DITEGUR KAKAKNYA secara demikian, Martinem malah semakin menangis terisak-isak, sambil bicara
dengan kata-katanya yang terputus-putus.
— Aku . . . tak mau tidur ….. Aku pergi ….. sendirian . . . Biar tak diantar . . . . aku ... berani …..
— Jangan menangis, Nem!. Turutilah nasehat kakakmu. Besok kita bersama-sama pergi nonton
wayang golek, dan untukmu akan kubelikan mainan katak-katakan yang bisa berbunyi nyaring itu …..
atau payung kecil biar kalau kau berjalan tidak kepanasan. — Sujud menghiburnya serta bangkit
berjongkok sambil membelai rambut Martinem.
Akan tetapi semua kata-katanya itu seakan-akan tak didengarnya sama sekali, dan Martinem
masih saja terus menangis ter-isak isak, sambil bicara —Tidak …… aku mau pergi ….. sekarang …..
sendirian …..---
Martiman telah tak sabar lagi mendengar rengekan adiknya itu. Sambil bangkit berdiri, ia
membentak2
kasar. — Memang dasar anak bandel! Sekali tidak, tetap tidak! Tahu! Jika kau tetap bandel
akan kujewer telingamu. —
Isak tangisnya Martinem bukannya mereda, akan tetapi bahkan bertambah keras, hingga bibi
pemilik warung itu menjenguknya sebentar sambil menghibur dengan lemah lembut. Namun Martinem
tetap menangis juga.
— Sudahlah. Nem! Jangan menangis! Asalkan kau berjanji akan melihat sebentar, akan
kuantarkan sekarang. — Tiba.-tiba Sujud berkata menyanggupi. Kiranya ia sangat kasihan demi melihat
Martinem menangis tersedu sedan itu Seketika itu juga setelah mendengar kesanggupan Sujud
tangisnya berhenti. Sambil mengusapi air mata yang membasahi muka dengan lengannya, Martinem
bangkit untuk membetulkan pakaiannya, sementara Sujud mengikat kantong kulitnya dengan ikat
pinggangnya erat-erat dipinggangnya.
— Man, kau mau ikut atau tidak?. Jika sekiranya lelah, tinggal saja disini. Aku akan mengantar
adikmu sebentar, biar tak rewel lagi! Ach ….. aku ikut pergi kang Sujud. Tak enak untuk tinggal sendirian. —
Dan sebentar kemudian mereka bertiga telah berada ditengah tengah orang yang berjejal jejal
mendekati panggung, dimana akan diadakan pertunjukkan keramaian.
Dengan Martinem dipundaknya serta Martiman disisinya sambil memegang erat2 pada ikat
pinggangnya, Sujud mendesak orang2
yang sedang berjejal jejal itu, untuk lebih mendekat didepan
panggung. Bentakan dan makian orang2
yang terinjak oleh kakinya, tidak dihiraukan sama sekali.
Ia merasa lega dan bersenyum puas setelah berhasil berdiri didepan sendiri, hingga menempel
pada kawat yang terpentang sebagai batas antara tamu2 undangan yang duduk berderet2 didepannya.
Suara gamelan bertalu-talu memekakkan telinga, namun pertunjukkan tari2an memang belum dimulai.
Sedangkan orang ber-jejal2 padat berdesak, suaranya gemerunggung seperti lebah disarangnya.
Martiman dan Martinem tak henti2nya bersenyum kagum melihat keindahan pakaian para tamu
undangan yang ber-aneka warna dan serba mewah itu, seakan2 para tamu undangan itu saling berebut
perhatian akan pakaian yang dikenakan. Ada yang berbaju sutra warna merah dengan kancing2nya
mutiara, dan ada yang berbaju sutra biru dengan kelat bahu bertatahkan ular naga terbuat dari emas
murni, dan ada pula yang memakai sisir mas clengan bermata batu berlian diatas kepalanya seperti
mahkota.
Sedangkan para tamu undangan wanita kesemuanya memakai perhiasan yang serba
bermatakan berlian. Hidangan makanan untuk para tamu2 undangan mengalir terus tak ada putusnya,
membuat kepinginnya rakyat yang berjejal2 berdiri melihatnya. Melihat pesta semacam itu, Sujud
teringat kembali akan masa kehidupannya sendiri, sewaktu mengikuti Senapati Indra Sambada. Tiap2
ada perayaan, ia tentu diperkenankan ikut serta, dan selalu mendapat penghormatan yang istimewa
pula. Betapa tidak! Indra Sambada yang mengaku sebagai kakak angkatnya adalah seorang Senapati
Manggala Pengawal Raja, yang disegani dan disanjung2 oleh segenap priyagung di Kota Raja. ( baca Seri
Pendekar Majapahit )
Tetapi kini Sujud dianggapnya sebagai anak jelata, yang tak dikenal oleh orang2
yang berpesta
pora itu. Seorangpun tak ada yang menegur ataupun memperhatikannya. Dan ini semua adalah
kesalahannya sendiri yang telah disengaja. Ia memperhatikan wajah2 para tamu undangan satu demi
satu yang dapat dilihatnya, barangkali saja ada yang pernah dikenalnya. Akan tetapi kiranya sia2 belaka.
Para tamu2
yang berada jauh dari padanya sukar untuk diteliti satu persatu.
Tiba2
suara gamelan bertalu lebih keras dan nyaring. Dan para penyambut tamu undangan
berdiri tegak berjajar didepan panggung dengan pakaian seragam sebagai punggawa narapraja. Seorang
tinggi besar dengan jenggotnya yang lebat, berjubah merah dengan gambar sulaman matahari terbit
didadanya berwarna kuning keemasan dan diiringkan oleh empat puluh pemuda berbaju sutra hijau
dengan tanda gambar yang sama didadanya masing2
, telah datang dari arah gedung Kebanjaran menuju
kederetan bangku2
terdepan yang masih kosong itu, yang memang di sediakan untuknya.
Itulah orang gagah yang terkenal shakti, Kyai Singayudha, pemimpin dan pendiri perguruan ilmu
kanuragan "BASKARA MIJIL", diiringkan oleh para murid2nya yang masing2 bersenjatakan klewang,
tergantung dipinggangnya. Ia berjalan melangkahkan kakinya dengan tenang seakan-akan mengikuti
irama suara gamelan sambil mengangguk - anggukkan kepalanya dengan diiringi senyuman kearah para
tamu yang serentak berdiri menyambut kedatangannya.
Panewu Arjasuralaga dalam pakaian kebesarannya sebagai Narapraja beserta isterinya berkenan
menyambutnya sendiri atas kedatangannya tamu ayah menantunya yang ia banggakan itu. Dengan serta
merta Panewu Arjaswalaga suami isteri mempersilahkan Kyai Singayudha duduk ditempat terdepan
yang telah disediakan, dekat berjajar dengannya. Sementara para tamu telah duduk kembali ditempat masing2
. Para murid Baskara Mijil masing2
mengambil tempat duduk dibaris kedua, berjajar dibelakang Kyai Singayudha. Suara tepukan tangan tiga
kali terdengar nyaring, dan kini gamelan berhenti seketika.
Seorang pengacara dengan memamerkan ketangkasannya melayang dengan satu loncatan naik
dipanggung. Orangnya masih muda dan tegap perkasa. Ia mengenakan pakaian kebesaran lengkap
sebagai Lurah Tamtama Kerajaan. Ia adalah adik kandung dari Panewu Arjasuralaga, yang menjabat
lurah tamtama di Kerajaan di Kota Raja. Ialah yang dibanggakan selalu oleh kakaknya dengan
pengharapan agar kelak dapat menggantikan kedudukannya sebagai Panewu Kepala Daerah Kebanjaran
Banjararja. Kini ia diserahi tugas sebagai pengacara untuk mewakilinya menyambut para tamu2
yang di
undang. Perhatian para tamu dan orang2
yang menyaksikan keramaian itu kini tertuju kepada Lurah
Tamtama Arjarempaka si pengacara.
Dengan senyuman yang dibuat - buatnya sambil mengangguk2
kan kepalanya kepada para tamu,
ia berbicara lantang dalam kata bahasanya yang lancar.
Dengan singkat dan jelas ia sebagai wakil tuan rumah, menyampaikan terima kasihnya akan
kehadiran para tamu yang akan menyaksikan pertunjukan kesenian pada malam ini. Dan berulang kali ia
mengucapkan kata2
sanjungannya, penuh rasa kebanggaan demi mengangkat nama kebesaran Kyai
Singayudha, sebagai tamu kehormatannya.
Ia tak lupa pula mengutarakan, bahwa pertunjukan yang diselenggarakan pada malam ini adalah
sumbangan dari perguruan Baskara Mijil.
Tepuk tangan para hadirin segera terdengar gegap gempita, setelah pengacara selesai berbicara
dan melayang turun dari panggung. Suara gamelanpun segera terdengar ber-talu2
kembali.
Martinem yang duduk dipundak kiri Sujud turut pula bertepuk tangan sambil berseru
kegirangan, tanpa menghiraukan teguran Martiman yang selalu melarangnya, karena takut mengganggu
orang2
sekitarnya. Tak lama kemudian, muncul seorang gadis remaja yang cantik jelita dalam pakaian
wayang yang indah, duduk bersila diatas panggung, dan menyembah, setelah mana mengenakan topeng
yang berwajah priya yang telah berada dipangkuannya. Dengan diiringi suara gamelan, ia menari-nari
dengan gerak geriknya tarian seorang priya. Gerakannya tangkas dan gagah. Tarian yang
menggambarkan kegagahan seorang perwira yang sedang mengenakan pakaian tamtamanya untuk siap
maju kemedan laga ……
Suara gamelan seirama dengan lantangnya kendang, namun tepat mengikuti gerakan tariannya
yang gagah dan mempersonakan. Tangan kirinya bertolak pinggang sambil menggerak2
kan sampur
dengan jari2nya yang halus dan runcing, sedangkan tangan kanannya mengepal dengan ibu jari
menunjuk kearah mulutnya sambil melagak lagak, mengikuti suara tawa bergelak-gelak dari ki Dalang,
yang diiringi dengan suara gamelan serta kendang, seirama dengan gayanya penari.
Sambil memukul gamelan, para penabuh bersorak sorak mengikuti irama gending, menambah
meriahnya suasana. Dengan langkahnya yang bergaya, kini penari kelana topeng berjalan berputaran
diatas panggung. Para tamu asyik terpaku melihat gerakannya. Sungguh merupakan tarian yang indah
dan mengesankan. Suatu seni tari daerah yang bernilai tinggi.
Sebentar - bentar para tamu bertepuk tangan, memuji akan keindahan tariannya. Dan tak henti-
hentinya para tamu dan pengunjung lainnya menyatakan kekagumannya akan kelincahan dan
kegagahannya si penari, yang bukan lain adalah seorang gadis remaja yang cantik jelita tadi.
Dengan gayanya yang lemah gemulai, kini si penari duduk bersila kembali dan membuka
topengnya, untuk kemudian menyembah kepada para tamu sambil menundukkan kepalanya suatu
tanda bahwa tarian topeng yang dipentaskan telah berakhir, dan gamelanpun mengikuti berhenti bertalu.
Kembali suara tepuk tangan tendengar gegap gempita, memekakkan telinga susul menyusul tak
henti-hentinya. Martinem tak ketinggalan turut pula bersorak. Ternyata tarian daerah yang
disumbangkan oleh perguruan Baskara Mijil dapat memikat hati para tamu2 pengunjung, dan
menambah keharuman nama perguruan yang telah terkenal itu.
Menyusul kini „tari topeng perang" ciptaan Kyai Singayudha sendiri. Suara gamelan dengan
gending2nya, yang berirama pelan, dengan diiringi tiupan suling yang bernada tinggi mengalun
melengking, menyayat nyayat hati pendengarnya. Seorang dara lain, berpakaian wayang seperti seorang
ksatria dengan mengenakan keris dipinggangnya, berjalan dengan penuh gaya lemah gemulai mengikuti
irama gamelan. Selang lima langkah, dengan gaya tariannya yang indah, ia mulai mengenakan
topengnya yang melukiskan wajah seorang ksatria yang memiliki budi pekerti yang halus serta luhur.
Tarian itu menggambarkan sewaktu Sang Arjuna sedang berduka dan berkelana ditengah hutan. Tak
lama kemudian, irama gamelan berobah menjadi lebih cepat bertalu, dan suara kendang terdengar
lantang kembali. Disusul munculnya seekor harimau gembong dengan loacatan yang tangkas, dan jatuh
berdiri diatas empat kakinya didepan Sang Arjuna. Gerakan loncatannya sangat indah dengan tak
meninggalkan irama gamelan dan kendang yang berbunyi mengumandang.
Kiranya kulit harimau itu hanya terbuat dari bahan kain yang tebal dan dilukis dengan cat, tak
ubahnya seperti harimau sungguh-sungguh. Kepalanya terbuat dari bahan kardus dengan kumis-
kumisnya dari ijuk yang dicat putih, mengkilat, seakan-akan merupakan harimau yang ganas siap untuk
menerkam mangsanya. la diperankan oleh seorang priya yang berada didalamnya. Kepalanya
menggeleng2 mengikuti suara auma dalang dan diiringi oleh suara tepukan kendang dan gamelan.
Para penonton diam tak berkedip, sambil membuka telinganya lebar-lebar mendengarkan ki
dalang yang sedang bercerita dengan masih diiringi oleh suara gamelan yang mengalun pelan ….
Tiba-tiba gamelan bertalu2 dengan irama yang ramai, dan suara tepukan kending terdengar
Iantang serta cepat. Harimau meloncat kedepan dengan gaya terkaman, melintasi diatas kepala Sang
Arjuna, yang dengan tangkasnya mengelak, menundukkan badannya dalam gerak tarian yang sangat
indah mengikuti suara irama gamelan. Harimau jatuh bergulingan dibelakang Sang Arjuna, dan suara
kendang pun mengikuti laksana genderang bertalu. Semua berseru kagum akan ketangkasan dan
indahnya tarian perang ini. Jelas bahwa orang yang memegang peranan sebagai harimau, memiliki ilmu
kanuragan yang cukup mentakjubkan.
Sang Arjuna kini menghunus kerisnya dan menari-nari dengan gajanya yang indah sambil
menggenggam keris terhunus ditangan kanannya. Sementara itu harimau menggerak2
kan kakinya
sambil menggeliat, mengikuti suara gamelan. Kini pertarungan menjadi lebih seru lagi, namun tetap
dalam gaya tarian yang diiringi suara gamelan dengan irama2
yang sesuai dengan selera gaya tariannya.
Tari pertarungan itu berachir dengan kemenangan dipihak Sang Arjuna, sedangkan harimau yang
tertusuk oleh keris pusaka Sang Arjuna, mati seketika dan menjelma menjadi Batara Kamajaya.
Tepuk tangan dan sorak sorai para penonton, terdengar lebih riuh lagi, setelah tari topeng itu
berachir. Kiranya tarian yang demikian indah, tak pernah disaksikan sebelumnya oleh para penonton.
Dan memang baru kali inilah tari perang topeng ciptaan Kyai ingayuha dipentaskan.
Tari topeng telah berakhir, dan acara dilanjutkan dengan pertunjukan wayang golek yang akan
berlangsung hingga esok siang hari. Wayang golek adalah pertunjukan yang digemari oleh segenap
lapisan rakyat didaerah ilu. Sementara wayang2nya diatur dan alat-alatnya dipersiapkan, gamelan masih
tetap terus mengumandang bertalu talu.
Diantara para tamu banyak pula yang mengundurkan diri untuk beristirahat karena masih ingin menyaksikan kerarnaian2 pada malam2 berikutnya.
— Nem, ayo kita pulang kepenginapan!! Aku telah lelah dan mengantuk. — Sujud berkata, pada
Martinem.
— Sebentar lagi, kang Sujud ! ! Aku belum ngantuk. Jawab Martinem dengan masih duduk
dipundak Sujud.
— Ayo, ….. kita tinggalkan Martinem disini sendiri, kang Sujud ! ! Biar ia puas melihat wayang
golek sendirian sampai, esok siang !!! Martiman memotong bicara dengan nada marah.
-- Man, kau jangan selalu memarahi adikmu. Ajo, Nem kita pulang dulu, besok pagi kita nonton
lagi. Sambil membeli mainan yang kujanjikan tadi, Sujud berkata lembut.
— Tapi, besok pagi kita pergi lagi melihat lho, kang ! Jangan bohong ! ! !. Martinem menjawab,
manja.
— Yaaa . . . Besok pagi kita pasti nonton lagi ! !. Ayo . . .kita pulang sekarang dan jangan rewel
lagi …… —
Mereka bertiga berjalan bergandengan menuju kewarung tempat mereka bermalam. Waktu itu
belum lewat tengah malam, namun mereka bertiga telah merasa lelah dan mengantuk, karena siang tadi
habis menempuh perjalanan jauh baginya.
*
* *
— Man, kau serta adikmu tentunya capai sekali malam ini, Sujud berjongkok diatas tikar sambil
bicara dengan Martiman yang sedang rebah berbaring. Sedangkan Martinem sudah tidur pulas
disebelahnya. — Maka kau tinggal saja disini mengaso, sambil menunggu adikmu … ---
Apakah kang Sujud mau nonton lagi sekarang ? Tanya Martiman demi mendengar perkataan
Sujud.
— Yah, betul!! Aku akan pergi nonton sebentar. Aku kira pertunjukan malam ini kurang menarik
untuk dilihat oleh anak2
kecil. Maka sebaiknya kau tinggal disini sambil mengaso saja. Tak lama lagi
akupun tentu sudah kembali. Hati2lah jaga adikmu. Jika nanti ia terbangun jangan hendaknya kau
bentak2
. Dan ini kantongku supaya kau rawat baik2
jangan sampai hilang. Atau sebaiknya kuikatkan
dipinggangmu. Kau tahu sendiri, bahwa dalam kantong ini berisi barang2 berharga dan uang untuk bekal
kita dalam perjalanan. — Berkata demikian Sujud melepaskan tali ikat pinggangnya dimana kantong kulit
itu tergantung, yang segera disambut oleh Martiman setelah ia bangkit berjongkok didepannya.
— Akupun dapat mengikatkan sendiri, kang Sujud! — Dan dengan rapihnya Martiman mengikat
kantong kulit itu dipinggangnya sendiri dengan tali ikat pinggang Sujud.
— Tapi, betul ya kang, jangan lama2 pergimu ….—
— Tak usah kau kuatir. — Jawabnya. — Dan nanti kalau adikmu terbangun dan minta makanan,
belikan saja diwarung, apa yang dikehendakinya dengan uang yang ada dikantong itu.
Tanpa menunggu jawaban. Sujud bangkit berdiri serta meninggalkan Martiman dan Martinem,
untuk menuju ke panggung pertunjukan yang dekat letaknya dengan tempat mereka bermalam.
Namun masih juga terdengar suara Martiman lapat2
, Kang Sujud, jangan lama2 pergi.
Sebagai anak pemuda tanggung, pertunjukan malam ini memang sangat menarik bagi Sujud.
Sejak hari kemarin ia sebenarnya telah menanti2
saat dimulainya pertunjukan olah kanuragan, walaupun
semasa ia tinggal di Senapaten Kota Raja sering melihatnya. Kiranya bukan ia saja yang gemar akan
pertunjukan semacam itu. Ternyata orang2
telah berjejal berdesakan untuk dapat melihat dengan jelas. — Wah terlambat datangku — pikir Sujud. Setapak demi setapak ia mendesak maju, hingga
achirnya ia dapat berdiri didepan seperti waktu kemarin. Kini ia tidak lagi memperhatikan tamu2
undangan yang duduk berderet2 didepannya. Pandangan dan perhatiannya langsung ditujukan
kepanggung, dimana empat orang pemuda dengan pakaiannya serba hijau terbuat dari sutra, dengan
masing2 memakai tanda lambang kebesaran perguruan "Baskara Mijil" didada kirinya, sedang bertarung
memamerkan ketangkasannya dengan diiringi oleh suara gamelan. Gerakan jurus2 pukulan, tendangan
dan tangkisannya sedemikian indah, hingga lebih banyak menyerupai tarian daripada olah krida yudha.
Ya, memang ini adalah gerakan jurus kembang2
ciptaan perguruan Baskara Mijil yang dititik beratkan
pada keindahan gerakan yang disesuaikan dengan irama gamelan.
Keempat pemuda murid Kyai Singayudha yang sedang berada diatas panggung itu, silih berganti
menyerang dan mengelak dengan gaya gerakannya yang ,kadang2
sangat lambat, dan tiba2 berobah
menjadi lebih cepat, namun semua gerakannya tak meninggalkan irama suara gamelan. Tendangan kaki
dan gerakan sampokannya selalu diiringi dengan tepukan kendang dan bunyinya gong. Bila dua orang
melontarkan serangan, maka dua orang lainnya menghadapi dengan tangkisan ataupun mengelak
dengan gerakan yang penuh bergaya. Tiba2
suara tepukan kendang terdengar lantang dan cepat.
Dan bersamaan dengan irama gamelan yang lebih cepat itu, dua bilah klewang meluncur kearah
mereka yang sedang bersilat. Dengan tangkas dan penuh gaya, meluncurnya klewang disambut dengan
tangkapan tangan kanan masing2 dari dua pemuda yang sedang bersilat itu, dan tepat tertangkap pada
gagangnya. Tepuk tangan dan sorak sorai pujian dari para penonton terdengar riuh ramai. Dan dua
pemuda itupun segera bersenyum menyambut pujian yang tertuju padanya, Ternyata dua bilah klewang
itu dilemparkan oleh dua orang temannya yang duduk dideretan terdepan, atas perintah gurunya. Kini
pertunjukan pertarungan dengan jurus kembang2 masih terus berlangsung, dengan dua orang
bersenjatakan klewang menghadapi dua orang bertangan kosong. Tak lama kemudian dua klewang
serentak dapat terampas oleh yang bertangan kosong dan kini bergantian yang bersenjatakan klewang.
Suara gamelan bertalu talu dan tepukan kendangpun terdengar cepat dan nyaring, mengiringi gerakan2
jurus2
serangan klewang yang bertubi-tubi dengan cepatnya. Serangan klewang yang berobah-robah
gerakannya, merupakan sinar putih yang bergulung-gulung menyelubungi tubuh lawan yang
dihadapinya. Tusukan, sabetan dan babatan klewang yang cepat itu, diikuti oleh lawannya dengan
gerakan yang indah dan tangkas untuk menghindari serangan. Dan kembali lagi kedua belah klewang
dengan cepatnya berpindah ditangan lawan yang tadinya bertangan kosong. Dan orang2
yang
menyaksikan bersorak sorai memuji ketangkasannya.
Tetapi, tiba2
terdengar suara nyaring dengan nada ejekan: — Permainan anak kecil.—
Semua orang berpaling kearalt datangnya suara, dan suasana seketika menjadi, sepi dan tegang.
Sementara itu terdengar tepukan tangan tiga kali dan suara gamelanpun segera berhenti. Seorang
pemuda lalu yang memakai pakaian seragam sebagai murid Kyai Singayudha meloncat naik keatas
panggung. Sedangkan empat orang pemuda yang sedang bersilat tadi segera menghentikan gerakannya
dan berdiri berjajar dibelakangnya Dengan senyum yang dibuat-buat pemuda tadi …… menganggukan
kepalanya kepada para penonton setelah mana ia bicara dengan nada yang tajam sekali — Tuan2
yang
terhormat. Sekiranya ada yang kurang puas akan hidangan pertunjukan kami ini, sudilah naik ke atas
panggung untuk memberikan petunjuk2
yang sangat bagi perguruan Basskara Mijil. Dengan senang hati,
kami bersedia menerima petunjuk2
Tian yang akan menambah pengalaman kami untuk mana kami
ucapkan banyak terima kasih. —
Ucapan seorang pemuda, murid Baskara Mijil yang sangat sopan itu, jelas merupakan tantangan
bagi orang yang baru saja berseru menghina pertunjukan tadi. Dan semua penonton menunggu dengan hati yang berdebar - debar akan munculnya seorang yang dimaksud.
Tiba2
sebatang golok panjang meluncur laksana sambaran kilat, dan tertancap hampir
seluruhnya diatas panggung, tepat didepannya seorang pemuda yang berbicara tadi.
Hanya gagang dan sebagian dari mata golok itu yang kelihatan masih bergetar. Dan sesaat
kemudian disusul berkelebatnya bayangan yang melayang naik keatas panggung dengan satu loncatan
yang cukup mengagumkan.
Orang itu masih muda dan berusia 25 tahun, sebaya dengan pemuda pamong murid perguruan
Baskara Mijil yang kini berada dihadapannya.
Ia mengenakan pakaian serba hitam dari bahan tenunan rakyat biasa, dengan kain sarung warna
merah yang dilipatkan dan dipinggangnya sebelah kiri tergantung sarung tempat golok panjang yang
ternyata telah kosong. Sepasang alisnya tebal dan bertemu pangkai. Sinar pandangan matanya tajam
berkilat. Rambutnya gondrong tanpa ikat kepala dan raut mukanya persegi dengan warna kulitnya yang
kehitam-hitaman. Urat urat dilehernya yang pendek itu kelihatan menonjol. Bentuk tubuhnya kokoh
kekar dengan tingginya yang sedang. la berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang sambil menunjuk
kearah pemuda yang dihadapannya dengan jari telunjuk tangan kanan.
Lain halnya dengan seorang pemucla yang berada dihadapannya. la bertubuh langsing tetapi
padat berisi. urat-uratnya kelihatan melingkar2 dikedua lengannya. Wajahnya memancarkan sinar
ketenangan dengan warna kulitnya yang kekuning2an serta bersih. Rambutnya hitam terurai sampai
dipundaknya dan tersisir rapih. Ikat kepalanya seutas sutra warna merah selebar dua jari, diikat erat2
diatas tengkuknya.
Sedang para penonton masih berdebar-debar rnenyaksikan adegan yang tegang itu, sipemuda
muridnya Kyai Singayudha cepat membungkukkan badannya serta mencabut golok panjang yang
tertancap dihadapannya hanya dengan menggunakan japitan ibu jari dengan telunjuknya tangan
kanannya, untuk kemudian diangsurkan kepada pemuda yang sedang berdiri dihadapannya dengan
bertolak pinggang, yang ternyata adalah pemilik dari golok panjang itu.
Melihat cara mencabut golok yang tertancap hampir seluruhnya dipapan kaju jati yang sekeras
itu, hanya dengan mengunakan jepitan ibu jari dengan telunjuknya saja sudah dapat diterka bahwa
pemuda pamong murid Kyai Singayudha terang memiliki tenaga dalam yang tidak dapat dipandang
ringan.
Dan para penonton kembali dibuat ternganga lebar olehnya. Lebih-lebih bagi mereka yang tidak
mengerti mengenai ilmu kanuragan. Tanpa berkedip Sujud mencurahkan perhatiannya kearah adegan
yang tegang itu. Rasanya ingin ia melihat lebih dekat lagi, agar dapat mengikuti dengan jelas.
— Tuankah, yang mewakili suara gelap tadi?. Ingin kami mengetahui lebih dahulu nama dan
gelar Tuan, sebelum memberikan petunjuk2
yang berharga bagi kami. Murid Kyai Singayudha berkata
memecah kesunyian dengan suara lantang yang diiringi dengan senyuman mengejek.
— Apa ?! Aku tidak mewakili siapapun!— Hadirku dipanggung ini tidak ada sangkut pautnya
dengan suara gelap tadi. Aku hanya semata-mata melayani tantanganmu yang sombong itu, yang baru
saja kau ucapkan.
Dan aku adalah seorang rakyat biasa yang tak mempunyai gelar• Namaku Talang Pati. - Jawab
pemuda lawannya dengan tak kalah lantangnya.
Mendengar kata jawaban yang tegas dari Talang Pati itu, Braja Semanclang tersentak heran,
hingga ia melangkah surut kebelakang satu tindak. Dugaan bahwa Talang Pati adalah orang yang
mengeluarkan suara gelap yang berisi kata2 hinaan ataupun mewakili orang yang menghinanya ternyata
tidak benar. Kini Braja Semandang, demikianlah nama pemuda pamong murid dari Baskara Mijil itu, dan
memang semua dari perguruan Baskara Mijil memakai nama awalan Braja, tindakannya penuh
keraguan.
Ia memalingkan kepalanya sesaat kepada Singayudha gurunya yang duduk dideretan terdepan,
untuk minta pertimbangan. Singayudha menyibakkan lengan jubahnya, sebagai isyarat jawaban, dan
tahulah bahwa maksud gurunya terserah akan kebijaksanaan Braja Semandang sendiri.
— Saudara Talang Pati! Jangan hendaknya salah terka!? Tantanganku hanya aku tujukan kepada
orang yang menghina perguruan kami dimuka umum. Kami tidak bermaksud untuk bermusuhan dengan
siapapun juga tanpa alasan.
— Tetapi, bukankah ucapanmu yang penuh kesombongan tadi, sengaja untuk menghina semua.
penonton? Apakah kau kira, bahwa semua orang jeri mendengar nama Baskara Mijil?! Ketahuilah,
bahwa sekalipun gurumu yang naik dipanggung, aku tidak akan gentar menghadapinya. —
Kata2
ini tajam bukan kepalang. Mukanya yang kekuning kuningan mendadak sontak berobah
menjadi merah padam, hingga ujung daun telinga Braja Semnandang serta matanya kelihatan merah
menyala tak mampu menerima penghinaan yang menyinggung nama kebesaran gurunya. Badannya
terasa menggigil bergetar menahan kemarahan yang meluap-luap. Jari-jari kedua belah tangannya
meremas remas.
Dengan suara parau dan gopoh ia bicara dengan nada bentakan. — Keparat Talang Pati! Tak
usah kau menyinggung nama guruku! Aku Braja Semandang sanggup untuk menghajar mulutmu yang
lancang! — Kata-kata itu diiringi dengan gerakan secepat kilat menghunus klewang dipinggangnya, dan
langsung menyerang lawan dengan suatu loacatan kedepan dalam jurus tusukan maut. Tangan kirinya
dengan jari-jarinya terbuka dengan diangkat keatas agak kebelakang mengikuti gerakan sebagai
imbangan badan, dengan kakinya terbentang lebar. Para penonton banyak menjerit ngeri demi melihat
serangan yang ganas serta tiba-tiba itu. Dan diantaranya banyak pula yang cepat-cepat berlalu
meninggalkan alun-alun, karena takut akan meluaskan keributan.
Sujud semakin tertarik akan pertarungan yang sungguh2
, yang kini tengah berlangsung. Tanpa
disadarinya ia telah menerobos, batas tali kawat yang terpentang, dan berdiri lebih dekat. Sementara itu
orang-orang tak berjejal jejal seperti semula.
Sewaktu orang-orang menjerit, hampir saja Sujud turut pula berteriak, karena melihat Talang
Pati yang diserang dengan tiba-tiba itu masih saja bertolak pinggang dengan tangan kirinya, dan belum
siap siaga untuk bertempur. – Bukankah ini serangan yang curang? — pikirnya. Akan tetapi
kecemasannya segera lenyap, setelah melihat Talang Pati terhindar dari serangan maut dengan
gerakannya yang sangat mengagumkan.
Uklewang yang hampir mengenai dadanya, disambut dengan bacokan golok, sambil melangkah
surut serong kesamping kiri dan muncratlah percikan api karena dua senjata beradu keras. Kedua
duanya, masing- masing terkejut dan meloncat surut kebelakang satu langkah. Masing masing saling
kagum akan ketangkasan dan kekuatan tenaga lawannya. Kembali kini rnereka saling serang menyerang
dengan gerakan yang cepat dan sukar untuk diduga arah tujuannya. Tebangan, tusukan, bacokkan silih
berganti dengan perubahan-perubahan yang amat cepat. Kedua - duanya menunjukkan ketangkasan
yang seimbang.
Gerakan klewang dan golok panjang demikian cepatnya, hingga sepintas lalu merupakan sinar
putih yang ber gulung2 dan sambar menyambar menyelubungi kedua tubuh mereka yang sedang
bertempur.
Sedang mereka berternpur dengan serunya. tiba tiba terdengar suara orang berseru sambil diiringi dengan tawa yang bergelak gelak. — Haa. haa ….. haa …..! Bagus, bagus! Permainan anak kecil
meningkat menjadi permainan bocah! Ha... haa hahaa —
Semua yang hadlir terkecuali yang sedang bertempur, memalingkan kepala kearah suara.
Mereka ingin mengetahui gerangan siapakah yang berani berbuat demikian tak senonoh, dengan
mengeluarkan kata-kata hinaan tanpa menghiraukan kemungkinan adanya orang-orang sakti lainnya
yang hadir ditempat pertunjukkan itu.
Bersamaan waktunya, dikala orang-orang sedang mencari dengan pandangan matanya masing2
kearah orang yang bersuara tadi ……
Singayudha telah melesat laksana bayangan keatas panggung, dan langsung jatuh berdiri di-
tengah2 dua orang pemuda yang sedang bertempur dengan serunya.
Singayudha dapat memisah mereka yang sedang bertempur hanya dengan angin sambaran
loncatannya saja, hingga kedua-duanya yang sedang bertempur masing-masing hampir jatuh terlentang,
jelas menunjukkan bahwa Kyai Singayudha memiliki ilmu kanuragan yang sangat sakti. Dan demikian,
dua orang pemuda seketika terpaksa berhenti bertempur.
— Hai, Tua bangka Tadah Waja! Silahkan naik kepanggung, jika maksudmu hendak membalas
dendam karena tidak puas dengan kejadian satu tahun yang lalu.
– Singayudha berdiri tegak diatas panggung dengan berseru nyaring, sambil jari telunjuknya
menunjuk kearah orang yang sedang berdiri bersandar pada tiang dimana tali kawat terikat, tepat
dibelakang Sujud. Suaranya bergema berwibawa.
Seorang yang telah lanjut usianya berkerudung kain panjang berkembang sebagai baju atasnya,
sambil masih bersandar pada tiang climana tali kawat terpancang, ketawa terbahak-bahak seraya
berkata. — Haa. haaa …..haaa …….! Kau kira aku wayang orang yang sedang ditanggap, hingga mau naik
kepanggung, menemanimu?! Tak sudi aku menjadi singa tontonan! —
Kata-kata yang sederhana ini, merupakan sindiran penuh penghinaan yang amat tajam bagi
Singayudha.
Lebih tajam dari pada mata tajamnya klewang sendiri yang tergantung dibalik jubahnya.
Tadah Waja bertubuh kurus. Rambutnya panjang terurai dan telah memutih. Matanya cekung
dan hidungnya bengkok menyerupai patuk burung hantu.
Mulutnya lebar dengan bibirnya yang tebal. Mukanya kasar penuh dengan jerawat, serta
memancarkan sifat kebengisan. Kuku jari2
tangannya hitam dan panjang meruncing, mengandung racun
yang sangat berbahaya. Ia berdiri bersandar sambil memegang tongkat besi sepanjang sedepa dan
sebesar ibu jari kaki.
Ia dulu adalah seperguruan dengan Tambakraga sewaktu menuntut ilmu hiam. Ialah suatu ilmu
kesaktian kanuragan yang khusus untuk tujuan kejahatan.
Pada satu tahun yang laln, sewaktu Tadah Waja sedang merampok didaerah Tegal dekat pantai
utara beserta lima orang anak buahnya. Kebetulan Singayudha berada pula didaerah itu dengan
diiringkan oleh empat puluh muridnya. Akhirnya pertempuran sengit terjadi. Lima orang murid
Singayudha roboh terluka. Akan tetapi karena jumlah murid Singayudha jauh lebih besar dari pada
rampok, maka akhirnya Tadah Waja terpaksa lari meninggalkan gelanggang dengan menderita luka
dipundaknya, terkena sebatang anak panah yang dilepaskan oleh para murid per-guruan Baskara Mijil.
Disamping itu, seorang anak buah Tadah Waja terpaksa ditinggalkan karena mati tertusuk klewang
didadanya.
Dengan demikian perbuatan kejahatan dapat digagalkan sama sekali oleh Singayudha berserta
murid-muridnya. Dan semenjak itu nama Singayudha dengan perguruannya Baskara Mijil bertambah luas pengaruhnya.
Dengan diliputi rasa dendam kesumat, semula Tadah Waja pergi kehutan Wonogiri, dengan
maksud akan minta bantuan pada saudara seperguruannya Tambakraga yang sakti itu. Akan tetapi
kenyataannya Tambakraga telah membubarkan sarang rampoknya dan kini telah pula menjadi seorang
petapa di Gunung Lawu, karena menginsyafi akan kesesatannya dalam jalan hidupnya yang telah
ditempuknya. (Baca Seri Pendekar Majapahit).
Setelah mengetahui,bahwa Singayudha akan mengantar anaknya yang menjadi mempelai lelaki
ke Banjararja dengan hanya diiringkan oleh empat puluh orang muridnya, Tadah Waja sengaja
bermaksud hendak membalas dendam ditempat keramaian itu. Ia datang di Banjararja dengan
membawa anak buahnya yang dua kali lipat jumlahnya. Anak buahnya adalah terdiri dari pada para
penjahat yang telah tunduk dibawah perintahnya. Dan diantaranya terdapat pula Durga Saputra sebagai
anggauta baru, akan tetapi karena kesaktiannya ia menjadi salah satu anak buah yang terpercaja.
Demi mencapai tujuannya, Tadah Waja tak segan2 menggunakan siasat yang licik dan ganas.
Sebagian anak buahnya tersebar diantara para perion-ton jan; berjejal-jejai dialun abin itu.
Sedangkan sebagian lagi berada disekitar gedung Kebanjaran Kapanewon, dengan tujuan merampok
habis seluruh isi Kapanewon, serta membakar gedungnya. Dan ini semua tinggal menunggu isyarat aba2
dari Tadah Waja yang kini sedang sengaja memancing keributan. Ia yakin, bahwa siasatnya yang telah
diperhitungkan dengan masak2
tentu akan berhasil. Disamping tercapainya tujuan yang utama yaitu
menghancurkan nama perguruan Baskara Mijil serta membunun Sgayudha, juga para anak buahnya
akan gembira karena mendapat hasil harta rampokan.
`Sebagai seorang sakti, Singayudha cepat dapat menekan perasaannya yang meluap-luap karena hinaan
yang langsung menyinggung namanya.
Tanpa menghiraukan kata2 Tadah Waja, ia berseru dengan suara yang mengandung daya
kesaktiannya: — Tadah Waja.! Dahulu aku masih berlaku lapang, dan memberikan kesempatan untuk
hidup paciamu, seharusnya kau ber-terima kasih padaku dan menginsyafi akan kesesatanmu dalam
menempuh jalan hidupmu. Tak kuduga, bahwa hari ini kau sengaja datang mengantarkan jiwamu! —
Suaranya rnenggetar memekakkan telinga dengan penuh wibawa membuat para muridnya sendiri
menggigil ketakutan. Demikian pula para penonton yang tak memiliki kepandaian.
Ha … haaaa … haaaa …! Singa barangan yang pandai membual! Bukan aku, tetapi kaulah hari ini
yang akan kehilangan kepalamu! Terimalah ini.. sebagai ganti jiwaku!—
Menjawab demikian Tadah Waja tiba2 melemparkan Sujud yang sedang berdiri ternganga
didepannya, kearah Singayudha.
Sujud yang tak mengira, bahwa dirinya yang akan di jadikan bulan- bulanan tak sempat
mengelak sama sekali. Sewaktu baju dipunggungnia dicengkeram oleh Tadah Waja dan kemudian
dilemparkan. Kini ia tinggal menerima nasib kelanjutannya, namun sebagai murid Dadung Ngawuk masih
juga ia dapat berjungkir balik diudara, untuk ber-jaga-jaga menghadapi serangan dari penerima
tubuhnya.
Demi melihat berjungkir baliknya tubuh seorang anak tanggung kearahnya, Singayudha berseru
terkejut sambil mengelak satu tindak kesamping. Sebagai seorang guru kanuragan yang telah memiliki
nama yang harum, ia tak mau menyerang orang yang ia sendiri belum tahu siapa adanya. Tangan
kanannya diangsurkan kedepan untuk menangkap tubuh Sujud yang meluncur bagaikan bola kearahnya.
Akan tetapi belum juga tangannya menyentuh tubuh Sujud, tiba2
salah seorang tamu undangan
yang rnengenakan pakaian kebesaran sebagai Bupati Narapraja, melesat bagaikan berkelebatnya
bayangan dan menyambar tubuh Sujud serta menghilang dibalik orang2 penonton yang sedang riuh berebut diujung untuk meninggalkan tempat yang mulai gaduh itu.
— Hai.... berhenti! — Durga Saputra berseru sambil lari mengejar- — Bapak Tadah Waja! Yang
lari itu adalah Wirahadinata Indramayu. —
Bersamaan waktunya Singayudha telah meloncat turun dan langsung menyerang Tadah Waja
dengan sambaran angin pukulannya.
Mendapat serangan yang tiba2
itu, Tadah Waja mendadak mengeluarkan suara seruannya yang
tinggi melengking, untuk kemudian meloncat surut kebelakang dua langkah, dan lari melesat
meninggalkan gelanggang dengan berseru: — Kejarlah aku, jika kau ingin kehilangan kepalamu. —
Ia sengaja meninggalkan gelanggang untuk memancing agar Singayudha lari mengejarnya.
Tanpa berfikir panjang Singayudha melesat lari mengejar dengan diikuti oleh sebagian anak buahnya.
Dan bersamaan waktunya dengan melesatnya Singayudha, nyala api telah menjilat2
gedung Kebanjaran
Kepanewon dari segenap penjuru.
*
**
Komentar
Posting Komentar