panjangnya di jelaskan juga
mengenai ukuran beratnya yang tidak boleh lebih dari 40 potong uang tembaga.
Ternyata setelah dibandingkan dengan ketentuan2 ukuran yang termuat dalam kitab kuno itu,
pedang pusaka yang dimiliki Yoga Kumala masih terdapat selisih dua jari lebih panjang dari pada ukuran
hasta Yoga Kumala sendiri. Hanya ukuran gagang dan beratnya tepat memenuhi dari syarat2
yang
dimaksud.
Dengan mengikuti petunjuk2 bagian terakhir dari pada ilmu pedang wuru shakti. Cahayabuana
sebenarnya telah lama menjiptakan sendiri suatu ilmu pedang yang terdiri dari gabungan intisari pedang
tamtama Kerajaan Majapahit, ilmu pedang wuru-shakti bagian akhir dan ilmu pedang yang telah
dianutnya sebagai warisan leluliurnya sendiri. Dahulu sewaktu masih muda dengan ilmu pedang
warisannya saja ia telah diangkat sebagai guru krida-yudha dalam ilmu pedang untuk memberikan
pelajaran pada para tamtama Kerajaan Pajajaran dan selanjutnya ilmu pedangnya itu menjadi dasar
pegangan dari seluruh tamtama. Olehnya ilmu pedang ciptaannya yang baru itu dinamakan ilmu pedang
Cahaya Tangkubanperahu. —
Mulai hari berikutnya, Yoga Kumala dibawah asuhan Cahayabuana dengan penuh semangat
tekun berlatih meyakini ilmu pedang ciptaan Eyangnya sendiri, tanpa membuang gerak dasar " wuru -
shakti "nya.
Hanya gerakan2
yang tidak memungkinkan untuk menyertai gerakan pedangnya, diganti dengan
langkah2
yang sesuai menurut petunjuk2 Eyangnya petapa shakti Ajengan Cahayabuana.
Senapati Manggala Tamtama Pengawal Raja Indra Sambada berkenan pula menyaksikan
berlatihnya adik angkatnya Yoga Kumala selama sepuluh hari, dan setelah itu ia berpamit untuk pulang
kembali ke Kota Raja beserta para pengiringnya.
Menurut pendapat Cahayabuana, Yoga Kumala masih harus berlatih dua tahun lamanya
ditempat pertapaan Eyangnia, sedangkan Indah Kumala Wardhani masih harus menekuni untuk
menyakinkan ilmu angkin dan keris patremnya setahun lamanya.
Setelah nanti setahun dalam asuhan Eyangnya sendiri, Indah Kumala Wardhani masih harus
tinggal di Indramayu setahun untuk mempelajari tata kehidupan Kerajaan serta seni budaya lainnya.
Dengan demikian, maka mereka berdua dapat diharapkan untuk menghadap Senapati Indra
Sambada pada waktu dua tahun lagi mendatang, Dan ternyata Indra Sambadapun sependapat dengan
Cahayabuana. Ia kini lebih percaya lagi, bahwa kelak kedua adik angkatnya tentu akan menjadi pengabdi
Negara yang tidak mengecewakan.
*
* *
Komentar
Posting Komentar