Langsung ke konten utama

PENDEKAR DARAH PAJAJARAN JILID 01 BAGIAN II


Dikala itu, waktu telah larut malam, mendekati terang tanah pagi-pagi buta. Bintang-bintang
masih bertaburan menghiasi langit biru yang membentang mengatapi bumi, berkedip-kedip
memancarkan cahaya gemerlapan, membuat terang remang-remang. Awan tipis berpencaran jauh
diangkasa dengan bentuknya sendiri-sendiri dan berobah-robah, menambah indahnya hiasan Iangit
yang membentang cerah.
Berkokoknya ayam telah terdengar pula sahut sahutan dari kandangnya masing-masing
dikejauhan.
Dijalan-jalan besar yang silang menyilang di Kota Rajapun masih sunyi.
Pintu-pintu rumah yang berderetan dipinggir jalan masih tertutup rapat-rapat. Angin sepoi-sepoi
basa, meniup pelan, dan hawa dingin terasa masuk menusuk tulang-tulang badan.
Dengan langkahnya yang berat dan tidak menentu, seorang anak laki2
tanggung berusia 14
tahun menyelajahi jalan jalan besar di Kota Raja, tanpa menghiraukan sepinya suasana serta hawa
dingin yang menusuk sampai pada tulang2nya. Angan-angannya merana jauh tak menentu, hingga
hampir saja ia terbentur pada sebuah pohon besar iang berada dipinggir jalan yang dilaluinya. Namun ia
berjalan Iurus keutara dengan sebentar-sebentar menengok kebelakang. Gedung Senopaten makin lama
makin jauh ditinggalkan.
Ia memakai baju warna merah jambu terbuat dari kain sutra, dengan kancing - kancingnya
terbuat dari emas murni, serta bercelana warna biru laut. Masih pula ia mengenakan sarung hijau
dengan ber kembang2
tersulam dari benang sutra warna kuning keemasan. Timang ikat pinggangnya
terbuat dari emas murni berukirkan burung garuda.
Dikedua belah pergelangan tangannya melingkar sepasang gelang mas, dan sebuah kantong
kulit halus selebar satu jengkal tergantung dipinggang sebelah kiri. Dengan berpakaian demikian Sujud
menyerupai seorang putra bangsawan yang memegang jabatan tinggi di Kota Raja. Namun rambutnya yang gondrong, kelihatan kusut tak terurus. Wajahnya yang tampan berbentuk bulat telor dengan 
sepasang alisnya yang tebal, nampak lesu tidak bersinar. Tetap ia masih saja berjalan ….. Ternyata diluar 
kota lalu lintas telah mulai menunjukkan kesibukannya. Suara percakapan yang diiringi gelak tawa riang 
dari para pedagang2 desa yang berjalan menuju ke Kota Raja berduyun2
, membuat suasana menjadi 
ramai. 
Mungkin karena pakaian yang dikenakan demikian mewah dan menyolok itu, maka para 
pedagang2
yang berjalan berpapasan selalu membuang waktu sesaat untuk mengamat-amati dengan 
cermat kearah Sujud. Ada pula diantara mereka yang mem bungkuk2
kan badannya, sewaktu 
berpapasan. Jelas bahwa pakaian yang dikenakan itu menarik perhatian bagi yang melihat.
Mereka berbisik-bisik, mempercakapkan tentang Sujud dengan pendapat dan tafsiran masing2
Kini sang surya telah mulai mengintai dari kejauhan disebelah timur. Cahaya warna merah lembajung 
membiasi alam semesta, Bintang fajarpun telah lenyap tersapu oleh pancaran cahaya lembayung yang 
membara itu. Tanda fajar telah mulai menyingsing. Dengan lambat, sedikit demi sedikit sang surya 
menampakkan seluruh tubuhnya ….. Dan cahaya merah lembajungpun pelan-pelan menjadi cahaya 
terang benderang ….. Hari kini telah berganti dengan pagi ..—Burung-burung berlintasan diangkasa dari 
segenap penjuru, sambil bersiul-siul dengan nada dan iramanya sendiri-sendiri, menambah indahnya 
suasana alam diwaktu pagi itu. 
Para petani telah berangkat pula menuju kesawahnya masing-masing dengan membawa alat-
alat pertanian mereka, seperti badik, cangkul dll., untuk mengolah tanahnya. 
Sujud masih saja terus berjalan, menyusuri tanggul Bengawan kehulu. la masih ingat, bahwa 
dengan menyusuri kali Bengawan itu, ia dapat tiba di Ngawi sebuah desa kecil yang dahulu ia pernah 
tinggal dengan orang tua angkatnya, Kyai Tunggul. la masih ingat pula kepada Martiman dan Martinem, 
dua kanak-kanak yang telah kehilangan ayahnya. 
Kini tujuannya akan berkunjung kedesa Trinil, dimana kedua anak-anak itu bertempat tinggal 
bersama ibunya. 
Setelah menemukan tujuannya yang pasti, kini kegelisahan dan kerisauan dalam hatinya 
menjadi berkurang. Dan perlahan-lahan ia menjadi sadar kembali akan apa yang telah diperbuatnya. Ia 
ketawa geli sendiri, setelah memperhatikan pakaian yang demikian mewah yang dikenakan itu. 
Tidak heranlah apabila tiap-tiap orang yang berpapasan selalu memperhatikan padanya. 
Ia berhenti dan duduk sejenak dibawah pohon dipinggir tanggul untuk membuka bajunya serta 
melipatnya untuk kemudian disimpan dalam kantong kulitnya. Demikian pula sepasang gelang dan 
timang ikat pinggangnya dimasukkan kedalam kantong itu. Kini ia hanya tinggal mengenakan celana dan 
berkain sarung saja, sedangkan badannya dibiarkan telanjang begitu saja. Tanda tailalat sebesar ibu jari 
warna merah kehitaman, nampak jelas di lengan kirinya.
Pada malam harinya ia mengaso digardu tempat orang meronda, dan pagi-pagi buta ia 
berangkat melanjutkan perjalanannya kembali. 
Panas teriknya sang surya yang memancar dari ketinggian diatas kepalanya membuat ia sangat 
letih dan peluhnya dirasa kan telah membasahi badannya. Perutnya terasa sangat lapar, namun ia tidak 
perlu kuatir, karena uang yang dibekalnya cukup banyak untuk membeli makanan dalam perjalanan. la 
menoleh kekanan kiri mencari warung perdesan disekitarnya. Tiba-tiba dilihatnya banyak orang yang 
sedang berkerumun, berjongkok mengitari lapangan dipinggir sebuah desa yang berada dibawah 
tanggul sebelah selatan. Suara sorak sorai yang riuh ramai terdengar dari kejauhan. Setelah ia 
mendekati, ternyata orang-orang itu sedang asyik mengadu ayam jantan dengan bertaruh uang. Orang 
otang yang berjualan makananpun banyak pula berada disekitar lapangan itu. Sujud segera duduk ditempat orang yang jualan gulai kambing, dan makan nasi gulai dengan 
lahapnya. Setelah membayar makanan yang telah dipesannya, ia bangkit dan berjalan mendekati 
tempat orang-orang yang sedang mengadu ayam. Ia bermaksud ingin melihat dari dekat sebentar sambil 
mengaso. Ia turut pula duduk berjongkok, mengikuti para botoh yang sedang mengadu untung. 
Gelak tawa dan sorak sorai orang-orang yang mempunyai harapan untuk menang dalam 
bertaruh, bercampur dengan cacian dan gumaman orang-orang yang merasa tipis akan kemenangannya, 
untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat. 
Bahkan diantara mereka para botoh telah ada yang menghitung hitung kerugian yang akan 
dideritanya. 
— Ayo, siapa berani lawan taruhan!!!. Sepuluh duabelas. — Teriak seorang yang bertubuh 
pendek hitam dengan mukanya kasar penuh jerawat. 
— Sepuluh tiga belas!!!. — Jawab seorang didepannya dengan suara lantang. — Dan saya 
pegang atas, siapa berani? 
— ia melanjutkan bicaranya untuk menantang taruhan pada orang-orang disekitarnya. 
Seorang tampan dan berpakaian rapih menyahut dengan suara tak kalah lantangnya. — Jika ada 
yang berani mengapit, berapa saja pasti akan kulayani. — Suaranya sangat berpengaruh, ternyata orang-
orang banyak segan menghadapi tantangannya, sungguhpun jika ada yang berani mengapit tidak akan
menderita kekalahan. 
— Biar hancur aku akan tetap bertaruh pada ayamku sendiri! Ayo........ siapa berani mengapit? 
— Ia mengulang tantangannya, dengan muka yang merah padam, menekan rasa marah karena telah 
menderita kekalahan tidak sedikit jumlahnya. 
Ternyata pertarungan ayam jantan yang sedang berlangsung itu kelihatan berat sepihak, tidak 
seimbang. 
Ayam jantan yang berulas wiring gading kuning keemas-emasan telah kehabisan tenaga, dan 
hanya menunduk menerima patokan dan pukulan taji yang bertubi-tubi dari ayam jantan yang berulas 
warna hitam kemerah ketnerahan, yang lazimnya disebut wido, sebagai lawannya. Akan tetapi ayam 
yang berulas wiring gading itu ternyata memang mempunyai daya tahan yang sangat kuat. Ia tetap tidak 
mau lari meninggalkan gelanggang, walaupun sudah tak dapat lagi membalas serangan lawanya. Kepala 
dan sayapnya telah berlumuran darah. Sebentar-sebentar kepalanya menyelinap dibawah sayap lawan, 
untuk menghindari patokan yang bertubi-tubi. Lima enam orang kini sedang berkumpul untuk 
merundingkan tentang rantangan bertaruh yang baru saja diucapkan oleh orang yang tampan itu.
— Kang Wongso, berapa masih sisa uangmu seluruhnya? — seorang diantara yang berkumpul 
dan bertubuh pendek tam bertanya. 
— Duapuluh uang perak, — jawabnya, sambiI mengawasi jalannya pertarungan yang masih 
bertangsung. 
— Bari …… Berapa uangmu semua? — tanya orang yang bertubuh pendek hitam itu pula. 
— Ada, kalau hanya lima puluhan uang perak saja. — Jawab Bari sambil menunjukkan uang 
perak yang segera dari kantongnya serta ditunjukkan seraya bertanya Dan kau sendiri, berapa kau mau 
bertaruh. Jo? 
— Orang hitam yang penuh dengan jerawat dimukanya itu terkenal dengan namanya Arjo 
Gepeng. la seorang saudagar hasil bumi di Bojonegoro yang terkenal kaya. 
— Sekali ini aku akan menebus kekalahanku, kata Arjo Gepeng dengan nada mantap, seakan-
akan ia pasti akan menang. 
— Uangku semua akan kutaruhkan untuk melawan tantangan Den Demang Jlagran. Biar ia hancur betul-betul, seperti apa yang dikehendaki sendiri, — katanya melanjutkan. — Siapa lagi mau ikut 
menumpang pada taruhanku?—
Setelah ia menghitung-hitung semua milik uangnya dan uang orang-orang yang ikut bertaruh 
dipihaknya, ia segera menongolkan kepalanya, serta berseru lantang, —Den Demang ….. Tantanganmu 
aku terima. 
Lima puluh uang mas dan aku pegang atas!!!—
— Jadi!!! — Jawab orang tampan tadi dengan suara lantang dan sombong. Dialah yang dipanggil 
dengan sebutan Den Demang. Memang sesungguhnya ia adalah Demang dari desa Jlagran, dan lazimnya
orang - orang menamakan dirinya Den Demang Jlagran. Ia adalah orang yang berpengaruh dan terkenal 
pemberani yang selalu gemar membuat keributan.
Bahkan tidak sedikit, orang yang mengetahui bahwa Den Demang Jlagran adalah orang yang mempunyai 
pengaruh dikalangan para penjahat. Iapun terkenal pula mempunyai ilmu kekebaIan. 
— Awas !! ! Jangan mengingkari !!! Mana uangmu !!! — Bentaknya sombong. 
Tetapi Arjo Gepeng kiranya bukan orang yang baru saja terjun digelanggang adu ayam. Dengan 
cepat ia menyahut sambil ketawa mengejek. 
— Ha, ha, ha …… seharusnya malah aku yang bertanya, mana uangrnu !!?—
Mendengar suara Aijo Gepeng yang diiringi pula dengan tawa mengejek itu, Demang Jlagran 
kelihatan merah padam mukanya. Serta menjawab dengan mata melotot: — Bangsat Gepeng !!!. Ni
Uangku !!! — Berkata demikian sambil melemparkan uangnya segenggam, berupa uang perakan dan 
beberapa uang emas kearah Arjo Gepeng. Tetapi terang bahwa uang yang dilemparkan itu tidak akan 
lebih nilainya dari sepuluh uang emas. 
— Awas !!. Siapa berani mengambil akan kuhancurkan kepalanya!!— ia melanjutkan 
gertakannya. 
Uang jatuh bergemerincingan ditanah dan menggelinding tersebar dtbawah para penonton. 
Diantaranya ada pula yang berada didekat Sujud berjongkok. Akan tetapi tidak seorangpun yang berani 
memungutnya. Mereka pada umumnya jeri menghadapi marahnya Den Dernang Jlagran.
Suasana menjadi tambah gaduh, dan perhatian para penonton kini terpecah menjadi dua. 
Sebagian masih tetap berpusat pada pertarungan ayam yang masih berlangsung, dan sebagian lagi 
terpusat pada Demang Jlagran yang sedang melampiaskan kemarahannya dengan kata - kata yang kasar 
dan lantang. 
Tiba - tiba para penonton serentak bersorak ramai dan masing - masing mengeluarkan seruan 
penuh rasa girang, karena mendengar berkeyoknya ayam jantan berulas wiring gading, terkena pukulan 
taji dikepalanya oleh lawannya dengan tepat, dan segera lari menghindari ayam lawannya wido. Suatu 
tanda bahwa ayam wido telah memenangkan pertarungan itu.
Tetapi belum pula para penonton mengakhiri sorak sorainya, tiba-tiba Demang Jlagran meloncat 
ketengah-tengah lapangan, dan menendang ayam wido yang sedang berkokok karena kemenangannya. 
Dengan tendangan kaki kanan yang tepat, ayam wido itu terkapar berkelejotan, untuk kemudian tidak 
bernafas. Kini keadaan menjadi semakin kacau balau. 
--- Hai, Demang Jlagran !!. — seru Arjo Gepeng sambil maju menghadapi Demang Jlagran. —
Jangan mentang mentang kau seorang Demang, dapat berbuat semena-mena, menurut kehendak 
nafsumu sendiri!! 
--- Berani menendang ayamnya, tentu aku berani pula menghadapi pemiliknya Ayo!! Siapa saja 
yang merasa tidak puas, boleh maju serentak, uutuk menerima pembagian tinjuku!!!—
Demang Jlagran menentang orang orang yang hadir, dengan pandangan mata yang berapi api sambil menuding nudingkan telunyuknya kearah Arjo Gepeng dan kawan kawannya. 
Lima enam orang segera maju serentak dan menyerang Dernang Jlagran dengan pukulan dan 
tendangan yang dahsyat. Tetapi Demang Jlagran telah siap menghadapi pengeroyokan dari orang orang 
yang dipimpin oleh Arjo Gepeng. Dengan tangkasnya ia meloncat selangkah kesamping kanan untuk 
menghindari serangan lawannya sambil mengirim pukulan dengan telapak tangan kirinya ketengkuk 
salah seorang lawan pengeroyoknya. 
Seorang yang terkena pukulan segera jatuh tertelungkup dan tak sadarkan diri. Melihat keadaan 
demikian, Arjo Gepeng segera menerjang maju dengan gerakan jurus tendangan berangkai kearah 
lambung kiri. Dan kembali lagi Demang Jlagran menunjukkan ketangkasannya yang mentakjubkan. Ia 
tidak meloncat menghindari, tetapi malah menyambut tendangan lawan dengan pukulan siku tangannya 
yang ecgera disusul dengan serangan tebangan telapak tangannya kearah pinggang Arjo Gepeng. 
Benar benar gerakan tangkisan Demang Jlagran ini merupakan jurus pengunci serangan lawan 
yang dahsyat. Tidak ayal Arjo Gepeng jatuh terlentang ditanah, dan bergulingan menghindari datangnya 
serangan rangkaiannya. Keributan ternyata meluas. karena para botoh yang karah sebagian besar tidak 
mau juga membayar taruhannya mengikuti jejak Demang Jlagran. Dengan demikian maka perkelahian 
seru segera terjadi dalam kalangan. Sebagian lagi masih juga ada yang hanya bertarung Iidah, dengan 
lontaran kata kata makian yang kasar. Sujud masih juga berdiri dengan mulut ternganga demi melihat 
keributan2
yang sedang berlangsung, dengan tangannya memegang erat erat pada kantong kulitnya 
yang tergantung dipinggangnya. Orang orang yang tidak mau terlibat dalam perkelahian itu segera 
meninggalkan lapangan, dan orang orang yang berjualan, segera mengumpulkan dagangannya untuk 
dibawa menyingkir menjauhi tempat keributan, takut keterjang oleh orang orang yang sedang berkelahi. 
Jeritan orang orang yang terluka susul menyusul bercampur aduk dengran suara cacian dan sumpahan, 
serta seruan panggilan tertuju pada orang orang yang melarikan barang ataupun uang yang bukan 
miliknya. 
Empat orang pengikut Arjo Gepeng serentak menerjang Demang Jlagran dengan bersenjata 
tajam ditangannya masing masing. Dua orang bersenjatakan golok panjang, seorang bersenjatakan 
parang arit, sedangkan yang seorang lagi bersenjatakan keris. Serangan serentak yang berlawanan 
arahny, keleher, dada dan Iambung, merupakan serangan maut yang sangat berbahaya bagi Demang 
Jlagran. Namun lawannya adalah Demang Jlagran bekas murid Tambakraga yang telah mempunyai 
pengalaman luas. la berseru nyaring sambil melesat meloncat surut kebelakansg satu langkah 
menghindari semua serangan, dan seraya menghunus kerisnya, serta kembali meloncat menerjang 
kedepan dalam jurusnya „serangan tusukan berperisai”.
Tangan kirinya merupakan gerakan sampokan sebagai perisai, sedangkan keris terhunus 
ditangan kanannya meluncur secepat kilat dan bersarang pada lambung kiri lawan yang terlambat 
mengelak. Jerit ngeri terdengar. 
Daah menyembur dari Iambung kiri karena kena tusukan keris Demang Jlagran. Seorang 
pengeroiok tadi terkulai ditanah dan tak bernapas lagi. Demi melihat salah seorang kawannya mati 
terkena tusukan keg is Demang Jlagran, mereka segera meloncat surut kebelakang dua langkah, untuk 
kemudian .Menjauhi lawannya karena merasa jeri. 
— Ayo …… siapa yang akan menuntut bela, ini Demang Jlagran ! ! 
Berkata demikian Demang Jlagran sambil menginjak dengan kaki kirinya ketubuh orang yang 
telah menjadi mayat tadi, dengan mata yang bernyala nyala. Orang-orang lari tunggang langgang 
meninggalkan lapangan. Takut akan mengamuknya Demang Jlagran yang telah terkenal kebal dan 
bersifat kejam. Demikian pula Sujud tidak ketinggalan pula. Melihat kejadian yang ngeri itu, ia tak tahan, dan menutup matanya dengan kedua tangannya, 
sambil membalikkan badannya akan meninggalkan tempat keributan itu. Tetapi tiba ttba Demang 
Jlagran dengan tangkas meloncat dan menghadangnya, serta merebut kantong kulit yang tergantung 
pada pinggangnya dengan tangan kiri, sambal membentak lantang ! Hai, serahkan kantongmu yang 
bagus itu, akan kuperiksa isinya ! 
Dengan tak menjawab Sujud memukul pergelangan tangan kiri Demang Jlagran sambil meloncat 
kesamping kanan, untuk mempertahankan kantong miliknya yang erat erat tergantung pada ikat 
pinggangnya. 
Demang Jlagran terkejut. Dilepaskanlah pegangan tangan kirinya pada kantong kulit, sambil 
berseru --- Bangsat …. Anak bedebah….. Berani kau menentang, heh ….. Berkata demikian Demang 
Jlagran menerjang kearah Sujud sambil melancarkan serangan tinju kearah pelipisnya. 
Cepat Sujud menundukkan kepalanya untuk menghindari serangan tinju yang hampir bersarang 
pada pelipisnya, sambil berusaha untuk lari menjauhi orang yang sedang kalap. Akan tetapi belun juga ia 
dapat melangkahkan kakinya untuk rnenghindar, kaki Demang jlagran telah menerjang dengan gerakan 
jurus berpusing menutup langkah lawan. 
Sambil berjongkok diatas kaki kiri, kaki kanannya berputar menyerampang kaki Sujud yang akan 
melangkah lari. Tak ayal lagi. Sujud segera jatuh tersungkur, dan kepalanya terbentur pada batu ditanah. 
Kiranya serangan itu tidak hanya berbenti sampai disitu. Pergelangan tangan Sujud yang masih dalam 
keadaan jatuh tersungkur, cepat dicengkerami dengan tangan kiri. Ujung keris ditangan kanannya
ditempelkan kepunggung Sujud, sambil membentak, — Tidak peduli kau anak setan jika kau berani 
bergerak, kerisku akan menembus sampai kedadamu !!! — Ayo serahkan kantong kulitmu!! !—
Dalam keadaan yang demikian, Sujud diam tak berani bergerak. Namun ia tetap berkeras kepala 
tidak mau menyerahkan kantong kulitnya dan tidak mau menjawab bentakan-Demang Jlagran. Akan 
tetapi sebelum Demang Jlagran dapat merebut kantong kulit Sujud, tiba-tiba seorang bermuka bengis 
serta bercambang bawuk yang lengannya kutung sebelah, menyerang dengan sebuah tendangan yang 
tepat mengenai tangan kanan Demang Jlagran yang sedang memegang keris. 
Serangan tendangan itu sangat keras dan datangnya secepat kilat dalam gerak bentuk jurus 
„jlontrotan" atau tendangan dari jarak jauh yang dilancarkan sambil meloncat, Keris lepas dari 
genggaman dan terpental jatuh ditanah dalam diarak tiga langkah, dari pemiliknya. Menanggapi 
serangan yang tiba tiba itu, Demang Jlagran berseru terkejut. Ia meloncat surut kebelakang sambil 
melepaskan tangan Sujud yang tadi dipegangnya. Ternyata orang bertangan satu itu sangat tangkas 
gerakannya. Serangan tinjunya menyusul menerjang kepala Demang Jlagran yang sedang surut 
kebelakang dan belum sampai berpijak ditanah. Terkena pukulan tinju dikepalanya, Demang Jlagran 
meerasa pusing dan pandangannya berkunang-kunang, untuk kemudian terguling ditanah. 
Sujud yang sedang jatuh tertelungkup, setelah merasa tangannya terlepas dari pegangan 
Demang Jlagran, cepat bergerak untuk bangkit, tetapi sebelum dapat berdiri tegak, tengkuknya telah 
terpukul oleh orang yang bertangan satu, dengan pukulan tebangan telapak tangan. Tanah yang 
dipijaknya dan orang orang yang berada disekelilingnya dirasakan berputaran... pandangannya kabur 
dan berkunang kunang ........ 
Dengan tidak terasa ia jatuh terkulai kembali dan tidak sadarkan diri. Orang-orangnya semula 
mengira bahwa penyerang Demang Jlagran yang bertangan satu itu adalah orang tuanya daripada anak 
tanggung ataupun pengasuhnya. Tetapi dugaannya meleset. Mereka hanya berdiri ternganga, tidak tahu 
apa kehendak orang bertangan satu. Sebelum orang orang dapat berbuat sesuatu, dan Demang 
Jlagranpun belum bangkit kembali, orang bertangan satu telah rnenyambar badan Sujud dan menaruhnya dipundak kiri, untuk kemudian melesat berlari sambil menggendong Sujud, meninggalkan 
lapangan. 
Pada saat orang bertangan satu tadi melesat melarikan diri, Demang Jlagran telah bangkit 
kembali dan lari mengejar, sambll berseru kepada kawan2nya : — Kejar dan tangkap si tangan buntung. 
Empat orang segera mengikuti lari serentak, ikut mengejar larinya orang, yang bertangan satu yang 
membawa sujud dalam pondongannya. Akan tetapi berat badan Sujud diatas pundaknya, seakan-akan 
tidak mempengaruhi kecepatan larinya yang bagaikan berkelebatnya bayangan. Waktu yang hanya 
sejenak, kiranya telah cukup bagi orang yang bertangan satu itu, untuk membuat jarak antara dengan 
para pengejar cukup jauh. Sehiggga tidak mungkin para pengejar dapat menangkapnya. 
Waktu itu …… senja baru saja berlalu ….. dan hari mulai gelap samar-samar ……………Awan yang 
menggantung diangkasa kian lama, semakin tebal, dan sinar cahaya berkedipnya bintang bintang, kini 
tidak mampu menembus awan gelap yang demikian tebalnya. Gelap samar-samar kini berubah menjadi 
gelap gulita, hingga sukar untuk membeda-bedakan bentuk benda2
yang hampir sama besarnya. 
Menganggap bahwa dirinya telah aman dari kejaran orang-orangnya Demang Jlagran, maka larinyapun 
dikurangi kecepatannya. Jarak antara dirinya dengan para pengejar semakin jauh tertinggal di belakang. 
Dengan sangat kasarnya, orang bertangan satu itu membanting Sujud ditanah diatas pematang 
ditengah-tengah tegalan. Serta duduk melangkah dipunggungnya Sujud yang belum sadarkan diri.
Ia melepaskan cambuk yang panjangnya kira kira satu setengah depa dari pinggangnya, untuk 
mengikat erat kedua belah tangannya Sujud dengan ujung cambuk itu. Ia mengerjakan ikatan yang 
demikian erat itu hanya dengan sebelah-tangannya yang dibantu dengan gigitan mulutnya. Akan tetapi 
demikian cepat dan cermat, tidak ubahnya seperti orang biasa mengerjakan dengan kedua belah 
tangannya. Setelah yakin bahwa ikatan itu cukup kuat, maka baru ia bangkit dari duduknya dengan 
memegang gagang cambuknya erat - erat, sambil menengok kekanan kekiri, seakan-akan kuatir akan 
diketahui orang, ataupun kuatir akan datangnya pengejar. Ternyata kegelapan malam itu banyak 
membantunya, karena para pengejar telah kehilangan jejak buruannya. 
Sebentar sebentar terdengar guruh guntur menggelegar diangkasa dengan diselingi suaranya 
kilat yang menyambar susul menyusul. 
Hujan mulai turun dengan derasnya. Laksana air bah yang tumpah dari langit. Karena derasnya 
air hujan, Sujud tersentak sadar kembali dan dengan susah payah karena tangannya terbelenggu ia 
bangkit berdiri. Seluruh badannya basah kuyup. Juga orang yang bertangan satu. 
Melihat Sujud sadarkan diri, ia ketawa puas dan lari menuju ketepi desa sambil menyeret Sujud 
dengan menarik pada cambuknya. 
Dalam keadaan terpaksa dan tidak berdaya sama sekali Sujud lari sempoyongan mengikuti. 
Rintihan karena merasakan sakit seluruh tubuhnya tidak tertahankan. Dalam kegelapan dan hujan yang 
tak kunjung berhenti itu, Sujud jatuh bangun sambil berlari terus. Orang yang bertangan sebelah itu 
ternyata tidak mempunyai belas kasihan sedikitpun. Sujud diseretnya terus sambil berlari. Dengan nafas 
yang tersengal-sengal dan badannya basah kuyup serta berlepotan tanah, Sujud akhirnya jatuh 
terperosok dibawah pohon yang berada dipinggir sebuah desa, dimana orang bertangan satu itu telah 
berdiri didepannya dengan masih memegang erat pada gagang cambuknya yang ditariknya lebih dekat 
lagi dan kemudian membiarkan Sujud tersungkur ditanah. Hujan masih saja turun semakin deras. Kilat 
sebentar - sebentar kelihatan dan kedengaran menggelegar dengan cahayanya yang berkilauan, disusul 
dengan suara guntur yang gemuruh mengumandang diangkasa. 
Orang bertangan satu kini mendekati Sujud dengan berjongkok, sambil mengusap mukanya 
yang basah kuyup oleh air hujan dengan siku tangannya, yang hanya sebelah. Diperlakukan demikian, Sujud menunjukkan silat yang kepala. Tak mau ia menangis merengek rengek. la percaya bahwa 
tangisnya tidak akan mengurangi siksaannya.
— Pak Buntung!!. Mengapa aku kau belenggu dan kau seret terus?? — tanyanya, dengan masih 
tengkurap ditanah. 
— Kurang ajar!!,— desisnya: — Berani kau memanggilku dengan Pak Buntung!! — Ha, ha, ha 
....... !! Dasar anak bandel !! Sekali lagi kau memanggil demikian, aku sobek mulutmu yang lancang itu!! 
Orang bertangan satu menjawab dengan kasar dan ketawa mengejek 
— Habis, aku harus panggil apa?, — Sujud membantah, dengan tidak menghiraukan sakit akatt 
pukulan. 
--- Panggillah aku dengan Tuan Saputra . . . yaaahhh . ..Gusti Durga Saputra tahu!!l!?, jawab 
orang bertangan satu dengan kasarnya. 
— Bukankah kau anak dari Buputi Wirahadinata yang bernama Sujud? 
Yang sekarang menjadi adik angkat Senopati Indra?, ia melanjutkan bertanya. 
--- Memang aku Sujud adik angkat kakang Senopati Indra, …… tetapi mengapa kau 
membelenggu aku?, Sujud menjawab sambil bertanya. 
— Cukup!!! Diam!!!! Jawabnya singkat. 
Tahukah bahwa yang membuat lenganku yang sebelah kutung adaIah kakakmu bersama 
Bapakmu dengan gerombolannya?. Nahhh ….. jika kau sudah tahu, sekarang aku akan membalas 
dendam pada Bapakmu terlebih dahulu. Dengan kau ditanganku, tentu semua perintahku akan diturut. 
Mengerti !!!!. 
Durga Saputra menjelaskan dengan diiringi ketawa mengejek, karena merasa bahwa ia tentu 
akan berhasil membalas dendam pada Wirahadinata dan Indra Sambada. 
 ----Haaa,.... haaaa, dan setelah Bapakmu dan kakakmu kucincang, baru nanti jatuh giliranmu 
sendiri. Atau, kau tak usah aku bunuh tetapi kukutungi kedua kelah lenganmu, saja ! ! 
— Sungguh kata-kata itu cukup untuk membuat bulu tengkuk Sujud berdiri, tetapi ia tidak mau 
memperlihatkan takutnya.
Dengan beraninya ia berkata lantang: ---- Kau akan membunuh kakang Indra? Orang seperti kau 
yang berlengan satu tidak mungkin dapat mengalahkan kakang Indra. — Kurang ajar desisnya. — Berani kau manggilku dengan Pak Buntung ! ! ? — Ha, 
ha, ha, ha ! Dasar anak mbandel ! ! Sekali lagi kau mem inggil demikian, aku sobek 
mulutmu yang lancang itu 
Kau sendiri yang akan mati dengan kepala hancur berantakan, terkena pukulannya, sebelum kau dapat 
menyentuh bajunya!!! ----
Apa ???? Plak plak!!!! — Tamparan tangan Durga Saputra bersarang dipipi Sujud dua kali. Dan 
dirasakan cukup pedih. 
— Tutup mulutmu !!!! bentaknya kasar — Sebentar setelah hujan berhenti kau akan kuseret 
lagi, sampai setengah mampus!!!!! Tahu??? 
— Orang yang bertangan satu itu memang benar bernama Saputra adanya. Nama lengkapnya Durga Saputra. 
Ia adalah adik kandung dari Durgawangsa yang pernah menjadi Patih gadungan bergelar
Lingganata di Kabupaten Indramayu, dan telah mati terpenggal kepalanya oleh Tumenggung tamtama 
Cakrawirya dalam pertempuran di Kabanyaran Agung Indramayu. Dimana ia sendiri mendapat cidera 
patah hancur tulang tangan kanannya, karena dahsyatnya remasan cengkeraman Indra Sambada: 
Akhirnya terpaksa dikutungi sewaktu ia dirawat dalam penjara Kota Raja sebagai nara pidana. 
Wajahnya dahulu tampan. Setelah lengannya kutung sebelah, cambang bawuknya dibiarkan 
tumbuh melebat yang tak terawat itu. Mukanya berubah menjadi bengis dan kasar mengandung rasa 
dendam. Ia tahu bahwa yang memimpin pasukan tamtama Kerajaan waktu itu adalah Indra Sambada 
yang sekarang menjabat Senapati Muda di Kota Raja. Dan ia tahu pula bahwa gerakan pembersihan itu 
dilakukan atas petunjuk dari Bupati Wirahadinata, yang sekarang telah diangkat kembali menjadi Bupati 
di Indramayu. (Baca: Seri Pendeka• Majapahit") —
Akan tetapi untuk membalas dendam kesumat yang terpendam dalam hatinya secara langsung 
menghadapi Indra Sambada dan Wirahadinata tidak akan mampu dan merasa takut. Maka demi melihat 
Sujud dalam perjalanan di desa Sumberrejo adalah suatu kesempatan baginya yang baik untuk 
melaksanakan maksudnya, dengan menggunakan Sujud sebagai perisai. 
Ia belum lama berselang telah dibebaskan dari penjara di Kota Raja, dengan mendapat ampunan 
setelah lengan kanannya dikutungi. Karena pandainya merengek-rengek mohon ampun dengan janji-
janji yang muluk2
, bahwa ia tidak akan melakukan kejahatan lagi. Maka ia segera dibebaskan dari 
hukumannya. Tetapi kiranya sifat2
sebagai penjahat telah melekat pada kulit dagingnya. Semua janjinya 
hanya diucapkan demi untuk mencari jalan selamat, agar kembali dapat melakukan kejahatan. 
Mendengar kata-kata ancaman dari Durga Saputra itu, Sujud sepatah katapun tidak mau 
menjawab. Rasa takutnya lenyap sama sekali, karena tertutup oleh rasa benci yang meluap-luap. Giginya 
terkatub rapat menahan kemarahan. Ingin ia rasanya dapat melawannya, akan tetapi dengan tangannya 
yang terbelenggu ia tak dapat berdaya sama sekali. 
Awan gelap yang tebal itu kian menipis. Bintang2 mulai menampakkan sinar cahayanya yang 
masih pudar. Gumuruhnya suara guntur diangkasa masih juga terdengar walaupun jarang. Dan derasnya 
hujanpun kini telah mereda. 
Dengan gagang cambuknya yang masih selalu digenggamnya, Durga Saputra bangkit berdiri, 
memandang ke langit yang semakin terang itu. 
— Ayoo!!! Lekas lari!!! — bentaknya kasar sambil menarik pada cambuknya. — Ikuti aku! 
Sebelum fajar kita harus sudah sampai diseberang kali Bengawan!—
Karena tarikan sendalan tali belenggunya, Sujud bangkit berdiri dan lari sempoyongan lagi 
mengikuti langkah Durga Saputra. MIelewati tanah tegalan yang becek, menuju ke tanggul tebing kali 
Bengawan yang tidak seberapa jauh dari tempat itu. Malang baginya, kakinya tersandung pematang 
tegalan hingga jatuh terguling ditanah yang becek itu. Durga Saputra terpaksa berhenti sejenak, 
menunggu sampai Sujud bangkit kembali. — Ayo lari! Jika malas berlari, akan kuseret badanmu! 
Gumannya sambil berlari serta menarik cambuk tali belenggu Sujud. Terpaksa Sujud mengikuti lari 
pontang-panting.
Langit mulai cerah. Bintang-bintang kembali memancarkan cahaya yang berkeredipan, membuat 
alam menjadi terang samar-samar. Hujan telah berhenti sama sekali.
Setelah mereka sampai diatas tanggul tebing kali Bengawan Durga Saputra menghentikan larinya. 
Mereka mulai berjalan biasa menyusuri tanggul kehulu. 
Kiranya hujan lebat yang baru saja berlalu, membuat kali Bengawan menjadi banjir. Airnya meluap hampir setinggi tanggul dan mengalir dengan derasnya. Suara derasnya arus, terdengar 
gemuruh tak kunjung padam. 
Kini Durga Saputra berjalan dengan pelan diikuti oleh Sujud yang masih terbelenggu, seakan-
akan yang sedang dicari. Akan tetapi ternyata yang dicarinya tidak kelihatan ada ……. ialah ….. perahu 
sampan ataupun perahu rakit !!! 
Perahu-perahu sampan yang tertamhat ditepian, kiranya banyak yang hanyut terbawa oleh 
derasnya air. Sedangkan diantaranya banyak pula yang telah dibawa oleh pemiliknya keatas daratan 
dihalaman masing2
. Belum juga mereka menemukan perahu untuk menyeberang, dua orang berkelebat 
mendatang didepannya Durga Saputra. 
--- ini orangnya !— seru seorang diantaranya, sambil mengacungkan golok panjangnya yang
mengkilat tajam, diikuti oleh seorang temannya yang bersenyata klewang. 
Durga Saputra terkejut sesaat, demi melihat dua orang yang menghadang dirinya. 
— Hai Mandra dan Dasim! Apa yang kalian kehendaki? Durga Saputra menegur dengan nada 
lunak, menutupi rasa gelisahnya. 
— Jangan berlagak tolol! — Serahkan kelinci gemuk itu padaku! Kau boleh berlalu dari sinii ! —
Bentak Dasim yang bersenjatakan klewang. 
Dua orang itu adalah bekas anak buahnya. Mereka merasa selalu tertipu olehnya dalam hal bagi 
hasil, sewaktu masih mengerjakan perampokan dan pemerasan. Mereka juga mengalami nasib yang 
sama sabagai nara pidana di Kota Raja. Waktu dibebaskanpun bersamaan pula. Tetapi karena sifat-silat 
kepalsuan Darga Saputra yang selalu tidak adil dalam membagi hasil kejahatan mereka bersama, 
menimbulkan rasa dendam yang telah lama dikandungnya. Sejak sebelum turun hujan kedua orang itu 
telah mengejar Durga Saputra, dengan maksud akan merampas Sujud tawanannya. Sebagai bekas anak 
buah, mereka berdua tahu bahwa Sujud dapat dipergunakan untuk meminta uang tebusan yang tidak 
sedikit jumlahnya pada Wirahadinata ataupun pada Indra Sambada. Dengan tak mau lagi tertipu untuk 
kesekian kalinya, mereka berdua berhasrat besar untuk merampas Sujud, dan mengerjakan niat 
jahatnya tanpa Durga Saputra. 
— Jika yang kalian maksud adalah uang tebusan tawananku ini, haraplah kau berdua sabar 
sernentara. Nanti setelah aku dapat membalas dendam pada orang tuanya, kakaknya, dan terserahlah 
kepadamu !!! 
— Ach ….. kita berdua sudah kenyang akan tipu muslihatmu yang licik dari mulutmu yang manis 
itu. Serahkan anak itu, dan habis perkara !!! —
Jawab Mandra dengan tegas. — Daripada Saputra mengkhianati kita lagi, lebih baik kita selesaikan disini 
!!! Mandra melanjutkan bicaranya tertuju pada Dasim temannya. 
Berkata demikian Mandra langsung menyerang membabat leher Saputra dengan goloknya 
panjang. Menyambut serangan yang tiba tiba dari lawannya Itu. Durga Saputra terpaksa melepaskan 
pegangan gagang cambuk yang ujungnya masih tetap membelenggu tangan Sujud. 
Dengan tangkas ia meloncat selangkah kesamping kanan dan mencabut golok pendek yang 
terselip dipinggang kanannya. Dengan bersenjatakan golok pendek itu ia menyerang kembali lawannya 
dengan serangan tusukan kilat kearah dada lawan. Akan tetapi cepat ditariknya kembali karena 
tangkisan senjata lawan dan dirobahnya menjadi tendangan berangkat pada lambung Mandra. Itulah 
yang dinamakan jurus pancingan atau serangan tipu tusukan. Kiranya jurus pancingannya berhasil baik. 
Lambung Mandra menjadi terbuka, karena tangkisan pada senjata yang menuju dadanya. 
Tumit kaki kanan Saputra dengan kerasnya tepat mengenai lambung Mandra. Mandra jatuh 
ditanah sambil bergulingan menghindari serangan rangkaian lawan. Tetapi Dasim demi melihat temannya berguling ditanah, segera menerjang maju dengan klewangnya menusuk kearah punggung 
dan kemudian berubah menjadi gerakan babatan kearah kaki lawan yang sedang meloncat surut 
kebelakang menghindari tusukkannya, dalam gerakan bentuk jurus sabetan mengunci langkah. 
Rangkaian serangan itu merupakan satu rentetan gerakan yang cepat sekali, akan tetapi kiranya 
Saputra telah mengetahui akan serangan susulan yang dlilancarkan itu. Dengan lincahnya ia meloncat 
tinggi sambil menggerakkan golok pendeknya untuk menyrrang lawan dengan jurus tusukan berperisai 
kearah muka lawan. 
Dasim terpaksa meloncat surut kebelakang satu langkah. 
Sambil berseru terkejut, menghindari serangan yang berbahaya itu. 
Dalam saat yang sama, Sujud dengan masih terbelenggu tangannya, demi mengetahui bahwa 
pertempuran tiga orang itu memperebutkan dirinya dengan maksud kejahatan mereka masing-masing 
…..melesat lari dan meloncat terjun mencebur dikali Bengawan yang ecdang banjir dengan arusnya yang 
sangat deras itu ….. byuuuurrr!!!!...... 
Ketiga orang yang sedang bertempur sengit, masing-masing meloncat surut kebelakang, karena 
mendengar terceburnya Sujud dikali Bengawan. 
Dengan serentak mereka bertiga menahan senjatanya masing-masing, serta melayangkan 
pandangannya kearah air kali Bengawan yang sedang deras mengalir. Namun dalam kegelapan malam 
samar-samar, yang mereka lihat tidak lebih daripada air kotor bercampur tanah mengalir dengan 
derasnya. 
Dan suara gemuruh arus terdengar terus tak ada henti-hentinya . 
Dengan kemarahan yang meluap-Iuap serta penuh penyesalan Durga Saputra berseru keras 
sambil menunjuk dengan golok pendeknya ke arah Mandra dan Dasim. 
— Sialan ! Kedatangan kalian berdualah yang membuat hilangnya mangsaku yang sangat 
berharga. Dan kini kalian berdualah yang harus bertanggung jawab, — berkata Saputra menerjang maju 
kearah Mandra dan Dasim dengan senjata golok pendeknya menusuk kearah perut lawan.
Dasim meloncat selangkah kesamping kanan dan bertepatan dengan meloncatnya Dasim, 
Mandra datang menangkis dengan sabetan golok panjangnya. 
Dua senjata beradu dengan kerasnya, hingga mengeluarkan percikan api, yang jelas nampak 
dikegelapan malam. 
Kedua-duanya segera meloncat surut kebelakang satu langkah, dengan merasakan pedih 
ditelapak tangan masing-masing demi mempertahankan senjata, untuk jangan sampai terlepas dari 
genggamannya. 
— Karena keras kepalamu tak mau menyerahkan pada kami berdua, maka anak itu menjadi 
nekad dan bunuh diri!! — Seru Dasim sewaktu meloncat menghindari serangan Durga Saputra. 
Pertempuran tiga orang itu masih terus berlangsung dengan serunya. 
Durga Saputra yang hanya bertangan satu ternyata dapat melayani dua orang lawannya yang 
bersenyata, dengan seimbang dan tidak terdesak, Ditangan kiri yang hanya sebelah itu, golok pendeknya 
menyambar nyambar merupakan serangan tusukan yang bertubi tubi, untuk kemudian berobah dengan 
cepatnya menjadi serangan tebangan, yang diselingi tendangan berangkai yang tidak kalah 
berbahayanya.... Sinar tajamnya klewang dan golok panjang lawan berkelebatan, merupakan sinar putih 
yang bergulung gulung menyelubungi ketiga tubuh manusia yang sedang bertempur dengan sengitnya. 
Seluruh kepandaian dalam tata kelahi ditumpahkan. Masing masing ingin cepat menghabisi riwayat 
lawannya. Kiranya mereka telah jauh tersesat, dan lupa bahwa hidup dan matinya semua ummat telah 
ada yang mengaturnya sendiri. Beum juga mereka dapat saling merobohkan, seorang berkelebat mendatang laksana bayangan 
dikegelapan malam yang samar samar itu, dan sesaat kemudian diikuti oleh empat orang yang berlari 
lari dibelakangnya. 
— Ini dia si buntung ! ! !, teriaknya sambil langsung terjun dengan keris terhunus dalam 
pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya itu. Orang yang baru datang dan langsung 
melibatkan dtri dalam pertempuran adalah Demang Jlagran berserta anak buahnya.
Tanpa kata sepakat Mandra dan Dasim demi melihat datangnya serangan yang tiba tiba dari seorang 
yang tak dikenal kearah Saputra, segera berseru terkejut sambil menarik kembali gerak serangan 
tusukan dan babatan mereka yang hampir tepat pada sasarannya, untuk serentak menangkis dengan 
senjata mereka masing masing, memapaki datangnya tusukan keris yang meluncur seperti kilat. Sedang 
Saputra sendiri pada saat yang sama, mengelak dengan gerakan jurus surut bersimpuk menghadang 
langkah ialah meloncat surut kebelakang dengan jatuh berduduk serong kanan, kaki bersilang, sambil 
mengulurkan tangan kirinya yang memegang golok pendek dalam gaya menusuk lawan, sedangkan 
kepalanya menundukkan sangat rendah serempak rata dengan punggungnya. Empat senjata serempak 
bertemu ujungnya, dengan mengeluarkan percikan api yang memijar. 
Bersamaan dengan beradunya empat ujung senjata yang berlainan bentuknya itu, Mandra 
berseru nyaring — Tahan semua senjata ! ! 
Berseru demikian sambil melompat surut kebelakang satu langkah yang segera diikuti pula oleh 
ketiga orang lainnya. 
Sementara itu, empat orang anak buah Demang Jlagran telah pula berdiri serempak dengan 
masing masing senjata ditangan, dibelakang pemimpinnya. 
— Siapa kau ! ! ! Berani mencampuri urusan orang lain ! ! ! Mandra bertanya dengan nada 
bentakan. 
--- Aku bukan berurusan dengan kau ! !. Jawab Demang Jlagran sambil menunjuk dengan 
kerisnya kearah Durga Saputra. — Maka kuharap kalian berdua jangan mengganggu urusanku ! ! ! 
— Tetapi caramu bertindak tidak tahu adat. Dan sepantasnya orang seperti kau itu diberi 
hajaran supaya mengenal adat ! ! !. Dasim turut bicara, dan tanpa menunggu jawaban ia telah mulai 
menyerang dengan tusukan klewangnya kearah dada Demang Jlagran. 
Sebagai seorang yang cepat naik darah, Demang Jlagran mendengar kata kata yang diucapkan 
oleh Dasim dirasakan sebagai penghinaan, maka pada saat yang sama Demang Jlagran telah menerjang 
dengan kerisnya.
Kedua duanya berseru terkejut, dan menarik serangan masing masing kembali, untuk kemudian 
meloncat kesamping serong kanan. Empat orang anak buah Demang Jlagran segera turut serentak 
menerjang maju menyerang dengan senjata mereka kearah Dasim dan Mandra. 
Melihat terjadinya pertempuran antara Mandra, Dasim dengan Demang Jlagran berserta anak 
buahnya, Darga Saputra merasa untung terhindar dari maut. Dalam hatinya ia merasa geli juga akan 
kebodohan lawan2nya itu. 
— Mandra, Dasim ! ! ! serunya : Jika kau berdua tidak dapat merobohkan gerombolan orang 
desa itu, bagaimana kau berdua akan dapat menyelesaikan urusan denganku ! ! !. Durga Saputra sengaja 
membakar kemarahan Mandra dan Dasim, agar mereka lebih bersemangat dengan mengurangi jumlah 
lawan. Dengan demikian ia takut mengambil dua segi keuntungan. 
Pertama, ia hanya tinggal menghadapi lawan sepihak yang akan menang dalam pertarungan itu. 
Kedua, lawan ylang tinggal sepihak yang akan dihadapinya tentu telah berkurang tenaganya. 
Satu satunya kemungkinan yang ia sangat kuatirkan, ialah kalau mereka berobah pendirian menjadi bersatu dan menempuhnya bersama. 
Maka untuk menutup kemungkinan, ia sengaja membakar semangat kedua belah fihak yang 
sedang bertempur dengan serunya, dengan pengharapan agar pertempuran berkobar terus. 
Akan tetapi pengharapan itu segera lenyap dari angan angannya, karera Dasim kiranya cepat 
menginsyafi kekeliruannya, sehingga ia dengan tiba tiba melompat surut kebelakang dua tindak sambil 
berseru pada Mandra : — Mandra !!! Tahan senjata !!!. Kita berebut tulang tanpa isi !!! 
Kiranya kata kata seruan itu membuat Demang Jlagran sadar pula akan kekeliruannya dalam 
tindakan yang telah dilakukan. 
Cepat ia mengikuti gerakan Dasim dengan melompat surut dua langkah kebelakang sambil 
berseru — Betul !!! Tangkap dahulu saja si Buntung rame rame !!!. Baru kita selesaikan urusan kita ! ! ! 
Durga Saputra demi mendengar seruan kedua orang tadi, kepalanya dirasakan seperti disambar 
petir. Ia melesat dan lari kearah barat mengikuti membujurnya tanggul tebing kali Bengawan dengan 
pesatnya, dan kemudian membelok kearah selatan memasuki hutan Padangan yang lebat i tu. 
Mandra, Dasim dan Demang Jlagran dengan empat orang anak buahnya serentak lari 
mengejar.Ternyata dalam lomba lari Durga Saputra memang setingkat lebih tinggi dari pada mereka. 
Jarak antaranya kian lama semakin jauh. Untuk kemudian lenyap sama sekali dari pandangan para 
pengejar, tertelan oleh kegelapan malam. 
Semua orang itu kiranya telah tidak lagi memperdulikan akan nasib Sujud yang diperkirakan 
telah mati hanyut terbawa oleh arus air yang dahsyat mengalir dari kali Bengawan. 
Setelah diperhitungkan bahwa ia sebagai tawanan Durga Saputra ataupun tawanan Mandra dan 
Dasim, bagi Sujud adalah merupakan nasib yang sama bentuknya. maka ia mengambil jalan yang nekat 
sekali terjun kali Bengawan yang sedang banjir itu. Hampir sepuluh tahun lamanya, ia tinggal di desa 
Ngawi yang letaknya dipinggir kali Bengawan bersama orang tua angkatnya Kjai Tunggul. 
Sejak kecil ia memang gemar pula main di Bengawan, Baginya berenang dikali Bengawan sama 
halnya seperti lari didaratan. Ia tak perlu kuatir dengan kedua belah tangannya terbelenggu, karena 
berenang tanpa menggunakan tangannyapun ia telah mahir. Hanya arus air yang mengalir dengan 
derasnya itu yang agaknya membuat sedikit menyulitkan untuk menyeberangi memotong langsung. Ia 
terpaksa harus mengikuti arus terlebih dahulu beberapa saat untuk menyeberangi dengan perlahan 
berenang dengan menggerakkan kedua belah kakinya menepi .. . Dengan demikian akhirnya sampai pula 
ia diseberang kali Bengawan. 
Dengan susah payah ia merangkak naik ketanggul karena Iangannya masih terbelenggu, sambil 
melihat-lihat kekiri kanan, takut jika masih ada yang mengejarnya. Setelah mengaso sebentar diatas 
tanggul, terasalah badannya menggigil kedinginan basah kuyup. Namun ia masih bersyukur kepa-
da Dewata Yang Maha Agung, bahwa dirinya nyaris dalam bahaya dan kantong kulitnya masih tetap 
tergantung dipinggangnya. Dengan terhuyung - huyung ia berjalan melintasi sawah yang tak luas itu 
menuju kedesa Dawung yang berada didepannya. 
Dengan sedikit membohong pada peronda desa, bahwa rumah orang tuanya dirampok dan ia 
sendiri dibelenggu karena melawan dan kemudian diceburkan kekali Bengawan. Setelah belenggu 
tangannya dilepaskan oleh peronda2 desa serta diberi sekedar makanan untuk menghilangkan laparnya, 
untuknya dibuatkan pula perapian untuk memanaskan badan, yang dirasakan sangat dingin. 
Setelah mengucapkan terima kasih, dan minta diri atas pertolongan yang telah diberikan oleh 
para peronda, maka pada esok harinya Sujud melanjutkan perjalanannya mengembara, melalui jalan2
desa dan sawah2 menuju keutara. 
Ia kini membatalkan niatnya untuk pergi kedesa Trinil, karena takut berjumpa kembali dengan Durga Saputra dan orang2 pengejar lainnya. 
Pakaiannya yang indah kini berubah menjadi kumal dan berwarna coklat penuh lumpur. Hanya 
perhiasan dan bekal uangnya yang masih tetap utuh didalam kantong kulitnya. 
Setelah sampai dipasar desa Kasiman, Sujud singgah sehentar untuk mengisi perutnya, serta 
membeli makanan sekedar bekal dalam perjalanan. 
Kuatir jika malam nanti sulit mendapatkan warung. Ia tidak lupa membeli pisau pendek pula, 
karena mungkin nanti diperjalanan ada pula gunanya, pikirnya. Dari desa Kasiman ia lurus menuju 
kebarat. Kini tujuannya ialah Indramayu, dimana orang tua angkatnya menjabat Bupati didaerah itu. Ia 
masih ingat, bahwa Ietaknya Kebanjaran Agung Indramayu adalah di sebelah barat. 
Pada malam harinya ia telah sampai didesa Jepan, sebuah desa kecil dipinggir kali Lusi. Kali itu 
walaupun agak curam tebingnya, akan tetapi ternyata hanya merupakan kali kecil saja. Airnya jernih 
seputih cermin karena dekat dengan mata air. 
Hatinya bimbang. Setelah pada pagi harinya ternyata merupakan desa yang terujung sendiri. 
Sebelah baratnya merupakan hutan belukar yang tidak dapat diketahui batasnya.
Demikian pula setelah ia mencoba menyeberangi kali Lusi. Untuk mengambil jalan memutar 
kearah selatan, ia takut berjumpa dengan Saputra ataupun Mandra. Dasim serta orang2
lain yang 
mengejarnya. 
Sifat keras kepala dan keberanian yang dimiliki, membawa ia melangkah memasuki hutan 
belukar yang lebat itu, setelah ia menyeberangi kali Lusi hutan itu oleh orang desa sekitarnya dinamakan 
hutan Blora. Terkenal sebagai hutan keramat dan angker. Tiap2 hari pasaran orang2 banyak yang 
meletakkan sesaji berupa makanan dan buah2an dipinggir hutan yang dianggapnya keramat, diatas 
tebing kali Lusi yang airnya mengalir melintasi hutan. 
Kenyataan menunjukkan bahwa sesaji yang beraneka macam itu, setelah sore harinya 
diletakkan dipinggir hutan, pada pagi harinya habis tidak berbekas, dan hanya ancak2nya saja yang 
ditinggalkan. Dan umumnya mereka percaya bahwa sesajinya telah diterima dengan baik oleh siluman2 
penghuni hutan itu. Dengan demikian mereka percaya, bahwa tanam2annya akan menjadi subur, serta 
tidak akan diganggu oleh hama ataupun mengalami kerusakan akibat kemurkaan para siluman penghuni 
hutan. 
Pancaran tariknya matahari pada pagi yang cerah itu tertahan oleh lebatnya dan rindangnya 
pohon2
liar yang tumbuh dalam hutan, dan kesejukan hawanya membuat Sujud tidak demikian lelah 
berjalan. Ia berjalan terus seorang diri sambil memperhatikan burung2
yang sedang bernyanyi dengan 
nada yang indah didalam rindangnya pohon2
liar yang dilaluinya. 
Tanpa dirasa ia telah menjelajah masuk jauh dihutan Blora yang tidak diketahui ujungnya. 
Namun semakin jauh ia memasuki hutan, semakin banyak pohon buah2an yang dijumpai, seperti durian 
jambu, pisang hutan atau dinamakan pisang gendruwo dan lain2 yang sedang lebat berbuah. 
Suara ayam hutan terdengar sahut2an dari kanan kirinya. Dan sering pula ia dikejutkan oleh 
suara desisnya ular berada di pohon2
. Telah lebih dari setengah hari ia berjaan, tetapi belum juga 
nampak batasnya, bahkan kini ia mengetahui lagi arah keempat penjuru mata angin.
Kemana ia berjalan, masih saja ia merasa tetap berjalan ditengah hutan yang lebat itu. Ia 
memetik buah jambu serta dimakannya, sekedar untuk menghilangkan rasa hausnya, sambil duduk 
dibawah pohon jambu untuk mengaso, melepaskan lelah. Diingat2nya kembali jalan2
yang baru saja 
dilaluinya, tetapi juga tidak dapat menemukannya. 
Bekal makanan yang berada dikantong kulitnya dikeluarkan, dan kini ia mulai makan. Tetapi 
karena kegelisahan yang menyelimuti dirinya, maka nafsu makanpun tidak demikian ada. Gelisah, karena tidak tahu jalan mana yang harus ditempuhnya, agar ia segera dapat keluar dari 
hutan itu sebelum petang hari. 
Hembusan angin siang perlahan-lahan, membuat ia merasa mengantuk. Ia berbaring terlentang 
dibawah pohon, dengan menikmati silirnya angin yang berhembus meniup perlahan. Sambil 
mendengarkan suara burung2
yang hinggap dipohon2
rindang disekitarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa