Langsung ke konten utama

PENDEKAR DARAH PAJAJARAN JILID 02 B A G I A N I


DITEGUR KAKAKNYA secara demikian, Martinem malah semakin menangis terisak-isak, sambil bicara
dengan kata-katanya yang terputus-putus.
— Aku . . . tak mau tidur ….. Aku pergi ….. sendirian . . . Biar tak diantar . . . . aku ... berani …..
— Jangan menangis, Nem!. Turutilah nasehat kakakmu. Besok kita bersama-sama pergi nonton
wayang golek, dan untukmu akan kubelikan mainan katak-katakan yang bisa berbunyi nyaring itu …..
atau payung kecil biar kalau kau berjalan tidak kepanasan. — Sujud menghiburnya serta bangkit
berjongkok sambil membelai rambut Martinem.
Akan tetapi semua kata-katanya itu seakan-akan tak didengarnya sama sekali, dan Martinem
masih saja terus menangis ter-isak isak, sambil bicara —Tidak …… aku mau pergi ….. sekarang …..
sendirian …..---
Martiman telah tak sabar lagi mendengar rengekan adiknya itu. Sambil bangkit berdiri, ia
membentak2
kasar. — Memang dasar anak bandel! Sekali tidak, tetap tidak! Tahu! Jika kau tetap bandel
akan kujewer telingamu. —
Isak tangisnya Martinem bukannya mereda, akan tetapi bahkan bertambah keras, hingga bibi
pemilik warung itu menjenguknya sebentar sambil menghibur dengan lemah lembut. Namun Martinem
tetap menangis juga.
— Sudahlah. Nem! Jangan menangis! Asalkan kau berjanji akan melihat sebentar, akan
kuantarkan sekarang. — Tiba.-tiba Sujud berkata menyanggupi. Kiranya ia sangat kasihan demi melihat
Martinem menangis tersedu sedan itu Seketika itu juga setelah mendengar kesanggupan Sujud
tangisnya berhenti. Sambil mengusapi air mata yang membasahi muka dengan lengannya, Martinem
bangkit untuk membetulkan pakaiannya, sementara Sujud mengikat kantong kulitnya dengan ikat
pinggangnya erat-erat dipinggangnya.
— Man, kau mau ikut atau tidak?. Jika sekiranya lelah, tinggal saja disini. Aku akan mengantar
adikmu sebentar, biar tak rewel lagi! Ach ….. aku ikut pergi kang Sujud. Tak enak untuk tinggal sendirian. —
Dan sebentar kemudian mereka bertiga telah berada ditengah tengah orang yang berjejal jejal 
mendekati panggung, dimana akan diadakan pertunjukkan keramaian. 
Dengan Martinem dipundaknya serta Martiman disisinya sambil memegang erat2 pada ikat 
pinggangnya, Sujud mendesak orang2
yang sedang berjejal jejal itu, untuk lebih mendekat didepan 
panggung. Bentakan dan makian orang2
yang terinjak oleh kakinya, tidak dihiraukan sama sekali. 
Ia merasa lega dan bersenyum puas setelah berhasil berdiri didepan sendiri, hingga menempel 
pada kawat yang terpentang sebagai batas antara tamu2 undangan yang duduk berderet2 didepannya. 
Suara gamelan bertalu-talu memekakkan telinga, namun pertunjukkan tari2an memang belum dimulai. 
Sedangkan orang ber-jejal2 padat berdesak, suaranya gemerunggung seperti lebah disarangnya. 
Martiman dan Martinem tak henti2nya bersenyum kagum melihat keindahan pakaian para tamu 
undangan yang ber-aneka warna dan serba mewah itu, seakan2 para tamu undangan itu saling berebut 
perhatian akan pakaian yang dikenakan. Ada yang berbaju sutra warna merah dengan kancing2nya 
mutiara, dan ada yang berbaju sutra biru dengan kelat bahu bertatahkan ular naga terbuat dari emas 
murni, dan ada pula yang memakai sisir mas clengan bermata batu berlian diatas kepalanya seperti 
mahkota. 
Sedangkan para tamu undangan wanita kesemuanya memakai perhiasan yang serba 
bermatakan berlian. Hidangan makanan untuk para tamu2 undangan mengalir terus tak ada putusnya, 
membuat kepinginnya rakyat yang berjejal2 berdiri melihatnya. Melihat pesta semacam itu, Sujud 
teringat kembali akan masa kehidupannya sendiri, sewaktu mengikuti Senapati Indra Sambada. Tiap2
ada perayaan, ia tentu diperkenankan ikut serta, dan selalu mendapat penghormatan yang istimewa 
pula. Betapa tidak! Indra Sambada yang mengaku sebagai kakak angkatnya adalah seorang Senapati 
Manggala Pengawal Raja, yang disegani dan disanjung2 oleh segenap priyagung di Kota Raja. ( baca Seri 
Pendekar Majapahit )
Tetapi kini Sujud dianggapnya sebagai anak jelata, yang tak dikenal oleh orang2
yang berpesta 
pora itu. Seorangpun tak ada yang menegur ataupun memperhatikannya. Dan ini semua adalah 
kesalahannya sendiri yang telah disengaja. Ia memperhatikan wajah2 para tamu undangan satu demi 
satu yang dapat dilihatnya, barangkali saja ada yang pernah dikenalnya. Akan tetapi kiranya sia2 belaka. 
Para tamu2
yang berada jauh dari padanya sukar untuk diteliti satu persatu. 
Tiba2
suara gamelan bertalu lebih keras dan nyaring. Dan para penyambut tamu undangan 
berdiri tegak berjajar didepan panggung dengan pakaian seragam sebagai punggawa narapraja. Seorang 
tinggi besar dengan jenggotnya yang lebat, berjubah merah dengan gambar sulaman matahari terbit 
didadanya berwarna kuning keemasan dan diiringkan oleh empat puluh pemuda berbaju sutra hijau
dengan tanda gambar yang sama didadanya masing2
, telah datang dari arah gedung Kebanjaran menuju 
kederetan bangku2
terdepan yang masih kosong itu, yang memang di sediakan untuknya. 
Itulah orang gagah yang terkenal shakti, Kyai Singayudha, pemimpin dan pendiri perguruan ilmu 
kanuragan "BASKARA MIJIL", diiringkan oleh para murid2nya yang masing2 bersenjatakan klewang, 
tergantung dipinggangnya. Ia berjalan melangkahkan kakinya dengan tenang seakan-akan mengikuti 
irama suara gamelan sambil mengangguk - anggukkan kepalanya dengan diiringi senyuman kearah para 
tamu yang serentak berdiri menyambut kedatangannya. 
Panewu Arjasuralaga dalam pakaian kebesarannya sebagai Narapraja beserta isterinya berkenan 
menyambutnya sendiri atas kedatangannya tamu ayah menantunya yang ia banggakan itu. Dengan serta 
merta Panewu Arjaswalaga suami isteri mempersilahkan Kyai Singayudha duduk ditempat terdepan 
yang telah disediakan, dekat berjajar dengannya. Sementara para tamu telah duduk kembali ditempat masing2
. Para murid Baskara Mijil masing2
mengambil tempat duduk dibaris kedua, berjajar dibelakang Kyai Singayudha. Suara tepukan tangan tiga 
kali terdengar nyaring, dan kini gamelan berhenti seketika. 
Seorang pengacara dengan memamerkan ketangkasannya melayang dengan satu loncatan naik 
dipanggung. Orangnya masih muda dan tegap perkasa. Ia mengenakan pakaian kebesaran lengkap 
sebagai Lurah Tamtama Kerajaan. Ia adalah adik kandung dari Panewu Arjasuralaga, yang menjabat 
lurah tamtama di Kerajaan di Kota Raja. Ialah yang dibanggakan selalu oleh kakaknya dengan 
pengharapan agar kelak dapat menggantikan kedudukannya sebagai Panewu Kepala Daerah Kebanjaran 
Banjararja. Kini ia diserahi tugas sebagai pengacara untuk mewakilinya menyambut para tamu2
yang di 
undang. Perhatian para tamu dan orang2
yang menyaksikan keramaian itu kini tertuju kepada Lurah 
Tamtama Arjarempaka si pengacara. 
Dengan senyuman yang dibuat - buatnya sambil mengangguk2
kan kepalanya kepada para tamu, 
ia berbicara lantang dalam kata bahasanya yang lancar. 
Dengan singkat dan jelas ia sebagai wakil tuan rumah, menyampaikan terima kasihnya akan 
kehadiran para tamu yang akan menyaksikan pertunjukan kesenian pada malam ini. Dan berulang kali ia 
mengucapkan kata2
sanjungannya, penuh rasa kebanggaan demi mengangkat nama kebesaran Kyai 
Singayudha, sebagai tamu kehormatannya. 
Ia tak lupa pula mengutarakan, bahwa pertunjukan yang diselenggarakan pada malam ini adalah 
sumbangan dari perguruan Baskara Mijil. 
Tepuk tangan para hadirin segera terdengar gegap gempita, setelah pengacara selesai berbicara 
dan melayang turun dari panggung. Suara gamelanpun segera terdengar ber-talu2
kembali. 
Martinem yang duduk dipundak kiri Sujud turut pula bertepuk tangan sambil berseru 
kegirangan, tanpa menghiraukan teguran Martiman yang selalu melarangnya, karena takut mengganggu 
orang2
sekitarnya. Tak lama kemudian, muncul seorang gadis remaja yang cantik jelita dalam pakaian 
wayang yang indah, duduk bersila diatas panggung, dan menyembah, setelah mana mengenakan topeng 
yang berwajah priya yang telah berada dipangkuannya. Dengan diiringi suara gamelan, ia menari-nari 
dengan gerak geriknya tarian seorang priya. Gerakannya tangkas dan gagah. Tarian yang 
menggambarkan kegagahan seorang perwira yang sedang mengenakan pakaian tamtamanya untuk siap 
maju kemedan laga …… 
Suara gamelan seirama dengan lantangnya kendang, namun tepat mengikuti gerakan tariannya 
yang gagah dan mempersonakan. Tangan kirinya bertolak pinggang sambil menggerak2
kan sampur 
dengan jari2nya yang halus dan runcing, sedangkan tangan kanannya mengepal dengan ibu jari 
menunjuk kearah mulutnya sambil melagak lagak, mengikuti suara tawa bergelak-gelak dari ki Dalang, 
yang diiringi dengan suara gamelan serta kendang, seirama dengan gayanya penari. 
Sambil memukul gamelan, para penabuh bersorak sorak mengikuti irama gending, menambah 
meriahnya suasana. Dengan langkahnya yang bergaya, kini penari kelana topeng berjalan berputaran 
diatas panggung. Para tamu asyik terpaku melihat gerakannya. Sungguh merupakan tarian yang indah 
dan mengesankan. Suatu seni tari daerah yang bernilai tinggi. 
Sebentar - bentar para tamu bertepuk tangan, memuji akan keindahan tariannya. Dan tak henti-
hentinya para tamu dan pengunjung lainnya menyatakan kekagumannya akan kelincahan dan 
kegagahannya si penari, yang bukan lain adalah seorang gadis remaja yang cantik jelita tadi. 
Dengan gayanya yang lemah gemulai, kini si penari duduk bersila kembali dan membuka 
topengnya, untuk kemudian menyembah kepada para tamu sambil menundukkan kepalanya suatu 
tanda bahwa tarian topeng yang dipentaskan telah berakhir, dan gamelanpun mengikuti berhenti bertalu. 
Kembali suara tepuk tangan tendengar gegap gempita, memekakkan telinga susul menyusul tak 
henti-hentinya. Martinem tak ketinggalan turut pula bersorak. Ternyata tarian daerah yang 
disumbangkan oleh perguruan Baskara Mijil dapat memikat hati para tamu2 pengunjung, dan 
menambah keharuman nama perguruan yang telah terkenal itu.
Menyusul kini „tari topeng perang" ciptaan Kyai Singayudha sendiri. Suara gamelan dengan 
gending2nya, yang berirama pelan, dengan diiringi tiupan suling yang bernada tinggi mengalun 
melengking, menyayat nyayat hati pendengarnya. Seorang dara lain, berpakaian wayang seperti seorang 
ksatria dengan mengenakan keris dipinggangnya, berjalan dengan penuh gaya lemah gemulai mengikuti 
irama gamelan. Selang lima langkah, dengan gaya tariannya yang indah, ia mulai mengenakan 
topengnya yang melukiskan wajah seorang ksatria yang memiliki budi pekerti yang halus serta luhur. 
Tarian itu menggambarkan sewaktu Sang Arjuna sedang berduka dan berkelana ditengah hutan. Tak 
lama kemudian, irama gamelan berobah menjadi lebih cepat bertalu, dan suara kendang terdengar 
lantang kembali. Disusul munculnya seekor harimau gembong dengan loacatan yang tangkas, dan jatuh 
berdiri diatas empat kakinya didepan Sang Arjuna. Gerakan loncatannya sangat indah dengan tak 
meninggalkan irama gamelan dan kendang yang berbunyi mengumandang. 
Kiranya kulit harimau itu hanya terbuat dari bahan kain yang tebal dan dilukis dengan cat, tak 
ubahnya seperti harimau sungguh-sungguh. Kepalanya terbuat dari bahan kardus dengan kumis-
kumisnya dari ijuk yang dicat putih, mengkilat, seakan-akan merupakan harimau yang ganas siap untuk 
menerkam mangsanya. la diperankan oleh seorang priya yang berada didalamnya. Kepalanya 
menggeleng2 mengikuti suara auma dalang dan diiringi oleh suara tepukan kendang dan gamelan. 
Para penonton diam tak berkedip, sambil membuka telinganya lebar-lebar mendengarkan ki 
dalang yang sedang bercerita dengan masih diiringi oleh suara gamelan yang mengalun pelan …. 
Tiba-tiba gamelan bertalu2 dengan irama yang ramai, dan suara tepukan kending terdengar 
Iantang serta cepat. Harimau meloncat kedepan dengan gaya terkaman, melintasi diatas kepala Sang 
Arjuna, yang dengan tangkasnya mengelak, menundukkan badannya dalam gerak tarian yang sangat 
indah mengikuti suara irama gamelan. Harimau jatuh bergulingan dibelakang Sang Arjuna, dan suara 
kendang pun mengikuti laksana genderang bertalu. Semua berseru kagum akan ketangkasan dan 
indahnya tarian perang ini. Jelas bahwa orang yang memegang peranan sebagai harimau, memiliki ilmu 
kanuragan yang cukup mentakjubkan. 
Sang Arjuna kini menghunus kerisnya dan menari-nari dengan gajanya yang indah sambil 
menggenggam keris terhunus ditangan kanannya. Sementara itu harimau menggerak2
kan kakinya 
sambil menggeliat, mengikuti suara gamelan. Kini pertarungan menjadi lebih seru lagi, namun tetap 
dalam gaya tarian yang diiringi suara gamelan dengan irama2
yang sesuai dengan selera gaya tariannya. 
Tari pertarungan itu berachir dengan kemenangan dipihak Sang Arjuna, sedangkan harimau yang 
tertusuk oleh keris pusaka Sang Arjuna, mati seketika dan menjelma menjadi Batara Kamajaya. 
Tepuk tangan dan sorak sorai para penonton, terdengar lebih riuh lagi, setelah tari topeng itu 
berachir. Kiranya tarian yang demikian indah, tak pernah disaksikan sebelumnya oleh para penonton. 
Dan memang baru kali inilah tari perang topeng ciptaan Kyai ingayuha dipentaskan. 
Tari topeng telah berakhir, dan acara dilanjutkan dengan pertunjukan wayang golek yang akan 
berlangsung hingga esok siang hari. Wayang golek adalah pertunjukan yang digemari oleh segenap 
lapisan rakyat didaerah ilu. Sementara wayang2nya diatur dan alat-alatnya dipersiapkan, gamelan masih 
tetap terus mengumandang bertalu talu. 
Diantara para tamu banyak pula yang mengundurkan diri untuk beristirahat karena masih ingin menyaksikan kerarnaian2 pada malam2 berikutnya. 
— Nem, ayo kita pulang kepenginapan!! Aku telah lelah dan mengantuk. — Sujud berkata, pada 
Martinem. 
— Sebentar lagi, kang Sujud ! ! Aku belum ngantuk. Jawab Martinem dengan masih duduk 
dipundak Sujud. 
— Ayo, ….. kita tinggalkan Martinem disini sendiri, kang Sujud ! ! Biar ia puas melihat wayang 
golek sendirian sampai, esok siang !!! Martiman memotong bicara dengan nada marah. 
-- Man, kau jangan selalu memarahi adikmu. Ajo, Nem kita pulang dulu, besok pagi kita nonton 
lagi. Sambil membeli mainan yang kujanjikan tadi, Sujud berkata lembut. 
— Tapi, besok pagi kita pergi lagi melihat lho, kang ! Jangan bohong ! ! !. Martinem menjawab, 
manja. 
— Yaaa . . . Besok pagi kita pasti nonton lagi ! !. Ayo . . .kita pulang sekarang dan jangan rewel 
lagi …… —
Mereka bertiga berjalan bergandengan menuju kewarung tempat mereka bermalam. Waktu itu 
belum lewat tengah malam, namun mereka bertiga telah merasa lelah dan mengantuk, karena siang tadi 
habis menempuh perjalanan jauh baginya. 
*
* *
— Man, kau serta adikmu tentunya capai sekali malam ini, Sujud berjongkok diatas tikar sambil 
bicara dengan Martiman yang sedang rebah berbaring. Sedangkan Martinem sudah tidur pulas 
disebelahnya. — Maka kau tinggal saja disini mengaso, sambil menunggu adikmu … ---
Apakah kang Sujud mau nonton lagi sekarang ? Tanya Martiman demi mendengar perkataan 
Sujud. 
— Yah, betul!! Aku akan pergi nonton sebentar. Aku kira pertunjukan malam ini kurang menarik 
untuk dilihat oleh anak2
kecil. Maka sebaiknya kau tinggal disini sambil mengaso saja. Tak lama lagi 
akupun tentu sudah kembali. Hati2lah jaga adikmu. Jika nanti ia terbangun jangan hendaknya kau 
bentak2
. Dan ini kantongku supaya kau rawat baik2
jangan sampai hilang. Atau sebaiknya kuikatkan 
dipinggangmu. Kau tahu sendiri, bahwa dalam kantong ini berisi barang2 berharga dan uang untuk bekal 
kita dalam perjalanan. — Berkata demikian Sujud melepaskan tali ikat pinggangnya dimana kantong kulit 
itu tergantung, yang segera disambut oleh Martiman setelah ia bangkit berjongkok didepannya. 
— Akupun dapat mengikatkan sendiri, kang Sujud! — Dan dengan rapihnya Martiman mengikat 
kantong kulit itu dipinggangnya sendiri dengan tali ikat pinggang Sujud. 
— Tapi, betul ya kang, jangan lama2 pergimu ….— 
— Tak usah kau kuatir. — Jawabnya. — Dan nanti kalau adikmu terbangun dan minta makanan, 
belikan saja diwarung, apa yang dikehendakinya dengan uang yang ada dikantong itu. 
Tanpa menunggu jawaban. Sujud bangkit berdiri serta meninggalkan Martiman dan Martinem, 
untuk menuju ke panggung pertunjukan yang dekat letaknya dengan tempat mereka bermalam.
Namun masih juga terdengar suara Martiman lapat2
, Kang Sujud, jangan lama2 pergi. 
Sebagai anak pemuda tanggung, pertunjukan malam ini memang sangat menarik bagi Sujud. 
Sejak hari kemarin ia sebenarnya telah menanti2
saat dimulainya pertunjukan olah kanuragan, walaupun 
semasa ia tinggal di Senapaten Kota Raja sering melihatnya. Kiranya bukan ia saja yang gemar akan 
pertunjukan semacam itu. Ternyata orang2
telah berjejal berdesakan untuk dapat melihat dengan jelas. — Wah terlambat datangku — pikir Sujud. Setapak demi setapak ia mendesak maju, hingga 
achirnya ia dapat berdiri didepan seperti waktu kemarin. Kini ia tidak lagi memperhatikan tamu2
undangan yang duduk berderet2 didepannya. Pandangan dan perhatiannya langsung ditujukan 
kepanggung, dimana empat orang pemuda dengan pakaiannya serba hijau terbuat dari sutra, dengan 
masing2 memakai tanda lambang kebesaran perguruan "Baskara Mijil" didada kirinya, sedang bertarung 
memamerkan ketangkasannya dengan diiringi oleh suara gamelan. Gerakan jurus2 pukulan, tendangan 
dan tangkisannya sedemikian indah, hingga lebih banyak menyerupai tarian daripada olah krida yudha. 
Ya, memang ini adalah gerakan jurus kembang2
ciptaan perguruan Baskara Mijil yang dititik beratkan 
pada keindahan gerakan yang disesuaikan dengan irama gamelan. 
Keempat pemuda murid Kyai Singayudha yang sedang berada diatas panggung itu, silih berganti 
menyerang dan mengelak dengan gaya gerakannya yang ,kadang2
sangat lambat, dan tiba2 berobah 
menjadi lebih cepat, namun semua gerakannya tak meninggalkan irama suara gamelan. Tendangan kaki 
dan gerakan sampokannya selalu diiringi dengan tepukan kendang dan bunyinya gong. Bila dua orang 
melontarkan serangan, maka dua orang lainnya menghadapi dengan tangkisan ataupun mengelak 
dengan gerakan yang penuh bergaya. Tiba2
suara tepukan kendang terdengar lantang dan cepat. 
Dan bersamaan dengan irama gamelan yang lebih cepat itu, dua bilah klewang meluncur kearah 
mereka yang sedang bersilat. Dengan tangkas dan penuh gaya, meluncurnya klewang disambut dengan 
tangkapan tangan kanan masing2 dari dua pemuda yang sedang bersilat itu, dan tepat tertangkap pada 
gagangnya. Tepuk tangan dan sorak sorai pujian dari para penonton terdengar riuh ramai. Dan dua 
pemuda itupun segera bersenyum menyambut pujian yang tertuju padanya, Ternyata dua bilah klewang 
itu dilemparkan oleh dua orang temannya yang duduk dideretan terdepan, atas perintah gurunya. Kini 
pertunjukan pertarungan dengan jurus kembang2 masih terus berlangsung, dengan dua orang 
bersenjatakan klewang menghadapi dua orang bertangan kosong. Tak lama kemudian dua klewang 
serentak dapat terampas oleh yang bertangan kosong dan kini bergantian yang bersenjatakan klewang. 
Suara gamelan bertalu talu dan tepukan kendangpun terdengar cepat dan nyaring, mengiringi gerakan2
jurus2
serangan klewang yang bertubi-tubi dengan cepatnya. Serangan klewang yang berobah-robah 
gerakannya, merupakan sinar putih yang bergulung-gulung menyelubungi tubuh lawan yang 
dihadapinya. Tusukan, sabetan dan babatan klewang yang cepat itu, diikuti oleh lawannya dengan 
gerakan yang indah dan tangkas untuk menghindari serangan. Dan kembali lagi kedua belah klewang 
dengan cepatnya berpindah ditangan lawan yang tadinya bertangan kosong. Dan orang2
yang 
menyaksikan bersorak sorai memuji ketangkasannya. 
Tetapi, tiba2
terdengar suara nyaring dengan nada ejekan: — Permainan anak kecil.—
Semua orang berpaling kearalt datangnya suara, dan suasana seketika menjadi, sepi dan tegang. 
Sementara itu terdengar tepukan tangan tiga kali dan suara gamelanpun segera berhenti. Seorang 
pemuda lalu yang memakai pakaian seragam sebagai murid Kyai Singayudha meloncat naik keatas 
panggung. Sedangkan empat orang pemuda yang sedang bersilat tadi segera menghentikan gerakannya 
dan berdiri berjajar dibelakangnya Dengan senyum yang dibuat-buat pemuda tadi …… menganggukan 
kepalanya kepada para penonton setelah mana ia bicara dengan nada yang tajam sekali — Tuan2
yang 
terhormat. Sekiranya ada yang kurang puas akan hidangan pertunjukan kami ini, sudilah naik ke atas 
panggung untuk memberikan petunjuk2
yang sangat bagi perguruan Basskara Mijil. Dengan senang hati, 
kami bersedia menerima petunjuk2
 Tian yang akan menambah pengalaman kami untuk mana kami 
ucapkan banyak terima kasih. —
Ucapan seorang pemuda, murid Baskara Mijil yang sangat sopan itu, jelas merupakan tantangan 
bagi orang yang baru saja berseru menghina pertunjukan tadi. Dan semua penonton menunggu dengan hati yang berdebar - debar akan munculnya seorang yang dimaksud. 
Tiba2
sebatang golok panjang meluncur laksana sambaran kilat, dan tertancap hampir 
seluruhnya diatas panggung, tepat didepannya seorang pemuda yang berbicara tadi. 
Hanya gagang dan sebagian dari mata golok itu yang kelihatan masih bergetar. Dan sesaat 
kemudian disusul berkelebatnya bayangan yang melayang naik keatas panggung dengan satu loncatan 
yang cukup mengagumkan. 
Orang itu masih muda dan berusia 25 tahun, sebaya dengan pemuda pamong murid perguruan 
Baskara Mijil yang kini berada dihadapannya. 
Ia mengenakan pakaian serba hitam dari bahan tenunan rakyat biasa, dengan kain sarung warna 
merah yang dilipatkan dan dipinggangnya sebelah kiri tergantung sarung tempat golok panjang yang 
ternyata telah kosong. Sepasang alisnya tebal dan bertemu pangkai. Sinar pandangan matanya tajam 
berkilat. Rambutnya gondrong tanpa ikat kepala dan raut mukanya persegi dengan warna kulitnya yang 
kehitam-hitaman. Urat urat dilehernya yang pendek itu kelihatan menonjol. Bentuk tubuhnya kokoh 
kekar dengan tingginya yang sedang. la berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang sambil menunjuk 
kearah pemuda yang dihadapannya dengan jari telunjuk tangan kanan. 
Lain halnya dengan seorang pemucla yang berada dihadapannya. la bertubuh langsing tetapi 
padat berisi. urat-uratnya kelihatan melingkar2 dikedua lengannya. Wajahnya memancarkan sinar 
ketenangan dengan warna kulitnya yang kekuning2an serta bersih. Rambutnya hitam terurai sampai 
dipundaknya dan tersisir rapih. Ikat kepalanya seutas sutra warna merah selebar dua jari, diikat erat2
diatas tengkuknya. 
Sedang para penonton masih berdebar-debar rnenyaksikan adegan yang tegang itu, sipemuda 
muridnya Kyai Singayudha cepat membungkukkan badannya serta mencabut golok panjang yang 
tertancap dihadapannya hanya dengan menggunakan japitan ibu jari dengan telunjuknya tangan 
kanannya, untuk kemudian diangsurkan kepada pemuda yang sedang berdiri dihadapannya dengan 
bertolak pinggang, yang ternyata adalah pemilik dari golok panjang itu. 
Melihat cara mencabut golok yang tertancap hampir seluruhnya dipapan kaju jati yang sekeras 
itu, hanya dengan mengunakan jepitan ibu jari dengan telunjuknya saja sudah dapat diterka bahwa 
pemuda pamong murid Kyai Singayudha terang memiliki tenaga dalam yang tidak dapat dipandang 
ringan. 
Dan para penonton kembali dibuat ternganga lebar olehnya. Lebih-lebih bagi mereka yang tidak 
mengerti mengenai ilmu kanuragan. Tanpa berkedip Sujud mencurahkan perhatiannya kearah adegan 
yang tegang itu. Rasanya ingin ia melihat lebih dekat lagi, agar dapat mengikuti dengan jelas. 
— Tuankah, yang mewakili suara gelap tadi?. Ingin kami mengetahui lebih dahulu nama dan 
gelar Tuan, sebelum memberikan petunjuk2
yang berharga bagi kami. Murid Kyai Singayudha berkata 
memecah kesunyian dengan suara lantang yang diiringi dengan senyuman mengejek. 
— Apa ?! Aku tidak mewakili siapapun!— Hadirku dipanggung ini tidak ada sangkut pautnya 
dengan suara gelap tadi. Aku hanya semata-mata melayani tantanganmu yang sombong itu, yang baru 
saja kau ucapkan. 
Dan aku adalah seorang rakyat biasa yang tak mempunyai gelar• Namaku Talang Pati. - Jawab 
pemuda lawannya dengan tak kalah lantangnya. 
Mendengar kata jawaban yang tegas dari Talang Pati itu, Braja Semanclang tersentak heran, 
hingga ia melangkah surut kebelakang satu tindak. Dugaan bahwa Talang Pati adalah orang yang 
mengeluarkan suara gelap yang berisi kata2 hinaan ataupun mewakili orang yang menghinanya ternyata 
tidak benar. Kini Braja Semandang, demikianlah nama pemuda pamong murid dari Baskara Mijil itu, dan 
memang semua dari perguruan Baskara Mijil memakai nama awalan Braja, tindakannya penuh 
keraguan. 
Ia memalingkan kepalanya sesaat kepada Singayudha gurunya yang duduk dideretan terdepan, 
untuk minta pertimbangan. Singayudha menyibakkan lengan jubahnya, sebagai isyarat jawaban, dan 
tahulah bahwa maksud gurunya terserah akan kebijaksanaan Braja Semandang sendiri. 
— Saudara Talang Pati! Jangan hendaknya salah terka!? Tantanganku hanya aku tujukan kepada 
orang yang menghina perguruan kami dimuka umum. Kami tidak bermaksud untuk bermusuhan dengan 
siapapun juga tanpa alasan. 
— Tetapi, bukankah ucapanmu yang penuh kesombongan tadi, sengaja untuk menghina semua. 
penonton? Apakah kau kira, bahwa semua orang jeri mendengar nama Baskara Mijil?! Ketahuilah, 
bahwa sekalipun gurumu yang naik dipanggung, aku tidak akan gentar menghadapinya. —
Kata2
ini tajam bukan kepalang. Mukanya yang kekuning kuningan mendadak sontak berobah 
menjadi merah padam, hingga ujung daun telinga Braja Semnandang serta matanya kelihatan merah 
menyala tak mampu menerima penghinaan yang menyinggung nama kebesaran gurunya. Badannya 
terasa menggigil bergetar menahan kemarahan yang meluap-luap. Jari-jari kedua belah tangannya 
meremas remas. 
Dengan suara parau dan gopoh ia bicara dengan nada bentakan. — Keparat Talang Pati! Tak 
usah kau menyinggung nama guruku! Aku Braja Semandang sanggup untuk menghajar mulutmu yang 
lancang! — Kata-kata itu diiringi dengan gerakan secepat kilat menghunus klewang dipinggangnya, dan 
langsung menyerang lawan dengan suatu loacatan kedepan dalam jurus tusukan maut. Tangan kirinya 
dengan jari-jarinya terbuka dengan diangkat keatas agak kebelakang mengikuti gerakan sebagai 
imbangan badan, dengan kakinya terbentang lebar. Para penonton banyak menjerit ngeri demi melihat 
serangan yang ganas serta tiba-tiba itu. Dan diantaranya banyak pula yang cepat-cepat berlalu 
meninggalkan alun-alun, karena takut akan meluaskan keributan. 
Sujud semakin tertarik akan pertarungan yang sungguh2
, yang kini tengah berlangsung. Tanpa 
disadarinya ia telah menerobos, batas tali kawat yang terpentang, dan berdiri lebih dekat. Sementara itu 
orang-orang tak berjejal jejal seperti semula.
Sewaktu orang-orang menjerit, hampir saja Sujud turut pula berteriak, karena melihat Talang 
Pati yang diserang dengan tiba-tiba itu masih saja bertolak pinggang dengan tangan kirinya, dan belum 
siap siaga untuk bertempur. – Bukankah ini serangan yang curang? — pikirnya. Akan tetapi 
kecemasannya segera lenyap, setelah melihat Talang Pati terhindar dari serangan maut dengan 
gerakannya yang sangat mengagumkan. 
Uklewang yang hampir mengenai dadanya, disambut dengan bacokan golok, sambil melangkah 
surut serong kesamping kiri dan muncratlah percikan api karena dua senjata beradu keras. Kedua 
duanya, masing- masing terkejut dan meloncat surut kebelakang satu langkah. Masing masing saling 
kagum akan ketangkasan dan kekuatan tenaga lawannya. Kembali kini rnereka saling serang menyerang 
dengan gerakan yang cepat dan sukar untuk diduga arah tujuannya. Tebangan, tusukan, bacokkan silih 
berganti dengan perubahan-perubahan yang amat cepat. Kedua - duanya menunjukkan ketangkasan 
yang seimbang. 
Gerakan klewang dan golok panjang demikian cepatnya, hingga sepintas lalu merupakan sinar 
putih yang ber gulung2 dan sambar menyambar menyelubungi kedua tubuh mereka yang sedang 
bertempur. 
Sedang mereka berternpur dengan serunya. tiba tiba terdengar suara orang berseru sambil diiringi dengan tawa yang bergelak gelak. — Haa. haa ….. haa …..! Bagus, bagus! Permainan anak kecil 
meningkat menjadi permainan bocah! Ha... haa hahaa —
Semua yang hadlir terkecuali yang sedang bertempur, memalingkan kepala kearah suara. 
Mereka ingin mengetahui gerangan siapakah yang berani berbuat demikian tak senonoh, dengan 
mengeluarkan kata-kata hinaan tanpa menghiraukan kemungkinan adanya orang-orang sakti lainnya 
yang hadir ditempat pertunjukkan itu. 
Bersamaan waktunya, dikala orang-orang sedang mencari dengan pandangan matanya masing2
kearah orang yang bersuara tadi …… 
Singayudha telah melesat laksana bayangan keatas panggung, dan langsung jatuh berdiri di-
tengah2 dua orang pemuda yang sedang bertempur dengan serunya.
Singayudha dapat memisah mereka yang sedang bertempur hanya dengan angin sambaran 
loncatannya saja, hingga kedua-duanya yang sedang bertempur masing-masing hampir jatuh terlentang, 
jelas menunjukkan bahwa Kyai Singayudha memiliki ilmu kanuragan yang sangat sakti. Dan demikian, 
dua orang pemuda seketika terpaksa berhenti bertempur. 
— Hai, Tua bangka Tadah Waja! Silahkan naik kepanggung, jika maksudmu hendak membalas 
dendam karena tidak puas dengan kejadian satu tahun yang lalu. 
– Singayudha berdiri tegak diatas panggung dengan berseru nyaring, sambil jari telunjuknya 
menunjuk kearah orang yang sedang berdiri bersandar pada tiang dimana tali kawat terikat, tepat 
dibelakang Sujud. Suaranya bergema berwibawa. 
Seorang yang telah lanjut usianya berkerudung kain panjang berkembang sebagai baju atasnya, 
sambil masih bersandar pada tiang climana tali kawat terpancang, ketawa terbahak-bahak seraya 
berkata. — Haa. haaa …..haaa …….! Kau kira aku wayang orang yang sedang ditanggap, hingga mau naik 
kepanggung, menemanimu?! Tak sudi aku menjadi singa tontonan! —
Kata-kata yang sederhana ini, merupakan sindiran penuh penghinaan yang amat tajam bagi 
Singayudha. 
Lebih tajam dari pada mata tajamnya klewang sendiri yang tergantung dibalik jubahnya. 
Tadah Waja bertubuh kurus. Rambutnya panjang terurai dan telah memutih. Matanya cekung 
dan hidungnya bengkok menyerupai patuk burung hantu. 
Mulutnya lebar dengan bibirnya yang tebal. Mukanya kasar penuh dengan jerawat, serta 
memancarkan sifat kebengisan. Kuku jari2
tangannya hitam dan panjang meruncing, mengandung racun 
yang sangat berbahaya. Ia berdiri bersandar sambil memegang tongkat besi sepanjang sedepa dan 
sebesar ibu jari kaki. 
Ia dulu adalah seperguruan dengan Tambakraga sewaktu menuntut ilmu hiam. Ialah suatu ilmu 
kesaktian kanuragan yang khusus untuk tujuan kejahatan. 
Pada satu tahun yang laln, sewaktu Tadah Waja sedang merampok didaerah Tegal dekat pantai 
utara beserta lima orang anak buahnya. Kebetulan Singayudha berada pula didaerah itu dengan 
diiringkan oleh empat puluh muridnya. Akhirnya pertempuran sengit terjadi. Lima orang murid 
Singayudha roboh terluka. Akan tetapi karena jumlah murid Singayudha jauh lebih besar dari pada 
rampok, maka akhirnya Tadah Waja terpaksa lari meninggalkan gelanggang dengan menderita luka 
dipundaknya, terkena sebatang anak panah yang dilepaskan oleh para murid per-guruan Baskara Mijil. 
Disamping itu, seorang anak buah Tadah Waja terpaksa ditinggalkan karena mati tertusuk klewang 
didadanya. 
Dengan demikian perbuatan kejahatan dapat digagalkan sama sekali oleh Singayudha berserta 
murid-muridnya. Dan semenjak itu nama Singayudha dengan perguruannya Baskara Mijil bertambah luas pengaruhnya. 
Dengan diliputi rasa dendam kesumat, semula Tadah Waja pergi kehutan Wonogiri, dengan 
maksud akan minta bantuan pada saudara seperguruannya Tambakraga yang sakti itu. Akan tetapi 
kenyataannya Tambakraga telah membubarkan sarang rampoknya dan kini telah pula menjadi seorang 
petapa di Gunung Lawu, karena menginsyafi akan kesesatannya dalam jalan hidupnya yang telah 
ditempuknya. (Baca Seri Pendekar Majapahit). 
Setelah mengetahui,bahwa Singayudha akan mengantar anaknya yang menjadi mempelai lelaki 
ke Banjararja dengan hanya diiringkan oleh empat puluh orang muridnya, Tadah Waja sengaja 
bermaksud hendak membalas dendam ditempat keramaian itu. Ia datang di Banjararja dengan 
membawa anak buahnya yang dua kali lipat jumlahnya. Anak buahnya adalah terdiri dari pada para 
penjahat yang telah tunduk dibawah perintahnya. Dan diantaranya terdapat pula Durga Saputra sebagai 
anggauta baru, akan tetapi karena kesaktiannya ia menjadi salah satu anak buah yang terpercaja. 
Demi mencapai tujuannya, Tadah Waja tak segan2 menggunakan siasat yang licik dan ganas. 
Sebagian anak buahnya tersebar diantara para perion-ton jan; berjejal-jejai dialun abin itu. 
Sedangkan sebagian lagi berada disekitar gedung Kebanjaran Kapanewon, dengan tujuan merampok 
habis seluruh isi Kapanewon, serta membakar gedungnya. Dan ini semua tinggal menunggu isyarat aba2
dari Tadah Waja yang kini sedang sengaja memancing keributan. Ia yakin, bahwa siasatnya yang telah 
diperhitungkan dengan masak2
tentu akan berhasil. Disamping tercapainya tujuan yang utama yaitu 
menghancurkan nama perguruan Baskara Mijil serta membunun Sgayudha, juga para anak buahnya 
akan gembira karena mendapat hasil harta rampokan. 
`Sebagai seorang sakti, Singayudha cepat dapat menekan perasaannya yang meluap-luap karena hinaan 
yang langsung menyinggung namanya. 
Tanpa menghiraukan kata2 Tadah Waja, ia berseru dengan suara yang mengandung daya 
kesaktiannya: — Tadah Waja.! Dahulu aku masih berlaku lapang, dan memberikan kesempatan untuk 
hidup paciamu, seharusnya kau ber-terima kasih padaku dan menginsyafi akan kesesatanmu dalam 
menempuh jalan hidupmu. Tak kuduga, bahwa hari ini kau sengaja datang mengantarkan jiwamu! —
Suaranya rnenggetar memekakkan telinga dengan penuh wibawa membuat para muridnya sendiri 
menggigil ketakutan. Demikian pula para penonton yang tak memiliki kepandaian. 
Ha … haaaa … haaaa …! Singa barangan yang pandai membual! Bukan aku, tetapi kaulah hari ini 
yang akan kehilangan kepalamu! Terimalah ini.. sebagai ganti jiwaku!—
Menjawab demikian Tadah Waja tiba2 melemparkan Sujud yang sedang berdiri ternganga 
didepannya, kearah Singayudha. 
Sujud yang tak mengira, bahwa dirinya yang akan di jadikan bulan- bulanan tak sempat 
mengelak sama sekali. Sewaktu baju dipunggungnia dicengkeram oleh Tadah Waja dan kemudian 
dilemparkan. Kini ia tinggal menerima nasib kelanjutannya, namun sebagai murid Dadung Ngawuk masih 
juga ia dapat berjungkir balik diudara, untuk ber-jaga-jaga menghadapi serangan dari penerima 
tubuhnya. 
Demi melihat berjungkir baliknya tubuh seorang anak tanggung kearahnya, Singayudha berseru 
terkejut sambil mengelak satu tindak kesamping. Sebagai seorang guru kanuragan yang telah memiliki 
nama yang harum, ia tak mau menyerang orang yang ia sendiri belum tahu siapa adanya. Tangan
kanannya diangsurkan kedepan untuk menangkap tubuh Sujud yang meluncur bagaikan bola kearahnya. 
Akan tetapi belum juga tangannya menyentuh tubuh Sujud, tiba2
salah seorang tamu undangan 
yang rnengenakan pakaian kebesaran sebagai Bupati Narapraja, melesat bagaikan berkelebatnya 
bayangan dan menyambar tubuh Sujud serta menghilang dibalik orang2 penonton yang sedang riuh berebut diujung untuk meninggalkan tempat yang mulai gaduh itu.
— Hai.... berhenti! — Durga Saputra berseru sambil lari mengejar- — Bapak Tadah Waja! Yang 
lari itu adalah Wirahadinata Indramayu. —
Bersamaan waktunya Singayudha telah meloncat turun dan langsung menyerang Tadah Waja 
dengan sambaran angin pukulannya. 
Mendapat serangan yang tiba2
itu, Tadah Waja mendadak mengeluarkan suara seruannya yang 
tinggi melengking, untuk kemudian meloncat surut kebelakang dua langkah, dan lari melesat 
meninggalkan gelanggang dengan berseru: — Kejarlah aku, jika kau ingin kehilangan kepalamu. —
Ia sengaja meninggalkan gelanggang untuk memancing agar Singayudha lari mengejarnya. 
Tanpa berfikir panjang Singayudha melesat lari mengejar dengan diikuti oleh sebagian anak buahnya. 
Dan bersamaan waktunya dengan melesatnya Singayudha, nyala api telah menjilat2
gedung Kebanjaran 
Kepanewon dari segenap penjuru.
*
**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa