BUPATI WIRAHADINATA dengan Sujud, diapit oleh kedua Lurah Tamtama Kerajaan Jaka Wulung dan
Jaka Rimang, dengan diiringkan oleh pasukan berkuda telah memasuki alun2 Kebanjaran Agung
Indramayu. Akan tetapi sewaktu mereka akan tiba dipintu gerbang halaman Kebanjaran Agung, tiba2
Wirahadinata menarik tali lis kudanya dengan tangan kirinya erat2
, sedangkan tangan kanannya
dilambaikan keatas sebagai isyarat agar semua para pengiring serentak menghentikan langkah kudanya
masing2
. Karena tarikan tali lis yang tiba2
itu, maka kuda yang dinaiki oleh Wirahadinata terperanjat
sesaat hingga meringkik sambil berdiri diatas kedua kakinya belakang.
Kiranya pada saat itu, Wirahadinata sendiripun terkejut penuh rasa cemas demi meliha tiga
orang pengawal pintu gerbang bergelimpangan ditanah. Dan menjadi lebih heran lagi, demi melihat lagi
seorang anak gadis tanggung sedang berlompatan sambil menggerak-gerakkan angkinnya berwarna
merah jingga kearah lima orang pengawal lainnya yang sedang mengurung dara tanggung itu dengan
bersenjatakan pedang, dihalaman depan balai pengawalan. Gerakan anak dara itu sangat lincah, hingga
sebentar bentar lenyap dari pandangan, terselubung oleh gulungan sinar merah yang menyiIaukan
mata.
Matahari berada diketinggian tepat diatas kepala, menunjukkan bahwa waktu itu telah siang
tengah hari. Namun, sinar teriknya yang cerah seakan-akan sedikitpun tidak mempengaruhi gerakan
dara tanggung itu. Lima orang pengawal yang mengurungnya sibuk pula berlompatan menghindari
gulungan sinar merah yang menyerangnya, karena takut menjadi mangsa libatan angkin merah yang
ganas itu, sebagaimana telah alami oleh kawan-kawannya. Angkin sutra merah ditangan anak dara
bergerak menyambar nyambar laksana bernyawa, dan peedang ditangan pada pengawal tak mampu
memapaki sambaran sinar merah yang kelihatan lemah itu. Tiba2
seorang diantara lima orang pengawal-
pengawal itu berseru melengking sambil melompat tinggi, menghindari sambaran angkin kearah
betisnya. Ia menjatuhkan diri dengan menukik sambil menyerang dengan gerakan tusukan pedang
kearah dada dara tanggung itu. Ia sengaja melancarkan serangan yang amat dahsyat dan ganas karena
sangat marah demi melihat akan kebandelan anak dara yang tak mau menyerah. Namun anak dara itu
seakan-akan tak menghiraukan datangnya serangan maut yang dahsyat kearah dadanya, hingga empat
orang pengawal Iainnya terkesiap dan berlompatan satu langkah surut kebelakang karena tak sampai
hati melihat akan kejadian yang amat ngeri itu.
Semula mereka memang hanya bermaksud membelenggu dara yang dianggapnya sangat nakal,
dan sedikitpun tak ada niat untuk melukai ataupun untuk membunuhnya. Bahwa mereka berlima
menggunakan senjata pedangnya masing masing hanya karena angkin merah dara tanggung itu sangat
membahayakan. Lagi pula pedang ditangan mereka masing2
itu mula mula hanya untuk menakut2
i saja,
tidak mengira bahwa anak dara itu sama sekali tidak takut akan gertakan mereka.
Tiga orang kawannya terpelanting ditanah dengan pedang terpental lepas melambung jauh kena
libatan angkin merah. Tak heranlah bahwa seorang diantaranya kini menjadi gelap mata, dengan melancarkan
serangan mautnya. Namun kecemasan empat pengawal itu segera lenyap dan berganti keheranan
hingga mereka terperanjat sesaat samhil berdiri dengan ternganga demi meliitat seorang kawannya
yang menyerang tadi, jatuh terbanting dan berjumpalitan sambil menjerit-jerit kesakitan. Dengan
tangkasnya anak dara itu menggeser kaki kirinya merendahkan badannya, untuk mengelakkan diri dari
ujung pedang yang meluncur sewaktu hanya tinggal sejengkal dari dadanya. Ia menyusup dibawah
ketiak penyerang sambil membalikkan badannya dengan tangan kirinya menangkap lengan yang
menggenggam pedang dan kemudian dikilirkan sedikit kekiri diatas pundaknya untuk kemudian
ditariknya dengan suatu gerakan yang mentakjubkan. Pengawal yang tinggi besar itu tak ayal lagi,
terbanting dengan badannya melambung melompati pundak dara tanggung itu. Sebelum ia terbanting
diatas lanah, angkin merah telah mengejar serta melibat pedang untuk kemudian merenggut lepas dari
genggamannya. Pedang tersentak dan melambung tinggi untuk kemudian jatuh ditanah sejauh sepuluh
langkah dari pemiliknya.
Itulah gerakan membanting dengan meminjam tenaga lawan, atau dalam bentuk jurus
„mendayung mengikuti arus". Empat orang pengawal lainnya segera menerjang maju, menyerang anak
dara itu yang sedang mengejar dan melibatkan angkinnya kearah pengawal yang jatuh berjumpalitan
itu, dengan gerakan serangan serentak dengan pedang masing2
.
Serangan empat orang pengawal itu merupakan gerakan serentak yang berlainan bentuknya. Seorang
membacok kearah kepalanya, seorang lagi menyerang dengan sebuah tusukan kearah dada, Sedangkan
dua orang lainnya mengarah lambung dan kakinya dengan tebangan yang berangkai.
Namun menghadapi serangan pedang serentak dari empat pengawal itu, si dara tanggung masih
juga sempat mencebirkan bibirnya sambil berseru mengejek. — Lihat, kalau kalian akan menirukan
kawanmu berjumpalitan! —
Berseru demikian, angkin merah ditangannya menyambar kearah pedang yang mendatang
kearah kepalanya, sambil meloncat tinggi berpusingan dan seakan akan hilang dari pandangan empat
orang pengeroyoknya. Tanpa diketahui, sebilah pedang yang mengarah kepalanya dapat dilibat serta
disentak-lepas dari genggaman pemiliknya.
Kiranya apa yang dikatakan dara tanggung itu merupakan kenyataan. Dua orang pengawal
segera jatuh berjumpalitan menghindari serangan sambaran angkin merah yang sedang mengganas itu,
sedangkan dua orang pengawal lainnya meloncat satu langkah surut kebelakang dengan masing2
dipipinya tampak warna merah bekas tamparan dara tanggung itu.
— Tahan sernua senjata! — Bentak Bupati Wirahadinata sambil berlari mendekat, dengan Sujud
mengikuti dibelakangnya. Demi mendengar suara itu, para pengawal semua melompat menjauhi tempat
pertempuran dan dengan tergopoh - gopoh menyambut kedatangan Wirahadinata, sedangkan gadis
tanggung berdiri tenang ditempatnya sambil bertolak pinggang dan bersenyum mengejek.
Dengan pandangan matanya yang bening kearah Wirahadinata. Suatu sikap kenakalan anak gadis
tanggung yang tak mengenal rasa takut.
Dara itu berusia kurang lebih 14 tahun. Wajahnya cantik jelita, dengan sepasang anting2nya
bermata mutiara dikedua daun telinganya. Rambutnya yang hitam panjang digelung dengan memakai
tusuk konde tiga batang yang kesemuanya bertachtakan mutiara pula.
Bibirnya merah mungil dan sepasang matanya yang redup memancarkan sinar bening.
Tubuhnya ramping berisi. Warna kulitnya kuning bersih. Lesung pipit dipipinya yang kemerah2an itu
selalu menghias senyumannya. Ia mengenakan baju berlengan panjang dari sutra berwarna merah
jambu, dan berkain sarung berwarna hitam dengan sulaman benang emas bergambar kembang2.
Melihat sikap kenakalan anak dara tanggung itu Wirahadinata turut bersenyum geli. Ia mengira,
bahwa mengamuknya dara tanggung itu, tentunya karena diganggu oleh para pengawalnya. Maka tanpa
memberi kesempatan pada para pengawal yang berlari menyambut kedatangannya, ia membentak-
bentak dengan marahnya. — Orang2
tak tahu aturan. Begitukah kelakuanmu, jika aku tidak ada
ditempat? Ataukah kalian memang sengaja minta kuhajar, agar tahu kesopanan ?
— Ampunilah kami, Gusti! Bukan kami yang tak mengenal aturan akan tetapi anak gadis itu
memang sengaja datang untuk membikin keributan disini! — Jawab salah seorang pengawal sambil
menyembah. Sebelum Wirahadinata berkata lagi, tiba2 anak dara tanggung itu menyahut dengan
suaranya yang nyaring, memotong percakapan mereka.
— Bohong! Siapa sudi ribut2 dengan tikus2 pengecut ! Aku datang untuk minta diantar ketemu
dengan Bupati Wirahadinata si kepala rampok, akan tetapi mereka malah mengusirku pergi. Masih
untung aku tidak bermaksud membunuh mereka! —
Mendengar ucapan yang sangat kasar itu, Wirahadinata terperanjat sesaat. Siapakah gerangan
anak dara yang berani memakinya dengan kasar itu. Apakah keperluannya hingga ia ingin ketemu
dengan dirinya? pikir Wirahadinata.
— Akulah Bupati Wirahadinata! Dan siapakah engkau? Ada keperluan apa engkau ingin ketemu
dengan diriku?
— Hii . . hihi ….. hiiii ….. kiranya orang yang sudah tua dan menjadi kakek2
inikah ….. dulu yang
menjadi kepala rampok. Tak usah kupancung kepalanya, sebentar lagi kau juga akan masuk kubur! —
Tanpa menghiraukan pertanyaan Wirahadinata, dara itu memakinya sambil ketawa nyaring, hingga
deretan gigi-giginya yang putih kecil bersih laksana mutiara itu nampak jelas.
— Hai! Anak gadis liar! Akan kuhajar mulutmu yang lancang itu! Tiba-tiba Sujud berseru
memotong, sambil meloncat maju, dengan kepalan tangan dan meninju kearah muka gadis yang sedang
berdiri bertulak pinggang. Tanpa bergerak dari tempatnya anak dara itu menundukkan kepalanya,
sambil mengulurkan tangan kirinya untuk menangkap pergelangan tangan Sujud.
Akan tetapi dengan tangkasnya Sujud menarik kembali serangan tinjunya untuk diubah menjadi
pukulan siku kanan sebagai gerak tipuan, sedangkan jari jarinya tangan kiri tegang mengembang
meluncur kearah muka lawannya. Karena dara itu cepat menundukkan kepalanya, maka serangan jari-
jari tangan kiri Sujud hanya mengenai gulungan saja, hingga terlepas dan terurai kebawah sampai diatas
betisnya.
Si dara menjerit sambil melompat satu langkah kesamping kiri, — aaaiii …..!...... curang kau! —
Melihat kejadian yang lucu tanpa disengaja Sujud menjadi tertawa pula. — Siapa yang curang?
— Serunya sambil ketawa geli. Cepat si dara tanggung membetulkan gelungannya yang lepas sejadi
jadinya saja, sementara Sujud masih berdiri sambil ketawa geli. Kedua pipinya dara itu menjadi merah
seketika, karena mengira dipermainkan lawannya. Tanpa menunggu siapnya lawan ia mulai menyerang
dengan angkin sutranya. Angkin merah ditangan, kini bergerak menyambar nyambar kearah tubuh dan
kaki Sujud, sambil berlompatan membuat kacaunya pandangan, sedangkan tangan kirinya bergerak
cepat dalam gaya tamparan yang susul menyusul kearah muka Sujud.
Akan tetapi Sujud adalah murid Kyai Dadung Ngawuk yang telah mewarisi jurus-jurus
wurushaktinya. Dengan terhuyung-huyung seakan-akan hampir jatuh tertelungkup, untuk kemudian
meloncat kesamping dan berjumpalitan, ataupun berjongkok, ia selalu terhindar dari serangan-serangan
si dara anggung, Ia masih saja mengelak menghindari serangan yang dahsyat dengan langkah-langkah
wurushaktinya, dengan tanpa membalas menyerang. Kini sengaja Wirahadinata membiarkan anaknya
bertempur melawan gadis nakal itu, untuk melihat lebih jelas akan ilmu aneh yang dimiliki oleh Sujud,
serta sekaligus ingin mengetahui kepandaian anak dara itu yang lancang mulut. la mengikuti jalannya
pertempuran dengan tak berkedip. Dan ternyata kedua - duanya saling memiliki gerakan - gerakan yang
sangat aneh dan sukar untuk diduga sebelumnya. Semula Jaka Wulung dan Jaka Rimang serta para
pengawal yang menonton, saling pandang memandang dengan diliputi rasa cemas, demi melihat
gerakan Sujud yang lambat dan menyerupai orang yang mabok. Akan tetapi karena selalu nyaris
terhindar dari semua serangan, memka segera menyadari bahwa gerakan Sujud adalah gerakan dari ilmu shakti yang mentakjubkan.
Hanya saja, mereka belum melihat kehebatan gerakan serangannya. Karena sejak tadi, baru
sekali Sujud menyerang dengan hasil dapat melepaskan gelungannya.
Sedangkan gerakan serangannya tadi, mereka tak melihat dengan jelas. Diam-diam
Wirahadinata memuji pula akan ketangkasan dan ilmu yang dimiliki oleh dara tanggung itu.
Dan dibalik gerakan mereka masing-masing yang mentakjubkan itu, ada sesuatu yang lebih
menarik perhatiannya pula. Semakin ia memperhatikan, semakin nampak jelas persamaan raut muka
dan sinar pandangan antara dara nakal dan Sujud anak angkatnya.
Hanya warna kulitnyalah yang berbeda agak menyolok.
Karena serangan yang bertubi-tubi tak pernah mengenai sasarannya, dara tanggung menjadi
gemas dan membanting bantingkan kakinya sambil berseru. — Pengecut curang! Jangan hanya
berlompat lompatan menghindar saja, pakailah senjatamu dan seranglah aku. — bentaknya.
— Untuk rnelawanmu, tak perlu aku menggunakan senjata! —
Ayooh, teruskan permainan angkinmu itu. Jika sampai menyentuh bajuku, aku menyerah kalah! — Sujud
menjawab sambil mengejek. Kini anak dara itu menjadi lebih marah hingga mukanya menjadi merah
padam sampai didaun telinganya.
Dengan sengitnya ia mulai lagi menyerang Sujud. Angkin sutra merahnya menyambar - nyambar laksana
gulungan sinar merah menyelubungi tubuh Sujud, namun kembali si-dara tanggung itu menunjukkan
muka asam, karena serangannya tak pernah berhasil.
— Cobalah sekali saja, angkinku kau biarkan melilit kakimu, jika kau ingin merasakan
berjumpalitan diudara.— Seru dara tanggung dengan membelalakkan matanya, sambil berdiri
menghentikan serangannya.
Kedua anak muda yang berlainan jenisnya itu, kini saling berpandangan. Sinar mata mereka
bertemu …… Denyutan jantung masing masing berdebar lebih keras, dan hati masing2 diliputi oleh suatu
perasaan yang sangat aneh ... Sepatah katapun tidak dapat keluar dari mulut mereka …… Namun itu
semua segera berlalu dalam waktu yang sangat singkat.
Kekerasan hati dan rasa tak mau mengalah cepat menguasai perasaan sidara tanggung.
Dengan semangat yang menyala-nyala penuh dengan dendam dan jengkel ia mengulang
serangannya dengan angkin merahnya. Tangan kanannya bergerak dan angkin merahnya mengikuti
bergerak menggeliat-geliat laksana ular ganas mencari mangsa. Dengan muka cemberut sambil meludah
ditanah, ia melompat mengejar Sujud yang sedang berdiri dengan masih tersenyum. Angkin merahnya
menyambar-nyambar lebih ganas lagi.
Akan tetapi seperti tergerak oleh sesuatu daya gaib tiba2 ujud menggagalkan maksudnya untuk
menghindari serangan. Rasanya tak sampai hati ia membuat kecewa yang kedua kalinya pada dara
tanggung lawannya itu. Ia tetap berdiri dengan masih bersenyum, tanpa bergeser setapakpun, sengaja ia
membiarkan angkin merah menyambar kearah kakinya dan melibatnya. Sambil bersenyum puas karena
serangannya berhasil si dara tanggung menggerakkan angkin dengan tangan kanannya dalam gaya
hentakan yang mentakjubkan ..Tak ayal lagi . tubuh Sujud terhentak melambung tinggi dan
berjumpalitan diudara …
Jaka Wulung, Jaka Rimang dan semua yang menyaksikan, hampir serentak berseru cemas, demi
melihat Sujud terkena libatan angkin merah dan melambung tinggi diudara.
Suatu kecerobohan hingga terlambat menghindari serangan angkin merah si dara tanggung-pikirnya.
Akan tetapi kecemasan pada diri masing2 penonton segera lenyap seketika dan berganti menjadi
dibuat ternganga penuh keheranan setelah melihat dengan mata kepala sendiri. .Sujud jatuh berjongkok seperti kera didepan lawannya dengan ketawa terkekeh-kekeh. Selamanya baru sekali ini mereka
menyaksikan ketangkasan dua anak remaja yang demikian mengagumkan, demikian juga Wirahadinata.
Si dara tanggung yang tadinya mengira akan dapat membanting lawannya ternyata kini merasa
tertipu dan dipermainkan. Wajahnya cepat berubah menjadi asam kembali, dengan bibirnya bergerak
gemetar.
Sinar pandangan yang bening cemerlang kini berubah menjadi suram dan matanya berlinang-
linang mengembeng mata. Ia lebih mendekati menangis dari pada ketawa.
Ujung angkin sutra merah yang ternyata telah koyak, dipegangnya erat2 dengan tangan kirinya,
sambil meremas remas dengan jari2nya yang runcing2
itu.
— Awas kau! Jika eyangku dan kumbang datang, tentu kubalas setimpal! — katanya dengan
suara tertahan.
Tiba2 bayangan berkelebat mendatang dengan diiringi suara auman panjang yang menegakkan
bulu roma, dan sebelum semua orang dapat bergerak...petapa shakti yang berjubah kuning
Cahayabuana, yang namanya selalu menjadi buah tutur orang telah berdiri disamping gadis tanggung
dengan diikuti oleh seekor harimau kumbang.
— Eyang! — hanya kata2
itulah yang dapat keluar dari mulut dari dara itu.
Memang benar Ajengan Cahayabuana adanya …… Petapa shakti yang bersemayam di Gunung
Tangkuban Perahu—
Datang dan perginya laksana bayangan menghilang. Demikian besar pengaruh wibawanya,
hingga semua orang menjadi terpukau, tak dapat membuka mulut. Ia mencium kening cucunya Indah
Kumala Wardhani sidara tanggung sambil memegang tangannya dan membimbingnya mendekati Sujud
yang tengah berdiri ternganga didepannya.
— Benarkah kau putra angkat Gusti Wirahadinata cucuku sayang? —
Cahayabuana bertanya dengan lemah lembut, memecah kesunyian sambil memegang bahu
Sujud, yang olehnya dijawab dengan menganggukkan kepalanya.
— Nakmas Gusti Wirahadinata! Maafkan akan kedatanganku yang tiba tiba ini, yang tentunya
nakmas Gustiku telah mengetahui akan maksud kedatanganku, bukan?! — la bertanya dengan
merendah tertuju kepada Wirahadinata yang sedang berjalan mendekati. Sambil membungkukkan
badannya Wirahadinata menjawab pelan! — Datangnya Bapak Ajengan Cahayabuana membawa obor
penerang bagi kami.-
— Ach,.. jangan nakmas Gustiku terlalu merendah diri. Orang tua seperti saya ini tak pantas
diperlakukan demikian, — berkata demikian, lalu ia berpaling kepada Sujud.
—Cobalah …. cucuku sayang! Aku ingin melihat lenganmu yang kiri! Dapatkah kau membuka baju
lenganmu itu sebentar?! ….
Dengan dibantu oleh ayah angkatnya Wirahadinata. Sujud membuka baju atasnya, dan apa yang
dicarinya bertahun-tahun oleh Ajengan Cahayabuana kini nampak jelas dilengan kiri Sujud, ialah.. suatu
ciri asli berupa tai lalat warna hitam kemerah2an berbentuk bundar sebesar lbu jari kaki. Lenyaplah
segala keragu2an seketika yang selama ini dikandungnya. Sujud dirangkulnya erat2 hingga kepalanya
tersandar pada dadanya Ajengan Cahayabuana. Keningnya diciumi berulang kali, untuk melampiaskan
rasa rindunya. Cahayabuana yang terkenal sebagai petapa shakti itu, kini dapat pula menangis terisak-
isak. Air matanya mengalir deras membasahi kedua pipinya yang telah nampak berkeriput. Namun ia
bukan menagis karena sedih, tetapi menangis karena girang yang tidak terhingga bercampur dengan
rasa haru.
— Akhirnya . Dewata Yang Maha Agung melimpahkan kemurahannya... — ia berkata dengan terputus-putus pada diri sendiri.
— Yoga! . Yoga Kumala!... Kau adalah cucuku...darah dagingku sendiri ….. ! —
Getaran suara shakti itu menembus menusuk jantung Sujud, hingga ia tersentak sadar seketika
dari lamunannya.
— Eyang! — hanya kata itulah yang dapat melontar dari mulutnya. Ingin ia rasanya berkata Iebih
banyak lagi, namun tenggorokannya terasa seperti tersumbat.
— Yaaaa...kau adalah Yoga Kumala cucuku! Dan Indah Kumala Wardhani yang berdiri disamping
itu adalah adik kandungmu —
Sesaat kemudian kedua remaja saling berpandang2an tanpa berkata ...Namun rasa kasih sayang
dan dendam rindu memenuhi lubuk hati masing2
. Pancaran pandangan masing2 merupakan daya tarik
laksana gunung besi semberani...
Dua remaja saling merangkul dengan eratnya, dengan rnasing-masing menangis terisak-isak
........
— Akang Yoga! —
— Adikku Kumala Wardhani! —
Hanya suara itulah yang terdengar ….. dan semua yang menyaksikan ikut pula terharu. Tiba-tiba
semua orang dikejutkan oleh suara dari seorang yang berdiri dibelakang Ajengan Cahayabuana. — Yoga
Kumala adikku! Aku turut bersyukur kepada Dewata Yang Maha Agung serta mengucapkan selamat akan
hari kebahagiaannu itu!— Ternyata dengan tanpa diketahui, Senapati Muda Indra Sambada telah pula
dibelakang Cahayabuana.
— Terimalah sembahku sebagai sambutan atas kedatangngan Bapak Ajengan Cahayabuana —
— Demikian pula saya yang rendah menghaturkan sembah kepada nakmas Gusti Senapati
junjunganku. — Jawab Ajengan Cahayabuana.
Tak lama kemudian mereka semua telah berpindah tempat digedung Kebanjaran Agung
Indramayu, sebagai tamu resmi dari Bupati Wirahadinata. Hari kebahagiaan Sujud Yoga Kumala
dirayakan dengan pesta pora. Mulai sejak hari itu, nama Sujud di gantinya dengan resmi, sebagaimana
nama aslinya, "YOGA KUMALA" putra priyagung Kerajaan Pajajaran cucu dari petapa shakti Tangkuban
Perahu Ajengan Cahayabuana ……
Sementara para tamtama pengiring dan punggawa narapraja Kebanjaran Agung Indramayu
menikmati hidangan pesta untuk merayakan hari kebahagiaan bertemunya kembali gugusan
Tangkubanperahu, tiga orang shakti dengan dikelilingi oleh Jaka Wulung Jaka Rimang, Yoga Kumala, dan
Indah Kumala Wardhani asyik bercakap-cakap dengan sangat akrabnya diruang pendapa Gedung
Kebanjaran Agung Indramayu.
Dengan dibantu oleh para inang, Gusti Ayu Nyi Wirahadinata berkenan pula melayani sendiri
hidangan makanan yang disuguhkan pada tamu tamu akrabnya itu. Percakapan berlangsung dengan
ramah tamah dan akrab dalam suasana kekeluargaan. Mereka saling menceritakan kisah jalan hidupnya
yang telah dilaluinya.
Indah Kumala Wardhani yang semula mengira, bahwa Wirahadinata adalah orang yang menculik
kakak kandungnya dan membunuh ibunya, segera mohon maaf atas kelakuannya yang lancang setelah
mengetahui duduk perkaranya yang sebenarnya. Menurut keterangan Eyangnya Cahayabuana
pembunuh mendiang Ibunya adalah ternyata Durgawangsa dan Durga Saputra, yang kedua-duanya
telah mati terbunuh.
Durgawangsa mati pada kira-kira tiga tahun yang lalu oleh sabetan pedang Tamtama
Tumenggung Cakrawirya ( Baca Seri " Pendekar Majapahit" ). Sedangkan Durga Saputra setelah roboh ditangan Yoga Kumala, mati terkena bacokan pedang Bupati Wirahadi-nata. Dan semua itu adalah
berkat jerih payah jasa Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Indra Sambada.
— Namun manusia adalah hanya merupakan pelaku2 biasa …… sedangkan Pencipta kisah dan
Dalangnya adalah Dewata Yang Maha Agung. — demikianlah Ajengan Cahayabuana memberi
wejangannya.
— Watak dan kelakuan kita semua tentunya menjadi dasar uatuk disesuaikan dengan peranan
yang diberikan oleh Nya ….. Dewata Yang Maha Agung adalah Maha Penyajang, Maha Kuasa dan Maha
Adil ….. Sinar pancaran KebesaranNya akan selalu menerangi buana kecil kita masing masing, apabila
kita selalu ingat dan bersujiud kepadaNya ….
Kita semua adalah ummat CiptaanNya .. yang wajib mengabdi dan berbakti padaNya — Petapa shakti
Cahayabuana menutup kata wejangannya.
Tiga hari kemudian Ajengan Cahayabuana dengan harimau kumbang piaraannya yang setia,
meninggalkan Kebanjaran Agung Indramayu untuk kembali ketempat pertapaannya dilereng Gunung
Tangkubanperahu.
Atas permintaan Senapati Indra Sambada sendiri, demi untuk memenuhi janjinya, Yoga Kumala
dan Indah Kumala Wardhani akan diantarkan ketempat pertapaan dilereng Gunung Tangkubanperahu
pada hari sepekan kemudian.
— Cucuku Yoga! Ketahuilah, bahwa Gusti Wirahadinata dan Gusti Ayu Nyi Wirahadinata adalah
sebagai gantinya ayah bundamu sendiri yang telah mendahului pulang kepangkuan Dewata Yang Maha
Agung ….. dan ini semua adalah atas kehendakNya. Demikian pula kau cucuku manis Indah Kumala
Wardhani! — Taatilah semua petunjuk dan nasehat orang tua angkatmu itu! — Pesan Cahayabuana
sewaktu akan meninggalkan Kebanjaran Agung Indramayu pada kedua cucunya.
— Kepada Gusti Senapati Indra Sambada yang telah sudi mengangkat dan menerima kalian
sebagai adik angkatnya, harus pula kalian patuhi akan semua perintah dan wejangannya. —
.*.
— Semoga aji „Panggendaman Rajawana" yang kuwejangkan ini dapat berguna untuk nakmas
Gustiku Junjunganku Senapati Indra sebagai penambah ilmu. —
— Aji shakti yang baru saja saya terima dari Bapak Ajengan Cahayabuana sangat besar artinya
bagi pengabdianku, demi kejajaan Kerajaan. Tak dapat saya mengutarakan betapa terima kasihku akan
kemurahan hati Bapak Ajengan Cahayabuana yang dilunturkan padaku. —
Dalam sebuah gua tempat pertapaan dilereng Gulung Targkuban Perahu terdengar dua orang
yang sedang asyik berbicara. Mereka berdua duduk bersila berhadap-hadapan diatas batu putih yang
bersih mengkilap, disudut sebuah ruangan yang agak luas. Disudut sebelah mereka terdapat meja batu
alam dengan sebuah kitab kuno diatasnya dan sebuah pelita minyak yang tak menyala. Akan tetapi
walaupun tanpa penerangan nyala api, ternyata dalam ruangan itu cukup terang karena mendapat
pancaran cahaja dari dinding-dinding batu putih alam yang mengkilap mengelilinginya. Atap batu air
alam yang runcing2 menjorok bergantungan dan tak teratur itu, menambah terangnya ruangan.
Senapati Muda Manggala Pengawal Raja Indra Sambada sedang menerima wejangan dari
Petapa shakti Ajengan Cahayabuana, dengan penuh perhatian.
— Janganlah nakmas Gustiku menyanjung diriku secara berkelebihan. Ilmu yang kuwejangkan
hendaknya diterima sebagai tanda bukti pengabdianku ! — Cahayabuana menyahut merendah.
Setelah sejenak ia melanjutkan kata katanya. — Kesudian nakmas Gusti Junjunganku untuk menerima pengabdian dua cucuku kelak, membuat aku lebih tenang untuk sewaktu-waktu memenuhi
panggilan Dewata Hyang Maha Agung. Harapanku, semoga kedua cucuku dalam bimbingan Gusti
Junjunganku dapat menyambung nyala pelita yang telah padam. —
— Doa restu Bapak Ajengan Cahayabuana semoga selalu menyertaiku agar harapan Bapak
menjadi kenyata an. Dan hendaknya Bapak Ajengan Cahayabuana kelak dapat menyaksikan serta turut
pula mengenyam kebahagiaan hasil jerih payah cucu2 keturunan Bapak. — Kata2
ini diucapkan oleh
Indra Sambada untuk mengelakkan secara langsung akan ucapan Cahayabuana yang menyatakan
seakan-akan dalam waktu dekat akan segera meninggalkan dunia fana. Akan tetapi tak diduganya
bahwa Ajengan Cahayabuana bahkan menambah penjelasannya tentang alam keabadian yang memang
menjadi tujuan utama daripada pengabdian sepanjang masa hidupnya.
— Ketahuilah, nakmas Gusti Junjunganku! Dunia dengan seluruh isinya ini tidak ada yang kekal.
Semua akan mengalami gerang, untuk kemudian menjadi musna, kembali kepada Pencipta Nya.
Demikian pula kita semua sebagai ummat manusia. Akan tetapi kemusnaan itulah justru merupakan
permulaan dari kehidupan abadi. Siapapun yang selalu ingat akan amal kebajikan dalam sepanjang masa
hidupnya didunia serta menunjukkan dharma bhaktinya dan selalu bersujud pada Dewata Hyang Maha
Agung, merekalah yang kelak berhak akan mengenyam kebahagian abadi. Seorang pujangga kuno dari
Pajajaran pernah menulis syair yang memuat suatu petunjuk tentang tempat kebahagiaan abadi sebagai
berikut;
Bukan dilembah dalam yang sunyi,
Bukan dipuncak gunung yang tinggi,
Bukan dimahligai batu pualam,
Dan Bukan ditempat indah semayam,
Jangan dicari digelap malam,
Diangkasa yang berawan,
Jangan pula cari dilautan,
Ditengah gelombang nan bergulungan,
Lama dinanti tak kunjung tiba
Kan dikejar aral merintang,
Bagai bayang tak terpegang,
Och, Dewata Hyang Maha Kuasa,
Hanya disisi Mu bahagia abadi adanya,
Bimbinglah hamba menuju kesana. …..
Dengan demikian jelaslah bahwa kebahagiaan yang abadi tidak berada didunia yang ramai ini.
Dan hanya dengan bimbingan Dewata Hyang Maha Agung kita dapat, menemukannya. — Cahayabuana
melanjutkan wejangannya.
Senapati Indra Sambada dengan chidmad mendengarkan wejangan2 Cahayabuana. Ia dapat
meraba, bahwa ilmu petapa shakti darah Pajajaran ini adalah tinggi sekali hingga mendekati sempurna.
Kiranya sukar untuk dicarikan bandingannya. Kini ia diam sejenak dengan tertunduk. Tak dapat ia
mengejar lebih jauh akan wejang n wejangannya.
Sesaat kemudian Ajengan Cahayahuana melanjutkan bicaranya. — Nakmas Gusti Junjunganku
Senapati Indra! Aku percaya bahwa Gustiku dapat menangkap semua isi maksud wejanganku ini. Dan hanya inilah yang dapat kupersembahkan. —
— Duhai, Bapak Ajengan Cahayabuana. Semoga aku kelak pada saatnya dapat mengikuti jejak
Bapak Ajengan Cahayabuana, walaupun hanya dengan bekalku yang sangat dangkal ini. —
— Dewata Hyang Maha Agung akan selalu menyertaimu — Ajengan Cahayabuana menjawab
pelan sambil tersenyum puas.
Baru saja dua orang shakti itu selesai berwawancara, tiba-tiba Indah Kumala Wardhani berlari-
lari mendatangi — Eyang — Aku terpaksa mengganggu Eyang! — Ia berkata tersengal-sengal.
— Yaaa ….. ada apa cucuku manis?! —
— Akang Yoga digigit dan dibelit ular besar dan panjang sekali. Lekaslah Eyang, tolong akang
Yoga Kumala, serunya.
Tanpa menjawab seruan cucunya Indah Kumala Wardhani, Ajengan Cahayabuana cepat
melangkah meninggalkan ruang semadhinya dengan diikuti oleh Indra Sambada menuju ketempat
dimana Yoga Kumala berada.
Kala itu waktu menjelang siang tengah hari. Namun demikian pancaran cahaya matahari masih
saja nampak suram tidak bersinar.
*
**
Komentar
Posting Komentar