SUARA JERITAN tangis orang2 perempuan dan anak anak bercampur dengan suara para rampok yang
sedang merampok serta menjarah rayah harta yang ada di Kabanjaran. Para Punggawa Narapraja
dengan dibantu oleh sebagian para murid perguruan Baskara Mijil yang masih tinggaI di Kabanjaran
Kapanewon segera menerjang para rampok. Suasana menjadi semakin gaduh. Panewu Arjasuralaga dan
adiknya Lurah Tamtama Arjarempakapun turut pula mengamuk dengan klewangnya. Pertempuran seru
berkobar dalam beberapa kalangan.
Disusul kini awan hitam yang tebal bergulung - gulung naik diketinggian, dan nyala api yang
makin besar menjilat jilat membumbung tinggi diangkasa, hingga langit diatasnya menjadi merah
membara.
Tempat pesta keramaian, kini menjadi medan pertempuran Para tamu undangan yang memiliki
keberanian dan erat hubungannya dengan Panewu Arjasuralaga segera turut membantu membasmi
para rampok, sedangkan mereka yang merasa takut akan terlibat cialam pertempuran yang dahsyat
segera lari berlalu meninggalkan Banjararja.
Dikegelapan malam yang samar-samar, ditebing kali Cilosari, seorang bertubuh kurus dan telah
lanjut usianya dalam pakaian kebesaran sebagai Bupati Narapraja menghentikan langkah larinya sambil
menurunkan seorang anak tanggung yang mendekati dewasa dari pundaknya. Dengan serta merta
diliputi oleh rasa haru yang tak terhingga, ia merangkul dengan kedua tangannya erat2
keleher Sujud,
serta menciumi keningnya sambil bicara: -Anakku! ……Telah lama aku mencarimu ...juga Gusti Indra
kakakmu . . . berduka hati, mencari kau sampai dimana mana …… —
— Bapak !— Hanya kata2
itulah yang dapat keluar dari mulutnya Sujud, dan air matanya
meleleh, membasahi kedua pipinya. Dengan kata2
yang terputus-putus ia melanjutkan bicaranya : —Ibu
….. bagaimana …… dan kangmas Indra ….. apakah tidak marah? Aku menyesal …..! —
Ternyata tamu yang berpakaian kebesaran sebagai Narapraja yang menyambar tubuh Sujud
sewaktu dilemparkan oleh Tadah Waja tadi, memang Bupati Wirahadinata adanya. Ia adalah orang tua
angkat dari Sujud yang mengasuhnya sejak Sujud berusia dua setengah tahun. Pun nama Sujud adalah
pemberiannya, dengan harapan agar anak itu kelak memiliki budi luhur yang selalu bersujud kepada Dewata Yang Maha Agung.
Ia menemukan anak itu, sewaktu ia lolos dari Kebanjaran Agung Indramayu karena seluruh
bekas daerah Kerajaan Pajajaran terdesak oleh Majapahit, ditengah tengalt hutan dekat Sumedang
dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Anak yang baru berumur dua setengalt tahun itu telanjang
bulat dan merangkak - rangkak sendirian dengan tubuhnya yang kurus kering. Kemudian oleh Bupati
Wirahadinata beserta istrinya anak itu diasuhnya, tak ubahnya seperti anak kandung sendiri dengan
cinta kasih yang ikhlas.
Dan oleh Bupati Wirahadinata anak itu diberi nama SUJUD.
Dalam pengembaraan, hingga Bupati Wirahadinata dengan istrinya menetap di Ngawi ditepi kali
Bengawan dengan menyamar sebagai dukun dan mengganti namanya dengan Kyai Tunggul, Sujud selalu
ada disampingnya.
Kemudian atas jasa Kyai Tunggul atau Bupati Wirahadinata dalam turut serta membantu
Senapati Indra Sambada menenteramkan suasana dibelakang Kerajaan Pajajaran, ia diangkat kembali
sebagai Bupati Narapraja majapahit dan memerintah kembali daerahnya Kebanjaran Agung Indramayu
(Baca SERI PLNDEKAR „MAJAPAHIT").
Dan mulai sejak itu atas permintaan Senapati Indra Sambada yang telah menganggap Sujud
sebagai adik angkatnya Sujud diserahkan kepada Senopati Indra Sambada dan tinggal menetap di.
Senapaten di Kota Raja.
Telah tiga kali Senapati Indra Sambada pada waktu akhir2
ini mengunjungi Kebanjaran Agung
Indramayu, dan menceriterakan hal ikhwal yang menyangkut diri Sujud.
Untuk mencari jejak Sujud, para tamtama nara sandi Kerajaanpun dikerahkan pula.
Bupati Wirahadinata dalam usaha turut mencarinya, merasa hampir putus asa. Tidak diduga
sama sekali, bahwa sewaktu ia datang memenuhi undangan perayaan perkawinan di Banjararja, dapat
bertemu dengan anak angkatnya yang selalu dirindukan.
Belum juga mereka berdua puas akan masing2 menuangkan rasa dendam rindunya, tiba2 Durga
Saputra berkelebat mengejar sambil berseru.
— Wirahadinata ! ! !. Pengemis gadungan ! ! ! Menyerahlah untuk kutebas lehermu, sebagai
ganti lenganku sebelah ini ! ! ! Dengan golok panjang yang kedua belah sisinya bermata tajam, Durga
Saputra langsung dengan gerakan jurus tusukan berangkai, ialah meloncat sambil menusuk kearah dada
Wirahadinata dengan kedua kakinya terpentang lebar, merupakan kuda2
yang kokoh dan dilanjutkan
dengan perobahan gerak tebangan dari kanan ke-kiri dan sebaliknya kearah lambung lawan, dengan
menggeser kaki kebelakang kedepan hingga menjadi rapat, serta tumit kaki depannya diangkat sedikit.
Menghadapi serangan yang demikian dahsyat dan secara tiba2
ini. Wirahadnata terkesiap sesaat
sambil meloncat surut kebelakang satu langkah dan jatuh berjumpalitan kesamping kiri unruk
menghindar dari serangan rangkaiannya. Secepat kilat ia bangkit kembali dengan pedang terhunus
ditangan kanannya, sed, nzkan tatigan kirinya min-dorong Sujud kesamping belakang.
— Bangsat bedebah ! !. Kaulah Durga Saputra perampok di indramayu dulu ? ! ! ! Dengan
tanganmu yang hanya tinggal sebelah itu kau juga belum insyaf akan kesesatanmu ! ! !. Sebaiknya
kutebas sekalian, tanganmu yang tinggal sebelah itu !!!. Berkata demikian, Wirahadinata maju
menyerang dengan pedangnya dalam gerakan jurusnya tebangan dari balik perisai.
Pedangnya berputaran cepat, hingga sinar putih yang bergulung - gulung merupakan lingkaran
bentuk payung, laksana perisai baja, dan disusul dengan satu loncatan sambil merobah gerakan putaran
pedang menjadi serangan bacokan dari atas kebawah serta dilanjutkan dalam gaya tebangan dari kiri
kekanan menyapu paha lawan. Benar2 merupakan serangan pedang yang sukar untuk di Wirahadinata terkesiap sesaat sambil meloncat surut kebelakang
satu langkah dan jatuh berjumpalitan kesamping kiri untuk
menghindar dari serangan rangkaian.
duga arah sasarannya. Dan ini adalah suatu jurus dari gerakan pedang tamtama asli. Akan tetapi Durga
Saputra bukan anak kecil yang baru saja belajar ilmu kanura-gan. Ia meloncat kesamping kiri dua tindak
sambil mengangsurkan tangan kirinya yang memegang golok panjang guna menangkis datangnya
susulan tebangan yang mendatang.
Dengan badannya merendah mengikuti gerakan kakinya yang telah ditekukkan. Dengan
demikian ia menjadi setengah berjongkok, dan terhindarlah dari serangan2
yang dahsyat itu.
Kiranya Durga Saputra memang masih setingkat berada dibawah Wirahadinata dalam ilmu tata bela diri, hingga sebentar kemudian ia menjadi sibuk berloncatan menghindari serangan yang bertubi
tubi dari Wirahadinata. Sebenarnya ia sendiri sebelumnya telah merasa jeri untuk menghadapi
Wirahadinata yang terkenal sakti itu, akan tetapi karena dibelakangnya diikuti oleh Tadah Waja, ia
memaksakan dirinya untuk mengejar lawan. Dengan mengandalkan Tadah Waja yang sakti serta
kawan2nya yang banyak jumlahnya, maksud untuk membalas dendam tentu akan berhasil - pikirnya,
Sewaktu Durga Saputra dalam keadaan sangat terdesak serta terancam jiwanya, tiba2 bayangan
berkelebat menghadang didepan Wirahadinata.
Tadah Waja dengan tongkat besinya telah melintang memapaki tebangan klewang. Dua senjata
beradu, hingga mengeluarkan percikan api. Kedua-duanya masing-masing meloncat surut kebelakang
hingga tiga langkah sambil berseru terkejut : ……..Heehhh .—
Ternyata telapak tangan masing2 dirasakan pedih, hingga hampir2 mereka saling melepaskan
senjatanya. Belum juga mereka sempat saling menyerang Singayudha telah meloncat menerjang Tadah
Waja dengan serangan tendangan berangkai. Angin sambaran tendangan yang berdesingan membuat
terkesiapnya lawan.
Dengan tangkas Tadah waja berpusingan surut ke-samping sambil mengayunkan tongkat
besinya dengan tangan kanan, sedangkan jari-jari tangan kirinya mengembang tegang dalam gerak
cengkeram pergelangan, siap untuk mencengkeram kaki lawan dengan kaki2nya yang beracun.
Sementara itu Wirahadinata yang telah siap akan menyerang Tadah Waja terpaksa
menggagalkan gerakannya, karena melihat Sujud berjumpalitan menghindari serangan Durga Saputra
yang nampaknya kelihatan telah mulai kalap. Namun belum juga ia dapat melangkah untuk membantu
anaknya, empat orang anak buah Tadah Waja telah mengurung dan menyerangnya dengan senjatanya
masing2
. Kini pertempuran menjadi tiga, empat kalangan dan berlangsung dengan sengitnya.
Sujud bertangan kosong melawan Durga Saputra yang bersenjatakan golok panjang. Sedangkan
Wirahadinata dengan pedangnya menghadapi empat orang anak buahnya Tadah Waja yang
bersenjatakan dua klewang, satu golok dan satu kampak.
Sedangkan Tadah Waja sendiri dengan tongkat besinya melawan Singayudha dan Braja
Semandang bersenjatakan klewang keluanya.
Masih ada juga satu kalangan lagi yang sedang bertempur dengan sengitnya, antara lima orang
murid Baskara Mijil melawan delapan orang anak buah Tadah Waja dengan bersenjatakan klewang dan
ber-macam2
senjata tajam lainnya.
Sedangkan Talang Pati hanya menonton, berdiri dibalik pohon dekat tempat pertempuran
dimana Sujud sedang sibuk menghindari serangan golok panjangnya Durga Saputra yang bertubi-tubi
tanpa mengenal belas kasihan dengan langkah gerakanuja "WURU SAKTI"
Dengan langkah2nya yang aneh dan kelihatan sangat lambat, Sujut terhuyung-huyung kedepan
seakan-akan jatuh terjengkang, untuk kemudian melompat kesamping sambil menjulurkan tangan
kanannya yang jari nya telah ditegangkan kearah tubuh lawan yang sedang gencar melancarkan
serangan dengan golok panjangnya. Dengan demikian, disamping ia terhindar dari bacokan dan sabetan
golok panjang, Durga Saputrapun terpaksa membatalkan serangan rangkaiannya untuk melindungi
tubuhnya dari totokan jari-jari Sujud yang sukar diduga arah datangnya.
Kadang2
Sujud mengelak babatan golok panjang lawan yang semakin buas itu hanya dengan
menjatuhkan diri bergulingan ditanah untuk kemudian duduk berjongkok menunggu datangnya
serangan susulan. Akan tetapi semua serangan Durga Saputra yang ganas dan bertubi-tubi itu ternyata
selalu jatuh ditempat yang kosong belaka.
Berulang kali Wirahadinata sambil masih bertempur, berseru cemas demi melihat gerakan Sujud yang dalam penglihatannya hampir2 menjadi korban keganasan itu. Setiap gerakan untuk berusaha
mendekati anaknya selalu di rintangi oleh para pengeroyoknya dengan serangan2
serentak yang bertubi-
tubi. Akan tetapi Wirahadinata adalah Kyai Tunggul yang memiliki kesaktian serta pengalaman yang luas.
Dengan mudahnya ia dapat menghindari semua serangan dari para pengeroyoknya. Medan
pertempurannya dikuasai kembali.
Sekali pedang tamtamanya berkelebat, para pengeroyok segera sibuk menghindar sambil
berlompatan menjauhkan diri dari serangan2
susulan yang tak dapat diduga sebelumnya. Semula
Wirahadinata sama sekali tidak bermaksud kejam kepada para pengeroyoknya, dan setiap kesempatan
yang terluang hanya dipergunakan untuk memperhatikan anaknya Sujud yang sedang menghadapi
serangan2 maut dari Durga Saputra. Akan tetapi rasa cemasnya kini semakin bertambah, setelah melihat
cara Sujud menghindari serangan tusukan maut hanya dengan berjongkok serta ketawa terkekeh2
. Ia
mengira bahwa anaknya karena rasa takutnya menghadapi lawan yang tangguh, hingga tergoncang
syarafnya dan menjadi gila.
Tanpa mengenal belas kasihan lagi, Wirahadinata tiba2 melancarkan serangan dengan jurus
shakti simpanannya yang olehnya sendiri dinamakan "sabetan pelebur baja". Ditengah2 para
pengeroyoknya, Wirahadinata berdiri tegak dengan sepasang matanya terbuka lebar dengan pandangan
liar. Wajahnya berubah merah, tubuhnya gemetar. Mulutnya berkali-kali terbuka dan terkatub kembali
tanpa mengeluarkan suara. Hembusan nafasnya mengandung daya sakti yang telah ter-pusat.
Tangan kanannya yang menggenggam pedang tamtamanya diangkat setinggi pundaknya, dan
tangan kirinya bergerak perlahan dengan jari2nya terbuka seperti cakar harimau yang siap menerkam
mangsanya ……
Seruan tinggi melengking terdengar ….. dan tiba2 ….. ia meloncat menerjang dua orang
pengeroyoknya yang berada didepannya dengan kedua tangannya bergerak semua, dalam bentuk
gerakan yang bertentangan.
Tangan kirinya menyengkeram kedepan dari atas kebawah serong kanan, sedangkan tangan
kanannya yang menggenggam pedang membuat gerakan sabetan dari kanan ke-kiri serong kebawah …...
Suatu jurus dalam satu gerakan yang berlawanan dengan disertai daya kesaktiannya …..
Tak ajal lagi …… jeritan ngeri dua kali susul-menyusul segera terdengar, dengan diiringi
robohnya dua tubuh manusia yang bermandikan darah. Seorang telah putus lehernya. dengan kepala
terpisah dari gembungnya. sedang seorang lagi lambungnya terbabat sampai dipusat perutnya ….. Dan
dengan pedang yang masih berlepotan darah, Wirahadinata berpusingan menyambut datangnya
serangan dari dua orang pengeroyoknya yang berada dibebelakangnya. Demi melihat dua orang
temannya roboh tak bernyawa lagi, dua orang pengerojok yang sedang menyerang segera menarik
kembali gerakannya, serta serentak meloncat surut kebelakang dua langkah, dan kemudian lari
dikegelapan, tunggang langgang.
Cepat seperti kilat Wirahadinata melompat kesamping untuk membantu anaknya, akan tetapi ia
segera berdiri terpaku penuh rasa heran sesaat, sewaktu melihat Durga Saputra jatuh roboh tak berdaya
tanpa terluka dengan golok panjangnya terlempar jauh, Namun rasa cemas bercampur dendam masih
juga meliputi dirinya ….. Kuatir akan bangkitnya kembali Durga Saputra yang mengganggu anaknya.
Pedang tamtamanya berkelebat lagi ….. dan ,,,,, crattt . .
Kepala Durga Saputra terbelah kena bacokan pedang tamtama Wirahadinata, tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun. Darah segar bercampur otaknya muncrat, hingga membuat bajunya
sendiri berlepotan darah. Sujud meloncat merangkul leher Wirahadinata sambil berseru. — Bapak. —
Ia ingin mencegah kekejaman ayah angkatnya, akan tetapi …. gerakannya telah terlambat ….. Bersamaan dengan robohnya Durga Saputra, Singayudha yang dibantu Braja Semandang yang
sedang bertempur meIawan Tadah Waja, tiba-tiba meloncat dua langkah sambil berseru — Semandang!
Biarkan aku sendiri yang melayani kepala rampok ini! Lekas lari ke Kebanjaran, untuk membantu
adi2mu!—
Sadarlah ia kini, bahwa larinya mengejar Tadah Waja berarti terkail oleh tipu muslihatnya. Ia
melihat adanya awan hitam yang tebal bergulung-gulung membumbung tinggi yang disusul dengan
nyala api besar menjilat jilat naik diangkasa diarah atas Kebanjaran Kapanewon.
Untuk lari menolong orang tua menantunya, baginya tak mungkin, karena ia sedang
menghadapi musuh yang sakti dan ganas. Satu-satunya jalan baginya ialah memerintahkan pamong
muridnya kembali ke Kebanjaran Kapanewon agar dapat membantu Panewu Arjasuralaga.
— Keparat Tadah Waja! Sambutlah klewangku! — Bentak Smgayudha samhil menerjang maju
dengan klewang ditangan kanan. Gerakannya tangkas dan cepat, seperti kilat. Klewang ditangannya
berkelebatan laksana gulungan sinar putih yang menyambar - nyambar, dalam gerakan tusukan,
babatan, dan tangkisan susul-menyusul dengan perobahan - perobahan yang sukar dilihat dengan mata.
Angin sambaran, sabetan klewangnya mengeluarkan suara berdesingan, hingga membuat daun-
daun pepohonan yang berada didekatnya jatuh beterbaran. Namun lawannya adalah Tadah Waja,
kepala rampok sakti yang berpengalaman luas. Tongkat besi ditangannya berputaran menyerupai
lingkaran baja, dengan mengeluarkan angin sambaran laksana badai yang tak kalah hebatnya.
Tangan kirinya dengan jari-jarinya terbuka dan ditegangkan bergerak - gerak menyambar kearah
lawan seperti cakar garuda.
Kedua-duanya, masing-masing saling mengerahkan tenaga saktinya. Dua senjata yang dahsjat
beradu ….. dan percikan api nampak berpijar …… Kedua-duanya berseru terkejut sambil terhuyung-
huyung kebelakang dua langkah dengan masing-masing hampir jatuh terlentang.
Wirahadinata melompat hendak membantu Singayudha yang sedang terhuyung - huyung dan
hampir jatuh itu, tetapi ….. tiba-ttba lebih dari sepuluh orang anak buah Tadah Waja muncul
berloncatan dari segenap penjuru disekitarnya dan langsung menyerangnya.
Sementara itu pertempuran-pertempuran dilain kalangan masih berlangsung dengan serunya.
Suara beradunya senjata terdengar gemerincing dengan diiringi jeritan - jeritan ngeri susul menyusul,
dari orang-orang yang terkena senjata roboh bergelimpangan. Darahpun berceceran dimana mana.
Demi melihat ayah angkamja dikurung oleh sepuluh orang lebih yang bersenjatakan klewang,
tombak, kampak, golok dan sebagainya, Sujud melompat memasuki kalangan dengan gerakan
‘Wurushaktinya yang ajaib. Jari-jari tangannya tegang terbuka dan menyambar - nyambar dengan
langkah2nya yang aneh serta membingungkan lawannya. Dalam waktu yang singkat tiga empat orang
lawannya telah roboh terguling ditanah tanpa berdaya, terkena serangan totokan jari-jarinya. Senjata
senjata mereka terpental berterbangan lepas dari genggaman, untuk kemudian jatuh ditanah.
Wirahadinatapun tak mau memberikan ketika pada lawannya. Tiap kali pedang tamtamanya
berkelebat tentu ada seorang lawan yang roboh mandi darah. Sambil bertempur gerakan anak
angkatnya tak lepas pula dari perhatiannya. Tahulah kini ia, bahwa anak angkatnya telah memiliki pula
ilmu kanuragan yang tak dapat dikatakan rendah, sebagaimana ia semula menduga sebelumnya. Akan
tetapi, dari manakah ia mendapatkan kepandaian yang aneh itu? Tak mungkin kakak angkatnya Gusti
Senapati Indra Sambada mengajarnya demikian ….. Gerakannya menyerupai seorang yang sedang
mabok minuman keras, dan masih pula diiringi dengan suara tawa yang terkekeh seperti orang setengah
gila. Akan tetapi suasana waktu itu tidak memungkinkan ia bertanya pada anaknya.
Sedang ia mengagumi anaknya, dengan masih sibuk bertempur, tiba-tiba mendengar suara seruan lantang dari Tadah Waja yang ditujukan padanya.
— Hai ….. dukun palsu! Jangan kau berlaku sebagai pengecut, merobohkan anak buahku
dengan semena - mena! Tunggulah pembalasan serangan tongkat bajaku! —
Berseru demikian Tadah Waja sambil melancarkan serangan dahsyat dengan tongkat besinya
kearah tubuh Singayudha. Pukulan dau sabetan tongkat besi menyambar kearah kepala dan pinggang
Singayudha dengan perobahan gerakan yang amat cepat, hingga mengeluarkan angin samberan yang
berdesing desing. Serangan yang dahsyat itu masih pula disusul dengan cengkeraman kuku jari2nya,
hingga Singayudha menjadi sibuk karenanya. Klewangnya menari nari ditangan kanannya mengikuti
gerakan tongkat besi lawan dengan tak kalah cepatnya.
Sewaktu Tadah Waja berteriak, pemusatan perhatiannya menjadi berkurang, dan inilah
merupakan kesempatan bagus yang tepat bagi lawannya. Tanpa membaang kesempatan yang demikian
baiknya Singayudha dengan klewang ditangan kanan meloncat kedepan selangkah dalam gerakan gaya
tusukan, yang disusul dengan serangan tendangan berangkai kearah larnbung lawan. Seruan tertahan
terdengar nyaring, disusul loncatan kesamping sambil berjumpalitan menghindari serangan balasan.
Akan tetapi bukannya Tadah Waja yang jatuh berjumpalitan melainkan Singayudha sendiri. Ternyata
nama Tadah Waja bukan kosong belaka. Ia sengaja menipu lawan, dengan seakan2
tak memperhatikan
serangan lawan.
Akan tetapi justru sepenuh perhatiannya tepusat pada gerakan lawan yang sedang dihadap .
Tusukan klewang Singayudha yang hampir menembus dadanya dihindari dengan menggeser kaki
depannya selangkah serong kebelakang sambil memiringkan tubuhnya mengikuti gerakan kaki. Tongkat
besi ditangan kanan memapaki datangnya serangan dengan gerakan sodokan, sedang tangan kirinya
memukul dengan telapak tangannya kearah kaki lawan yang sedang melontarkan tendangan berangkai.
Inilah jurus tipuan mematahkan langkah. Kecepatan Singayudha membuang dirinya kesamping dan
berjumpalitan, ternyata dapat menggagalkan rangkaian serangan balasan dari Tadah Waja. Dengan
menahan rasa sakit ditulang kakinya, Singayudha cepat berdiri lagi menyambut serangan susulan lawan
yang bertubi-tubi dan berbahaja. Perobahan gerakan tongkat besi Tadah Waja cepat laksana kilat yang
menyambar-nyambar tubuhnya, namun ketangkasan Singayudha masih juga dapat mengimbangi
gerakan lawan. la berloncatan menyelinap dibalik sinar tongkat besi yang bergulung-gulung
menyelubungi tubuhnya, klewang ditangan kanannya masih perlu mengikuti menari-nari dengan
tusukan dan sabetan yang cukup membuat bulu tengkuk lawan berdiri. Akan tetapi semakin lama,
gerakan Singayudha semakin lambat. Rasa sakit ditulang kakinya mengganggu ketangkasan gerakannya.
Perobahan gerakan lawan ini tak lepas dari perhatian Tadah Waja.
— Haa hahaaaaaaa ...... !!!! Kiranya Singa barangan masih juga dapat menari diatas tiga kakinya
!!!. Tadah Waja berseru mengejek sambil menyerang mendesak Singayudha. Sebagai guru ilmu
kanuragan dan pendiri perguruan Baskara Mijil yang luas pengaruhnya, tak mungkin Singayudha mau
menyerah secara demikian. Apalagi lawannya adalah seorang perampok …….
Dalam keadaan terdesak, Singayudha mengerahkan seluruh tenaganya, untuk melesat tinggi
kesamping sejauh empat langkah dan cepat memperbaiki kedudukannya. Ia berdiri tegak diatas
kuda2nya yang ringan. Kaki kanan berdiri sedikit roboh kedepan dengan tumit terangkat, sedangkan kaki
kirinya berada setengah langkah didepan kaki kanan dengan lututnya ditekuk sedikit, membentuk kuda2
ringan. Tangan kirinya terbuka, dengan lengan terangkat keatas sejajar pundaknya, Siku2nya ditekukkan
hingga ibu jari tangannya berada disamping telinga kirinya.
Tubuhnya dimiringkan sedikit dengan dada membusung mengikuti gerakan kakinya. Ujung mata klewang ditangan kanan, lurus menunjuk kearah dada lawan yang berada dihadapannya, dengan
pergelangan telapak tangan berada diatas. Suatu gerakan bersenjatakan klewang yang gagah dan indah
dalam pandangan.
Sewaktu Tadah Waja menerjang kuda kudanya dengan sabetan tongkat besinya, kaki
Singayudha digeser dan merobah menjadi sebuah tendangan, yang disusul dengan tusukan klewangnya
untuk kemudian dirobah menjadi bacokan kilat dari atas kebawah.
Perobahan itu merupakan satu rangkaian gerakan yang amat cepat dalam bentuk jurus
sambutan serangan berangkai. Sambil berseru nyaring Tadah Nkaja terkesiap, melompat tinggi
berpusingan, dan membuang diri kearah samping kanan.
Namun masih juga tangan dan kaki kirinya tergores oleh ujung klewang Singayudha, sejengkal
panjangnya. Darah merah segar mengucur dari luka dipahanya.
Sambutan serangan Singayudha ternyata memerlukan pengerahan tenaga keseluruhannya,
hingga kaki kirinya yang terluka kini dirasakan bertambah sakit, dan ia tak dapat lagi menggerakkan
kakinya dengan leluasa. Akan tetapi, melihat hasil serangannya dapat melukai lengan serta pahanya
Tadah Waja, semangat tempurnya bangkit kembali. Dengan sebelah kakinya yang pincang ia
melanjutkan serangannya kearah lawan dengan klewangnya bertubi-tubi. Cepat Tadah Waja
membalikkan badannya, menyambut datangnya serangan, dengan tanpa menghiraukan, luka
dilengannya.
Tongkat besinya berputaran, membentuk perisai baja, sedangkan kakinya bergerak silih berganti
melancarkan tendangan-tendangan yang dahsyat.
Kembali kini Singayudha dalam keadaan yang terdesak. Hampir hampir pinggangnya patah
terkena sabetan tongkat besi yang menyambar-nyambar dengan ganasnya, sewaktu ia terhujung2
kebelakang menghindari tendangan lawan. Untung, bahwa ia masih sempat menjatuhkan diri untuk
berjumpalitan ditanah menghindari serangan lawan yang semakin ganas.
Tetapi serangan Tadah Waja bukan hanya berhenti sampai sekian saja. Sewaktu Singayudha
berjumpalitan menghindari serangannya, ia melompat mendahului gerakan Singayudha yang sedang
akan bangkit untuk duduk berjongkok. Kaki kirinya berdiri lurus, sedangkan kaki kanannya dengan lutut
ditekukkan terangkat keatas setinggi pangkal pahanya. Tongkat besi ditangan kanan diangkat tinggi2
,
siap untuk mengemplang kepala Singayudha. Dan tangan kirinya dengan jari2nya yang tegang
mengembang siap untuk menerkam leher lawan. Tangan kanannya diayun …. tangan kirinya bergerak
menuju sasaran ……dan Singayudha memejamkan matanya menyamhut datangnya maut …….
ddaaaarrrr !!!!
— Suara beradunya dua benda keras terdengar … . dan Tadah Waja terpelanting kebelakang,
untuk kemudian berjumpalitpn menjauhkan diri. Tongkat besi yang diayunkan oleh Tadah Waja sewaktu
hampir jatuh di batok kepala Singayudha, tiba2 beradu dengan sebuah lengan berperisai besi baja.
Perisai baja itu besarnya hanya setapak tangan dan panjangnya dari siku2 hingga pergelangan tangan.
Dengan perisainya itu mendapat gelar "Sitangan besi". Namun orang itu turut pula terhuyung huyung
hingga tiga langkah kebelakang. Dapat dibayangkan bagaimana hebatnya pengerahan tenaga masing2
yang dilontarkan.
— Haa ….. haaaaaa ….. Ternyata banyak kemajuanmu selama tujuh tahun ! !. Orang bertangan
besi berseru nyaring.
Ia memiliki tubuh tinggi besar dengan urat2nya melingkar lingkar dikedua belah tangannya.
Dadanya yang telanjang tanpa baju nampak bidang dan berbulu lebat. Masih pula dihias dengan
gambaran seekor ular sanca yang sedang membelit badannya. Gambar itu dilukisnya dengan tusukan2 ujung golok yang runcing dan tajam dan kemudian diberi warna, sehingga tak mungkin dapat dihapus. Ia
hanya mengenakan celana hitam berseret merah sampai dibawah lututnya.
Dipinggang kirinya tergantung sebilah golok panjang. Rambutnya sudah dua warna, akan tetapi
tebal dan panjang diikat diatas kepala menyerupai gelung dengan pita hitarn. Mukanya bercambang
bauk dan terdapat banyak goresan bekas luka2
terkena senjata tajam. Dialah yang terkenal dengan nama
mBah Duwung "sitangan besi" dari Rongkop, gurunya Talang Pati.
— Duwung bangkotan ! ! ! Apa maksudmu kau turut campur urusankn ? ! Bukankah janji kita
masih tiga tahun lagi ? ? ! ! ! Tadah Waja menyahut dengan suara bentakan dan dengan sinar
pandangan liar sambil berjongkok dengan tongkat besinya yang disilangkan didepan dada.
— Maaffkan aku, jika tindakanku mengganggu urusanmu ! ! ! Akan tetapi justru mengingat janji
kita tinggal tiga tahun lagi itu, maka sengaja aku memperingatkan dirimu !!!. Jika kau terlalu banyak
mempunyai musuh, tentu tak akan mungkin kau dapat memenuhi janjimu lagi. Dan janganlah
hendaknya, pertemuan kita tertunda lagi dengan alasan2mu yang kau buat2
!!! Nah selamat tinggal,
sampar ketemu lagi tiga tahun yang akan datang. Dadung Ngawuk pun telah menantimu pula dengan
jemu !!!!.
Talang Pati! Mari kita pergi! Tak perlu kita campur tangan urusan orang lain! Belum juga
kata2nya berachir, ia telah melesat bagaikan bayangan dikegelapan malam, yang disusul dengan
melesatnya Talang Pati muridnya, sambil berseru memanggil: —Mbah Duwung! — Sementara itu
Singayudha telah bangkit pula berdiri, sedangkan Tadah Waja masih menggumam sendirian.
Pada tujuh tahun yang lalu, tiga orang shakti, Mbah Duwung, Dadung Ngawuk dan Tadah Waja
pernah saling berternpur segitiga sampai dua dua malam lamanya, dengan berakhir tidak ada yang kalah
ataupun yang menang. Waktu itu pertempuran berlangsung dilereng gunung Slamet. Ketiga tiganya
roboh tak berdaya karena kehabisan tenaga, dan atas mufakat bersama mereka akan melanjutkan
pertempurannya pada tiga tahun lagi. Akan tetapi, ternyata Tadah Waja setelah tiga tahun berlalu,
minta agar pertempuran segitiga itu ditunda lima tahun lamanya. Dan atas mufakat mereka bertiga
waktunya ditangguhkan menjadi tujuh tahun. Dalam tujuh tahun itu mereka masing2 akan meyakinkan
ilmunya sendiri2 untuk bekal dalam pertempuran yang akan datang. Mbah Duwung dengan tangan
besinya dan golok panjangnya, Tadah Waja dengan kuku2nya yang beracun dengan tongkat besinya,
sedangkan Dadung Ngawuk dengan totokan jari2nya dan cambuk ularnya. Tempat bertanding mengadu
yang hanya kurang tiga tahun itupun telah ditentukan digunung Botak, sebelah utara hutan Blora. Per-
tempuran mengadu jiwa dalam segitiga, karena masing2
saling mempertahankan kebenarannya.
Masing2 saling tuduh-menuduh pernah membunuh anggauta keluarganya. Urusan yang menurut
mereka tak dapat diselesaikan dengan kata-kata ……
Sedang Tadah Waja akan menerjang kembali kearah Singayudha yang tengah berdiri terpincang2
mendadak terdengar suara ringkikan dan derap kaki kuda, yang riuh mendatang dan langsung
mengurung tempat pertempuran yang masih saja berlangsung dengan sengitnya.
Seorang kepala pasukan yang tak lain adalah Lurah Tamtama Jaka Rimang berseru memerintah:
— Kurung rapat dan tangkap semua perampok! —
— Kakang Rimang! Sujud meloncat diatas kepala pengeroyoknya sambil berseru dan
menyambut datangnya Jaka Rimang yang memimpin pasukan 500 orang berkuda. Melihat gelagat yang
tak menguntungkan itu, Tadah Waja melesat bagaikan bayangan lari dikegelapan malam meninggalkan
gelanggang pertempuran. Kiranya peringatan Mbah Duwung tadi sangat beralasan. Para rampok yang
tak dapat melarikan diri, segera membuang senjata dan menyerah, setelah melihat tamtama berkuda
demikian banyaknya dan telah mengurungnya rapat2 — Adi Sujud! - Lurah Tamtama Jaka Rimang meloncat turun dari kudanya dan langsung
mendekap pinggang Sujud, sambil bertanya: —Kau tidak terluka??
— Tidak. Untung kakang Rimang segera datang dengan pasukan tamtama ……. Dimana kakang
Wulung? — Dan apakah kamas Indra juga berada disini?
— Sudahlah lekas naik kudaku, nanti kita bicarakan panjang lebar. —
Jaka Rimang mengangkat tubuh Sujud dan dinaikkan diatas pelana, sedang ia sendiri melompat
duduk dibelakangnya.
— Nanti dulu, kakang Rimang!, Bapak ada disini! Itu dia. —
Berkata dernikian Sujud menunjuk Wirahadinata yang sedang berjalan mendatang, dan Jaka
Rimang melompat turun kembali menyambut kedatangannya, dengan membungkukkan badannya.
— Maafkan Gusti. Kedatangan kami disini memang diperintahkan oleh Gustiku Senapati Indra
Sambada untuk mencari dan menjemput Gusti Wirahadinata. Dan kini Gustiku Senapati Indra menunggu
di Kebanjaran Agung Indramayu. Sama sekali kami tak mengira bahwa Gustiku berada disini pula. —
— Kebetulan sekali, kau cepat2 datang. Jika tidak, apa yang akan terjadi? Wirahadinata
menjawab.
— Mendapat restu Gustiku! - Jaka Rimang merendahkan dirinya — Silahkan Gustiku menaiki
kuda ini saja. — Berkata demikian Jaka Rimang menepuk kuda disebelahnya. Segera penunggang kuda
itu turun dan menyerahkan pada Bupati Wirahadinata. Sekejap kemudian Wirahadinata telah duduk
diatas pelana kuda berjajar dengan kudanya Jaka Rimang.
— Harap Gustiku sabar sebentar, menunggu kakang Jaka Wulung dan Panewu Arjasuralaga yang
sedang mengejar rampok2
yang lari itu. —
— Bukankah sebaiknya kita rnenyusul kakang Wulung dan membantunya? —
Sujud memotong pembicaraan dengan tak sabar.
— Ach …… jangan! Tadi kakang Wulung telah berpesan supaya aku menunggu disini, dan
mengatur pasukan yang ditinggalkan ini. — Jawab Jaka Rimang.
Sementara itu dengan tangkas para tarntama telah membelenggu para anak buah Tadah Waja
yang menyerah. Tak lama kemudian tampak tiga orang berkuda didalam kegelapan malam yang remang
- remang itu, mendatang dengan pesatnya. Derap kaki kuda yang riuh terdengar semakin jelas. Mereka
adalah Lurah Tamtama Jaka Wulung, Lurah Tamtama Arjarempaka dan Panewu Arjasuralaga dengan
duapuluh orang tamtama berkuda dibelakangnya. Pasukan tamtarna yang ditempat itu segera menyisih
untuk memberi jalan bagi para pendatang.
— Kakang Wulung. — Sujud berseru demi melihat Jaka Wulung datang. (Penjelasan — Jaka
Wulung dan Jaka Rirnang adalah saudara sekandung murid Kyai Pandan Gede dan Kyai Wiku Sepuh
dilereng Gunung Sumbing, yang kemudian menjadi sepasang pembantu pribadi Senapati Indra Sarnbada
dengan pangkat Lurah Tamtama. Baca Seri "Pendekar Majapahit" ).
Tiba2 dalarn jarak kira2 duapuluh langkah sebelum sarnpai ditempat Sujud, mereka masing2
dengan serentak menarik tali pengekang lis kudanya, hingga kuda mereka masing2
tersentak berdiri
dengan me-ringkik2 nyaring. Panewu Arjasuralaga dengan tangkasnya melompat turun dari kudanya
dengan diikuti oleh dua orang lainnya dan berjongkok mendekati seorang yang sedang terkulai ditanah
dengan me-rintih2
. Tubuh Singayudha yang tinggi besar itu segera di pondong diatas pundaknya, untuk
kemudian dibawa dimana Jaka Rimang menunggu.
Wirahadinata, Jaka Rimang dan Sujud juga segera melompat turun kembali dan menyambut
kedatangan mereka. Setelah Singayudha diperiksa dengan teliti oleh Wirahadinata, ternyata luka dikaki
kirinya mengandung racun, karena kena goresan kuku Tadah Waja.
Akan tetapi Wirahadinata adalah Kyai Tunggul dukun shakti yang telah tak asing lagi namanya.
Dengan dibantu oleh Sujud anaknya, Wirahadinata segera mengobati luka Singayudha hingga ia siuman
kembali. Luka yang telah mulai menghitam dikoreknya dengan pisau tajam, dan saluran darahnya diurut
hingga darah hitam yang mengandung racun keluar mengucur dari lukanya. Tiupan shakti kearah mulut
Singayudha dihembuskan pelan2
sementara Sujud menaburkan bedak obat pemunah racun yang selalu
dibekal oleh Wirahadinata.
Panas suhu badan Singayudha berangsur angsur turun dan menjadi wajar Singayudha segera
bangkit duduk bersila untuk mengatur dan mengerahkan hawa murninya sendiri dengan mengatur
pernafasannya.
— Terima kasih, Gusti! Budi luhur Gustiku Wirahadinata tak akan saya lupakan! Semoga Dewata
Yang Maha Agung membebaskan budi Gustiku ! — Singayudha berkata penuh hormat, setelah merasa
ringan sakitnya.
— Ach,.. tak perlu Kyai Singayudha menyanjung demikian berlebih2an. Bahwa luka Kyai
Singayuda tak begitu berat, sayapun turut pula bersyukur pada Dewata Yang Maha Agung. Dengan
demikian Kyai dapat membimbing perguruan Baskara Mijil. —
Tujuh orang segera berkenalan dan bercakap dengan akrabnya sambil duduk diatas rumput.
Gara2 adi Sujud inilah, semua tamtarna Kerajaan menjadi kalang kabut dan disebar kesegala
penjuru — Jaka Wulung berkata ketawa riang dengan menepuk2 bahu Sujud.
Memang sejak Sujud meninggalkan Gedung Senapaten. sebagian tamtama Kerajaan oleh
Senapati Indra Sambada diperintahkan untuk mencarinya. Bukan hanya tamtama pasukan saja, akan
tetapi tamtama nara sandi Kerajaan turut pula dikerahkan. Setelah satu setengah tahun lamanya para
taintama tak berhasiI menemukan Sujud, Senapati Indra Sambada sendiri berkenan membawa pasukan
pergi ke Indramayu untuk yang keempat kalinya. Akan tetapi setibanya di Indramayu, ternyata Bupati
Wirahadinata sedang berkunjung ke Banjararja untuk memenuhi undangan Panewu Arjasuralaga. Maka
oleh Senapati Indra Sambada, Jaka Wulung dan Jaka Rimang diperintahkan untuk menjemputnya,
karena ada hal2
yang sangat penting untuk di bicarakan. Sedangkan Indra Sambada sendiri menunggu di
Kebanjaran Agung Indramayu. Tak diduganya bahwa Kebanjaran Banjararja dikacaukan oleh para
perampok dibawah pimpinan sakti Tadah Waja, hingga Jaka Wulung dan Jaka Rimang terpaksa turun
tangan membantu Panewu Arjasuralaga menumpas para perampok. Hanya sayang bahwa Tadah Waja
dapat meloloskan diri dari pengepungan. Namun rasa kecewa dan lelahnya Jaka Wulung dan Jaka
Rimang lenyap ditutup oleh rasa girang yang tak terhingga karena justru dalam kancah pertempuran
mereka berhasil menemukan kembali Sujud yang telah lama dicari2nya.
Tidak henti2nya kedua Lurah tamtama ganti berganti menanyakan pada Sujud akan
pengalamannya dalam pengembaraan. Demikian pula ayah angkatnya Bupati Wirahadinata.
Waktu itu fajar telah menyingsing. Dari arah sebelah timur sinar merah keemasan menerangi
seluruh mayapada. Sang surya mulai bertachta menggantikan dewi malam.
Seratus tamtama Kerajaan atas perintah Jaka Wulung ditinggalkan di Banjararja untuk
membantu Penewu Arjasuralaga, sedangkan Jaka WuIung Jaka Rimang, Wirahadinata dan Sujud beserta
seluruh pasukan berkuda lainnya, meninggalkan Banjararja menuju ke Indramayu. Dengan rasa sedih
dan sangat kecewa karena tak dapat menemukan Martinem dan Martiman, Sujud terpaksa mengikuti
rombongan berkuda menuju kerumah ayah angkatnya di Indramayu.
Ternyata pada malam terjadinya keributan dan kebakaran di Banjararja, semua orang dialun
alun segera turut pula mengungsi, takut akan menjalarnya api.
.Warung2 ditutup dan ditinggalkan. Martiman dan Martinem berteriak-teriak ditengah keributan
orang yang akan mengungsi, memanggil2
Sujud, akan tetapi.. sia-sia belaka.
Mereka berdua bergandengan berjalan mengikuti arus orang2 mengungsi tanpa tujuan.
Panewu Arjasuralaga akan berusaha mencari kedua anak itu, dan menyanggupkan untuk
mengantarkan ke Indramayu apabila kelak telah dapat diketemukannya.
*
**
Komentar
Posting Komentar