Langsung ke konten utama

PENDEKAR DARAH PAJAJARAN JILID 01 BAGIAN III


ANGAN ANGAN-nya merasa tidak menentu. 
Ia ingat kembali akan kasih sayang Senapati Manggala Muda Indra Sambada, yang selalu 
memperlakukan padanya sebagai adik kandungnya sendiri. 
Gedung Senapaten serta halamannya yang megah itu terbayang kembali dalam angan-
angannya. Juga Jaka Wulung dan Jaka Rimang yang selalu bersenyum dan melatihnya dalam tata bela 
diri dibawah asuhan kakaknya Indra Sambada kini membayang kembali dalam alam lamunannya. Dan 
semua itu membuatnya rindu ingin pulang kembaii ke Senapaten di kota Raja. Ia menyesal akan 
kepergiannya yang tanpa pamit itu. 
Kini lamunannya beralih kepada kasih sayang orang tua angkatnya Bupati Wirahadinata atau 
Kyai Tunggul, dan terutama pada Ibu angkatnya. Sejak kecil ia di timang2 dan dibelainya dengan mesra. 
Sifat lemah Iembut seorang Ibu dengan penuh rasa kasih sayang padanya, seakan-akan melintas dalam 
khajalannya …….. dan kini …… ia sebatang kara terlunta mengembara. Terasalah olehnya, bahwa ia 
sendiri tidak tahu siapakah ia, sebenarnya. Mungkinkah, ada orang yang senasib dengan dia? Tak tahu 
akan asal usulnya sendiri ? ….. 
Apakah ia sendiri yang memang ditakdirkan demikian? 
Jika ia sedih, pada siapakah ia harus mencurahkannya? Dan apabila ia senang, kepada siapakah ia harus 
memamerkan…..? Demi mengingat-ingat itu semua, air matanya berlinang-linang meleleh membasahi 
pipinya tidak terasa ….. dadanya terasa sesak dan isak tangisnya tak dapat ditahan. 
Siksaan jasmani yang belum lama dialami, dapat diatasi dengan ketabahan hatinya, namun 
siksaan bathin yang demikian ini, rasa2
-nya tidak mampu ia memikulnya.
Benar-benar dalam arti kata hidup sebatang kara ….. Tidak berayah, tidak beribu, bahkan 
mengenal wajahnyapun belum . .... tidak bersaudara dan ….. tidak tahu dimana ia dahulu dilahirkannya
….. . 
Ya! Tak ubahnya sebagaimana ia sekarang seorang diri ditengah tengah hutan belanrara, dan tidak 
mengenal arah yang harus dituju. Memikirkan itu semua, hatinya terasa sedih bagaikan disayat-sayat 
sembilu. Haruskah ia menerima begitu saja nasib yang malang itu? 
Ataukah ia harus berikhtiar, berdaya-upaya dengan segala kemampuan yang ada padanya, 
untuk mencari dimana tempat tiuggal orang tuanya yang sejati, jika masih hidup, dan dimana makamnya jika telah meninggal? 
Akan tetapi jika ia harus mencari, dimanakah ia harus mencarinya dalam dunia yang 
membentang luas ini, dan pada siapakah ia harus bertanya? Sampai pada pertanyaan2
inilah, ia selalu 
menghadapi jalan buntu. Pertanyaan yang ia sendiri tidak dapat mendapatkan jawabannya ….. Dan 
hanya air matanyalah yang selalu setia menemani dalam saat menanggung dukanya ….. 
— Ketahuilah, bahwa Dewata Yang Maha Agung dan Maha Pengasih dan Penyayang pada 
umatNya, akan selalu menyertai apabila kita selalu mengabdi padaNya. Dalam kegelapan, dimana kau 
tak dapat meraba dengan tanganmu, maka kau tidak perlu berkecil hati dan putus asa. Serahkanlah 
sepenuhnya kepada Dewata Yang Maha Agung. Dan mohonlah penerang padaNya. Percayalah, bahwa Ia 
akan selalu memberi, apa yang selalu kau mohon dari padaNya. 
Maka setiap saat, setiap kau bernafas, sebutlah selalu dalam bathinmu akan kebesaranNya. —
Ajaran - ajaran yang termuat dalam kitab Niti yang diajarkan oleh kakak angkatnya Indra Sambada, kini 
tibabtiba mengiang kembali ditelinganya. Kata demi kata terkumpul tersusun merupakan barisan2
kalimat, yang dapat diingat kembali keseluruhannya. 
Semakin lama semakin jelas, dan ia kini seperti orang yang tersentak bangun dari tidurnya. Perlahan 
lahan ia bangkit dan duduk bersila ditanah. Kepalanya menunduk. Matanya dipejamkan. Dan ia mulai 
bersamadhi, mengikuti ajaran kakak angkatnya….
Baru saja ia selesai dari semadhinya, tiba tiba terdengar suara tawa nyaring dari atas kepalanya. 
Ia terkejut sesaat dan mendongak keatas mencari dengan pandangannya ketempat arah datangnya 
suara. 
Seorang kakek-kakek gundul dengan hanya memakai cawat dari kulit ular sanca, duduk diatas 
dahan yang tinggi dari pohon jambu dengan ketawa ter-kekeh2
. Kumis dan jenggotnya yang tumbuh 
jarang itu telah berwarna putih semua dan sangat panjang. Tawa yang terkekeh kekeh itu diiringi 
dengan gerakan goyangan kakinya yang seirama dengan tingkah lakunya yang sinting. Dan disisinya 
duduk seekor kera, menirukan semua gerakan yang dilakukan oleh kakek gundul. 
— Hai, kakek gundul ! Tolonglah tunjukkan jalan yang terdekat untuk keluar dari hutan ini ! —
Sujud berseru. 
Akan tetapi kakek2
itu malah memperpanjang tawanya yang ter-kekeh2
, seakan-akan tidak 
memperdulikan pertanyaan yang ditujukan padanya. 
-- Kakek gundul !. Turunlah kemari sebentar !.— Sujud mengulang seruannya. 
— Hai!. .Anak gtlal. Disini tidak ada orang yang bernama kakek gundul! Jika kau perlu denganku 
naiklah kemari !— Jawab kakek2
itu sambil tertawa terkekeh dengan nada mengejek dan acuh tak acuh. 
— Siapakah namamu? Jika kau tidak mau kupanggil dengan kakek gundul.... ---
--- Anak gila.— Naiklah kemari dahulu, baru nanti kita bicara! !—
— Kakek gundul, aku tidak gila dan janganlah kau panggil aku dengan anak gila lagi. Namaku 
Sujud.—
Ketawa kakek2
itu semakin terdengar nyaring. Ha... Ha... haaa 
— Sekali lagi kau panggil aku dengan kakek gundul kepalamu akan kugunduli dengan pisau 
dapurmu itu, tahu! —
Tetapi anehnya, wajah kakek2
itu sedikttpun tidak menunjukkan kemarahan, walaupun kata-
katanya disertai ancaman. Dan ketawanya masih mengiringi kata katanya. — Panggillah aku kakek 
Dadung Ngawuk. Dan Iekaslah kau naik! ---
Kakek Dadung Ngawuk! Aku enggan untuk memanjat demikian tinggi. Sebaiknya kakek saja yang 
turun atau tolong tunjukkan kearah mana aku harus berjalan untuk cepat keluar dari hutan ini! Ha … haaa... haaa Aku butuh teman, maka tak mungkin kau dapat pergi dari sini. Biarlah
berteman dengan anak gila tak mengapa. —
Mendengar kata cemoohan iang tidak henti-hentinya itu, Sujud merasa sangat mendongkol. 
— Kakek Dadung Ngawuk! Jangan main2 dengan ketawamu yang memuakkan itu, lekaslah 
tunjukkan arah jalan keluar hutan ini ! Aku akan segera berlalu
!— Tetapi kakek2
itu masih juga tetap tertawa terkekeh-kekeh. Kiranya ia sama sekali tidak 
merasa tersinggung dikatakan gila oleh Sujud. --- Benar-benar kakek2
yang kujumpai ini orang gila —
pikirnya--
--- Baikl Terlebih dahulu kau harus dapat menerobos keluar dari kepungan pasukanku yang 
terdiri empat puluh prajurit. Jika kau tidak dapat lolos dari kepungan itu, kau harus tetap menemani aku 
disini. — Berkata demikian, Dadung Ngawuk meloncat kedahan yang berada dibawahnya, dan gerakan 
itu disusul oleh kera yang berada disisinya. Ternyata kakek Dadung Ngawuk ini dapat berloncatan 
dengan tangkas, menyerupai gerakan kera yang menyertainya. 
Dengan pandangan matanya, Sujud mengikuti gerakan kakek2
serta kera itu dengan mulut 
ternganga karena rasa kagum dan heran. 
Pertama, heran akan ketangkasan kakek2
itu dapat memanjat dan berloncatan diatas dahan2
tak 
ubahnya seperti seekor kera. Dan kedua, menilik kata2nya tadi ia memerlukan teman. Jadi jelas bahwa ia 
seorang diri. Tetapi mengapa justru berkata bahwa pasukannya yang berjumlah empat puluh prajurit 
akan mengepungnya. Sedangkan ia sendiri tidak melihat adanya tanda2 orang orang disekitarnya. 
Tiba-tiba tanpa diketahui, kakek2
itu telah memegang cambuk yang panjangnya lebih dari dua 
depa, yang terbuat dari kulit ular sanca. Sesaat kemudian suara lecutan cambuk terdengar mengampar 
tiga kali berturut-turut tar tar …. tarr…. taaarrr …… dengan diiringi tawanya yang nyaring …..
Tak lama kemudian, disekeliling Sujud telah bermunculan kera-kera jenis beruk dengan bersuara 
cecowetan mengurung Sujud yang masih berdiri dengan mulut ternganga. Pengalamannya yang pahit, 
membuat ia berfikir untuk tidak mau menyerah sebelum mengadakan perlawanan dalam batas 
kemampuannya. Cepat ia berdiri tegak, siap-siaga untuk menghadapi serangan yang datang kearahnya. 
Dengan tak terduga duga, kera yang duduk disamping kakek2
itu telah meluncur kearahnya dengan 
kecepatan yang menajubkan. Sebelum Sujud dapat bergerak untuk menyambutnya, kera tadi telah 
dapat merebut pisau yang terselip dipinggangnya, serta membawanya keatas dahan dengan memanjat 
pohon. Kemudian disambut oleh kakek2
itu, dengan ketawa yang terkekeh-kekeh. Kiranya kera itu hanya 
bermaksud untuk merampas pisaunya, dan tidak bermaksud menyerangnya. Demikian pula kera2
yang 
mengurungnya. Satupun tidak ada yang memulai menyerang. 
Mereka hanya mengurung Sujud dalam lingkaran, dengan memperdengarkan suara cecowetan yang 
riuh sambil memperlihatkan gigi2nya yang kecil2
serempak. Serta diiringi dengan menggaruk-garuk 
badannya masing2
. Kini Sujud baru mengetahui bahwa yang dimaksud oleh Dadung Ngawuk dengan 
pasukan prajuritnya itu, adalah kera2
yang sekarang sedang mengurungnya. Jumlah kera2
yang 
mengurung itu, memang seperti apa yang telah dikatakan oleh Dadung Ngawuk ialah empat puluh.
— Sujud, anak gila! Sekarang pasukanku telah siap, dan kau boleh coba menerobos keluar dari 
kepungannya. Jika berhasil kau lolos, akan kuantarkan sampai ditepi hutan! Atau kau menyerah saja, 
tidak usah membuang-buang tenaga yang sia2
, untuk menemani aku disini! --
Lebih baik aku mati karena melawan, dari pada menyerah dan akhirnya menerima siksaan, 
sebagaimana pernah menimpa diriku — pikir Sujud. 
Dengan kebulatan tekad yang tak mengenal takut, Sujud mulai menerjang kedepan, serta 
menyerang dengan tinjunya kearah kera yang menghadang didepannya. Akan tetapi dengan tangkasnya, kera yang diserang itu meloncat kesamping untuk menghindari serangan pukulan. Dalam waktu yang 
sama ketika Sujud mulai bergerak, tiga ekor kera yang berada didekatnya meloncat kearah kepalanya 
dari belakang, menjambak rambutnya gondrong dengap sekuat tenaga. Sujud terpaksa menarik kembali 
pukulan tinjunya yang ternyata mengenai tempat kosong. Untuk tidak jatuh terlentang Sujud segera 
membalikkan badannya sambil menyerang dengan telapak tangan kiri kearah salah satu kera yang 
menyambaknya. Dan kemudian disusul dengan tendangan kaki mengikuti meloncatnya kera yang 
menghindari serangannya. 
Akan tetapi sewaktu ia melontarkan serangan tendangannya, tiga ekor kera lagi menarik 
kakinya, dimana ia sedang berdiri diatas satu kaki. Tak ayal lagi, Sujud jatuh terguling ditanah. Dengan 
cepat ia berdiri kembali, untuk siap menghadapi serangan-serangan yang mendatang sebagai serangan 
berangkai. 
Namun ternyata kera2
itu tidak hendak menyerangnya, melainkan hanya mengurung saja, 
menunggu dan menjaga jangan sampai Sujud dapat lolos dari kepungan mereka. 
Melihat Sujud jatuh bergulingan, ketawa yang terkekeh-kekeh memuakkan terdengar kembali dari 
Dadung Ngawuk, seakan-akan melihat permainan yang lucu sekali. Cepat Sujud bangkit kembali dan 
menerjang kelain penjuru. Dua ekor kera yang menghadangnya diserang dengan tendangan berangkai 
dan satu diantaranya jatuh terpental. 
Walaupun sampai dua langkah kera itu terpental karena tendangan, dengan mudah ia bangun 
kembali diatas keempat kakinya, sambil menyeringai beringas dengan mendesis desis dan meloncat lagi 
kearah Sujud. Sedangkan kera-kera dibelakang Sujud serentak berlompatan dan masing-masing ada 
yang memegang pinggang, lengan kaki dan ada pula yang menarik narik celananya. 
Dengan demikian Sujud menjadi sibuk karenanya. Untuk mencegah jangan sampai jatuh 
terlentang karena tarikan - tarikan kera-kera itu, Sujud dengan ketangkasannya membalikkan badan dan 
tinjunya bergerak me-nyambar2
ke-arah kera - kera yang mengerumuninya. Akan tetapi kera kera itu 
cepat berloncatan menjauhi untuk menghindari datangnya serangan, serta kembali ditempat masing 
masing seperti semula sewaktu mereka mengurung Sujud. 
Tetapi kiranya kera-kera itu tidak ada yang bermaksud melukainya, dan hal ini diketahui pula 
oleh Sujud. Mereka hanya menghadang, menarik-narik ataupun mendorongnya untuk mencegah jangan 
sampai Sujud lolos dari kepungan mereka. Jika semula Sujud selalu menerjang dengan serangan tinju 
dan tendangan, setelah memgetahui bahwa lawan-lawannya tidak berkehendak melukainya, iapun 
segera merobah cara menerjangnya. 
Ia meloncat kearah utara sebagai gerak tipuan, untuk kemudian meloncat kembali kearah timur 
dengan gerakkan yang lebih cepat. Namun kiranya kera-kera itu telah mengetahui terlebih dahulu akan 
maksudnya. Mereka dengan rapihnya berloncatan mendahului menghadang, sewaktu Sujud meloncat 
merobah arah. Berulang kali ia mencoba gerakannya itu dengan cara selalu menukar arah, tetapi kera-
kura itupun selalu dapat mendahului gerakarmja dan dengan demikian ia masih tetap terkurung rapat, 
ditengah lingkaran kera-kera. Badan dan mukanya telah basah bermandikan peluh, namun ia tetap 
masih terus berloncatan kian kemari untuk melepaskan diri dari kepungan prajurit2nya Dadung Ngawuk. 
Tetapi semua usahanya itu tak pernah berhasil- Kadang-kadang ia melompat, melambung tinggi dengan 
diiringi suara bentakan yang nyaring untuk menakut-nakuti kera-kera yang menghadangnya, akan tetapi 
sebelum ia sempat berpijak diatas tanah kembali kaki-nya telah ditangkap oleh tiga/empat ekor kera 
dan ditariknya, sehingga ia kembali jatuh bergulingan ditanah. Demi melihat jatuhnya Sujud bergulingan 
ditanah, ketawa yang terkekeh-kekeh memuakkan dari mulut Dadung Ngawuk terdengar semakin 
bertambah keras. Demikian pula kera beruk yang besar disisi kakek itu turut pula berdiri diatas dahan sambil berjingkrak-jingkrak dengan menyeringai gembira, hingga dahan dimana mereka berdua berpijak 
menjadi tergetar keras sekali, sampai daun-daunnya jatuh bertebaran. 
Makin lama, Sujud merasa makin lelah kehabisan tenaga. Gerakannya menjadi sangat lambat. 
Tetapi sebagai anak yang bersifat keras hati tidak mau ia menyerah. 
Dengan sisa tenaga yang masih ada, ia mengamuk dan menerjang dengan serangan tinju dan 
tendangan2nya yang dahsjat kembali. Karena dengan cara yang lunak tidak pernah berhasil, kini ia 
menjadi mata gelap. 
Empat ekor kera terpental jatuh bergulingan terkena tendangan dan tinjunya. Demi melihat 
teman
2nya jatuh bergulingan, kera yang lainnya menjadi lebih ganas. Lebih dari lima belas ekor kera 
menerjang serentak dari arah belakang, samping dan depan, Sujud semakin marah dan bertambah mata 
gelap. Dengan secara membabi buta ia melancarkan serangan yang lebih dahsyat terhadap kera2
yang
mendekatinya. 
Tarikan, bahkan gigitan dipundak, lengan, betis tidak dirasakan lagi. 
Untuk merobohkan kera2
yang demikian banyak jumlahnya adalah diluar kemampuannya. 
Akhirnya Sujud sendiri yang jatuh terguling dan tak sadarkan diri. 
Cambuk ditangan kakek Dadung Ngawuk berkelebat mengampar diudara dengan mengeluarkan 
suara seperti petir, dan kera2
yang mengerumuni segera berloncatan menjauhi Sujud. Seakan-akan 
mendengar aba2 untuk cepat meninggalkan tempat itu. 
Kakek Dadung Ngawuk turun dan mendekati Sujud dengan diikuti kera piaraannya yang setia. 
Luka2
Sujud bekas kena gigitan segera diobati dengan olesan ludahnya. Dan kemudian ia memijat 
badannya Sujud dengan jari2
tangannya yang mengandung kekuatan tenaga dalam. 
Pelahan-lahan Sujud sadar kembali dan membuka matanya 
— Kau diamlah dan jangan bergerak dahulu, anak gila.... — Dadung Ngawuk berkata pelan 
dengan masih tetap memijit2
keseluruh tubuhnya. 
Mendengar seruan kakek Dadung Ngawuk yang lemah lembut, serta merasa diperlakukan 
demikian baiknya, Sujud terpaksa diam menyerah. Ia tengkurab ditanah mengikuti perintahnya. Jari 
tangan Dadung Ngawuk kini memijit2
kepala bagian beakang dan bergerak terus kebawah menuruti 
punggungnya sampai dijari2
kakinya. Untuk kemudian kembali lagi keatas sampai dikepalanya. Demikian 
itu, dilakukan sampai berulang kali sambil disertai tiupan pelan dari mulutnya kearah tubuh yang sedang 
dipijitnya. Rasa hangat menjalar diseluruh tubuh. Ternyata kesaktian Dadung Ngawuk telah membuka 
semua jalinan saraf yang lemah serta pembuluh2 darahnya sampai diujung jari kakinya. Kakek2
itu 
berkata pelan pada dirinya sendiri sambil bersenyum —anak gila tapi baik dan berbakat.... Hih hihikk …..
ada tai lalatnya besar dilengannya... — Jari2
tangannya tetap masih bergerak dilengan Sujud untuk 
mengurutnya. 
Setelah selesai mengurut seluruh tubuhnya, Sujud kembali disuruh berbaring terlentang. 
Kembali diurutnya dari tulang rusuk sampai perutnya, dengan disertai tiupan seperti semula. Sesaat 
kemudian dirasakan oleh Sujud, bahwa isi perutnya terasa melilit-lilit, dan rasa muak ingin muntah tidak 
dapat ditahan lagi. Semua kotoran isi perutnya keluar dari mulut dan hidungnya, dengan mengeluarkan 
bau amis yang memuakkan. 
Badannya terasa lemas tak berdaya, Sujud segera diangkat dan dipindahkan ketempat yang 
bersih oleh Dadung Ngawuk disebelahnya. 
— Jamang... Lekas petikan buah kemboja merah yang hanya tinggal seuntai itu …—
Kera yang selalu mengikuti kakek Dadung Ngawuk, setelah mendengar namanya dipanggil, cepat 
meloncat pergi melakukan perintahnya. Seakan-akan tahu apa yang dikehendaki oleh kakek2 majikannya. Tak lama kemudian kembali dengan membawa seuntai buah-buahan hijau, menyerupai 
buah pinang. Dengan kuku2nya yang panjang, buah kemboja merah itu dipecahnya untuk kemudian 
diambil isinya yang berwarna putih susu, serta bulat2
seperti buah kelengkeng. Kesemuanya satu demi 
satu buah kamboja itu oleh Dadung Ngawuk dimasukkan kemulut Sujud. Dan tanpa dirasakan lagi buah 
itu terus ditelannya. 
— Berusahalah untuk tidur. Dan jangan mengejangkan anggauta badanmu. — perintah kakek 
kepada Sujud, yang segera ditaatinya. 
— Jamang ! — Cepat ambilkan sisa makananku ! — Kera jenis beruk yang dinamakan Jamang 
segera berloncatan pergi, untuk kemudian memanjat sebuah pohon besar yang tak jauh dari tempat itu. 
Dengan membawa tempurung yang berisikan daging ular dan buah manggis, Jamang segera 
menyerahkan pada kakek Dadung Ngawuk. Tempurung disambutnya dengan masih berjongkok didekat 
Sujud. Wajah Sujud yang tadinya kelihatan pucat pasi, berangsur-angsur menjadi merah.
Seluruh tubuhnya dirasakan panas membara. Hingga ia tak sadarkan diri kembali. Namun kakek-kakek 
itu bersenyum puas memperlihatkan kegirangan hatinya. 
Mulutnya segera ditempelkan kemulut Sujud dan ditiupnya pelan mengiringi hembusan 
napasnya. Setelah merasakan basah kuyup oech keringat dibadannya, segera melepaskan tempelan 
multunya dan kembali duduk bersila didekat Sujud yang masih berbaring sambil mengatur 
pernafasannya yang dirasakan ter-sengal2
kehabisan tenaga. 
Suhu badan yang panas membara dirasakan oleh Sujud berangsur-angsur turun dan kembali 
wajar. Bersamaan dengan sadarnya Sujud, kakek Dadung Ngawukpun telah pulih kembali tenaganya. 
Sedangkan si Jamang, kera yang berada disisinya, turut pula memperlihatkan kegirangannya dengan 
bergerak lucu. 
Waktu itu telah senja. Hari mulai gelap remang – remang. Tanpa ada yang memerintah empat 
puluh ekor kera berloncatan mendatangi dengan masing-masing membawa dahan kering. Tak lama 
kemudian kakek Dadung Ngawuk dengan batu percikannya segera membuat api unggun ditengah-
tengah hutan itti. Sesungguhnya Sujud sejak tadi telah merasa tenaganya pulih kembali, namun tanpa 
disuruh kakek gila itu, ia tak berani bangkit. Ia tetap saja berbaring terlentang ditanah. Sebagai anak 
angkat Kyai Tunggul ia tahu pula, bahwa kakek2
itu memijit dengan mengeluarkan tenaga saktinya, demi 
untuk tambahnya kekuatan baginya. 
Tetapi ia hanya pernah melihat Bapak angkatnya berbuat demikian, dan belum pernah 
mengalami sendiri. 
Buah yang telah ditelannya tadi, belum pernah sekalipun ia melihatnya. Bertahun - tahun ia 
mengikuti ayah angkatnya sebagai pembantu tabib, tetapi belum pernah ayah angkatnya menggunakan 
ataupun menyimpannya buah seperti apa yang telah ditelannya. Bahkan menceritakan saja belum 
pernah. Seingat dia baru kali ini ia melihat pohon kemboja merah berbuah. 
— Anak gila yang baik ! Marilah kita makan bersama. Dan jangan bermalas malasan tidur saja!
— Kakek Dadung Ngawuk! Aku tak mau lagi kau panggil deagan anak gila! Sujud menyawab 
sambil bangkit daa duduk disebelah kakek2
itu. 
— Bagus, bagus ,,,,,, nanti kita lanjutkan lagi perdebatan ini, tetapi sekarang kita makan dahulu. 
Perutmu tentu tudah merasa lapar! —
Daging ular yang gemuk itu dipanggangnya diatas api, serta dipotong-potongnya, dan segera 
mereka berdua memakannya dengan lahapnya. 
Semua kera yang berada disekelilingnya tidak ketinggalan turut pula makan buah2an yang telah dibekalnya masing2
. Tidak jauh dari tempat perapian, dimana pohon kemboja berada, ternyata ada 
sebuah sendang yang airnya sangat jernih. Untuk cuci tangan, mandi dan sebagainya, mereka cukup 
menggunakan buangan air yang mengalir, yang kemudian bertemu dengan kali Lusi. Hanya untuk 
minum, mereka mengambil langsung dari sendang. Dan didekat sendang itulah kakek Dadung Ngawuk 
membuat gubuk kecil, sekedar untuk berteduh di waktu hujan. Pada hari2
cerah ia selalu berada 
dipepohoan ber-main2 dengan keranya. Tidurpun ia selalu dialam terbuka. 
Pada hari esoknya Sujud merasa segar serta ringan sekali badannya. Dengan mudah ia dapat 
turut memanjat pohon yang sangat tinggi serta dapat pula berloncatan didahan dahan, mengikuti 
gerakan kakek Dadung Ngawuk bersama si Jamang. Ia mulai tertarik akan keindahan alam ditengah 
hutan itu, dan maksud untuk cepat2 meninggalkan hutan telah terlupakan pula. Mereke dudu pada 
sebatang dahan yang tinggi sambil asyik bercakap cakap. 
— Anak gila! Aku selalu memanggilmu dengan anak gila bukan tak beralasan! — Kakek Dadung 
Ngawuk mulai bicara. — Pertama kau seorang diri masuk hutan tanpa tujuan, kedua, memiliki celana 
dan sarung yang walaupun telah kumal itu cukup menunjukkan bahwa kau adalah keluarga yang Raja 
ataupun bangsawan di kota Raja. Ketiga, melihat gerakanmu dalam menerjang kera-keraku kemaren, 
jelas babwa gerakan yang kau lakukan adalah terdiri dari jurus2 dari seorang tamtama Kerajaan dan yang 
terachir, kau mengaku bernama Sujud. Itu tak cocok dengan pribadimu. Nama Sujud harusnya hanya 
dimiliki oleh Rakyat biasa ataupun seorang anak pendeta (Brahmana), sedangkan tulang2 dan darahmu 
menurut pengetahuanku setelah aku raba kemaren, kau adalah keturunan orang bangsawan ataupun 
orang kaya. Dan mungkin orang tuamu memberikan nama Sujud kepadamu. Nah, coba sekarang kau 
bantah keteranganku ini dengan kejujuranmu — Berkata demikian Dadung Ngawuk sambil memandang
kearah muka Sujud dengan amat tajamnya. 
— Ach ….. tetapi itu semua bukan alasan untuk menuduhku sebagai anak gila. Aku tak mau 
membantah keteranganmu bukan karena membenarkan, tetapi aku sendiri tidak tahu siapa aku ini 
sesungguhnya — Sujud berkata dengan sega!a kejujurannya. 
Mendengar jawaban Sujud, kakek Dadung Ngawuk mengerutkan keningnya dengan wajah yang
bersungut-sungut, seakan-akan ada persoalan sulit yang sedang di pikirkan. 
— Aneh,aneh ….. Benar
2 anak gila... — gumamnya. 
Karena kakek Dadung Ngawuk Sujud terpaksa menceritakan riwayatnya seadiri menurut apa 
yang diketahui dan dialaminya. 
Ia menceritakan sejak mengikuti orang tua angkatnya dan kemudian menjadi adik angkat dari 
Senapati Muda Indra Sambada dikota Raja. Tak pula lupa ia ceritakan pengalaman yang baru saja 
dialami, sewaktu mendapat siksaan dari Durga Saputra. 
Setelah mendengar cerita riwayat Sujud dengan singkat tanpa diketahui sebabnya, kakek 
Dadung Ngawuk menangis tersedu-sedu seperti anak kecil, sambil mengayun2
kan kakinya 
— Kakek Dadung Ngawuk! Mengapa kau menangis?.—
Apakah kau sudah menjadi gila? — Sujud bertanya sambil bersenda gurau untuk menghibur. Sambil 
mengusap air mata yang mengalir dipipinya kakek Dadung Ngawuk tiba tiba tertawa terkekeh-kekeh, 
sehingga batang dahan dimana mereka duduk, tergetar keras.-
— Kau tidak gila, anak baik ! — Mungkin …. . aku yang gila . 
--- Sudahlah, kakek ! Kita tak perlu lagi mempersoalkan tentang kata gila. Coba kau ceritakan 
tentang khasiat buah kemboja merah yang kemarin kau paksakan padaku !—
- Haa .... haahaaa .... haaaaa, haaaaa ... ! . Anak cerdik ! Kau ternyata lebih pandai dari pada 
Bapakmu angkat si Tunggul dukun bayi, yang hanya tahu rempah2 
.—— Apa ? Bapak Tunggul pernah menjadi tabib yang termasyur di Kota Raja. Jangan kau 
menghinanya! (Baca "Indra Sambada Pendekar Majapahit") 
— Haa . ... haaaa . ... haaaaaa . .. ! Kau marah, bapakmu kunamakan dukun bayi ! Bagus . .. . 
haaaa . . .. bagus ….. benar2
kau ini anak gila yang baik. —
Kini kakek Dadung Ngawuk mulai bercerita dengan penuh semangat. 
- Dengarkan baik2
!! Buah kemboja merah itu dinamakan buah, - Daru Seketi - artinya dalam 
jumlah seketi pohon kemboja merah belum tentu ada satu yang dapat berbuah. Dan apabila pohon itu 
berbuah sebanyak2 nya hanya tiga untai, serta musimnya sewindu sekali. Jika buah itu dipergunakan 
untuk pengobatan dinamakan dalam kitab usadha buah "tulak tujuh", artinya pemunah daya guna2
. Aku 
sendiri yang telah tua dan hampir masuk kubur, baru kali ini dapat menemukan. Khasiatnya ialah, jika 
orang itu kuat menahan suhu panasnya badan akibat dari makan buah itu, maka akan menjadi kebal 
untuk menerima serangan guna
2
, ataupun serangan daya kesaktian lainnya. Dan juga kebal akan segala 
macam racun yang merangsang melalui pencernakan. Akan tetapi jika tidak kuat akan panas badan 
sewatu memakannya akan mati seperti orang hangus terbakar. Dan orang harus memakannya buah
tulak tuju itu habis seuntai semua. 
Ternyata setelah aku buka jalinan syaraf2mu dan pembuluh darahmu semua, serta kukosongkan 
isi perutmu, kau telah berhasil melampaui saat yang berbahaya itu. Maka dengan demikian berarti 
memang cocok untukmu. —
Demi mendengar tutur kata kakek Dadung Ngawuk itu Sujud merasakan tenggorokannya seperti 
terkunci. Tak mampu ia mengucapkan terima kasih, akan pemberian yang tak ternilai itu. Ia menyesal, 
karena semula ia mengira bahwa kakek Dadung Ngawuk bermaksud jahat padanya, padahal ….. 
kenyataannya kini ia malah berhutang budi yang tak mungkin dapat membalasnya. 
Waktu itu siang tengah hari. Matahari telah berada diatas kepala, dengan menyinarkan panas 
yang membara, memandangi seluruh alam terbuka. 
Namun dipohon yang rindang itu, mereka tidak merasakan teriknya sinar matahari. Angin yang
selalu meniup disiang hari itu membuatnya mereka tetap segar tak berkeringat. 
Tiba2 pohon2 disekitarnya bergoyang gemuruh. Suara cecowetan terdengar semakin mendekat. 
Pasukan kera Dadung Ngawuk datang berkumpul dengan membawa bermacam2 buah-buahan, 
sebagaimana biasa pada tiap2
siang tengah hari, untuk makan bersama-sama. 
Dadung Ngawukpun segera turun, dengan diikuti oleh Jamang dan Sujud. Dengan rapinya kera2
itu duduk berjongkok mengelilingi mereka, setelah meletakkan buah-buahan yang dibawanya masing2
tadi dihadapan kakek Dadung Ngawuk. Setelah Dadung Ngawuk mengambil yang dipilihnya secukup 
untuk keperluan mereka bertiga, maka sisanya segera dibagikan kepada semua kera2 anak buahnya oleh
si Jamang. 
Dan apabila ada salah satu diantaranya yang merampas karena tak sabar menunggu, oleh si 
Jamang diberi tamparan dan gigitan. Kiranya satupun dtantara mereka tidak ada yang berani melawan si 
Jamang. Kera2
itu semuanya adalah jenis beruk, memang kera jenis beruk itu rata
2 memiliki daya 
pengertian yang hampir menyerupai manusia. Mereka dapat dengan mudah menghafal gerakan yang
dipelajari dengan isyarat isyarat tertentu. Hasil ketekunannya kakek Dadung Ngawuk dalam mengasuh 
mereka yang telah bertahun-tahun lamanya menunjukkan hasil yang memuaskan dimana kera2
itu selalu 
menunjukkan ketaatannya dan kesetiaan mereka padanya. 
— Anak gila! Nasibku serupa dengan nasibmu! — Dadung Ngawuk mulai lagi dengan bicaranya 
untuk memecah kesunyian, setelah mereka selesai makan. Dan matanya nampak basah karena 
mengembeng air mata. — Hanya ….aku telah menemukan tempat batu nisan dimana orang tuaku dikuburnya, 
sedangkan kau sama sekali belum menemukan jejaknya. 
— Yaaah …… kunasehatkan agar kau jangan putus asa untuk mencari orang tuamu, dan aku akan 
memberikan bantuan sesuai dengan kemampuanku yang ada. — Kakek Dadung Ngawuk menghela nalas 
panjang, dan berhenti sejenak untuk mengusap air matanya yang kini mulai meleleh dipipinya yang
keriput itu. — Tetapi ….. kau harus masih menambah kepandaianmu untuk bekal dalam perjalanan guna 
tercapainya tujuanmu. Ketahuilah, bahwa orang2
terkutuk seperti Durga Saputra dan lain2nya yang
masih banyak lagi untuk disebutkan satu persatu itu, kini berkeliaran dimana-mana. Kekebalan 
menanggulangi daya guna2 ataupun daya shakti, yang kini telah kau miliki tidak ada artinya jika tidak 
dilengkapi dengan ketangkasan serta kesaktian lain sebagai pukulan balasan terhadap lawan. Untuk itu, 
dalam waktu yang singkat ini aku akan mengajarmu, sekedar penambah bekal dalam 
pengembaraanmu.—
Dengan penuh perhatian Sujud mendengarkan nasehat serta petunjuk2 dari kakek Dadung 
Ngawuk. Ia sangat kagum akan ketinggian budi yang dimilikinya. Tidak mengira bahwa kakek yang dalam 
penglihatannya sebagai orang gila itu, tiba2 dapat berobah menjadi seorang penasehat dengan penuh 
perasa sebagaimana lajaknya seorang guru. Suara tawa yang biasanya selalu mengiringi dengan nada 
yang terkekeh - kekeh seperti orang sinting, kini lenyap dan menunjukkan wajah yang bersungut-sungut 
dengan keningnya berkerut. 
Sejak saat itu Sujud tiap pagi hari, sebelum fajar menyingsing mendapat latihan ilmu kanuragan, 
ialah ilmu ketangkasan serta pukulan shakti dari kakek Dadung Ngawuk. 
Waktu berjalan, dengan tidak terasa. Tahu tahu Sujud telah menjadi murid kakek gila. Dengan 
bekal kecerdikannya dan ketekunan yang dimiliki maka dengan mudah Sujud dapat menguasai gerakan 
langkah "wuru shakti" dengan sempurna. Wuru shakti ialah gerakan mengelak dari serangan lawan 
dengan langkah2
seperti gerakan orang yang sedang mabok. Gerakan mana dapat juga digunakan 
sebagai langkah2 menyerang musuh. 
Jari2
tangannya dapat ditegangkan menjadi sekeras baja. Dengan jari2
itu ia dapat menusuk 
tembus benda2
yang keras seperti kayu dan sebagainya. 
Kepadanya juga diberikan pelajaran2 mengenai sendi2
kelemahan tubuh manusia mengikuti 
dasar jalinan saraf2 pokok, serta nadi2 pembuluh darah, atau disebutnya juga “ilmu pengapesan". 
Namun semua rangkaian jurus2nya adalah merupakan gerak "wuru shakti", ialah ciri asli dari pada ilmu 
tata bela diri ciptaan kakek Dadung Ngawuk, dimana gerakannya adalah menyerupai seorang gila. 
Dan si Jamang adalah kawan setianya dalam berlatih tiap harinya. 
Kini Sujud dapat dengan mudah menerobos kepungan kera2
yang ampat puluh jumlahnya. 
Dengan serangan tendangan serta totokan jari2nya yang tepat mengenai jalinan syaraf yang
dikehendaki, kera2
teman berlatihnya jatuh bergelimpangan tak berdaya, tanpa mendapat luka yang 
membahayakan. Gerakan wuru shakti dengan langkah2nya yang ajaib dapat menghindari serangan2
dahsyat yang bertubi-tubi dan sukar untuk diduga sebelumnya. 
Setelah dianggap cukup memiliki kepandaian sebagai bekal dalam perjalanan mencari orang 
tuanya, oleh kakek Dadung Ngawuk, Sujud diperkenankan meninggalkan hutan Blora. 
— Dengan bekal kepandaianmu itu, yang sangat sederhana serta kekebalan yang kau miliki, 
tidak perlu lagi kau kuatir akan berjumpa dengan Durga Saputra atau sebangsanya. Hanya pesanku, 
setelah kau berhasil menemui orang tuamu, aku sangat mengharapkan kehadiranmu kembali untuk 
menjengukku sebentar. Sebelum aku meninggalkan dunia yang amat kotor ini, aku masih ingin bertemu 
dengan kau sekali lagi. 
— Mendengar kata2 pesan kakek Dadung Ngawuk sewaktu ia diantar sampai ditepi hutan 
dirasakan berat untuk berlalu dari tempat itu. 
Tenggorokannya terasa sangat sukar untuk mengeluarkan kata2
seperti tersumbat tak kuasa 
untuk melahirkan isi hatinya. Hanya air matanyalah yang meleleh perlahan-lahan dikedua belah pipinya. 
Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya sambil berlutut dengan takzimnya. Dalam hati Sujud 
bersumpah, bahwa ia tentu akan memenuhi pesan kakek Dadung Ngawuk. Akan tetapi sebelum ia 
bangkit dari berlutut, kakek Dadung Ngawuk telah lenyap dari depan hidungnya. Sujud memandang 
dengan heran akan kesaktian kakek Dadung Ngawuk. Kemana perginya sampai ia tak mengetahui, 
bayangannyapun tak nampak. Dengan langkah yang bimbang serta dipaksakan Sujud berjalan memasuki 
kota Wirosari yang tak demikian jauh letaknya dari tepi hutan sebelah barat. 
Kesibukan dalam kota pada sore itu, ternyata masih nampak ramai. Namun tidak seorangpun 
kini memperhatikannya sewaktu mereka berpapasan. 
Mereka diliputi oleh kesibukannya masing2
. Dengan pakaiannya yang telah compang-camping 
serta kuMal. Sujud berjalan mengikuti orang2
yang sedang berbelanja disepanjang jalan tengah kata. Ia 
membeli pakaian sederhana warna kelabu untuk dikenakan sebagai ganti dari pada baju dan celananya 
yang telah compang-camping itu Setelah berganti pakaian ditempat yang sepi, ia kembali lagi memasuki 
kota untuk mencari warung makan serta tempat untuk bermalam. 
Esok paginya sewaktu Sujud meninggalkan rumah penginapan, tiba2
terdengar jeritan anak kecil 
dari seberang jalan dimana ia sedang berdiri. Seekor kuda yang tak dapat dikendalikan oleh 
penunggangnya menerjang dua anak kecil yang sedang enak berjalan bergandengan, hingga satu 
diantaranya terpental dan jatuh bergulingan ditanah. 
Yang menjerit itu adalah anak perempuan yang umurnya kira2 enam tahun sedangkan yang
jatuh bergulingan itu adalah anak lelaki yang usianya sekitar delapan tahunan. Mudah diterka, bahwa 
mereka adalah kakak beradik dari keluarga miskin. Dengan cepat Sujud lari dan menyambar anak kecil 
yang menjerit serta dipondongnya mendekati anak laki2
yang masih terlentang ditanah ditepi jalan. 
Akan tetapi sewaktu ia berjongkok sambil memondong anak perempuan kecil itu, kuda yang 
binal itu telah menerjang kembali kearahnya. 
Sungguhpun dia dapat mengeIak, tetapi anak yang terlentang itu tentu tak mungkin dapat 
terhindar dari injakan kaki kuda. Orang2 perempuan yang sedang berlalu serentak menjerit demi melihat 
kejadian yang mendebarkan jantung itu. Akan tetapi, dengan tanpa diketahui oleh orang-orang yang 
sedang melihatnya dengan penuh kecetuasan, kuda dan penunggangnya jatuh terguling kesamping. 
Kedua kaki kuda tegang berkelejotan, sedangkan penunggarunya terpental jatuh bergulingan ditengah 
jalan. Tanpa menghiraukan kejadian atas penunggang dan kudanya, Sujud membangkitkan anak lelaki 
yang masih terlentang ditanah itu, segera diseretnya lebih menepi lagi. Kiranya anak lelaki itu hanya 
terluka ringan karena kebentur batu2 dijalan, hanya ia tak sadarkan diri karena kagetnya. 
Penunggang kuda yang jatuh bergulingan segera bangkit berdiri dan melangkah mendekati 
kudanya yang masih menggelimpang ditanah dengan kakinya berkelejotan. 
Penunggang kuda yang jatuh itu adalah seorang pemuda yang usianya tak lebih dari duapuluh 
tahun, dengan pakaiannya yang serba indah. 
Wajahnya tampan, namun tingkah lakunya kelihatan kasar dan sombong Dengan muka merah 
padam karena malu dilihat orang banyak, sambil mengibaskan tangannya untuk menghilangkan debu 
yang melekat dipakaiannya, ia memeriksa kudanya yang masih terlentang 
— Hai jembel kecil!.!, Kau apakan kudaku tadi? bentaknya tertuju pada Sujud. 
Tak tahu!!. Mungkin terpelanting karena tarikan lis yang kau lakukan sendiri!! — Jawab Sujud dengan tanpa menoleh. 
Sambil berjalan dengan memondong anak perempuan kecil serta menggandeng anak lelaki yang 
telah siuman kembali. 
— Hai ! ! !. Berhenti dulu ! ! ! Berkata demikian pemuda itu mengulang kembali memeriksa 
kudanya. 
Mendengar pemuda itu membentak bentak, orang2
yang mengerumuni segera berlalu untuk 
menjauhi. 
Sujud segera berhenti sejenak dan mengawasi kearah pemuda yang masih menggumam tak 
menentu. Pengalamannya yang penuh kepahitan pada tahun yang lalu dapat untuk peringatan. Kini ia 
tak mau melayani marahnya si pemuda. Ia tetap berlagak tolol, seakan akan tak tahu sama sekali akan 
sebab musababnya terpelantingnya kuda dengan penunggangnya. Sedangkan sebenarnya, sewaktu 
kuda menerjang kearahnya dengan cepat ia menotok nadi pembuluh darah serta urat2 penggerak kaki 
depan kuda, dengan kedua jari tangan kirinya. Akan tetapi karena hal itu dilakukan dengan kecepatan 
yang luar biasa, maka sukarlah diikuti oleh orang orang yang tidak mempunyai pengertian. Kiranya 
totokan jarinya itu terlampau keras, hingga nadi pembuluh darah sebelah kanan pecah karenanya. Dengan demikian maka tak 
mungkin dapat dipulihkan kembali. 
Mendengar jawaban Sujud serta melihat gerak geriknya yang tolol itu si pemuda menjadi
percaya. — Sudahlah ! ! Lekas pergi ! ! Kusuruh mengganti kerugianku, juga kau tak akan mampu! ! ! Ia 
membentak dan menggumam : — Masih untung kepalamu tak pecah terinjak oleh kudaku. 
Cepat Sujud meninggalkan pemuda itu, dengan lagak ketakutan. Pergi menuju kepasar kota dan 
segera memasuki sebuah warung makan. Kedua anak tadi disuruhnya makan sepuas puasnya. Alangkah 
girangnya, setelah Sujud mengetahui bahwa kedua anak itu adalah Martiman dan Martinem.
Mereka saling berpelukan penuh rasa haru ……..
Tidak menduga bahwa akan berjumpa dikota Wirosari Dengan tangis terisak-isak Martiman 
menceritakan, bahwa ibunya telah meninggal setengah tahun yang lalu. Dan kini mereka berdua kakak 
beradik terlunta lunta sebagai anak yatim piatu dan menjadi pengemis. Tidak terasa pula pipi Sujud 
basah pula oleh air mata yang meleleh karena penuh rasa haru demi mendengar cerita yang dialami 
oleh Martiman dan Martinem berdua. 
— Sudahlah, Man!! Tak usah kau selalu bersedih hati. Ikut saja kau berdua dengan aku. Akupun 
hidup sebatang kara didunia ini ……. Kita senasib dan sependeritaan …… Nem, kau jangan rewel 
diperjalanan nanti ya …… Jika nanti kau lelah akulah yang akan memondongmufl— Sujud berkata lemah 
lembut untuk menghibur Martinem. 
Kiranya tawaran itu sangat menggirangkan hati kedua anak tadi. Oleh Sujud mereka berdua 
segera diberikan pakaian untuk ganti, karena pakaian yang mereka kenakan telah kumal cumal. 
Setelah cukup kebutuhan yang diperlukan, mereka bertiga segera meningalkan pasar kota untuk 
melanjutkan perjalanannya menuju kearah barat. Akan tetapi setelah mereka diperbatasan luar kota, 
tiba-tiba Sujud mendengar derap langkah kaki kuda dari arah kejauhan.
Setelah makan buah daru seketi, Sujud memiliki perasaan yang sangat tajam. Denyut jantungnya 
dirasakan sangat berdebar debar dan rasa cemas akan datangnya bahaya cepat meliputi dirinya. 
--- Cepatlah, kau jalan lebih dahulu berdua Martinem. Man! Dan tunggulah didesa depan itu 
sampai aku datang menyusulmu. Biarlah aku menghadang mereka yang tengah mendatang berkuda itu -
--
--- Tapi untuk apa, kau menghadang mereka, kang Sujud —
Sudahlah!! Jangan menabuang buang waktu!! Aku kuatir mereka akan datang mengganggu 
kita!!—
Dengan tak mengulangi pertanyaannya. Martiman segera mentaati perintah Sujud. Ia 
memondong Martinem sambil berlari lari kecil dengan rasa ketakutan. Sementara itu Sujud berjalan 
biasa, akan tetapi dengan penuh kewaspadaan. Dan memang benar dugaan Sujud. 
Tiga orang berkuda memacu kudanya masing masing. seakan akan berebut mendahului sampai 
ditempat tujuan. Ternyata seorang diantaranya adalah pemuda yang tadi jatuh bergulingan dijalan. 
— Hai, anak jembel! Berhenti zebentar! — serunya, setelah mereka dekat berada 
.dibelakangnya Suljud segera berhenti ditepi jalan, sambil menengok kearah datangnya suara. Tiga 
orang serentak turun dari kudanya dan mendekati Sujud yang berdiri dengan berlagak tolol. 
— Inikah Den Mas Daksa, anaknya? — tanya satu diantaranya kepada si pemuda tadi. 
— Ya, betul jawabnya singkat. 
--- Tetapi cobalah akan kutanya ----kata seorang yang lain. 
Sujud masih saja berdiri dengan lagak yang tolol mengawasi ketiga orang pendatang dengan 
ternganga. Den Mas Daksa, demikian nama pemuda itu, adalah putra Panewu Wirosari yang sangat 
terpandang dan disegani oleh para penduduk kota itu. Setelah tadi a tak dapat memotong kudanya 
bangkitt, ia pulang ke Banjar Kapanewon dan bersama-sama dengan pengawal praja serta juru penegar 
(perawat kuda) ia kembali ketempat dimana kudanya menggelimpang ditepi jalan. Setelah juru penegar memeriksanya dengan teliti, kaki kuda sebelah depan ternyata lumpuh, karena terluka didalam. 
Dengan susah payah juru penegar mengurut2
tulang kakinya, akan tetapi sia-sia belaka, karena 
ternyata tulang2nya tak menderita apa2
. Hanya pahanya sebeiah dalam semakin membengkak. Dengan 
demikian teranglah, bahwa lukanya kuda itu bukan karena jatuh terpelanting, ataupun akibat jatuh 
terkilir. Akan tetapi akibat serangan pukulan yang tak diketahui, bagaimana caranya. Namun jelas, 
bahwa penyerang tadi tentu memiliki kepandaian. Timbullah kini kecurigaan akan kemungkinan adanya 
serangan gelap. 
Den Mas Daksa menduga, bahwa tentu ada orang lain yang menyerang, sewaktu Sujud 
menyelamatkan anak kecil itu. Dan orang lain itu tentu kawan atau orang tuanya Sujud yang menyaru 
sebagai penonton yang tadi banyak mengerumuninya. Maka dengan dikawal oleh dua orang 
punggawanya Den Mas Daksa mencari Sujud untuk mendapatkan keterangan tentang orang yang berani 
menyerang kudanya secara gelap. 
— Anak jembel!. Siapa namamu? — tanya seorang dengan kasar. Orang itu tinggi besar dan 
hitam warna kulitnya mukanya nampak bengis. 
— Saya … Sujud !— jawabnya singkat sambil masih melongo, memperlihatkan ketololannya. 
Sementara itu Den Mas Daksa mengawasi Sujud dengan penuh selidik dan sebentar-bentar saling 
pandang dengan seorang punggawa disebelahnya yang tubuhnya pendek kokoh!! 
— Sujud! — Dimana rumahmu ?—
Menghadapi pertanyaan ini, Sujud agak sukar juga untuk memberikan jawabannya. la terdiam 
untuk memikir jawaban apa yang harus diberikan, agar mereka segera puas. Akan tetapi belum juga ia 
sempat menjawab, orang yang bertanya telah membentaknya dengan kasar karena tak sabar: — Jawab 
ccpat dimana rumahmu !? 
— Dari Jepan — Nama desa itulah yang masih ia ingat, sebelum ia memasuki hutan Blora, maka 
disebutnyalah sebagai jawaban, agar memuaskan mereka. Akan tetapi dengan jawaban itu malah 
semakin menyulitkan baginya. Bertiga mereka saling berpandangan dengan sikap yang mencurigakan.
--- Apa ? ….. Dari Jepan, katamu tadi? Mana mungkin! Jepan itu sangat jauh dari sini, dan untuk 
jalan memotong harus melalui hutan belukar yang sangat berbahaya. Ayo! Jangan bohong, jawab 
dengan sebenarnyal. Kurangket jika kau membohong!----
Benar ! Memang saya dari desa Jepan! 
--- Dengan siapa kau datang ke Wirosari?—
Kini kecurigaan ketiga orang itu terhadap Sujud semakin bertambah. Jika ia betul2 dari Jepan, 
tentu tidak akan berjalan sendirian pikir mereka. 
— Bohong bentaknya: — Ayo Iekas, tunjukkan siapa namamu?! Ataupun orang tuamu yang
datang bersamamu ke Wirosari. !—
— Aku tidak dusta ! Datangku kemari seorang diri !—
— Jika tidak mau mengaku, akan kuseret kembali kekota. Berkata demikian orang tinggi besar 
itu sambil melangkah maju setindak dan mengulurkan tangannya untuk menangkap pergelangan tangan 
Sujud yang sedang berdiri ter-longong2
. Akan tetapi Sujud sekarang bukan Sujud pada setahun yang lalu. 
Dengan pengalamannya yang penuh kepahitan, ia tak mau lagi dipermainkan orang. Ia ter-huyung2
kesamping kiri dengan membungkukkan badannya, sambil jari2nya memegang dan menotok kearah 
ketiak kanan lawan yang terbuka. 
Gerakan itu amat cepat dilakukannya, dan orang hanya melihat ia terhuyung-huyung seperti langkah 
orang mabok yang tidak menentu. Dan akibatnya hebat sekali. Orang tinggi besar itu dengan tiba-tiba 
ber-jingkrak2
sambil mengaduh kesakitan, karena tangannya kanan dirasakan lumpuh tak dapat digerakkan lagi. Melihat kejadian yang aneh ini, Den Mas Daksa dan seorang pcngawal lainnya ternganga 
heran dan saling pandang. Mereka belum percaya, bahwa temannya mendapat serangan dari seorang 
anak tanggung yang kini berada dihadapannya. 
Dilihatnya kanan kiri dan sekitarnya, barangkali ada orang lain yang turut campur tangan, 
membantu Sujud dengan serangan rahasia secara sambitan ataupun cara Iainnya. Setelah nyata, bahwa 
tidak ada orang lain yang bersembunyi, maka teranglah bahwa anak tanggung ini yang sedang 
dihadapinya bukan merupakan anak biasa.
Mereka berdua segera serentak bersama-sama menyerang Sujud dengan pukulan dan 
tendangan silih berganti. Namun kembali Sujud dengan gerakan langkahnya wuru shakti dapat dengan 
mudah menghindari serangan, sehingga mereka selalu memukul tempat kosong. Seperti layaknya 
seorang sedang mabok minuman, Sujud melangkah maju ter-huyung2 untuk kemudian meloncat 
kesamping ataupun jatuh berjongkok seperti kera dengan kedua tangannya mengibas menangkis 
serangan susulan yang mendatang. 
Sifat keberanian yang dimiliki membuat ia ingin menguji dan membuktikan sendiri akan 
kehebatan gerakan jurus2 wurusakti yang baru saja dipelajari dari kakek Dadung Ngawuk. Ia sengaja tak 
mau menyerang lawan terlebih dahulu, sebelum mempermainkan lawan2nya yang ternyata hanya 
mengandalkan ketangkasannya dan kekuatan tenaga yang wajar saja. 
Sebagai seorang yang usianya masih muda, Den Mas Daksa mudah naik darah. Dengan penuh 
nafsu ingin cepat meringkus lawannya, ia mambabi buta menyerang dengan pukulan2 dan tendangan-
tendangan kilat yang ber-tubi2
, akan tetapi tidak pernah menyentuh sasarannya. 
Semula mengira bahwa serangan2
yang selalu jatuh di-tempat kosong itu hanya suatu kebetulan 
saja. Akan tetapi setelah mereka berdua berulang kali menyerang serentak dengan jurus2nya yang
mereka anggap sebagai jurus simpanan juga tak mampu merobohkan. Segeralah ia sadar, bahwa 
lawannya anak tanggung ini memang memiliki kepandaian yang tidak dapat dipandang ringan. Hanya
saja karena mereka belum pernah mendapat balasan serangan, maka masih tetap mengira, bahwa 
lawannya hanya pandai mengelak. 
— Jika tak mau menyerah kubelenggu, akan kurobek perutmu nanti dengan golok ini ! — seru 
Den Mas Daksa sambil menghunus goloknya dan Iangsung menyerang. Gerakannya cepat laksana kilat 
menyambar. la meloncat kedepan satu langkah dengan membungkukkan badannya, sedang tangan 
kanannya yang memegang golok menyerang kearah perut bujud dengan gerakan tusukan melintang dari
kiri kekanan. 
Menghadapi serangan yang sangat ganas dan cepat itu, Sujud masih juga sempat ketawa seperti 
orang setengah gila. Kiranya sifat2
kakek Dadung Ngawuk yang sinting itu kini dimiliki pula olehnya. 
Sewaktu goloknya menyambar kurang setengah jengkal dari perutnya, ia menjatuhkan diri 
kebelakang dengan ujung kakinya menendang siku lengan kanan Den Mas Daksa, dan dirangkaikan 
dengan gerak berjumpalitan surut kebelakang. Itulah gerak langkah wuru shakti dengan jurusnya 
„mabok berguling merampas senjata" yang sukar diduga sebelumnya. 
Den Mas Daksa berseru terkejut dan dirasakan tulang tangannya seperti patah dan lumpuh
seketika. Goloknya terlepas dari genggaman dan terpental melambung tinggi, untuk kemudian jatuh 
ditanah dalam jarak kurang dari sepuluh langkah. Sebenarnya siku-siku lengannya tadi bukan patah 
tulang, akan tetapi hanya terkena syaraf penggeraknya saja, sehingga dirasakan amat sakit, tak ubahnya 
seperti patah tulang. 
Sebagai seorang yang cepat naik darah, Den Mas Daksa tak mau menyerah demikian saja. 
Serangan yang gagal ditengah tengah masih juga dilanjutkan dengan rangkaian tendangan kaki silih berganti, dan bersamaan dengan itu, seorang punggawa pembantunya telah pula menghunus 
klewangnya serta membantu menerjang Sujud dengan serangan bacokan yang dahsyat. Namun kembali 
lagi Sujud menghindari serangan dengan gerakan bergulingan kesamping kanan dengan cepat bangun 
berjongkok serta meloncat seperti kera meloncati kepala dua orang lawannya untuk kemudian jatuh 
berdiri dibelakang para penyerangnya didepan kuda yang sedang berdiri dengan meringkik-ringkik. 
Sungguh suatu gerakan yang mentakjubkan bagi para penyerangnya. Mereka tak menduga, bahwa 
lawannya seorang anak tanggung memiliki kesaktian yang demiksan tinggi. 
— Anak siluman jahanam! — bentak punggawa yang bertubuh pendek dengan klewangnya 
ditangan. — Rasakan babatan klewangku! Kepalamu akan menggelinding terpisah dari gembungmu!—
— Ha ha . . ha . haaaa! Menyembelih ayampun kau tak becus, apalagi akan memenggal leherku. 
Ini . . . kalau mau memenggal? — Sujud ketawa terkekeh-kekeh mengejek lawannya sambil mengulurkan 
lehernya yang pendek itu.
Dihina demikian, punggawa yang bersenjatakan klewang itu kelihatan lebih marah lagi. Mukanya 
menjadi merah padam sampai diujung telinganya, dan matanya membelalak liar menahan rasa 
dendamnya yang tak terhingga. Ia meloncat selangkah, sambil mengayunkan klewangnya dalam gerakan 
bacokan yang disertai pengerahan tenaga penuh, karena kemarahan yang telah mencapai pada 
puncaknya. Namun Sujud masih saja berdiri dengan ketawa terkekeh-kekeh dan kepalanya 
mengangguk-angguk mengejek lawannya. Klewang berkelebat diatas kepalanya, seakan-akan tak ada 
kemungkinan lagi untuk menghindari serangan yang kejam dan dahsyat itu. Tetapi dengan tidak 
diketahui bagaimana caranya, Sujud telah berada dibalik kuda yang berdiri tadi. Bacokan klewang 
mengenai tempat kosong, cepat dirobahnya mendiadi gerakan tebangan yang ternyata tepat mengenai 
kedua kaki kuda belakang yang berdiri dihadapannya. 
Tak ayal lagi kuda meringkik keras dan jatuh terkapar ditanah dengan kedua kaki belakangnya 
buntung terkena sabetan klewang. Sedangkan kuda lainnya berjingkrakan lari meninggalkan tempat itu. 
Punggawa itu segera meloncat surut kebelakang sambil berseru terkejut. 
Ternyata pada waktu klewang tadi hampir jatuh tepat diatas kepala, Sujud menyelinap dan 
menerobos dibawah perut kuda yang berdiri dibelakangnya, dengan demikian susulan rangkaian 
serangan punggawa yang tak dapat ditarik kembali, tepat mengenai kuda yang menjadi penghalang 
antara dia dan Sujud. 
– Haaaa …. ha . haaaa … . ha ….. ha! Apa kataku? Kalian hanya bisa memotong kaki kudamu 
sendiri yang tak berdosa! — Sujud berseru mengejek sambil ketawa nyaring. 
Dipermainkan demikian punggawa itu menjadi lebih beringas dan kini ia menerjang dengan 
klewangnya secara membabi buta. Sementara itu Den Mas Daksa telah lari mengejar kudanya yang 
meninggalkan tuannya. Akhirnya dapat juga kuda itu dipegang, dan segera meloncat diatas pelana, 
untuk kemudian meninggalkan teman2nya dengan tidak menghiraukan lagi. Tangannya masih juga 
dirasakan sakit dan kaku tak dapat digerakkan. 
— Sebentar aku akan kembali ! ! !. Teriaknya, sambil memacu kudanya. Dengan kecerdasan 
otaknya Sujud segera dapat menangkap makudnya, bahwa Den Mas Daksa tentu kembali dengan 
membawa bala bantuan. Dengan langkah2 ajaibnya seperti orang yang mabok, Sujud menyelinap kian 
kemari diantara sinar klewang yang berkelebatan ber-gulung2 mengurung tubuhnya, Karena 
menganggap telah cukup mempermainkan lawannya, serta yakin akan kehebatan gerakan ilmu wuru 
sakti yang dipelajarinya kini Sujud bermaksud segera ingin mengakhiri pertarungan dengan cepat. 
Sambil menyelinap dan menerobos dibawah ketiak lawan, jari jari Sujud yang telah ditegangkan 
bergerak cepat menotok lambung lawan tepat bawah tulang rusuk. Tak ayal lagi punggawa itu roboh terguling ditanah dengan jeritan tertahan. Nafasnya terasa sesak dan kemudian tak sadarkan diri. 
Melihat temannya jatuh pingsan terguling ditanah, sipunggawa yang tinggi besar segera lari sambil 
memegang lengan kanannya sendiri yang dirasakan masih sakit dan lumpuh. 
Demikian pula Sujud, dengan tak menyia nyiakan waktu lagi segera melesat pergi, meninggalkan 
tempat itu menuju kedesa dimana Martinem dan Martiman telah menunggu lama dengan penuh rasa 
cemas. 
Karena kuatir akan tersusul oleh datangnya Den Mas Daksa berserta kawan kawannya yang
belum diketahui jumlahnya, Sujud mempercepat jalannya dengan memondong Martinem dan diikuti 
oleh Martiman menusupi jalan jalan desa dan sawah sawah menuju kearah barat. 
Dugaan Sujud memang benar adanya. Tak lama kemudian Den Mas Daksa telah datang kembali 
dengan membawa duabelas orang punggawa berkuda. 
Mereka memasuki desa desa disekitarnya dimana pertempuran tadi terjadi untuk menangkap 
Sujud. Ternyata Sujud tak dapat diketemukan. Untuk melampiaskan kemarahannya orang2 desa yang tak 
mau membantu mencarinya dipukuli dengan cambuk dan ditendangi beramai ramai. 
Setelah berjalan jauh dan merasa yakin sudah terhindar dari para pengejar. Sujud menurunkan 
Martinem dari pondongannya, kemudian diajaknya berjalan sendiri sambil digandeng tangannya. 
— Kang Sujud ! ! ! Mengapa tadi kakang lama sekali Dan bajumu kumal penuh debu ? — Apakah 
kakang tadi disiksa oleh mereka ? — Martinem bertanya memecah kesunyian. 
— Och, ……. mana mungkin mereka berani menyiksaku ? Jawab Sujud sambil membusungkan 
dadanya. — Aku sampai lama menyusulmu sebab tadi aku harus menyaksikan mereka memotong kaki 
kudanya sendiri ! ! 
— Dipotong sendiri, bagaimana kang ? Dan lagi mengapa bajumu sampai kotor sekali ? 
— Dipotong sendiri ….. yah …. dipotong sendiri dengan klewangnya. Mungkin mereka butuh 
daging kuda. Tadi saya mencoba minta dagingnya sedikit saja, ternyata mereka sangat pelit. 
— Lalu kakang diapakan oleh mereka ? 
— Yaah, …. mereka mau memukulku, tapi aku dengan cepat lari sambil memungut batu dan 
segera kulempar kearahnya yang kebetulan tepat mengenai kepalanya seorang diantara mereka hingga 
benyol. Lalu mereka lari semua, takut kalau akan kulempar batu lagi ! ! 
— Kau pandai membual kang ! !. Aku agak tak percaya dengan ceritamu itu ! ! 
— Tak percaya ya sudah ! ! Habis aku harus menjawab bagaimana ? 
— Betul kok, kang Martiman ! ! Kang Sujud memang pandai sekali melempar. — Martinem 
memotong bicara dengan logat kekanak kanakan yang sangat lucu. Kini mereka bertiga berjalan sambil 
bersenda gurau dengan riangnya. Sebentar sebentar mereka tertawa terpingkal-pingkal karena masing2
senang bergurau dan melucu dengan sifat ke-kanak2annya. 
Martinem dan Martiman merasakan betapa senangnya mereka ini mengikuti Sujud yang
membekal uang banyak. Mereka tak perlu lagi kuatir kelaparan dalam pengembaraannya, sebagaimana 
telah dialaminya sewaktu mereka belum berjumpa dengan Sujud. Makanan apapun yang diinginkan 
pasti akan dibelikan oleh Sujud, untuk dinikmati bersama-sama. Hanya permimaan untuk memakai 
pakaian yang indah oleh Sujud selalu ditolak dengan kata-kata lemah lembut serta janji2
, bahwa kelak 
kalau telah sampai di Indramayu akan dibelikannya. Hal ini memang disengaja, karena mengingat 
pengalamannya sendiri, sewaktu ia minggat dari Senapaten dulu. Bukankah dengan pakaian yang bagus 
itu hanya akan menarik perhatian orang banyak? Serta akibatnya akan menimbulkan banyak kesulitan. 
Lagi pula masih berapa lama untuk menempuh perjalanan sampai di Indramayu, ia sendiri juga tidak 
dapat mengetahuinya. Dengan mengaku, bahwa mereka bertiga adalah saudara sekandung yang hendak mengunjungi 
pamannya yang kini tinggal jauh dari desa yang dilaluinya, banyak orang2 pedesan yang menaruh rasa 
belas kasihan. Dan dengan demikian mereka tak sukar untuk mencari tempat menginap diwaktu malam 
harinya. Disamping mendapat tempat untuk mengaso dan menginap, tidak jarang pula mereka 
mendapatkan pemberian sajian berupa makanan dari para orang2
yang memberikan tempat bermalam. 
Tiap kali ada kesempatan yang baik, ialah pada waktu sepi tak ter-lihat orang, Sujud selalu mengulang 
melatih diri semua pelajaran2
yang pernah diterima dari kakek Dadung Ngawuk. la melakukan latihan
2
itu biasanya pada waktu fajar atau senja ditengah2
tegalan ataupun dataran kosong yang dilalui dalam 
perjalanannya. Karena geraknya selalu aneh dan sukar diikuti maka Martiman dan Martinem hanya 
duduk menunggu didekatnya dengan mulut ternganga saja. 
Mereka berdua tidak mengerti gerakan apa yang sedang dilakukan oleh Sujud. Seringkali 
Martiman mengajukan pertanyaan mengenai perhuatan yang dilakukan oleh Sujud, akan tetapi selalu 
dijawab oleh Sujud dengan bergurau saja. Dan akhirnya Martiman menjadi bosan sendirinya untuk 
mengajukan pertanyaan2
yang sering kali ditanyakan, yang jawabannya tidak memuaskan hatinya 
Martiman. yang diketahui oleh kedua arak itu hanya gerakan2
jari2nya yang mampu memecahkan batu 
dengan totokannya. Hal ini sungguh membuat mereka berdua heran dan bangga. Sewaktu tengah 
berjalanpun, Sujud seringkali dengan tiba2 meloncat tinggi meraih dahan pohon yang dijumpai dalam 
perjalanan, dan kemudian bergantungan seperti kera didahan pohon itu. Sedangkan Martiman dan 
adiknya hanya dapat ikut bergembira sambil bertepuk-tepuk tangan memuji akan ketangkasannya yang
mengagumkan itu. 
**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa