SETELAH mereka berjalan selama empat bulan, sambil menikmati keindahan alam yang
dijumpainya, kini mereka bertiga berjalan mengitari Gunung Slamet melalui selatan, dan tibalah didesa2
Kranggan, Bumiayu, dan Prupuk untuk kemudian menyeberangi kali Pemali menuju kekota Banjararja.
Sungguhpun waktu telah lewat senja, mereka tiba dikota Banjararja akan tetapi sinar lampu2
minyak penerang kota ternyata cukup terang menerangi hingga menambah semaraknya keindahan kuta
yang ramai itu.
Pada waktu itu memang baru ada keramaian dikota. Dialun-alun kebanjaran nampak jelas
adanya bangunan sebuah panggung yang luas yang biasa dipergunakan untuk pameran suatu
pertunjukan keramaian.
Panggung yang luasnya dalam bentuk segi panjang selebar sepuluh langkah dan panjangnya tak
kurang dari dua-puluh langkah itu, dibuat dengan papan kayu jati yang tebalnya kira-kira setengah
jengkal dengan tiang- tiangnya yang rapat serta kokoh kuat setinggi manusia berdiri.
Panggung itu merupakan panggung terbuka tak beratap, dan disekelilingnya dihias dengan janur
kuning serta diselang seling dengan pita2
sutra beraneka warna.
Serakit gamelan dengan para pemukulnya nampak pula berada diatas panggung, disudut
1samping sebelah belakang. Bangku-bangku panjang dengan meja-mejanya berderet-deret teratur rapih didepan panggung,
dan telah penuh pula dengan para tamu undangan.
Hanya dua baris bangku terdepanlah yang kelihatan masih kosong dan tak ada yang berani
menempatinya.
Jauh dibelakang para tamu undangan dengan batasnya kawat yang terpancang, dimana rakyat
yang menonton telah berjejal-jejal berdiri, dengan saling berebut untuk dapat berada didepan. Demikian
pula keadaan disekitarnya, samping kanan dan kiri panggung itu.
Didalam alun-alun yang luas itu, banyak pula warung-warung darurat yang berjualan makanan
serta ada pula yang menyediakan tempat-tempat untuk bermalam bagi para pengunjung dari jauh,
dengan penarikan biaya yang sangat rendah. Disamping warung-warung makan itu, masih banyak lagi
para pedagang kecil yang berjualan ditempat terbuka, seperti pakaian beraneka warna macam, mainan
kanak-kanak, buah-buahan dan lain-lainnya.Dan mereka menawarkan dagangannya dengan caranya
masing-masing, berebut untuk menarik perhatian para pengunyung yang berjejal-jejal itu, hingga
menambah riuhnya suasana.
Sambil menggandeng tangan Martinem yang tak henti-hentinya menanyakan semua yang
dilihatnya, dengan diikuti oleh Martiman disampingnya, Sujud berjalan ditengah-tengah orang yang
berjejal-jejal itu, untuk mencari sebuah warung dan tempat bermalam. Mengingat bekalnya yang kian
menipis, maka Sujud menuju kewarung yang sederhana disudut alun-alun yang tempatnya agak sepi.
Kebetulan warung itu menyediakan banyak tikar pula, untuk disewakan pada para pengunjung
yang ingin bermalam diwarungnya, dengan harga yang sangat rendah.
Pun pemilik warung itu ternyata seorang perempuan yang telah lanjut usianya dan sangat
peramah. Atas pesan Sujud, pemilik warung itu setelah menghidangkan makan bagi mereka bertiga,
segera menggelar tiga tikar di suatu ruangan yang bersih, serta mempersilahkan dengan ramahnya
untuk berkemas dan mengaso, sementara ia masih sibuk melayani tamu-tamtt yang lain.
Dari bibi pemilik warung yang ramah itu, Sujud mendapat keterangan bahwa keramaian yang
tengan berlangsung adalah perayaan pesta pernikahan dari anak putrinya Panewu Arjasuralaga yang
bernama Rara Tanjungsari. Adapun mempelai lelakinya berasal dari Kuningan, seorang pemuda
terpandang putra sulung dari Kyai Singa Yudha, guru shakti dalam ilmu kanuragan yang telah terkenal
Perguruannya dinamakan "BASKARA MIJIL" (Matahari terbit) dengan lambang kebesarannya
berlukiskan gambar matahari terbit dengan garis-garis sinarnya memenuhi separo lingkaran.
Sungguhpun perguruan Baskara Mijil itu belum lama didirikan, namun murid-muridnya telah cukup
banyak, dan pengaruh-nya telah tersebar luas.
Kiranya Panewu Arjasuralaga girang sekali mempunyai menantu yang tanpa dan memiliki ilmu
krida yudha yang dianggapnya cukup mengagumkan itu, sehingga untuk merayakan hari perkawinannya
diadakan keramaian lima hari lima malam, juga akan diadakan lomba olah kanuragan untuk
memperebutkan gelar kejuaraan daerah Banjararja dengan hadiah-hadiahnya yang berharga, berupa
sejumlah uang emas dan pakaian, serta pemenangnya akan diangkat menjadi lurah narapraja, pengawal
pribadi Penewu Arjasuralaga.
Hal ini tidak mengherankan, karena sebelum ia menjabat sebagai Penewu Narapraja di
Banjararja, ia sendiri adalah seorang tamtama di kota Raja. Dan kiranya oleh kanuragan masih selalu
merupakan kegemarannya. Semenjak Penewu Arjasuralaga menjabat sebagai kepala narapraja di
Kebanjaran Banyararja, baru kali inilah diadakan keramaian yang semeriah itu.
Keramaian itu telah berlangsung satu hari semalam, dengan mendapat perhatian yang sangat
besar dari para tamu undangan maupun rakyat biasa yang menyaksikannya. Dan keramaian pada malam ini adalah malam yang kedua dengan acara pertunjukkan senitari
dari daerah Kuningan berupa tari kelana topeng, dan dilanjutkau dengan wayang golek siang harinya.
Kita mengaso dulu sebentar, Nem!. Besok pagi saja, kalau sudah hilang lelah kita, kau tentu akan
kuantar melihatnya! -- Sujud menjawab dengan suara lemah untuk menghibur.
— Sekarang saja, kang Sujud. Besok tentu sudah bubar Martinem mendesak dengan merengek-
rengek.
— Nem, kau jangan rewel saja! Keramaian itu masih akan berlangsung sampai ampat hari Iagi,
jadi tak usah kuatir untuk tidak kebagian melihat! ….. Sudahlah…. lebih baik sekarang mengaso dulu! —
Dengan tak sabar Martiman memotong pembicaraan, demi menegur adiknya.
Komentar
Posting Komentar