Langsung ke konten utama

Pendekar Darah Pajajaran Jilid 01 bagian I

P E N D E K A R

D A R A H

P A J A J A R A N

Seri Pendekar Majapahit

Karya : KUSDIO KARTODIWIRJO

P E N G A B D I A N
Kulihat matahari
Bersinar cerlang berseri
Serasa indah dunia maya
Dalam Cipta Hyang Maha Agung
Hati tergerak ………………….. ingin kecimpung
Dalam dunia budaya nan agung
Namun …………………. Aku tahu …………………..
Diri berbisik ………………………….. tak mampu
Ooh, Tuhan beri hamba harapan
Sewaktu hasyrat patah di jalan
Hilang musna terbawa awan
Dongeng ini kupersembahkan
Untuk mengenang Pahlawan2 Bangsa
Hasyratku …………………….. pengabdian. ----
Jilid 1
B A G I A N I
— Aaaaiiii!!! ……. Curang kau!!? Akan kutampar mukamu dan kucabuti kumismu, jika tidak mau
menurut gerakan bantinganku …….—
Anak dara kecil berseru nyaring dan membentak bentak dengan logat dan gaya tingkah lakunya
kekanak kanakan.
Sebentar2
ia ketawa nyaring hingga giginya yang putih kecil kecil seeempak laksana mutiara,
nampak jelas. Tetapi secepat itu pula wajahnya berubah cemberut yang menunjukkan kemarahan, serta
membanting-banting kakinya ditanah.
Ia sedang bergumul dengan seekor harimau kumbang yang cukup besar. Badan harimau itu
sepanjang kira-kira dua langkah dengan bulunya yang halus mengkilat berwarna hitam mulus. Harimau
kumbang itu mengaum-aum pendek dengan memperlihatkan taringnya yang panjang-panjang dan tajam
serta menakutkan. Tetapi anak dara kecil itu sedikitpun tak memperlihatkan rasa takut. Ia
memperlakukan harimau itu, tak ubahnya seperti dengan boneka mainannya saja. Telapak tangannya
yang kecil berkelebat secepat kilat, menampar kemuka harimau yang sedang mengaum dan tepat
mengenai telapuk matanya. klungkin tamparan itu drasakan sakit, mungkin juga tidak, hal itu sukar
untuk diperkirakan. Tetapi yang jelas harimau kumbang mengaum sekali lagi dan menundukkan
kepalanya, seakan-akan ia mengerti, bahwa gerakannya yang baru saja dilakukan itu salah dan
mengakibatkan marahnya si dara kecil.
Dara kecil tersenyum puas. menunjukkan kegirangan hatinya dengan disertai rasa kasih
sayangnya yang iba. Tangan kanannya merangkul leher harimau kumbang, sedangkan jarinya tangan kiri
yang kecil runcing2 membelai bulu halus yang hitam mengkilat dari kepala si harimau, seakan - akan
menyesal akan apa yang baru saja dilakukan. Sang harimau menurut jinak, dan duduk berjongkok 
dengan kedua kakinya belakang ditarik serta ditekuk rata menempel ketanah.
Ekornya hitam, sepanjang badannya melingkar dan bergerak - gerak dengan matanya 
dpejamkan, seakan-akan merasakan halusnya berlainan tangan dari dara kecil tadi. 
Dara kecil itu berusia kira-kira tujuh tahun. Rambutnya hitam panjang berombak digelung dan 
diikat erat-erat de-ngan seutas pita sutra warna merah. 
Raut mukanya bulat telor dengan sepasang pipinya yang lesung pipit dan kemerah-merahan. 
Matanya redup dengan kerlingan yang memancarkan sifat kenakalan anak-anak, serta dihiasi dengan 
sepasang alisnya yang tipis melengkung. Mulutnya kecil dengan bibir tipis mungil. Sepasang daun 
telinganya dihiasi dengan anting-anting bermata mutiara. Tubuhnya langsing dan warna kulitnya kuning 
bersih dilengan kanan terdapat tahi lalat, sebuah tanda sejak ia dilahirkan, berwarna merah kehitam-
hitaman, berbentuk bundar sebesar ibu jari. Tanda itu nampak jelas sekali, karena lengannya yang halus 
dan bersih itu telanjang tidak tertutup kain. 
Ia hanya memakai baju kutang tak berlengan, berwarna kuning keemasan dari kain sutra, serta 
berkain sarung berwarna hitam yang dihiasi dengan lukisan kembang2
tersulam dari benang sutra 
berwarna kuning keemasan pula. Ikat pinggangnya selebar telapak tangan ….. berwarna merah dari kain 
tenunan yang lazim dinamakan setagen atau angkin.
Sungguhpun belum dewasa, namun wajahnya jelas menampakkan kecantikan yang 
menggairahkan. 
Dikala itu, siang tengah hari. Matahari berada diketinggian diatas kepala, dan memancarkan 
sinar dengan teriknya. Langit biru membentang, mengatapi bumi, dengan dihiasi oleh awan awan tipis, 
yang bergantungan dan berpencaran, merupakan bentuk lukisan yang beraneka macam dan berobah 
robah. 
Dahan dahan pohon dengan daun daunnya disekitar tempat itu melambai-lambai terkena tiupan 
angin yang tidak mengenal berhenti. Dan daun-daun kering yang tidak lagi berpegangan pada rantingnya 
jatuh berterbangan ditanah.
Tempat itu adalah sebuah dataran luas dengan pohon pohon hutan yang pindang dan 
berserakan tumbuh liar di lereng Gunung Tangkuban Perahu. 
Sekelilingnya merupakan jurang - jurang yang curam, serta menghadapkan kesebuah mulut gua 
yang cukup lebar. Dengan berlatar belakang tebing cadas yang terjal menjulang tinggi. 
Disebelah timur nampak puncak bukit Tunggul yang berdiri megah, dengan lereng - lerengnya 
yang berpadu dengan lereng Gunung Tangkuban Perahu, laksana dua raksasa yang sedang berjabatan 
tangan. 
Pandangan kesebelah selatan adalah lembah rendah, dengan sawah–sawahnya yang subur serta 
desa-desa yang terpencar jauh satu dengan yang lainnya. Sungai Citarum nampak pula berliku-liku 
mengitari lembah tadi dan menambah indahnya pandangan. 
Setelah itu pandangan dibatasi dengan terbenturnya pada dataran dataran lereng pcgunungan 
yang membujur ke arah barat sejauh mata memandang. Sungguh suatu keindahan alam yang sukar 
untuk dilukiskan dengan sempurna. Demikianlah kemurahan Dewata Yang Maha Agung pada umatNya. 
Namun semuanya itu kiranya tidak mempengaruhi si dara kecil yang sedang asyik bermain main 
dengan harimau kumbangnya. 
Lagi pula panas teriknya matahari seakan akan tidak dirasakan. 
— Mari kita mulai mengulang lagi permainan yang tadi, kumbang !!!, kata si dara kecil dengan 
diiringi senyuman, sambil melepaskan rangkulan tangannya dan menepuk nepuk kepala harimau, untuk 
kemudian berdiri ditengah lapangan. Si harimau seperti telah mengerti apa yang dikehendaki oleh dara 
kecil. Dengan pelan dan malas ia menjauhi si dara, dan berhenti dalam jarak kira kira ampat langkah 
darinya. 
Dengan bermalasan menggeliatkan dan membalikkan badannya, menghadap pada dara kecil. 
Badannya ditarik kebelakang sedikit dan ……. secepat kilat harimau kumbang meloncat menerkam 
kearah dara kecil. Dengan gerakan tak kalah tangkasnya si dara kecil menyusup dibawah harimau yang 
meloncat kearahnya, sambil mengulurkan tangannya untuk menangkap kaki depan hariman yang kanan. 
Dengan tangkas ia membalikkan badannya dan menarik serta melemparkan sang harimau kedepannya. 
Harimau kumbang jatuh berguling, tetapi secepat kilat berdiri diatas empat kakinya kembali, 
serta membalikkan badannya dan mengulangi terkaman seperti tadi. 
Dara kecil mengulangi gerakannya lagi, menyambut terkaman harimau dengan menyusupi 
dibawahnya serta menangkap salah satu kaki depannya dan membantingnya kedepan lagi. Gerakan 
demikian diulangi hingga berkali-kali dengan suatu gerakan yang semakin lama semakin cepat. 
Itulah yang disebut gerakan membanting dengan meminjam tenaga lawan, atau dalam bentuk 
jurus "mendayung mengikuti arus". 
Tiba-tiba teedengar suara tepuk tangan tiga kali dengan diiringi suara panggilan nyaring dari 
jauh "Indah Kumala ' !!! Memang demikianlah nama dara itu. Kelengkapannya ialah Indah Kumala Wardhani. 
Demi mendengar suara panggilan itu. Kumala Wardhani segera memalingkan kepalanya kearah 
suara tadi dengan menyahut nyaring: "Saya disini, Eyang"!!!!. 
Berkata demikian ia berlari menuju kearah suara yang ternyata datangnya dari mulut gua tadi, 
dengan diikuti oleh si harimau kumbang. 
Seorang laki-laki yang telah lanjut usianya, dengan berjubah warna kuning keemasan berdiri 
diambang pintu gua, Menyambut datangnya anak dara kecil yang dipanggilnya tadi. Rambutnya yang 
telah memutih seperti kapas diikat kebelakang merupakan sanggul kecil, dan diatas kepalanya melingkar 
sebuah sisir dari tanduk. Wajahnya yang telah berkeriput bercahaya penuh wibawa. Sepasang matanya 
bersinar tajam. Namun dibalik keangkeran wajahnya, tersembunyi budi perasaan yang lemah lembut 
serta kasih sayang terhadap sesama ummat. Ia terkenal dengan nama gelarnya Ajengan Cahaya Buana. 
Ia seorang petapa shakti yang sering muncul di tengah-tengah rakyat yang sedang tertimpa kemalangan 
dan penderitaan. 
Kesaktiannya mentakjubkan, sehingga datang dan perginya tidak pernah dapat diketahui orang. 
Para penjahat jeri demi mendengar namanya.
Kehadirannya Ajengan Cahaya Buana ini tak pernah dapat diduga-duga sebelumnya. Pernah
sekali terjadi, seorang penjahat yang sedang merampok sebuah desa dengan anak buahnya, berniat 
melawan Ajengan Cahaya Buana yang pada waktu itu tiba-tiba muncul menghalang halangi 
perbuatannya, tetapi dengan tidak diketahui sebab musababnya, penjahat tadi roboh terguling dan 
kemudian untuk selamanya mengalami cidera menjadi lumpuh kedua kakinya tanpa terluka. Penjahat 
itu terkenal dengan gelarnya Oraybeureum yang ganas dan shakti.
Kejadian itu menjadi buah tutur orang dari mulut ke mulut dan tersebar luas diseluruh pelosok 
daerah Pasundan. 
Tidak sedikit pula rakyat desa yang sangat miskin, tiba tiba menerima pemberian rejeki berupa 
uang, beras ataupun pakaian, dengan tidak diketahui, orangnya yang memberi pertolongan itu. Hanya 
suara mengaumnya seekor harimau dari arah kejauhanlah yang menjadi suatu tanda bahwa Ajengan 
Cahaya Buana berada disekitar tempat itu. 
Rakyat yang mendapat pertolongannya hanya dapat mengucapkan rasa terima kasih seorang 
diri, tak ubahnya seperti orang yang sedang berdoa saja. Mereka beranggapan bahwa petapa shakti itu 
dapat menghilang. Tidak ada orang yang mengetahui dengan pasti tentang petapa sakti itu. 
Maka karenanya banyaklah dongengan dongengan rakyat yang aneh-aneh serta bermacam-
macam corak dan sifatnya timbul dikalangan rakyat desa daerah Pasundan. 
— Cucuku manis, bukankah Eyangmu telah ber-ulang2 mengatakan bahwa waktu siang tengah 
hari demikian, tidak baik untuk berlatih. Dengan lemah lembut serta penuh rasa kasih sayang Cahaya 
Buana memperingatkan cucunya Indah Kumala Wardhani. 
Tetapi belum habis kata-kata Cahaya Buana, Kumala Wardhani telah menyahut dengan nada 
suara lantang penuh rasa manja. — Tetapi apa yang harus saya kerjakan, Eyang? Pergi sedikit jauh saja 
sudah dilarang, apakah saya hanya diharuskan berbaring saja didalam kamar yang gelap itu? 
Mendengar bantahan cucunya itu, sedikitpun Ajengan Cahaya Buana tidak mejadi marah, tetapi 
bahkan memandangnya dengan penuh rasa kasih sayang.
— Bukan demikian maksudku, cucuku manis. Dengarkanlah baik-baik, waktu siang hari begini 
adalah kurang baik untuk berlatih. Bukankah sebaiknya kau membantu mamangmu didapur dahulu. 
Baru nanti setelah mata hari condong kebarat, kau dapat mengulang lagi Iatihan itu dibawah penga-
wasanku. — Cahaya Buana menjelaskan dengan pelan. — Baiklah Eyang, tetapi nanti setelah kita selesai makan, janganlah Eyang membohongi Kumala, 
— dara kecil itu berkata sambil lari masuk kedalam gua dan diikuti oleh si kumbang. Cahaya Buana 
mengikuti larinya cucunya dengan pa-dangan mata yang penuh rasa kasih sayang serta menghela nafas 
panjang. 
— Ach….. mirip benar ia dengan mendiang ibunya. — Cahaya Buana berkata dalam hati. — Dan 
seandainya kakaknya berada disini, tentunya ta tidak akan merasa sangat kesepian seperti sekarang ini. -
Merenungkan demikian itu, kini hatinya merasa semakin tersayat sayat sedih. Kejadian enam tahun 
yang lalu, sewaktu kemalangan menimpa keluarga anaknya, terbayang kembali dengan jelasnya. 
Penstiwa yang menyedihkan serta penuh dengan penyesalan. Raut wajahnya yang tadi bersih bersinar, 
kini berubah cepat menjadi suram penuh rasa duka. 
Waktu itu Kum tla Wardhani masih berusia satu tahun... Anak menantunya adalah seorang 
priyagung tamtama dari Kerajaan Pajajaran bernama Darmaku umah, berpangkat Bupati tamtama dan 
merangkap menjadi kepala daerah Sukabumi, sebuah daerah yang terdekat dengan kota Raja Pajajaran. 
Ia gugur sebagai pahlawan dimedan pertempuran, sewaktu mengiringkan Sri Baginda Maharaja Baduga 
dalam perang Bubat dengan meninggalkan dua putra putri. 
Ya …… waktu itu. bunga-bunga harum berguguran sebagai pahlawan Kerajaan Pajajaran 
……sebagai ksatrya yang menjunjung tinggi sumpah tamtamanya, berbakti kepada keagungan Kerajaan 
Pajajaran. Berita mengenai malapetaka yang tidak terlupakan itu datangnya dengan tiba-tiba. Dan saat 
itulah Pajajaran dilanda banjir air mata. Namun kiranya kemalangan yang menimpa keluarga 
Tumenggung Bupati tamtama Darmakusumah tidak hanya berhenti sampai sekian saja. Didalam suasana 
yang berkabung, ada pula orang-orang


— Baiklah Eyang, tetapi nanti setelah kita selesai makan, 
janganlah Eyang membohongi Kumala, — dara kecil itu 
berkata sambil lari masuk kedalam gua dan diikuti oleh si 
kumbang.
yang segera memancing didalam air keruh, ialah mencari keuntungan dengan meninggalkan silat-sifat 
kemanusiaannya, yah …… bahkan berbuat sebagai pengchianat yang berachlak sangat rendah….. 
Mereka itu adalah para perampok yang berpakaian sebagai tamtama Kerajaan Majapahit, dan 
merampok dirumah rumah para priyagung yang keluarganya sedang dalam keadaan berkabung. 
Gedung Kebanjaran Agung Sukabumi, sewaktu dalam keadaan berkabung dirampoknya, bahkan 
putri Ajengan Cahaya Buana gusti ayu Bupati Darmakusumah dibunuhnya pula. 
Kedatangan Cahaya Buana kerumah putrinya yang selalu dengan harimau kumbang piaraannya ternyata telah terlambat. Terlambatnya kedatangannya itulah, yang ia sangat sesalkan... Bahkan dalam 
pengejaran, hanya berhasil memusnakan dua orang perampok diantara duapuluhan orang itu. Bukan 
hanya harta benda saja yang dibawa lari oleh para perampok, akan tetapi juga cucu putranya tersayang 
Yoga Kumala, yang waktu itu baru berusia dua setengah tahun, dibawanya lari puta. Padahal cucu 
putranya itu diharapkan kelak dapat mewarisi akan kesaktiannya. 
Dengan hati yang tersayat-sayat sedih ia membawa jenazah putrinya serta cucu putrinya Indah 
Kumala Wardhani dengan diikuti oleh mang Jajang pengasuh cucunya, kembali ketempat pertapaannya 
dilereng Gunung Tangkuban Perahu. Disanalah dekat mulut gua itu, jenazah putrinya dimakamkan 
dengan ditandai dengan sebuah batu nisan terpahat diatasnya. 
Mang Jajang sebagai pengasuh yang setia, turut pula merasakan kesedihan yang tak terhingga 
yang baru dialami oleh tuannya. 
Dalam ia bermuram itu, wajahnya kelihatan kian berkeriput, dengan air mata yang berlinang-
linang menggenang dalam pelupuk matanya. 
Namun sebagai seorang petapa shakti, dengan cepat ia dapat menguasai dirinya dan 
menenangkan perasaannya kembali. 
Disamping menggembleng cucu putrinya dalarn ilmu kerphanian dan kejasmanian, ia masih 
selalu berusaha untuk menemukan jejak cucu putranya Yoga Kumala kembali.
Manusia wajib dan harus selalu berichtiar, namun ketentuannya ada ditangan Dewata Yang 
Maha Agung. 
Demikian pula pedoman hidup Ajengan Cahaya Buana. Dengan pelan dan langkah berat ia 
memasuki gua, untuk mengikuti jejak cucunya. 
Dalam lorong gua yang dilalui itu, tidak demikian gelap, dikarenakan adanya jalan yang 
menembus kearah timur dengan mulutnya yang lebar, sehingga cukup untuk menam-pung sinar 
pancaran matahari yang jatuh pada tebing-tebing cadas yang terjal itu. 
Akan tetapi mulut gua tembusan itu tidak mungkin dapat dimasuki orang dari luar, karena 
menghadap kearah jurang yang sangat curam, dengan tebing-tebingnya yang dihiasi dengan batu-batu 
cadas yang licin keras serta terjal menjulang. 
Diantara dua mulut gua itu, terdapat jalan simpangan yang membujur kearah utara, selebar satu 
setengah langkah dengan tingginya kurang dari setinggi orang berdiri. Jalan simpangan itu merupakan 
lorong yang gelap. Dengan demikian, maka orang yang hendak memasuki terpaksa harus 
membungkukkan badannya dan harus jalan seorang demi seorang. 
Selang kira-kira seratus langkah, jalan itu kemudian menurun kebawah dan sampailah pada 
sebuah ruangan yang luas dan terang remang-remang. Terangnya ruangan ini dikarenakan pantulan 
cahaya dari dinding2 batu putih yang mengelilinginya, serta pantulan cahaya dari batu2 air yang 
menjorok tidak menentu bentuknya dan tidak teratur dari atas dan merupakan bentuk runcing2 ber-
gantungan. 
Lantai dari ruangan itupun kelihatan putih licin serta bersih, tidak ubahnya seperti lantai dari 
marmer alam. Disudut ruangan terdapat meja dari batu putih pula dengan kitab2
yang tersusun rapih 
diatasnya, serta sebuah pelita minyak, sedangkan disebelahnya adalah tempat untuk Cahaya Buana 
bersemadhi. Dikedua sudut yang bertentangan lainnya adalah tempat untuk Cahaya Buana dan cucu 
putrinya beristirahat. 
Dari ruangan yang cukup lebar itu, masih ada sebuah lorong lagi yang menanjak dan sampai 
pada ruangan yang luasnya lebih kecil dari ruangan yang pertama. Tetapi ruangan inipun dinding-
dinding dan lantainya merupakan batu putih yang dapat memantulkan cahaya. Sebuah lorong jalan yang cukup lebar menembus dan menghubungkan ruangan itu dengan mulut goa lainnya yang menghadap 
keselatan. Ruangan itu merupakan tempat istirahat mang Jajang serta tempat untuk memasak. 
Sedangkan tempat si kumbang adalah disebelah dalam mu!ut gua yang pertama. 
Kiranya Kumala Wardhani telah mendahului sampai diruangan belakang dimana Mang Jajang 
sedang sibuk menyiapkan masakannya. 
— Mang Jadiang !! — Suaranya terdengar nyaring — Indah diperintah Eyang untuk 
membantumu. 
— Mamangmu telah hampir selesai, neng! ! jawab Mang Jajang, sambil meletakkan pinggan 
berisi masakan sayur, serta memalingkan pandangannya kearah Kumala Wardhani. — Tunggu saja 
sebentar, nanti neneng dapat membantu mengatur menutup meja?!
— Mang Jajang adalah seorang lelaki yang telah lanjut usianya, sekitar enam puluhan. 
Rambutnya putih dengan kulit mukanya telah berkeriput pula serta giginyapun telah ompong semua. la 
adalah pengasuh yang sangat setia sejak ayah Kumala Wardhani masih kecil. 
Karena selalu mengabdi sebagai pengasuh dilingkungan para bangsawan, maka selalu Mang 
Jajang bersikap menghormat yang berlebih-lebihan dan tidak pernah meninggalkan istiadat sopan-
santun sebagaimana lazimnya seorang abdi terhadap majikannya. Tak heranlah apabila ia selalu 
memakai istilah „mengatur menutup meja", walaupun yang dimaksudkan adalah mengatur makanan 
diatas lantai batu yang berada diruangan itu. 
Sedang mereka berdua sibuk menyiapkan hidangan, Ajengan Cahaya Buana tiba-tiba telah 
berada pula didalam ruangan itu. 
— Mang Jajang ……. — katanya pelan. 
— Harap kau dapat selalu bersabar hati mengasuh cucuku!!—
— Saya mohon restunya juragan Sepuh saja, semoga saya dapat mengasuhnya hingga neng 
Kumala Wardhani mendapatkan kebahagiaan, serta dapat segera bertemu kembali dengan saudara 
akangnya Aden Yoga Kumala, — jawab Mang Jajang. 
--- Yaaaahhh ….. bantulah aku dengan berdoa siang malam kepada Dewata Yang Maha Agung, 
mohon belas kasihanNya, agar cucuku Yoga Kumala lekas kembali dengan selamat. Ajengan Cahaya 
Buana menambahkan. 
Berkata demikian Cahaya Buana kembali menghela nafas panjang, dengan wajahnya berobah 
muram kembali, menunjukkan kesedihan yang tak terhingga. 
Sesungguhnya Cahaya Buana mempunyai maksud akan mewariskan kesaktiannya kepada cucu 
putranya yang tunggal itu, akan tetapi karena tidak kunjung datang, maka ia kini memulai sedikit demi-
sedikit melatih cucu putrinya dengan ilmu tata bela diri yang telah diciptakan khusus untuk kaum putri, 
agar kelak tidak meninggalkan sifat-sifat kewanitaannya. Baik mengelak ataupun menyerang, gerakan 
jurusnya adalah berlainan bentuknya dengan seorang prija. Demikian pula macam senjata yang 
dipergunakan. 
Gerakan jurus - jurusnya sepintas lalu kelihatan lemah gemulai, tetapi mengandung unsur2
serangan yang cukup berbahaya bagi lawan yang dihadapinya. 
Ternyata Indah Kumala Wardhani memiliki bakat dan kecerdasan yang dapat dibanggakan untuk 
menguasai pelajaran-pelajaran yang diterimanya dari kakeknya. Dalam usia dua belas tahun, Indah 
Kumala Wardhani telah dapat menangkis senjata tajam lawan dengan angkinnya, serta dapat pula 
menyerang lawannya dengan lemparan tusuk kondenya yang sangat berbahaya itu. Dalam tata bela diri 
bertangan kosong ia dapat membanting lawannya bagaimanapun beratnya, tanpa mengeluarkan tenaga 
banyak, serta pukulan tamparannya 
yang cukup dahsyat dan sukar untuk dielakkan.
Oleh Cahaya Buana ia khusus dibuatkan tiga buah tusuk konde dari perak yang khusus dapat 
dipergunakan sebagai senjata, dan sehelai angkin berwarna merah sepanjang dua depa, terbuat dari 
bahan benang sutra alam yang ditenun selebar satu jengkal. Kiranya Cahaya Buana dapat berkenan 
dihatinya, melihat kepandaian cucu putrinya. Apalagi Mang Jajang, rasa kagum yang tidak terhingga 
timbul pula dihati Jajang inang pengasuhnya demi melihat ketangkasan dara asuhannya. 
Kecantikan wajahnyapun kini nampak bertambah menggairahkan. 
Kini Indah Kumala Wardhani dapat dengan mudahnya menuruni jurang-jurang yang curam serta 
menaiki tebing2 yang terjal tanpa bantuan si kumbang harimau yang setia itu. 
Ia dapat pula berlari cepat, seperti berkelebatnya bayangan, dan berloncatan dengan lincahnya, 
bagaikan kupu-kupu berkejar-kejaran. 
Sebagai putri Parahiyangan ia mahir pula memainkan kecapi dengan lagu-lagu asli Sunda yang 
mengalun menggetarkan perasaan yang mendengarnya. Bahkan meliwati suara petikan kecapi itu, Indah 
Kumala Wardhani dapat pula mencurahkan isi kalbunya dengan melalui lagu dan nada, melengking 
mengalun menyayat-nyayat hati pendengarnya. 
Diwaktu malam yang sunyi, sering pula ia memainkan kecapinya. 
Suara petikan kecapinya mengumandang terdengar sayup sayup dari kejauhan, dengan lagu-
lagunya yang sedih memilukan, menyayat-nyayat hati orang-orang desa yang tinggal di sekitar lereng 
bunung Tangkuban Perahu. 
Banyak diantara mereka yang beranggapan, bahwa suara petikan kecapi itu adalah berasal dari 
putri siluman yang sedang berkuda dipuncak Gunung Tangkuban Perahu.. 
— Eyang, ijinkanlah Kumala untuk turun Gunung guna mencari akang Yoga Kumala, satu satunya 
saudara kandung Kumala. 
Nada suaranya yang merengek rengek ini, kini hampir tiap hari didengar oleh Cahaya Buana, 
tetapi selalu dijawabnya pula dengan kata kata lemah lembut untuk menghibur hati cucu putrinya, 
bahwa ia sendiri yang akan mencarinya hingga ketemu. Rengekan cucunya bertambah hari bukan 
semakin mereda, akan tetapi malah lebih santer dan menjadi isak tangis yang memilukan hati. 
Sewaktu tengah malam dikala Indah Kumala Wardhani dengan jari jarinya yang halus dan mungil 
meruncing memainkan kecapinya dengan petikan pada tali tali kawatnya dan mengeluarkan nada suara 
nyaring meraju untuk kemudian berubah menjadi irama yang menyayat nyayat dan memilukan 
menggema dikesunyian, jauh menyusupi lereng lereng Gunung Tangkuban Perahu, Ajengan Cahaya 
Buana tergerak hatinya untuk bersamadhi, dan mematek ajiannya „pameling", demi mendengar alunan 
suara kecapi cucu putrinya yang tercinta. 
Ia duduk bersila disudut dengan kedua belah tangannya bersilang didadanya laksana patung. 
Angan angannya mengembara mengikuti alunan suara petikan kecapi cucunya. Menjelajah dikejauhan 
..... 
Kemudian angan angan yang merana ditarik kembali dan kini terpusat didalam rasanya sejati. 
Suara petikan kecapi terdengar sayup sayup, untuk kemudian dengan lambat laun lenyap dari 
pendengarannya sama sekali.
Daya panca inderanya telah tertutup semua …… 
Cipta, rasa dan karsanya telah dilebur menjadi satu dalam rasa sejatinya, dan merupakan suana 
pribadinya sendiri dalam titik puncak kesadaran …..
Sinar terang kini menyelubungi diri pribadinya dan rnenciptakan daya tangkap yang sangat 
tajam untuk menerima gelombang gelombang getaran yang datang karena pengaruh daya tariknya rasa 
sejati, dari segenap penyuru mata angin.
Ternyata gelombang gelombang getaran yang datang dari arah barat, utara dan selatan maupun 
dari barat laut dan barat daya, terbentur mengalun dan memantul kembali, karena terdesak oleh 
kekuatan gelombang gelombang getaran yang datang dari arah timur. Getaran getaran gelornbang ini 
ditangkap dan dihimpun dalam suana pribadinya sendiri. 
Dan tahulah ia kini dengan pasti, bahwa cucu putranya yang tunggal yang telah bertahun tahun 
dicarinya masih hidup dan saat ini berada jauh diarah timur. Namun dimana nya yang pasti ia tidak 
dapat mengetahuinya. Segera ia mengakhiri samadhinya dan berkehendak pergi mendatangi sumber 
gelombang gelombang yang kini berbalik menjadi daya tarik laksana besi sembrani yang sangat kuat …..
--- Cucuku manis, tak usah kau selalu bersedili hati. Eyangmu bermaksud pergi pada tengah 
malam ini bersama si kumbang, untuk mencari kakak kandungmu.— Ia berkata dengan pelan dan duduk 
mendekati cucu putrinya yang sedang asyik tenggelam dalarn permainan kecapinya. Demi mendengar 
kata kata kakeknya, Indah Kumala Wardhani menghentikan gerakan jari jarinya yang sedang menari-nari 
diatas tali kawat kecapinya, serta membetulkan letak duduknya menghadap kakeknya. 
— Pesanku, selama Eyangmu belum pulang, janganlah sekali kali meninagalkan tempat 
pertapaan ini..–
— Izinkanlah Indah mengikuti perjalanan Eyang, agar dapat membantu apabila Eyang menemui 
kesukaran dalam perjalanan — Indah Kumala menyahut dengan nada menghadap.
— Oh, ooohhh, jangan …. cucuku manis !!! Jika kau ikut, berarti akan menghambat 
perjalananku. Kelak apabila kau sudah agak besar, tentu akan menyertai kemana aku pergi. Maka 
tinggallah sekarang baik-baik dipertapaan dengan mamangmu Jajang. Ulangilah dengan tekun semua 
pelajaran pelajaran yang telah kuberikan padamu !!! — Ajengan Cahaya Buana berkata seraja 
menghibur cucunya dengan suara penuh kasih sayang.
-- Tetapi Eyang, bukankah Kumala sekarang sudah besar? — Kumala memotong bicara. 
— Memang cucuku Kumala sekarang sudah besar, dan bukan seperti kanak-kanak lagi, akan 
tetapi belum cukup dewasa, untuk mengatasi rintangan2
yang diujumpai dalam perjalanan. Ketahuilah, 
cucuku manis, bahwa kini banyak orang2
yang sedang lupa akan kesuciannya. Maka rajin - rajinlah
rnengulangi semua pelajaran yang telah kau terima. Kelak jika Eyangmu telah kembali, akan kutambah 
lebih banyak lagi, agar kau kelak dapat mengatasi segala rintangan apapun yang kau hadapi dalam 
menuju tercapainya cita-citamu. — Berkata demikian Ajengan Cahaya Buana rnenggeser duduknya 
untuk lebih dekat lagi, sambil membelai rambut cucu putrinya dengan mesra. 
— Berapa lama Eyang harus pergi? — tanya Kumala. 
— Eyang akan pergi dalam waktu tidak begitu lama. Dan semoga berhasil menemukan kakakmu 
Yoga Kumala. Dengan si kumbang disampingku, Eyangmu tidak kuatir akan terlantar dijalan . —
sambung kakeknya.
— Tetapi jangan Eyang meninggalkan Kumala terlalu lama !!— Indah Kumala Wardhani 
menyahta : Jika kali ini Eyang tidak berhasil menemukan akang Yoga Kumala; ijinkanlah Kumala untuk 
mencari sendiri.— Demi mendengar kata2
cucu putrinya, Cahaya Buana merasa seperti disayat-sayat 
hatinya. 
- Baiklah .... cucu manis! — Katanya sambil tersenyum dan mencium keningnya — Aku akan 
berangkat sekarang, dan pergiku tidak akan lebih dari seratus hari. Taatilah semua pesan pesan2
ku. Dan 
jika aku pulang kembali tanpa membawa hasil, tentu kelak kau kuijinkan turun gunung bersamaku untuk 
mencari kakakmu Yoga Kumala. -
Setelah Ajengan Cahaya Buana berpamit pada cucu puterinya dan Mang Jajang pengasuhnya, ia 
segeera berangkat meninggalkan gua pertapaannya dan diikuti oleh si kumbang, harimau piaraannya yang setia …..Tujuannya ialah mengikuti getaran gelombang daya tarik yang datang dari arah timur. 
Kumala Wardhani dan Mang Jajang mengantarkan sampai didepan mulut gua sasaat kemudian 
Cahaya Buana beserta si kumbang telah melesat hilang ditelan oleh gelapnya malam. 
Selang beberapa hari Cahaya Buana, telah tiba di lereng Gunung Cerme, dekat pesanggrahan di 
Linggarjati dimana pertempuran antara lndra Sambada bersama Tumenggung Cakrawirya melawan 
Kertanatakusumah dan kawan-kawannya sedang berlangsung dengan sengitnya. Dan ditempat itulah 
getaran gelornbang daya tarik dirasakan semakin kuat. Suatu tanda bahwa kini ia tidak seberapa 
jauhnya dengan arah yang dituju. Tetapi sifat-sifat kependetaannya yang tidak menghendaki adanya 
pertumpahan darah, memaksa ia berhenti sejenak untuk mencari tahu, sebab musababnya dari 
pertempuran itu. 
Pandangannya terbentur pada pancaran cahaya dari wajah Indra Sambada yang menunjukan 
sifat budi luhur serta kebersihan hatinya. Setelah dengan jelas mengetahui tentang duduk persoalannya 
dan ingat kembali ,akan ramalan pujangga kuno mendiang gurunya, maka dengan aji sakti 
"panggendamannya" ia menghentikan pertempuran yang sedang berlangsung dengan serunya, serta 
sekedar memberikan wejangannya singkat untuk menginsyafkan kembali para perwira tamtama dari 
Pajajaran demi terwujudnya persatuan dan perdamaian di Nuswantara. 
Akan tetapi selagi ia memberikan wejangan, terasa olehnya bahwa sumber daya tarik yang tadi 
dapat dipastikan berada disekitar tempat itu, tiba tiba lenyap tidak dapat lagi oleh rasa pribadinya. 
Ternyata turut campurnya dalam urusan itu, memaksakan beralihnya pemusatan tenaga bathin, hingga 
hilanglah jalinan daya tangkap yang hampir menemukan sumber daya tarik yang dicarinya. (Baca seri 
Pendekar Majapahit). 
Maka cepatlah ia meninggalkan tempat pesanggrahan itu untuk mencari tempat yang sunyi 
ditengah hutan guna mematek aji pamelingnya kembali. 
Baru sebulan kemudian ja dapat menemukan kembali arah sumber gelombang getaran yang 
dicari-carinya. Tetapi masih saja jauh berada dari dirinya, diarah timur. Dan dengan demikianlah Cahaya 
Buana sampai di Kota Raja Kerajaan Majapahit. Betapa terkejut dan herannya setelah ternyata sumber 
gelombang getaran daya tarik itu dirasakan berada dalam Istana Senopaten, kediaman Senopati Muda 
Manggala Tamtama Pengawal Raja Indra Sambada. 
Pada hari tengah malam, Cahaya Buana bersama harimau kumbangnya memasuki gedung 
Senopaten dan melihat Sujud sedang berbaring ditempat tidurnya. Akan tetapi belum juga ia dapat 
melihat dengan pasti tanda-tanda yang memastikan, bahwa anak yang sedang tidur gelisah itu adalah 
cucu putranya. Tiba2 para tamtama pengawal yang sedang berjaga meronda berteriak-teriak ramai dan 
menjadi gaduh demi melihat berkelebatnya si kumbang. 
Ajengan Cahaya Buana segera meninggalkan Istana Senopati menggagalkan maksudnya, dan 
melesat seperti bayangan menghilang dikegelapan malam diikuti oleh si kumbang. 
Ia tidak mau mengacaukan suasana, sebelum persoalan yang pelik itu diketahui dengan jelas. 
Akan tetapi diluar pengetahu.mja, pengaruh aji sakti pameling itu ternyata membuat Sujud selaiu 
gelisah dan risau. 
Rasa ingin tahu akan asal usulnya bangkit menggelora dalam lubuk sanubarinya. baca „Indra Sambada 
Pendekar Majapahit”)
Kini Ajengan Cahaya Buana bermaksud akan menemui langsung Sang Senapati Muda Indra 
Sambada, untuk menanyakan asal usul dari pada anak tanggung yang berada digedung Senapaten itu. 
Tetapi pada saat itu ternyata Indra Sambada sedang bepergian ke Wonogiri dengan dikawal oleh Lurah 
Tamtama Jaka Wulung dan Jaka Riman g. Keadaan yang demikian memaksa Cahaya Buana tinggal sementara diluar Kota Raja untuk 
menantikan dengan bersabar hati hingga lndra Sambada kembali di Senapaten. 
Tetapi setelah Cahaya Buana dapat bertemu dengan Indra Sambada, ternyata Sujud telah pergi 
meninggalkan gedung Senapaten tanpa pamit dan tidak diketahui arah tujuannya. 
Namun kini semakin jelas bagi Cahaya Buana, bahwa adik angkat Sang Senapati Indra Samhada 
yang bernama Sujud besar kemungkinannya adalah cucu putranya Yoga Kumala. 
Karena kesanggupan Indra Sambada untuk mencari Sujud hingga ketemu, dan akan 
menyerahkan sendiri ke Gunung Tangkuban Perahu, maka Ajengan Cahaya Buana segera minta diri 
untuk kembali ketempat pertapaannya. 
Kepada Indra Sambada dijelaskan pula, bahwa cucu putranya mempunyai tanda tahi lalat yang 
sama dengan cucu putrinya, yang berada di lengan kiri. 
Pertemuannya yang singkat dengan Cahaya Buana itu, bagi Indra Sambada sangat berkesan dan 
penuh arti. 
Ia berhasrat besar untuk membalas kunjungannya Cahaya Buana ke tempat pertapaannya 
dilereng Gunung Tangkuban Perahu, dengan menyerahkan cucu putranya Sujud atau Yoga Kumala, 
sebagai balas budi akan jasa Ajengan Cahaya Buana sewaktu menyelamatkan jiwanya. 
Dan lebih daripada itu, ia berhasrat pula untuk dapat mencicipi sedikit akan ilmu kesaktiannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa