Langsung ke konten utama

Kunanti Di Gerbang Pakuan 1

Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana Bagian 1

Penunggang Kuda Dari Timur
Merah rona matahari di ufuk barat semakin lama semakin menebal warnanya. Namun
sebelum bulatan raksasa jatuh terbenam di balik rimbunan pohon beringin, seorang
penunggang kuda sudah tiba di lawang seketeng (gerbang) dayo (ibukota) Pakuan.
Mulut kuda mendengus-dengus dan nampak uap putih mengepul dari hidungnya manakala
secara serentak yang sang penunggang menarik ketat tali kekangnnya.
"Bukakan gerbang!" teriaknya ketika dilihatnya pintu gerbang kota yang terbuat dari papan
jati tebal itu segera ditutup para jagabaya.
"Tidak tahukah Ki Silah, kentongan telah ditabuh dan kulit tiram sudah ditiup?" teriak pula
seorang jagabaya sedikit melongokkan kepalanya dari sela-sela kedua ujung daun pintu
raksasa. "Aku tahu, tanda kota segera tertutup untuk orang luar. Tapi tak tahukah kalian siapa yang
datang?" dengan sedikit kesal sang penunggang kuda balik berteriak.
Sang jagabaya mencoba meneliti penunggang kuda itu. Sudah remang-remang memang, tapi
cahaya temaram dari bayangan lembayung masih sanggup menerangi wajah pendatang itu.
Dia yang duduk setengah membungkuk di atas pelana kuda hitam itu sepertinya seorang
prajurit biasa bila menilik kepada pakaiannya. Dadanya yang bidang tak menggunakan baju,
kecuali penutup dada dari beludru hitam jenis kasar. Sepasang pergelangan tangannya
bergelang logam perak. Dia menggunakan celana sontog (celana sebatas lutut) juga terbuat
dari kain beludru hitam jenis kasar. Rambutnya digelung ke atas dan diikat kain warna nila.
Jagabaya menaksir, prajurit berkuda itu masih muda, paling berusia duapuluh tahun. Hanya
karena ada cambang bauk saja maka pemuda itu seperti usia tigapuluh tahun.
"Melihat pakaianmu Ki Silah (saudara) tentu parjuirit Pajajaran. Tapi peraturan menentukan,
lawang seketeng harus ditutup di saat matahari terbenam!" kata sang jagabaya setelah
meneliti siapa yang datang.
Kuda melonjak-lonjak ketika tali kekang dihentak penunggangnya. Matahari sudah semakin
kelam dan ada banyak binatang kalong terbang melayang ke utara menuju Gunung Salak.
Namun kepulan debu tanah nampak terlihat menebal ketika sepasang kaki depan kuda
menghentak-hentak keras. "Jangan tersinggung Ki Silah, apakah engkau lebih senang melihat prajurit Pakuan melanggar
tata-tertib kerajaan?" kata sang jagabaya ketika tahu sang penunggang kuda tersinggung atas
penolakannya. "Aku tahu ikhwal peraturan itu dan seluruh penghuni Pajajaran tabu untuk melanggarnya.
Tapi Ki Silah peraturan tak boleh dilaksanakan kaku. Harap bijaksanalah sedikit," tutur
penunggang kuda. "Kebijaksanaan adalah penyelewengan dari sebuah peraturan," bantah jagabaya.
"Membuat penyelewengan untuk sesuatu kepentingan adalah tindakan tepat, apalagi
menyangkut urusan negara!" jawab prajurit penunggang kuda lagi.
Hening sejenak. "Bagaimana?" kata jagabaya pada teman-temannya yang lain.
"Coba kau, tanyakan kepentingan apa yang dia katakan ada hubungannya dengan negara itu,"
terdengar seorang jagabaya lain berbicara.
"Tentang apa?" "Penting sekali. Tetapi hanya bisa disampaikan kepada Pangeran Yogascitra," jawab
penunggang kuda. "Dia mengenal Pangeran?" bisik seorang jagabaya di balik gerbang. Kemudian terdengar
rundingan-rundingan yang tak bisa didengar penunggang kuda. Namun rupanya rundingan itu
menyangkut disetujui atau tidaknya sang penunggang kuda memasuki lawang seketeng. Tibatiba
gerbang berderit. Pintu jati terbuka perlahan dan terkuak kecil tapi cukup dilewati satu
penunggang kuda. Si penunggang kuda rupanya mafhum bahwa pada akhirnya dia diizinkan
memasuki gerbang dayo (kota).
"Tapi engkau baru bisa menghadap Pangeran Yogascitra esok hari, Ki Silah?" kata seorang
jagabaya berdada bidang. "Di mana aku harus bermalam?" tanya si penunggang kuda sambil sepasang kakinya menjepit
perut kuda karena binatang itu nampak selalu gelisah.
"Engkau hanya bisa tinggal di wilayah jawi khita (benteng kota luar)," kata jagabaya
menerangkan. "Engkau akan kami antar ke asrama jagabaya agar keperluan bermalammu bisa kami urus,"
kata yang lain. Si penunggang kuda termenung sejenak, namun kemudian dia
bergumam,"Biarlah aku bisa mencari penginapan sendiri," ujarnya.
"Carilah warung-warung nasi di pasar, mereka suka menyediakan tempat menginap juga!"
tutur jagabaya. Si penunggang kuda hanya mengangguk pelan, sesudah itu membedal kuda
dan berlalu. "Kuda hitam itu seperti kurang akrab dengan penunggangnya?" gumam seorang jagabaya.
"Barangkali hanya kuda temuan di tengah jalan?" gumam temannya.
Sementara itu si penunggang kuda segera mencongklang kudanya dengan cukup pelan ketika
jalanan berbala batu sudah memasuki tempat cukup ramai.
"Barangkali ini yang dinamakan pasar?" gumamnya sendirian.
Si penunggang kuda ini pernah mendengar khabar bahwa Pakuan adalah dayo (ibukota)
Kerajaan Pajajaran paling ramai dan paling besar bila dibandingkan dengan dayo sebelumnya.
Orang-orang Karatuan Talaga atau penduduk Karatuan Sumedanglarang kerapkali bercerita
kepadanya, bahwa dayo kerajaan besar bernama Pajajaran kerapkali berpindah-pindah
berdasarkan selera penguasa pada waktu itu. Contohnya, Prabu Guru Darmasiksa yang semula
berkedudukan di Saunggalah pada tahun 1187 M memindahkan ibukota ke Pakuan, sebuah
kota yang sudah ada sejak dulu dan pernah juga dijadikan dayo oleh raja-raja sebelumnya.
Dayo Pakuan didirikan oleh Maharaja Tarusbawa (670 M).
Sambil mencongklang kuda pelan-pelan pemuda bercambang ini meneliti kiri-kanan. Dayo
Pakuan memang sebuah kota dengan segala macam kesibukan. Kendati sejak 34 tahun lalu
(1527 M) kegiatan ekonomi dengan negri sebrang telah mulai beku karena Pelabuhan Kalapa
(Sunda Kalapa) sudah dikuasai Demak dan Cirebon, tapi kegiatan perdagangan di dayo
Pakuan masih kelihatan sibuk.
Pemuda itu mendapatkan di beberapa persimpangan jalan berbalay terlihat orang berkerumun.
Mereka mengerumuni kaum pedagang.
Di kerumunan lain penduduk kota tengah memperhatikan pedagang pakaian. Jenis pakaian
yang dijual sebenarnya sederhana saja kualitasnya. Hampir semuanya berupa jenis pakaian
untuk orang kebanyakan, terbuat dari tenunan kasar seperti gaya anyaman seumat sahurun,
anyam cayut, kalangkang ayakan, hujan riris atau pasi-pasi. Yang diperdagangkan adalah
cangcut (celana) dan pangadwa (baju) untuk kaum pria, atau sinjang dan samping serta apok
dan kutang-kutung untuk wanita. Di sudut jalan yang lain ada pedagang yang khusus
menjajakan berbagai jenis ikat pinggang seperti angkin, beubeur, benten atau benting usususus.
Dia sebrang jalan berbalay ada pedagang menjajakan alat pertanian atau berladang
seperti parang, congkrang, etem atau arit. Ada yang menjual alat rumah tangga seperti kendi,
lodong (tempat mengambil air terbuat dari bambu), bekong (cangkir dari batok kelapa), kowi
(cangkir bambu) atau tampekan (tempat sirih). Dan di sudut lain, ada pedagang menggelar
alat-alat senjata seperti golok, pedang, abet, pamuk, peso teundeut sampai keris. Yang
mengerumuni pedagang senjata, hampir sebagian besar terdiri dari prajurit dan ponggawa.
Ada juga yang berpakaian orang kebanyakan, akan tetapi pemuda itu bisa menduga, mereka
adalah ponggawa juga bila melihat tindak-tanduknya.
Sambil melambatnya jalannya kuda, pemuda itu memang banyak menemukan prajurit
berkeliaran di jawi khita (benteng kota luar) ini. Menurut orang-orang Sumedanglarang,
Pakuan merupakan kota terbesar kedua di Nusantara sesudah Demak. Penduduknya hampir
50.000 jiwa. Namun untuk menjaga keamanan penduduk sejumlah itu, Pakuan melengkapi
diri dengan 100.000 prajurit, bahkan diperkuat oleh 1.000 perwira pengawal Raja.
Pakuan sejak zamannya Sri Baduga Maharaja perlu memiliki kekuatan militer setelah terjadi
permusuhan dengan Cirebon dan Demak. Apalagi sesudah 7 pelabuhan milik Pajajaran
direbut mereka. Dan Banten yang semula merupakan pelabuhan kedua terbesar sesudah
Sunda Kalapa, sesudah direbut Demak, belakangan bahkan memisahkan diri dari Demak tapi
juga sama memusuhi Pakuan. Malah selama bermusuhan dengan negara agama baru,
Bantenlah yang paling beringas dalam melakukan serbuan ke Kerajaan Pajajaran hingga ke
pusat pemerintahan. Terbukti pada masa pemerintahan Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543
M), serbuan prajurit Banten menusuk hingga ke wilayah jawi khita (kota luar). Di alun-alun
benteng luar terjadi pertempuran besar yang menewaskan dua perwira kerajaan paling handal
yaitu Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sangiang.
Peristiwa penyerbuan pasukan Banten di zaman Sang Prabu Ratu Dewata menjadi cermin
bagi raja yang menggantikannya, yaitu Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 M). Raja Pajajaran
keempat yang selalu bertindak keras ini, beranggapan bahwa ayahandanya terlalu lemah
dalam memimpin sehingga musuh tidak merasa takut melakukan penyerbuan sampai
menusuk pusat pemerintahan. Oleh sebab itu kekuatan militer harus jadi tumpuan utama
dalam hal menyusun dan mempertahankan keberadaan negara. Sayang, pembangunan militer
yang butuh dana besar ini tidak didukung oleh situasi ekonomi. Karena kegiatan ekonomi
antar negri sudah lumpuh, maka untuk memperkuat negri, Sang Prabu Ratu Sakti menarik
seba (pajak) tinggi kepada rakyat. Kebijaksanaan ini amat meresahkan rakyat sehingga
banyak negara kecil yang semula di bawah naungan Pakuan melakukan pemberontakan.
Celakanya, kebijaksanaan Raja dalam menarik pajak tinggi juga dimangfaatkan oleh beberapa
pejabat yang berniat merebut kekuasaan. Pembangunan kekuatan militer yang di beberapa
wilayah bahkan dimangfaatkan oleh para pejabat sendiri untuk melakukan perlawanan
terhadap Raja. Sebagian tentara yang dibiayai oleh Raja pada akhirnya malah digunakan
untuk memberontak terhadap Raja (Baca : "Senja Jatuh di Pajajaran").
Tahun 1551 M pucuk pemerintahan di ganti oleh Sang Lumahing Majaya atau Nilakendra
Tohaan di Majaya. Raja ini diwastu (dilantik) di atas palangka (singgasana khusus untuk
melantik raja) dalam usia yang masih amat muda, yaitu sekitar 18 tahun. Bukan berarti dia
sudah punya pengalaman utuh dalm memimpin negara, namun regenerasi yang terlalu cepat
ini terjadi dalam keterpaksaan. Sang Lumahing Majaya adalah putra terkasih dari banyak
putra Sang Prabu Ratu Sakti. Agar tak kesan pergantian kekuasaan dilakukan secara paksa
dan berbau pemberontakan, maka pengganti Sang Prabu Ratu Sakti "dipilih"lah putranya
sendiri. Padahal para pengamat politik masa itu telah menduga bahwa telah terjadi
"pemberontakan halus" terhadap Sang Prabu. Kebijaksanaan Sang Prabu Ratu sakti dalam
mengendalikan pemerintahan kurang disenangi banyak pejabat, terutama oleh para pejabat
istana jujur dalam membela kepentingan Pakuan. Ketika itu Ratu Sakti mudah terbuai oleh
mulut manis dan sebaliknya mudah tersinggung bila menerima panca-parisuda (lima obat
penawar = kritik membangun).
Kelemahan raja yang penuh ambisi ini juga selalu bertindak keras kepada rakyat atau
kalangan yang dianggap punya kesalahan dan punya kegemaran yang romantis, yaitu amat
menyukai kecantikan wanita. Puncak kegelisahan para pejabat bahkan terjadi setelah Sang
Prabu melakukan pelanggaran moral yaitu mengawini wanita larangan. Yang dimaksud
wanita larangan adalah wanita yang sudah punya tunangan. Dan karena hasrat hatinya dalam
memiliki tubuh molek, maka kekuasaannnya sebagai raja dia gunakan untuk meraih apa yang
dia inginkan. Kekacauan di dalam negri kian memuncak disertai beberapa pemberontakan yang dilakukan
negara-negara kecil yang semula berada di bawah naungan Pakuan disertai tindakan-tindakan
tak terpuji Sang Prabu, maka akhirnya telah terbentuk kesepakatan bersama sesama pejabat
istana, mereka mengatakan langsung pada Raja bahwa Raja sudah terlalu lelah memimpin.
Dan di saat suasana genting seperti ini perlu tenaga segar dalam memimpin negara. Para
pejabat langsung menyodorkan keinginan, bahwa Sang Lumahing Majaya putra terkasih Raja,
kendati masih amat muda tapi dinilai mampu menangani dan membenahi negara sampai
keberadaannya kembali mencuat ke puncak kebesaran seperti apa yang dicita-citakan Raja.
Inilah sebenarnya taktik menyingkirkan Ratu Sakti yang tidak terkesan berbau
pemberontakan. Mengapa mesti disebut pemberontakan" Ini bukan menggeser atau mendepak
Raja, tokh yang menggantikannya adalah putranya sendiri. Perpindahan dari Ratu Sakti
kepada Sang Lumahing Majaya "tak kurang tak lebih" hanya berupa kejadian alamiah belaka,
yaitu estafet tongkat kepemimpinan.
Sang Ratu Sakti setuju dengan gagasan ini. Tahun 1551M dia turun tahta dan digantikan oleh
putranya. Namun benarkah dia tak merasakan maksud sebenarnya dari peralihan kekuasaan
ini" Tak ada orang yang tahu dengan pasti. Yang jelas, hanya selang beberapa bulan dari
pergantian kekuasaan, Sang Prabu Ratu Sakti wafat dalam tahun itu juga karena sakit yang
parah. Hanya secara bisik-bisik saja kalangan istana dan para pengamat politik mendugaduga,
bahwa kematian mantan raja ini karena menderita tekanan batin. Dia adalah seorang
Raja yang memiliki ambisi besar, yaitu ingin mengembalikan kejayaan Pajajaran ke puncak
kejayaan seperti yang dialami pada masa pemerintahan kakek-buyutnya, Sang Prabu Sri
Baduga Maharaja (1482-1521M). namun apa daya, bukan kebesaran yang dia dapatkan,
melainkan kekacauan dan perpecahan.
Kini sudah berselang sepuluh tahun dari peristiwa itu. Sang Lumahing Majaya, atau Tohaan
di Majaya, atau juga dikenal sebagai Sang Prabu Nilakendra sudah berusia 28 tahun. Sepuluh
tahun memimpin negara setidaknya dia sudah merasa punya "pengalaman" dan merasa tahu
bagaimana caranya mengendalikan pemerintahan.
Sang Prabu Nilakendra selama menyimak kepemimpinan ayahnya hanya menemukan
berbagai pertentangan di dalam negri sendiri semata. Penarikan seba (pajak) tinggi yang
dilakukan ayahandanya hanya melahirkan kesengsaraan dan ketidakpuasan rakyat. Itulah
sebabnya, ketika pimpinan kekuasaan jatuh padanya, Sang Prabu Nilakendra mencoba
mengubah gaya kepemimpinan. Dana besar yang dihasilkan melalui pajak tinggi kebanyakan
hanya digunakan untuk kepentingan militer dalam upaya menahan serangan musuh. Namun
kenyataannya, dana yang tinggi bukan habis untuk menangkal serangan musuh. Selama
pemerintahan sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551M) tak pernah ada penyerbuan baik dari
Banten mau pun dari Cirebon. Hal ini terjadi karena baik Cirebon mau pun Banten sedang
membantu Demak dalam melakukan penyerbuan ke Pasuruan. Kekuatan militer Pajajaran
yang dihasilkan melalui dana besar sebetulnya hanya dihabiskan untuk berperang dengan
sesama orang Pajajaran sendiri. Seperti yang diutarakan terdahulu, karena kebijaksanaan
penarikan pajak tinggi, banyak negara kecil di bawah Pajajaran mulai memalingkan muka.
Mereka mencoba melakukan pemberontakan dan memisahkan diri. Yang wilayahnya lebih
dekat kepada Cirebon atau Banten, lebih memilih memihak mereka dan berganti agama.
Negara-negara kecil di wilayah timur Sungai Citarum seperti Sumedanglarang, Karatuan
Talaga, Timbanganten atau Gilingwesi, semua telah berpindah agama dan mengabdi kepada
Cirebon. Di wilayah barat sepanjang sisi-sisi Sungai Cihaliwung (Ciliwung), negara-negara
kecil seperti Muaraberes atau Tanjungbarat sudah menjadi wilayah transisi. Rakyatnya sudah
banyak beralih agama dan secara diam-diam sebagian pejabatnya sudah berfihak kepada
Banten. Bercermin kepada kegagalan ayahandanya, Sang Prabu Nilakendra tidak memilih kekerasan
dalam mengendalikan pemerintahannya. Kendati pajak tetap ditarik tapi tak seketat seperti
yang dilakukan ayahandanya. Sang Prabu mencoba melawan musuh dan penentangnya
dengan kelembutan. Bila kakek buyutnya, Sang Prabu Surawisesa gemar berperang (selama
14 tahun memerintah negara, yaitu 1521-1535M terjadi 15 kali pertempuran), adalah Sang
Prabu Nilakendra lebih memilih menjauhi perang. Menurutnya, sebenarnya musuh bisa
dilawan dengan tidak melakukan perlawanan.
"Pada umumnya orang hanya akan menyakiti bila disakiti. Jadi kalau kita tak menyakiti, maka
orang pun tak akan menyakiti," ujar beliau.
Karena dasar pemikiran inilah, Sang Prabu Nilakendra tidak merasa takut terhadap musuh.
Sebab pada hematnya, selama tak diganggu maka mereka pun tak akan mengganggu.
Namun ini adalah jalan pemikiran Raja dan dak mewakili seluruh pemikiran pejabat lainnya.
Padahal para pejabat di bawahnya cenderung tak berpikir begitu. Politik tak mempunyai
kewajiban mematuhi etika filosofis. Musuh tak bisa dicegah hanya karena kita memilih diam.
Bahkan tindakan diam yang dilakukan hanya akan mengundang sangka bahwa Pakuan
semakin lemah. Nasib buruk Kerajaan Sunda yang sudah berdiri hampir 900 tahun lamanya (sejak tahun
669M) seperti akan terus berlanjut. Pertikaian demi pertikaian, baik antara Pakuan dengan
kekuatan negara agama baru, mau pun dengan sesama orang Pajajaran sendiri seperti tak
habis-habisnya. Kini, dalam usia 10 tahun masa kepemimpinan Sang Prabu Nilakendra,
kembang-kembang pertikaian seperti akan kembali mencuat kendati belum kentara benar.
Lihatlah, pemuda misterius berkuda hitam yang memasuki dayo Pakuan ini. Apa yang akan
dia kerjakan di pusat Kerajaan Pajajaran ini"
*** Orang pintar mengaku pintar
itu biasa orang bodoh mengaku pintar
itu petaka tapi yang paling hebat orang bodoh mengaku bodoh
sebab itulah yang namanya pintar
Lantunan prepantun (juru pantun) demikian merdu kendati isi syairnya menyengat. Entahlah,
apakah para penyimak yang tengah mengelilingi prepantun tua dan buta ini mengerti akan
maknanya" Yang jelas orang-orang yang duduk-duduk di bale-bale kedai nasi paling besar di
tepi jalan berbalay jawi khita ini menyimak dengan hati suka cita. Hampir semua penyimak
kepalanya manggut-manggut karena mengikuti irama dawai kecapi yang dipetik prepantun
buta itu. "Seringkah pertunjukan pantun di sini, Aki?" tanya seorang pemuda berkulit putih halus
bermuka sedikit bundar dan bermata binar yang ikut menyimak pertunjukan pantun ini.
Si orangtua bercelana kampret hitam dengan baju jenis sampir yang ditanya menoleh heran
kepada si pemuda. "Apakah Ki Sanak baru datang ke dayo ini?" tanyanya heran.
Si pemuda agak ragu untuk menjawab. Namun sesudah itu dia mengangguk pelan.
"Ki Sanak datang dari mana?"
Diam sejenak. "Saya dari Muaraberes ?"
"Muaraberes dekat saja dari dayo. Apakah engkau jarang ke dayo Pakuan ini?" tanya orang
tua itu kembali menatap heran. Pemuda bermata binar yang menggunakan baju kampret
warna nila dan bercelana sontog dengan warna yang sama itu mencoba menghindar dari
tatapan orang tua itu. "Oh " ya aku tahu. Kendati dari sini ke Muaraberes tidak begitu jauh, dan perjalanan tak
begitu sulit, tapi orang tak sebebas dulu dalam melakukan perjalanan ke sini, anak muda?"
tutur orang tua itu lagi mengeluh."Tapi engkau beruntung anak muda. Kau masih bisa
melakukan perjalanan ke sini. Bagaimana engkau bisa?" lanjutnya menatap penuh curiga.
"Ah " hanya sekadar keberuntugan saja, Aki!" gumam pemuda berikat kepala kain batik
jenis pupunjengan ini. "Apa pula tujuanmu datang ke sini?" si orang tua seperti terus menguntitnya.
"Pakuan adalah dayo paling ramai. Bagi orang muda seperti saya, mencari kehidupan lebih
baik adalah dambaan utama. Di sini banyak hal-hal menyenangkan. Seniman terbaik ada di
sini. Cobalah Aki simak prepantun tua ini. Di Muaraberes tak ada prepantun sebaik ini?"
tutur pemuda itu berbasa-basi.
"Hm " hanya prepantun tua yang membosankan. Kerjanya begitu-begitu saja. Kalau tak
menyindir, ya memuji!" potong lelaki tua itu. Si pemuda kini menyungging senyum.
"Kau juga mengetawakan prepantun di sini, anak muda?"
"Saya malah tersenyum karena cemoohanmu, Aki. Menyindir tidak boleh, memujipun kau
cerca. Habis, musti bagaimana orang menyimak kehidupan ini?" tanya pemuda berwajah
bulat itu. "Sekarang Pajajaran tengah mengalami masa-masa suram. Di zaman Sang Prabu Ratu Sakti
salah dan benar hampir tak ada daya pemisah. Asal mau mengobral puji, kebenaran akan
muncul, sebaliknya kita akan menjadi orang bersalah bila berani mengirim sindir. Sekarang
zamannya Sang Prabu Nilakendra, tak ada kekerasan. Sang Prabu sungguh pendiam. Tapi
yang namanya terlalu, apa pun jenisnya itu tidak baik. Sang Susuhunan muda ini terlalu
pendiam. Kerjanya bersunyi-sunyi di dalam kuil. Terlalu pendiam artinya tak ada ambisi. Dan
orang tak punya ambisi pun jelek namanya. Lihatlah, karena Sang Prabu terlalu membiarkan
sesuatu, giliran rakyat yang bermain dengan ambisi. Wong huma darpa mamangan, tan igar
yan tan pepelakan (petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak
bertanam sesuatu). Yang tak sadar akan keadaan, semakin tenggelam dalam keserakahan.
Namun sebaliknya yang merasa prihatin akan situasi, paling banter hanya akan kuat
menyodorkan sindiran. Cobalah, sejauh mana sindiran bisa menukik ke dalam kalbu selama
kita bermabuk-mabuk akan ambisi dan keserakahan?"
Si pemuda hanya tersenyum tipis namun tak bisa diduga apa maksudnya.
*** Sementara itu, prepantun semakin menyeruakkan lantunannya. Persis seperti apa kata orang
tua tadi, kini orang kerjanya hanya menyindir dan memuji tanpa berusaha mengubah keadaan
dengan tindakan nyata. Sang prepantun tua, kalau tadi menggebu dengan sengatan, kini
berkidung dengan puja dan puji.
Ki Darma Tunggara bagaikan setetes air Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 7
di kegersangan walau bisa jadi penyegar tak mampu menepis haus Oh, hai Darma Tunggara engkau air setetes yang hilang terserap bumi
Kini ada ksatria Ginggi mencoba menguak hati hidup mati tak peduli asalkan yang hakiki bisa dicari
namun sayang tak pernah abadi
Ginggi pergi sebelum berseri
ke mana Ginggi ke mana padahal negri tengah menanti
"Saya kerapkali mendengar nama Ksatria Ginggi banyak disebut kaum prepantun, tapi saya
tak tahu apa maknanya, Aki?" gumam si pemuda sambil mengucak-ngucak ujung hidungnya
yang sedikit mancung. Orang itu menoleh sambil mengernyitkan dahinya. Barangkali dia merasa terganggu sebab
sudah sejak tadi pemuda itu hanya bertanya dan bertanya saja kerjanya.
"Berapa usiamu kini, anak muda?"
"Mungkin delapan belas?" jawab si pemuda sesudah mengingat-ingat sejenak.
"Pantas saja engkau tidak tahu, sebab nama Ksatria Ginggi mencuat pada sepuluh tahun
silam. Barangkali usiamu ketika itu baru delapan tahun, umur-umur di saat orang belum
mengerti keadaan," kata orang tua itu.
"Saya ingin sekali tahu. Kalau Aki tak keberatan, tolong gambarkan secara singkat
keberadaan orang itu," kata si pemuda seperti penuh harap.
Maka di sela-sela denting dawai kecapi, yang dipetik prepantun, orang tua itu terpaksa sedikit
bercerita. Menurut dia, seni bercerita disebut pantun sebetulnya bisa juga disebut berita. Baik itu berita
perkembangan negara, mau pun berita mengenai perjalanan hidup atau pengelelanaan seorang
ksatria. Sudah puluhan tahun orang-orang Pajajaran mengenal kisah Guru Gantangan atau juga lebih
dikenal sebagai Mundinglaya di Kusumah. Cerita Mundilaya di Kusumah yang demikian
terkenal sebetulnya diambil dari kisah nyata perjalanan hidup dan kisah heroik dari Sang
Prabu Surawisesa ketika beliau masih muda. Begitu halnya dengan ceritra-ceritra lain seperti
kisah Darmajati, Jayasena, Adiparwa, Sedamana, Kisah Anggalarang dan Banyakcitra, atau
Sanghyang Lutung Kasarung. Semua adalah berupa kisah kepahlawanan orang-orang
Pajajaran. "Ceritra-ceritra itu abadi di hati orang Pajajaran, kendati tokoh-tokoh pujaan itu sudah tak ada
di dunia lagi," kata orang tua itu.
"Maksudmu, Ksatria Ginggi pun kini telah mati, Aki?" tanya si pemuda.
Orang tua itu menatap tajam, seperti diingatkan bahwa ucapannya mungkin tak seluruhnya
benar. "Ksatria Ginggi itu seorang pemuda yang sakti mandarguna. Dialah murid terkasih Ki Darma
Tunggara yang sikap perbuatannya hampir menyerupai gurunya. Ki Darma dulunya bekas
anggota seribu perwira pengawal Raja. Dia tidak berambisi, membela negara dengan tanpa
pamrih. Begitulah muridnya. Ksatria Ginggi pun berhal sama. Tujuan mereka mulia namun
banyak dikotori oleh orang lain yang ingin memanfaatkan situasi. Ki Darma Tunggara pernah
dituding pemberontak dan dikejar-kejar prajurit atas perintah Sang Prabu Ratu Sakti. Begitu
pun ksatria Ginggi, pernah mengalami nasib buruk dianggap pengkhianat."
"Sekarang bagaimana?"
"Beruntung Raja yang sekarang sadar bahwa baik Ki Darma Tunggara mau pun Ksatria
Ginggi selama ini bukan saja tak pernah berkhianat, bahkan selalu berkorban untuk
kepentingan negara. Kedua orang itu akhirnya dibersihkan namanya."
"Barangkali mereka kini sudah menjadi pejabat di istana yang terkemuka, Aki?" kata si
pemuda memancing. Orang tua itu kini seperti menghela napas berat seperti ada keluhan di dalam hatinya.
"Itulah yang disesalkan semua orang. Mengapa orang sebaik mereka malah tak pernah
berpeluang dengan tepat dalam upaya pembelaan terhadap negri ini?"
"Ki Darma tak pernah kembali ke istana. Malah khabar selentingan yang sampai ke telinga
rakyat, Ki Darma sebetulnya sudah tewas di puncak Gunung Cakrabuana, sebab Sang Prabu
Ratu Sakti, pernah memerintahkan para perwira untuk menyerbu ke sana?"
"Dan Ksatria Ginggi?""
"Seusai berhasil ikut menggagalkan pemberontakan yang dipimpin Ki Banaspati, Ksatria
Ginggi pergi meninggalkan Pakuan secara diam-diam. Sampai kini sudah sepuluh tahun
berselang. Ke mana ksatria muda itu pergi, tak ada khabar beritanya. Padahal, banyak orang
merindukan anak muda itu. Di saat-saat seperti ini, mungkin negara memerlukan dia lagi?"
"Mengapa?" "Engkau masih terlalu muda jadi belum faham situasi negara. Harap waspada, sebetulnya
negara dalam keadaan genting. Kekuatan di dalam negri semakin melemah, sedangkan musuh
dari barat semakin kuat. Hanya ketika saat pemerintahan Sang Prabu Surawisesa yang gagah
maka para prepantun sanggup mengabarkan Pakuan aman dari serbuan. Sedangkan di harihari
ini, Pakuan sudah tak punya apa-apa lagi. Kau lihatlah anak muda, Sang Prabu kurang
berambisi untuk melawan musuh dan para prajurit kerjanya santai dan mabuk-mabukan. Ini
bertanda bahaya sebab musuh akan segera datang?" ujar orang tua itu, disambut anggukan
pelan pemuda bermata binar itu.
Malam semakin larut dan juru pantun pun semakin menggebu dengan lantunan dan celoteh
merdunya. Semua orang semakin tenggelam dalan simakkan, kendati di beberapa sudut, ada
yang terkantuk-kantuk atau kerjanya hanya bermabuk-mabuk. Sampai pada suatu saat si
pemuda meninggalkan kerumunan itu dan berlalu memburu suatu tempat kegelapan.
Rupanya pemuda itu menemui seseorang yang sengaja menunggunya di kegelapan kelamnya
pohon soka. "Paman Manggala! Saya cari sejak tadi senja, ke mana saja?" kata pemuda itu menegur tapi
dengan nada penuh syukur karena bisa bertemu dengan lelaki setengah baya berjenggot tebal
dengan ikat kepala gaya barangbang semplak. Lelaki yang dipanggil Paman Manggala itu
nampak berpakaian hitam-hitam, baik baju kampret mau pun celana sontognya. Nampak
sekali dia tak ingin diketahui umum.
"Pragola, seharusnya engkau tidak terlalu banyak berhubungan dengan orang-orang di sini,"
terdengar Paman Manggala menegur.
"Ah"hanya berbincang-bincang dengan rakyat biasa saja, Paman!" jawab pemuda bernama
Pragola ini. "Tapi wajahmu itu"mengapa kau tanggalkan cambang baukmu?"
Pragola tersenyum kecil di keremangan malam sambil mengusap-ngusap dagunya yang halus
kelimis. "Saya tak melanggar perintah, sebab bukankah wajah bercambangku hanya ketika saya
berpura-pura sebagai prajurit Pajajaran saja" Sekarang sudah saya tanggalkan pakaian prajurit
dan berpakaian kebanyakan. Kalau tak ingin dikenal sebagai prajurit gadungan, ya akalnya
harus mengembalikan wajah seperti semula, Paman?" kata Pragola melihat kiri-kanan,
kalau-kalau ucapannya didengar orang lain.
Rupanya alasanmu ini masuk akal juga. Buktinya Paman Manggala menganggukkan kepala.
"Ya"Tapi yakinkah engkau dalam mengubah wajah tak ada orang yang tahu?" tanya Paman
Manggala masih dengan nada khawatir. Pragola menggelengkan kepalanya.
"Lantas, kuda yang engkau pakai, di mana kini?"
"Saya menyembunyikan di suatu tempat. Tapi kalau kita jual, bagaimana, Paman?"
"Jangan?" "Kita butuh uang untuk kebutuhan sehari-hari di sini!" kata Pragola.
"Jangan bodoh! Engkau akan tetap menjadi prajurit Sagaraherang yang utuh. Artinya, kuda
dan seragam prajuritmu jangan sampai hilang!"
"Tapi sampai kapan saya akan keluyuran di sini?"
"Bodoh kau! Mari!"
perpantun masih melantunkan tembang-tembang cantik ketika Paman Manggala dan Pragola
meninggalkan tempat itu. Pemuda itu dibawanya ke kegelapan malam. Keluar dari jalan
berbalay dan masuk gang sempit yang diapit dua kuta (benteng terbuat dari tanah).
Berjalan lagi beberapa lama, melewati rimbunan pohon dan sedikit alang-alang. Lalu tibalah
di sebuah rumah tua. Rumah itu terbuat dari gedek bambu seluruhnya. Beratap ijuk dan
berlantai tanah. Yang membuat pemuda itu penuh perhatian, karena di ruangan rumah yang
diberi penerangan pelita terbuat dari minyak jarak itu sudah duduk tiga orang. Di keremangan
malam, nampak wajah ketiga orang berusia setengah baya itu dingin dan kaku.
"Ini pemuda Pragola yang kita maksud, Pangeran?" kata Paman Manggala.
Mulanya Pragola belum begitu jelas, siapa dari ketiga lelaki setengah baya yang dipanggil
pangeran ini. Namun pada akhirnya Pragola mengetahui juga.
Yang dipanggil pangeran adalah lelaki berjanggut tebal yang duduk bersila di tengah, di atas
hamparan tikar pandan. Lelaki bermata tajam ini berpakaian biasa saja, yaitu baju salontreng
hitam dengan ikat pinggang terbuat dari kulit tebal. Dia menggunakan ikat kepala dari kain
kasar berwarna nila. Ketika melihat Pragola masuk, lelaki yang ujung dagunya seperti
terbelah dua ini menatapnya dari mulai ujung rambut hingga ujung kaki.
"Cepat haturkan sembah kepada Pangeran Yudakara?" kata Paman Manggala setengah
menekan pundak pemuda itu. Karena tenaga tekanan itu begitu keras, Pragola
membungkukkan badannya setengah terpaksa.
"Kau haturkan sembah lagi kepada Perwira Jaya Sasana dan Perwira Goparana?" kata
Paman Manggala. Pragola tahu yang dimaksud Paman Manggala. Dan sekarang tanpa harus ditekan pundaknya,
pemuda itu menyembah rengkuh (hormat sekali) kepada Perwira Jaya Sasana. Orang ini pun
sebetulnya hanya menggunakan pakaian orang kebanyakan saja, yaitu baju kampret dan
celana gombor, semua serba hitam. Lelaki setengah baya tanpa kumis atau cambang ini pun
sama menggunakan ikat kepala warna nila seperti yang dikenakan Pangeran Yudakara.
Namun sama seperti apa yang ada pada diri Pangeran bersorot mata tajam itu. Kalau orang
teliti memperhatikan mereka, akan nampak sekali bahwa semua bukan orang kebanyakan.
Jenis pakaian sederhana yang mereka gunakan tak akan sanggup menutupi kewibaan mereka.
Sorot mata mereka, gerak-gerik mereka, bagi pandangan orang yang teliti, akan nampak lain
dari orang kebanyakan. Selesai menyembah kepada Perwira Jaya Sasana, Pragola menghadap kepada Perwira
Goparana dan kembali memberi hormat. Sebelum menunduk, pemuda itu sempat melirik
untuk memperhatikan wajah perwira ini. Dia bermata seperti mata elang, hidungnya mancung
sedikit melengkung. Kulitnya sedikit hitam dan pada sepasang tangannya yang kekar banyak
bulu-bulu hitam tumbuh. Dagunya nampak kelimis dan nampak seperti habis mencukur
jenggot. Pragola menduga, mulanya orang ini pasti bukan penduduk asli. Selama dia tinggal
di kacutakan (setingkat kecamatan) Caringin wilayah kekuasaan Cirebon, telah beberapa kali
bertemu dengan orang-orang berkulit hitam dan bertubuh jangkung seperti ini. Menurut
pengetahuannya, orang-orang jenis ini mulanya datang dari negri Parasi (Iran kini), atau dari
bagian tanah Arab lainnya yang pada akhir-akhir ini banyak berkunjung ke Nusantara.
Mereka selain datang ke Cirebon untuk berniaga, juga ada yang tinggal sebagai penduduk
tetap, bahkan ada juga yang mengabdi ke Karatuan Cirebon. Kalau benar begitu, barangkali
Perwira Goparana ini pun adalah bangsa asing yang mengabdi kepada Cirebon.
"Duduklah anak muda?" kata Pangeran Yudakara tanpa mimik yang berarti.
Pragola duduk bersebelahan dengan Paman Manggala dan berhadapan dengan ketiga orang
itu. "Aku tak tahu, sejauh mana engkau memiliki kepandaian. Tapi karena Manggala sudah
memilihmu untuk ikut misi ini, maka aku pun akan percaya," kata Pangeran Yudakara
setengah bergumam. "Semenjak Cutak (pejabat setingkat camat) Wirajaya meninggal karena sakit, anak ini sudah
diurus oleh Ki Sudireja. Siapa pun sudah tahu Pangeran, Ki Sudireja adalah akhli kedigjayaan
dari Karatuan Talaga. Orang tua sakti ini kendati tidak menjadi warga agama baru, akan tetapi
selalu membantu Cirebon. Karatuan Talaga bisa jatuh ke Cirebon pun, yaitu pada tigapuluh
satu tahun silam (1530 M), di antaranya karena bantuan Ki Sudireja," lapor Paman Manggala
dengan hormat. "Sudireja membantu Cirebon. Tapi mengapa dia tidak masuk agama baru?" tanya Perwira
Goparana ikut menyela pembicaraan.
Sebelum menjawab, Paman Manggala menatap dulu kepada Pangeran Yudakara seolah-olah
minta pendapat. "Jawablah?" jawab Pangeran Yudakara sebagai tanda memberi izin kepada Paman
Manggala untuk menjawab. Paman Manggala melirik kepada Perwira Goparana.
"Ki Sudireja membantu Cirebon meruntuhkan kekuasaan Karatuan Talaga dalam
mempertahankan agama lama, bukan lantaran urusan agama itu sendiri," ujar Paman
Manggala. "Karena apa dia mau membantu Cirebon?" tanya Perwira Gorana dengan mata tajam
menyelidik. "Karena rasa sakit hatinya terhadap Pakuan. Menurut Ki Sudireja, Pakuan Pajajaran adalah
negara besar yang angkuh. Mereka lebih mementingkan gemerlapnya keraton ketimbang
kesejahteraan ambarahayat. Sang Prabu Surawisesa yang menjadi pucuk pimpinan ketika itu,
kegemarannya hanya berperang, sehingga rakyat lelah. Ki Sudireja adalah bekas perwira
Karatuan Talaga yang telah berperang untuk Pakuan, tetapi tidak merasa mendapatkan
imbalan sepadan dengan jasa-jasanya. Itulah sebabnya dia memendam sakit hati. Ki Sudireja
juga termasuk orang yang membenci Sang Prabu Surewisesa karena kehadiran armada
Portugis di Pelabuhan Sunda Kalapa adalah hasil undangan dan kerjasama Sang Penguasa
Pajajaran itu," kata Paman Manggala panjang-lebar.
"Sikap Ki Sudireja sebetulnya sejalan dengan kerajaan pemeluk agama baru. Tapi mengapa
orang tua sakti itu tidak tertarik untuk memindahkan keyakinannya ke dalam pangkuan agama
baru?" tanya lagi Perwira Goparana penasaran.
Tak ada yang mencoba menjawabnya.
"Lain kali aku ingin bersua dengan Ki Sudireja. Akan aku ajak dia memasuki agama baru di
Cirebon?" gumam Perwira Goparana.
"Barangkali sudah tidak mungkin lagi, Juragan?" jawab Paman Manggala menunduk.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 11
"Mengapa?" Perwira Goparana mengerutkan dahi dan menatap tajam kepada Paman
Manggala. "Ki Sudireja sudah meninggal?"
"Meninggal karena sakit?"
"Bukan dia tewas dalam pertempuran?"
"Pertempuran" Sudah tak ada pertempuran berarti sejak peristiwa pemberontakan
Kandagalante Sunda Sembawa sepuluh tahun silam itu," gumam Perwira Goparana
merenung. "Memang tak ada pertempuran besar. Tapi penguasa Pakuan yang baru, yaitu Sang Lumahing
Majaya didesak oleh para pembantunya untuk mengejar sisa-sisa pemberontak, terutama yang
dianggap membahayakan. Ki Sudireja adalah salah seorang yang terlibat dalam
pemberontakan itu. Pasukan pemberontak dari Kandagalante Sagaraherang dalam upaya
melakukan penyerbuan ke Pakuan, meminta bantuan dari wilayah timur yang memang
menginginkan Pajajaran segera jatuh. Ki Sudireja merupakan salah satu anggota pasukan
yang dikirim oleh Cirebon secara tidak resmi. Ki Sudireja ikut pertempuran di Bukit Badigul.
Dan ketika pasukan Sunda Sembawa sudah kucar-kacir karena fihak Pakuan lebih kuat, walau
dengan susah-payah akhirnya Ki Sudireja bisa meloloskan diri dari kepungan. Tapi begitulah,
pasukan Pakuan mengejar terus. Hampir tiga tahun lamanya Pakuan melakukan pengejaran
kepada tokoh-tokoh penting yang ikut penyerbuan ke Bukit Badigul. Dalam jangka waktu
tersebut, hampir semua tokoh pemberontak bisa diburu, kecuali dua orang, yaitu Ki sudireja
dan Ki Banaspati. Namun pada tiga tahun lalu, Ki Sudireja akhirnya bisa diketemukan oleh
para perwira Pakuan di perbatasan Sumedanglarang?" kata Paman Manggala mengisahkan
perjalanan hidup Ki Sudireja.
Manakala mendengar kisah paling akhir ini, tak terasa ada air mata menetes turun dari
sepasang pipi Pragola. Ini adalah kisah sedih yang tak dapat dilupakan sampai kapan pun
olehnya. Bayangkan, orang yang mengasuh dirinya sejak kecil, bahkan yang mendidiknya
berbagai ilmu kedigjayaan manakala dia beranjak dewasa, kini sudah tiada. Ki Sudireja
memang kendati sudah berusia lanjut, akan tetapi mati dalam ketidakwajaran, yaitu dibunuh
ramai-ramai oleh sebuah pasukan asing. Pragola tidak menyaksikan persis pembunuhan ini.
Tapi menurut orang-orang yang menyaksikan, Ki Sudireja memang dikepung oleh belasan
orang asing yang entah datang dari mana. Kelompok penyerbu itu tidak menampakkana
identitas yang khas. Mereka tidak seperti kaum prajurit sebab hanya menggunakan pakaian
orang kebanyakan. Mereka juga tidak nampak seperti orang Cirebon atau pun
Sumedanglarang. Namun yang jelas, kepandaian belasan pengepung itu amat tinggi. Sepandai
apa pun ilmu berkelahi Ki sudireja, bila dikepung oleh orang-orang yang rata-rata
berkepandaian tinggi, tak mungkin dirinya bisa menang. Jangankan mencapai kemenangan,
hanya sekedar untuk meloloskan diri saja sudah tak bisa.
Inilah yang membuat penasaran Pragola. Sebagai murid yang sejak kecil dididik ilmu
keperwiraan, mati dalam pertempuran adalah biasa. Tapi yang membuat hatinya tak dapat
menerima, karena kekalahan gurunya diakibat oleh suatu kelicikan.
"Sebagai lelaki sejati engkau harus bersifat ksatria, kalau pada suatu saat engkau harus
berkelahi, maka berkelahilah dengan adil dan jujur!" kata Ki Sudireja di saat-saat melatih
kedigjayaan. Petuah ini tertanam erat di hati sanubarinya. Sampai manakala Pragola
melebarkan sayap pengalamannya, petuah ini tak pernah terabaikan. Kalau pun pada suatu
saat dia harus berhadapan dengan orang lain sebagai lawan, Pragola selalu memilih-milihnya.
Dia berani menentang lawan yang tingkat kepandaiannya ada diatas dirinya dan akan lebih
bersyukur bila kepandaian lawan seimbang dengan dirinya. Tapi sebaliknya, Pragola tidak
pernah mau berhadapan dengan orang lawan yang tingkat kepandaiannya di bawah dirinya.
Dia tak mau mengambil keuntungan dari posisi seperti itu. Bagi dirinya, letak kehormatan
seorang lelaki bukan dari hasil menundukkan orang yang kemampuannya ada di bawah
dirinya. Bila ada orang melakukan kekeliruan, Prgola tak pernah menegurnya dengan
kekerasan seandainya yang dihadapinya hanya orang-orang biasa. Dia tak pernah menjadikan
kepandaian sebagai alat untuk menakut-nakuti.
Jadi, ketika mendengar gurunya tewas karena pengeroyokan, Pragola menilainya sebagai
sesuatu hal yang tak adil. Pemuda ini merasa penasaran. Itulah sebabnya, mengapa Pragola
hari ini, berada di Pakuan.
*** Sejenak semua orang termangu-mangu ketika Paman Manggala selesai menceritakan kisah
ini. Pragola masih tetap menunduk dan Pangeran Yudakara serta Pewira Jaya Sasana
memangku tangan di dada. Kecuali Perwira Goparana yang melirik tajam ke arah Pragola.
"Hati-hati anak muda. Kalau pun engkau bersedia ikut dalam misi ini, tapi jangan kau jadikan
gerakan kita ini sebagai ajang untuk pemuas balas dendam. Ini adalah perjuangan. Dan tak
ada urusan pribadi di sini. Dalam agamaku tabu melakukan peperangan dengan dada
bersimbah dendam!" kata Perwira Goparana mengingatkan dengan suara tegas.
Pragola masih menundukkan wajahnya.
"Sepuluh tahun silam, Cirebon mengutus ksatrianya untuk menyusup ke Pakuan. Dia sudah
hampir berhasil mengemban misi dalam upaya melemahkan sendi-sendi kekuatan di pusat
istana. Sayang sekali, ksatria yang masih muda itu terperosok ke dalam urusan pribadi. Dia
mendendam Sang Prabu Ratu Sakti karena urusan cinta?" kata Perwira Goparana.
"Mungkin yang dimaksud olehmu adalah Raden Purbajaya. Sepuluh tahun lalu memang ada
peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Ratu Sakti. Peristiwa ini hampir-hampir
melibatkan Bangsawan Yogascitra," gumam Pangeran Yudakara.
"Peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Raja sebetulnya di luar perintah Cirebon. Tapi
apa pun kenyataannya, menurutku tindakan Purbajaya waktu itu bisa membantu usaha-usaha
kita. Paling tidak dengan adanya peristiwa itu, telah terjadi bentrokan dan saling curiga di
antara pejabat dan bangsawan Pakuan," tutur Pangeran Yudakara seperti bicara pada diri
sendiri. "Namun harus diingat Pangeran, tujuan Cirebon menyusupkan orang-orangnya ke pusat
pemerintahan Pajajaran bukan sekadar ingin mengadu-domba dan membuat kekacauan di
Pakuan. Tujuan Cirebon adalah menginginkan Pajajaran benar-benar menjadi negara besar
dengan landasan kepercayaan dan keyakinan agama baru," giliran Perwira Jaya Sasana yang
berbicara, padahal sejak tadi lelaki setengah baya ini kerjanya hanya mengatupkan bibir saja.
Perwira Goparana mula-mula termenung mendengar perkataan rekannya ini, namun pada
akhirnya mengangguk juga sebagai tanda membenarkan akan pendapat Perwira Jaya Sasana
ini. Mereka bertiga berbincang-bincang dulu sebentar. Namun sesudahnya, kembali menatap
Pragola. "Sudah sejauh mana pengetahuanmu tentang Dayo Pakuan beserta tugasmu nanti, anak
muda?" tanya Perwira Goparana. Pemuda itu tidak menjawab, melainkan menoleh kepada
Paman Manggala. "Sudah saya beri sedikit pengetahuan. Tapi alangkah baiknya bila Juragan sendiri yang
memberi pengarahannya?" tutur Paman Manggala hormat sekali.
Suasana hening sejenak. Perwira Goparana malah tengah menyaksikan seekor nyamuk yang
mendekati api pelita. Nyamuk itu terbang mengelilingi cahaya pelita. Dan dengan gagah
berani menyambar-nyambar lidah api pelita. Namun keberaniannya kurang perhitungan.
Sebab pada suatu saat tubuhnya hangus menabrak lidah api pelita. Perwira Goparana
tersenyum melecehkan manakala melihat tubuh nyamuk yang sedikit gosong dan jatuh tak
berarti di atas tikar pandan.
"Syarat utama memasuki Pakuan bukan keberanian, melainkan kehati-hatian," gumam
Perwira Goparana tanpa menatap ke arah siapa pun. "Dan engkau anak muda, engkau hanya
bisa berhasil ikut dalam ikut misi ini bila sanggup bertindak hati-hati," sambungnya sambil
mulai menatap Pragola. "Seusai pergantian pucuk pimpinan dari Sang Prabu Ratu Sakti kepada Sang Lumahing
Majaya, ada beberapa perubahan situasi di Pakuan. Dulu, zamannya Ratu Sakti, suasana di
dalam istana seperti api dalam sekam. Sesama pejabat saling bercuriga satu sama lain. Atau
bahkan saling bermusuhan dan saling menjelek-jelekkan. Akibat dari situasi ini, mereka
lengah terhadap gerakan penyusupan. Namun kini keadaan sudah tak seperti itu. Sang
Lumahing Majaya bukan orang berperangai keras, namun kendati dia bukan pemarah dan
pendendam, dia adalah seorang Raja yang amat hati-hati. Barangkali rasa hati-hati ini
terbentuk karena peristiwa yang menyertai sebelumnya. Kekacauan bahkan pertempuran yang
beberapa kali terjadi di wilayah Pakuan, berlangsung karena adanya tindak penyusupan dan
pengkhianatan. Maka bercermin dari peristiwa ini, semua pejabat dan perwira di Pakuan amat
berhati-hati dalam menerima kedatangan orang dari luar. Wilayah-wilayah kandagalante
seperti Tanjungpura, Muaraberes, Tanjungbarat, kendati masih di bawah kekuasaan Pakuan
tapi penguasa di sana sudah menaruh kecurigaan lain. Apalagi terhadap wilayah
Sagaraherang. Bahwa sepuluh tahun yang lalu wilayah ini menjadi pusat pengendali
penyerbuan ke Pakuan, masih menjadi mimpi buruk yang tak mau mereka lupakan. Itulah
sebabnya,, dalam upaya penyusupan ini, engkau harus bertindak hati-hati?" kata Perwira
Goparana panjang-lebar. Pragola mengangguk-angguk kecil beberapa kali sebagai tanda maklum akan penjelasan ini.
Namun sesudah merenung sejenak, pada akhirnya pemuda bermata bulat binar ini
mengemukakan pendapatnya.
"Ampun beribu ampun Juragan bila apa yang ingin saya kemukakan ini tak berkenan di hati,"
tuturnya menyembah dan menunduk.
"Sampaikanlah apa yang menjadi pikiranmu, anak muda. Sebab lebih banyak pendapat yang
masuk, akan lebih bagus," kata Perwira Jaya Sasana menatap pemuda itu.
"katakanlah anak muda!" kata Perwira Goparana pendek.
Pragola mulai berani menyampaikan pendapatnya.
"Juragan, dalam upaya merebut Pakuan dari penguasa sekarang, apakah tidak lebih baik kita
jalankan dengan perilaku yang jujur" Kita ingin mengubah Pajajaran ke arah sesuatu yang
lebih baik. Jadi, upayakanlah maksud-maksud seperti itu dengan dengan tata-cara yang baik
dan jujur pula. Gerakan menyusup hanya punya arti bahwa kita bekerja dengan main
sembunyi, berpura-pura dan berlaku tak jujur. Padahal untuk menampilkan kebenaran yang
kita miliki, segala tindakan yang berani dan penuh kejujuran haruslah kita ke depankan agar
mereka yakin dan percaya akan maksud-maksud kita," kata Pragola tegas. Mendengar ucapan
ini wajah Paman Manggala nampak pucat-pasi. Serta-merta dengkulnya dia benturkan ke arah
dengkul pemuda itu yang sama-sama duduk bersila. Rupanya Pragola pun tahu bahwa Paman
Manggala menegurnya. Buktinya pemuda itu pun menoleh padanya dengan wajah agak
memerea karena jengah. Untung saja ketiga orang pejabat itu tidak merasa heran atau pun marah akan ucapan pemuda
itu. Perwira Goparana malah hanya terkekeh kecil sesudah menyimak pendapat seperti itu.
"Engkau masih hijau anak muda. Dan kejujuran yang engkau patuhi hanyalah kejujuran kaku
semata," ujar Perwira Goparana. Pragola mengernyitkan dahinya, merasa bingung akan
koreksi dari pejabat ini.
"Ketahuilah anak muda, yang namanya kejujuran, dalam suasana perang bisa diterjemahkan
secara luas. Begitu pun apa yang kita kenal sebagai kelicikan. Sementara orang bahkan
mengatakan bahwa kejujuran dan kelicikan sudah berbaur, sebab yang ada hanyalah sesuatu
yng bernama siasat. Siasat adalah sesuatu gerakan yang harus disembunyikan terhadap
musuh. Jadi bila kita sekarang melakukan gerakan penyusupan, itu bukan penyerbuan yang
dikemas dengan ketidakjujuran, melainkan sebuah siasat untuk mencapai kemenangan," tutur
Perwira Goparana. Pragola belum mengiyakan atau pun menolak pendapat ini. Yang dia lakukan hanya
menundukkan wajahnya saja seperti menatap tikar pandan di bawahnya. Namun rupanya
Perwira Goparana memakluminya bahwa pemuda itu belum puas atas kesimpulan ini.
"Baik, kau dengarkanlah penjelasanku ini, anak muda," ujar Perwira berkulit hitam
ini,"Pajajaran kendati kerapkali digoncang pemberontakan, tapi negara yang tetap setia
terhadap agama lama ini masih memiliki ketangguhan militer. Dulu lebih dari tigapuluh tahun
lalu ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata, Dayo (ibukota negri) diserbu oleh
pasukan dari Banten yang dikirim secara tak resmi. Ini adalah pertama kalinya kekuatan
pasukan agama baru menyerbu sampai ke wilayah pusat pemerintahan. Kalau gerakan ini
dilakukan secara terbuka, tak mungkin berhasil karena pertahanan di Pakuan amat tangguh
dan berlapis-lapis. Hanya karena siasat penyusupan dan pengkhianatan dari dalam saja
Pakuan bisa ditembus. Itu pun hanya sampai ke alun-alun benteng luar. Sebab untuk mencapai
benteng dalam dan apalagi ke kompleks istana Sri Bima Untarayana Madura Suradipati
(tempat tinggal Raja dan keluarganya) tetap kami tak sanggup. Itulah tandanya Pajajaran
masih tetap tangguh," kata Perwira Goparana."Kita tak sanggup berperang dengan kejujuran
yang kaku, sebab kejujuran yang kaku artinya berperang tanpa siasat," sambungnya lagi.
Pragola mendengarkan perkataan dan pendapat pejabat ini sambil tetap menundukkan kepala.
Tapi Perwira Goparana rupanya tidak mau lagi memperbincangkan perkara ini. Sekarang dia
lebih menitikberatkan kepada pengarahan dan petunjuk untuk Pragola.
Perwira ini menerangkan situasi Pakuan pada akhir-akhir ini. Menurutnya, kendati tindakan
penyusupan ke istana tidak semudah seperti dulu, tapi inilah saat terbaik bagi mereka untuk
kembali memasuki pusat pemerintahan Pakuan. Hal ini memungkinkan sebab di kalangan
pejabat istana tengah terjadi lagi beberapa pertikaian dan perbedaan pendapat.
"Seperti sudah diketahui oleh fihak kita, perangai Ratu Pakuan yang memerintah sekarang
kurang suka melakukan kekerasan. Raja yang usianya masih cukup muda ini seperti menuruni
perangai kakeknya, yaitu Sang Prabu Ratu Dewata. Sang Lumahing Majaya lebih senang
tinggal di kuil untuk memperdalam agama lama. Dia lebih percaya bahwa agama yang
dipeluknya benar-benar bisa menjamin ke arah keselamatan. Agamanya dipercaya bisa
menolak bala, termasuk bahaya kedatangan musuh. Dia berkilah, musuh tak akan datang
menyerang selama mereka tak menampakkan sikap permusuhan kepada fihak lain. Sikap Raja
Pajajaran seperti ini sebetulnya akan amat menguntungkan kita apabila para pembantunya
tidak bersikap lain. Para perwira bahkan penasihat Raja punya pendapat lain. Mereka pada
umumnya punya kekhawatiran yang sangat akan pendapat rajanya ini. Menurut para perwira,
Raja terlalu terlena dalam kehidupan keagamaan tanpa melihat kenyataan yang hidup dalam
politik kenegaraan. Padahal menurut para perwiranya, Pajajaran sekarang akan kembali
menghadapi bahaya musuh dari luar bila mereka terlena dan tak mau memperkokoh
pertahanan militer. Secara diam-diam, Pangeran Yogascitra sebagai penasihat Raja beserta
beberapa perwira akan bertekad memperkuat militer kendati Raja kurang setuju. Mereka akan
mencoba menghimpun kekuatan dengan cara mencoba mengumpulkan kembali tokoh-tokoh
penting yang dianggap punya kekuatan. Pangeran Yogascitra sekarang tengah berupaya
mencari tokoh-tokoh yang dulu terkenal tapi kini menghilang dari percaturan. Dari sejumlah
tokoh yang mereka harapkan, disebut-sebut nama Ki Darma Tunggara, Ki Rangga Guna dan
murid mereka yang bernama Ginggi. Inilah salah satu tugas kita, yaitu menghadang usahausaha
mereka dalam upaya menghimpun kekuatan. Kekuatan Pakuan harus diusahakan lemah
mengiringi lemahnya pucuk pimpinan mereka. Bila di segala sektor mereka sudah lemah,
maka rencana penyerbuan ke Pakuan akan kembali dilakukan Banten," kata Perwira
Goparana secara rinci. Sejenak suasana menjadi hening seusai perwira ini memberikan penjelasan.
"Aku bersyukur, engkau sudah bisa memasuki wilayah Pakuan dengan selamat. Untuk
selanjutnya, engkau akan bergabung dengan Pangeran Yudakara, anak muda?" kata Perwira
Goparana melirik ke arah Pragola. Kemudian pemuad itu melirik ke arah Pangeran Yudakara
seolah minta pembenaran atas apa yang dikatakan Perwira Goparana.
"Benar, engkau akan ikut aku, tapi selanjutnya engkau akan kususupkan ke puri Yogascitra,
sebab dari sanalah segala macam rencana mereka dikendalikan," ujar Pangeran Yudakara
menatap kepada Pragola. Mereka berbincang-bincang lagi beberapa lama, sampai akhirnya segala sesuatu selesai
dirundingkan. Pertemuan kecil yang sifatnya rahasia ini akhirnya bubar. Pragola dan Paman Manggala
dipersilakan meninggalkan tempat itu lebih awal.
*** "Memang berat sekali tugas yang harus kau pikul ini, Gola," kata Paman Manggala di tengah
jalan."Tapi engkau sudah terlanjur ikut misi ini. Jadi tak ada kata mundur kendati apa pun
yang ada di hati kita," katanya lagi.
Pragola tak mengomentari ucapan Paman Manggala. Dia hanya menguntit saja di belakang.
Sementara itu malam telah larut benar. Burung-burung malam sudah bersuara. Sesekali
terdengar di atas dahan pohon rimbun, namun sesekali juga terdengar lewat di angkasa yang
gelap pekat. Pragola berjalan sambil menunduk. Bukan lantaran matanya tengah memilih-milih jalan yang
rata, melainkan ada berbagai pikiran berkecamuk di benaknya.
"Seharusnya aku tak perlu mengagumi ksatria bernama Ginggi itu?" gumamnya seorang
diri. Paman Manggala perlu menahan langkahnya manakala mendengar gumaman pemuda yang
berjalan di belakangnya ini.
"Mengapa engkau tertarik pada Ksatria Ginggi?" gumam pula Paman Manggala tanpa
menoleh ke belakang. "Tidak tertarik benar?" dengus Pragola. "Mulanya memang begitu. Namun belakangan saya
berpikir, mustinya kita benci orang itu!" lanjutnya masih dengan suara setengah mendengus.
"Memang benar, kita harus benci dia, sebab kalau lelaki itu masih hidup, suatu saat akan
menjadi penghalang besar misi kita," kata Paman Manggala.
Bukan perkara itu yang kau pikirkan. Tapi saya memang punya dendam pribadi!" kata
Pragola. Dan Paman Manggala berpaling ketika didengarnya anak muda itu duduk di tepi
jalan. "Ini adalah urusan negara dan tak ada dendam pribadi di dalamnya," kata Paman Manggala,
ikut menjatuhkan badannya di samping Pragola yang sudah duduk duluan.
"Tapi bagi saya, ini dendam pribadi?" gumam Pragola lagi."Ki Guru Sudireja tewas karena
ada kaitannya dengan keberadaan lelaki bernama Ginggi itu," sambung Pragola.
"Saya dengar cerita orang, penyerbuan pasukan Sagaraherang ke Pakuan sepuluh tahun silam,
mengalami kegagalan karena ketangguhan perwira-perwira Pakuan. Namun kemenangan
mereka pun katanya tidak terlepas lantaran kehadiran ksatria bernama Ginggi itu. Coba, kalau
lelaki sombong itu tak hadir di sana, barangkali Pakuan bisa ditundukkan dan Ki Guru
Sudireja ada dalam kemenangan," kata Pragola.
"Belum tentu demikian kejadiannya. Tapi yang jelas, karena Ksatria Ginggi ada di pihak
Pakuan, maka kita harus mencoba melawannya bila suatu saat kita terpaksa bertemu
dengannya," kata Paman Manggala.
"Kita akan bertemu dengannya sebab saya akan berusaha mencarinya!" tutur Pragola mantap.
Dan percakapan mereka harus dihentikan manakala dari kejauhan terlihat cahaya obor.
Sayup-sayup mereka pun mendengar kentongan dipukul secara beraturan.
"Mari kita menghindar. Mereka adalah rombongan tugur (ronda)," bisik Paman Manggala.
Kedua orang itu berjingkat meninggalkan tepian jalan berbalay. Mereka berlari cepat tanpa
menimbulkan bunyi. Sesekali larinya harus di atas wuwungan, bila kebetulan melewati
sederetan rumah-rumah kayu jati yang kokoh.
Ternya Paman Manggala membawanya ke sebuah asrama prajurit yang terletak di tepi kuta
(benteng) dalam.
Pragola memuji kehebatan Paman Manggala. Dua tahun dia berpisah denganorang tua ini.
Tahu-tahu Paman Manggala sudah bisa menyusup ke Pakuan. Dan melihat Paman Manggala
Masuk ke asrama prajurit, mudah diduga bahwa dia sudah berhasil menyusup sebagai prajurit
Pakuan. Mengapa tidak mudah menyusup sebagai prajurit, bahkan untuk menjadi orang penting di
sana pun bisa terjadi. Buktinya, tokoh-tokoh Cirebon seperti Goparana dan Jaya Sasana pun
telah menyusup menjadi perwira Pakuan. Ini adalah penyusupan untuk yang kesekian kalinya
dari berbagai upaya penyusupan.
Dalam hatinya Pragola masih tak mengerti, mengapa Pajajaran yang dikenal kuat ini mudah
disusupi lawan" Ada memang berita yang mengatakan bahwa orang Pajajaran menghargai
kejujuran. Artinya, mereka lebih senang bertindak-tanduk jujur dan terbuka ketimbang
melakukan sesuatu kepura-puraan. Dan karena mereka merasa jujur terhadap orang lain, maka
sepertinya tak ada alasan untuk mencurigai orang lain.
Kalau berita mengenai prilaku dan perangai orang-orang Pajajaran ini benar begitu, maka
Pragola menganggap bahwa jalan pikiran mereka itu bodoh. Menurut pemuda ini, sikap dan
prilaku jujur dalam keseharian tidak bisa diterapkan dalam kehidupan berpolitik. Menurutnya,
politik adalah kepura-puraan. Untuk mencapai tujuan, siasat apa pun selalu ditempuh. Dan
yang namanya siasat tak lebih dari reka-perdaya dalam upaya mengalahkan lawan.
Kejujuran orang Pajajaran terbukti telah menciptakan pitapak (perangkap) untuk mereka
sendiri. Pemuda ini teringat akan cerita puluhan tahun silam ketika Pakuan diperintah Sang
Prabu Ratu Dewata (1535-1543 M). pasukan tanpa identitas yang diduga dikirim secara tidak
resmi dari Banten telah berhasil melakukan penyerbuan sampai ke wilayah jawi khita
(benteng kota luar). Menurut sinyalemen, musuh Pajajaran berhasil menyerbu hingga ke pusat
kekuasaan lantaran sebelumnya ada gerakan penyusupan. Orang-orang Pajajaran merasa
dirinya jujur sehingga tak pernah percaya kepada orang lain berlaku khianat terhadap mereka.
Orang-orang jujur memang biasanya selalu menganggap bahwa orang lain pun akan sama
berlaku jujur terhadapnya. Inilah sebuah kelemahan dari orang jujur kalau pun tak dikatakan
mereka bodoh. Seperti malam ini misalnya, kendati para prajurit Pakuan berhati-hati, tapi sikap jujur mereka
dalam menilai orang telah membahayakan diri mereka sendiri, bahkan membahayakan
keselamatan negaranya. Terlalu bahaya mengukur hati dan prilaku orang lain dengan
kebiasaan diri sendiri. Orang-orang Pajajaranlah contohnya, kata Pragola dalam hatinya.
Para prajurit yang tinggal di asrama itu percaya begitu saja ketika Paman Manggala
mengabarkan bahwa ada pembantu Pangeran Yudakara yang baru datang dari wilayah
Kandagalante Sagaraherang. Dan lagi, siapa yang tak percaya, sebab pada esok harinya
Pragola dijemput oleh dua orang jagabaya puri Yogascitra untuk ikut hadir dalam pertemuan
penting di sana.  Manggala sendiri sebenarnya amat terkejut dengan kejadian ini. Begitu cepatnya
Pragola mendapatkan kepercayaan dari Pangeran Yudakara ini. Dia memastikan, Pragola
dijemput orang-orang Puri Yogascitra karena pengaturan Pangeran Yudakara. Karena
perkiraan ini, mau tak mau Paman Manggala amat memuji kecepatan gerak dari pangeran itu.
"Apakah Paman Manggala pun dipanggil serta?" tanya Pragola sebelum berkemas.
"Tidak, hanya engkau seorang yang dipanggil Pangeran Yogascitra. Di puri, Pangeran
Yudakara pun sudah hadir," ujar para jagabaya.
"Engkau berangkatlah ke sana, semoga apa yang menjadi cita-citamu terlaksana?" tutur
Paman Manggala memegang pundak pemuda itu.
Akhirnya Pragola meninggalkan asrama prajurit untuk mengikuti kedua orang jagabaya itu.
Yang disebut puri Yogascitra adalah sebuah kompleks pemukiman yang ada di sekitar dalem
khita (kota benteng dalam).
Memang di wilayah dalem khitalah para bangsawan tinggal. Tempat mereka ada di sekitar
kompleks istana Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati (istana raja). Atau lebih
tepatnya lagi, puri-puri milik bangsawan dan kerabat istana dibangun hampir mengelilingi
istana, kecuali ada beberapa bagian yang dibiarkan kosong tanpa gangguan. Misalnya di
tengah bangunan utama di mana Raja tinggal. Yang berada di sana hanyalah puri-puri
keluarga saja. Di sebelah timur istana bahkan hanya berupa taman tempat keluarga Raja
bercengkrama. Pragola pernah mendapatkan berita bahwa tempat indah ini bernama Taman
Mila Kancana. Puri Yogascitra tepat berada di tepi jalan besar berbalay (jalan dengan susunan batu-batu
kali). Kompleks puri ini cuckup luas dan dikelilingi kuta (benteng) terbuat dari susunan batu
kali dan tanah liat. Ada lawang seketeng (gerbang) tepat di muka jalan dan dijaga empat
orang jagabaya dengan tameng logam di tangan kiri dan sebuah tombak di tangan kanan.
Mereka nampaknya siap-siaga sekali. Namun manakala tahu siapa yang datang, keempat
jagabaya tidak mempersulitnya. Pragola yang diiringkan dua jagabaya dipersilakan memasuki
gerbang. Seusai masuk gerbang, Pragola harus melewati jalan berbalay lagi yang di kiri-kanannya
terhampar lapangan rumput hijau. Banyak beberapa jenis unggas peliharaan di sana. Beberapa
angsa nampak berkejaran di tepi kolam berair jernih. Di sudut sana bahkan ada ayam jantan
berbulu merah kekuningan dan tubuh tegap serta kuat. Ayam jantan itu berkokok nyaring
ketika Pragola lewat di sana.
Pemuda itu baru tahu bahwa jalan berbalay itu mengantarkannya ke sebyah paseban (bangsal)
beratap ijuk dan berlantai papan jati tua yang mengkilap kehitam-hitaman. Di tempat itu
sudah terdapat beberapa orang. Ada yang duduk di atas kursi kayu, ada juga yang bersila di
atas hamparan alketip tebal buatan Negri Parasi (Parsi, atau Iran kini).
Dari beranda, Pragola sudah bisa melihat bahwa di ruangan paseban itu Pangeran Yudakara
telah hadir. Di duduk di depan di sebuah kursi jati berukir, berdampingan dengan seorang
bangsawan tua gagah. Pragola cepat menduga, bangsawan yang berpakaian beludru hitam
gaya bedahan lima yang hampir seluruh pinggiran bajunya dihiasi kelim emas itu tentulah
Pangeran Yogascitra, penasehat Ratu Pakuan.
Bangsawan itu pasti usianya sudah amat lanjut. Melihat sepasang pipinya yang nampak dalam
serta alis tebal berwarna putih mulus, Pragola menaksir, barangkali pejabat tinggi ini usianya
lebih dari tujuhpuluh tahun. Namun yang pemuda itu kagumi, kendati usianya pasti sudah
demikian tinggi, bangsawan tua itu masih nampak gagah. Kulit wajahnya putih agak
kemerahan dan hanya sedikit keripit yang mengganggu dahinya. Tubuhnya masih sanggup
tegak ketika duduk di kursi kayu jati itu. Jadi, kendati kursi itu memakai sandaran, namun
orang tua itu tidak memanfaatkannya untuk menyandarkan punggungnya yang tidak terlihat
bungkuk karena usia tua. Kepalanya pun mendongak berwibawa namun jauh dari kesan
angkuh. Gagah sekali manakala dia mengangguk-angguk ketika Pragola menghormat
rengkuh. Ornamen warna emas yang menghiasi iket sawit (jenis ikat kepala namun jauh lebih
rapih ketimbang iket orang kebanyakan) yang digunakan bangsawan itu nampak berkelapkelip
karena pantulan cahaya. Semua orang yang hadir di paseban sama-sama menoleh ke arah beranda untuk melihat siapa
yang datang. Mereka menatap Pragola dengan penuh seksama.
"Diakah punggawa muda itu, Yuda?"" terdengar pangeran tua itu mengajukan pertanyaan
kepada Pangeran Yudakara. Amat perlahan suaranya. Namun karena semua orang sama-sama
memperhatikan Pragola tanpa bersuara, maka suara halus yang keluar dari mulut pangeran tua
itu terdengar nyata. "Benar Pamanda, dialah Punggawa Pragola yang saya ceritakan tempo hari itu?" jawab
Pangeran Yudakara. Semua hadirin nampak lebih memperhatikan Pragola manakala namanya dikenalkan.
"Duduklah punggawa muda?" kata pangeran tua itu.
Pragola segera duduk bersila. Tidak di atas hamparan alketip, melainkan hanya di atas lantai
papan jati saja. Dan kalau pin dia duduk dalam deretan para ksatria, namun hanya mengambil
posisi paling ujung saja. Dia sadar, kedudukannya di sini paling rendah bila dibandingkan
dengan para ksatria yang nampak gagah dan berwibawa itu.
Pragola duduk bersila dengan berupaya bersikap tenang. Padahal ada ketegangan yang sangat
di hatinya. Betapa tidak, inilah pertama kalinya dia menginjak kompleks Pakuan. Inilah
pertama kalinya dia berhadapan dengan orang-orang penting Pakuan. Hatinya berkecamuk
dan penuh pertentangan. Jauh sebelum dia berhadapan dengan Pangeran Yogascitra, dia sudah
mendapatkan berita mengenai keberadaan orang ini dengan berbagai pendapat dan penafsiran.
Di wilayah Kacutakan Caringin atau Waringin di mana dia tinggal, hampir semua orang
bersepakat bahwa negri yang bernama Pajajaran harus dimusnahkan sebab banyak pejabatnya
melakukan penyelewengan hidup. Mereka kerjanya bersenang-senang sedangkan di lain fihak
rakyat penuh derita. Buktinya, ketika rayat Kacutakan Waringin ingin melepaskan diri dari
Pajajaran dan berniat menggabungkan diri dengan Cirebon, Pakun marah dan mengirimkan
pasukan. Kacutakan Waringin porak-poranda digempur pasukan dari Pakuan. Cutak
Wirajaya, ayahanda Pragola memang tidak tewas secara langsung dalam peristiwa
penyerbuan ini, namun tetap saja kematiannya diakibatkan oleh penyerbuan orang-orang
Pakuan. Penduduk Kacutakan Waringin membenci Pakuan. Itulah sebabnya, banyak penduduk
mengabdi menjadi prajurit Cirebon dan akan senang bila ditugaskan menyerbu wilayahwilayah
Pakuan. Menurut Paman Manggala, untuk menundukkan Pakuan harus sanggup
melenyapkan orang-orang kuat yang berdiri di sanan. Pangeran Yogascitra disebut-sebut
sebagai orang kuat di Pakuan. Tentu Pragola juga menganggap bahwa orang tua berwajah
sabar tapi berwibawa ini termasuk pejabat Pakuan yang harus dilenyapkan. Dan kalau
mendengar banyak pejabat Pakuan yang selalu berbuat kejahatan hidup, tidakkah Pangeran
Yogascitra ini pun sebenarnya orang jahat belaka"
"Banyak orang jahat bersembunyi pada wajah damai dan penuh welas asih," kata Paman
Manggala suatu ketika. Kalau ucapan ini benar, Pragola pun harus berani melenyapkannya.
"Kau sampaikan kembali hormatmu kepada Pangeran Yogascitra, Pragola?" kata Pangeran
Yudakara memerintah. Untuk kedua kalinya Pragola memberi hormat lagi. Sesudah hormat
dia sampaikan kepada Pangeran Yogascitra, dia pun segera menyembah kepada semua yang
hadir di situ. Selintas dia memang sudah menduga bahwa beberapa orang yang hadir di sana
merupakan orang-orang penting semua. Ini melihat dari penampilan dan usia mereka. Ratarata
berusia di atas limapuluh tahunan, kecuali ada seorang pemuda dewasa yang Pragola
taksir usianya sekitar duapuluh tujuh atau mungkin lebih satu atau dua tahunan. Namun
karena pemuda yang berpakaian baju kurung hitam tipis berlapis kampret warna biru tua dari
jenis kain halus itu ada di antara mereka, Pragola menduga, pemuda tampan berkulit halus
dengan kumis tipis itu tentu termasuk orang penting juga.
Mereka saling berpandangan sejenak. Tapi Pragola lebih dahulu menundukkan muka sebab
sorot mata pemuda itu tajam berwibawa.
"Puji syukur harus kita sampaikan kepada Hyang karena punggawa setia ini telah berhasil tiba
di Pakuan dengan selamat. Padahal untuk berusaha menyampaikan berita penting ini dia pasti
banyak menemukan rintangan dan marabahaya," tutur Pangeran Yogascitra. Pragola
menunduk menyembunyikan wajahnya ketika pangeran bersuara halus itu berkata demikian.
Pragola tidak tahu persis, apa-apa saja yang tengah dibicarakan dalam pertemun ini. Namun
kendati tidak lengkap dia dengar, beberapa bagian dari percakapan mereka ternyata perihal
situasi negara dewasa ini.
Pangeran Yogascitra mengemukakan bahwa waktu-waktu belakangan ini boleh dikata negara
ada dalam situasi rawan. Penyebabnya ada beberapa hal. Pertama, suasana ekonomi negara
semakin tidak menentu sesudah puluhan tahun lamanya Pakuan tak bisa melakukan hubungan
dagang dengan negara lain.
Hal kedua, sendi-sendi kekuatan negara yang berhaluan agama baru semakin hari semakin
kuat. Pajajaran kini semakin terjepit di pedalaman. Wilayah timur dan utara sudah dikuasai
oleh Demak dan Cirebon. Kemudian sebelah barat, kekuatan Banten semakin merebak juga.
Pangeran Yogascitra amat khawatir, di saat-saat kekuatan musuh semakin nyata, keberadaan
Pajajaran sendiri malah cenderung melemah. Luka-luka di tubuh negara akibat terjadi
pemberontakan yang dilakukan negara-negara kecil yang ingin memisahkan diri dari Pakuan
hingga kini masih belum sembuh. Akibat sering memerangi pemberontak, terjadi beberapa
kemunduran di sektor militer. Militer Pajajaran sudah tak sekuat dulu. Membangun kekuatan
militer memerlukan dana yang besar. Tapi kini negara sudah tak memiliki dana yang besar
lagi mengingat terbatasnya perdagangan antar negara. Lain dari pada itu, dari peperangan
berkali-kali, menyebabkan negara banyak kehilangan orang-orang pandai. Benar, bahwa
hingga saat ini, Pajajaran masih memiliki puluhan ribu prajurit. Benar juga bila orang
mengatakan bahwa seribu perwira pengawal Raja hingga kini jumlahnya tiada berkurang.
Namun, jumlah seribu orang antara hari in dengan kemarin kualitasnya sudah jauh berbeda.
Pakuan sudah banyak ditinggalkan perwira tangguh. Kalau pun tidak gugur dalam
peperangan, mereka berhenti karena tua, sedangkan penggantinya tidak setangguh yang
digantikannya. Perwira-perwira baru masuk ke dalam kelompok seribu itu bukan karena
kualitasnya, melainkan karena untuk mengisi kekosongan jumlah saja. Ini yang
memprihatinkan Pangeran Yogascitra.
"Saya khawatir terhadap kekuatan dari barat. Puluhan tahun silam di saat Pakuan diperintah
oleh Sang Prabu Ratu Dewata, kendati tidak mengatasnamakan secara resmi, namun Banten
berhasil menyerbu Pakuan. Kini kekuatan mereka semakin meningkat dan kita sebaliknya
semakin melemah. Saya khawatir situasi buruk yang melanda negri ini merupakan peluang
yang baik bagi mereka. Saya khawatir, suatu saat mereka melakukan penyerbuan lagi yang
barangkali lebih dahsyat dari penyerbuan puluhan tahun silam?" kata Pangeran Yogascitra.
Suasana amat hening manakala pangeran tua itu selesai mengemukakan isi pikirannya,
sehingga saking heningnya, suara kokok ayam jantan jauh di hamparan padang rumput
terdengar nyata. "Bagaimana upaya Sang Prabu dalam menghadapi keadaan seperti ini?" tanya seorang pejabat
berkumis tebal bermata bulat yang duduk bersila di samping pemuda tampan.
Terlihat Pangeran Yogascitra menghela napas panjang.
"Susah mengatakannya?" desis Pangeran Yogascitra setengah mengeluh, membuat suasana
kembali hening. Namun pada akhirnya, pangeran tua ini berbicara jua. Dan nampaknya Pangeran Yogascitra
amat menyesalkan kebijaksanaan Sang Prabu dalam menanggapi situasi politik negara dewasa
ini. "Saya sebetulnya amat menghargai kebijaksanaan beliau yang ingin kembai memperkuat
sendi-sendi pemerintahan dengan tonggak agama karuhun (leluhur). Menurut beliau,
kekuasaan Cirebon dan Banten semakin menghimpit Pakuan dengan terapan agama baru.
Maka taka ada jalan penangkalnya selain kita lebih memperkuat keyakinan agama buhun
(lama) yang sudah sejak ratusan tahun dihargai oleh para karuhun kita. Sang Prabu bersama
Purohita (Pendeta Agung) Ragasuci lebih sering berada di kuil ketimbang di istana. Beliau
terlalu tenggelam untuk memperdalam agama, sebab pada hematnya, hanya dengan keyakinan
yang kuat saja maka propaganda agama baru akan bisa tertolak?" ujar Pangeran Yogascitra.
"Tapi Pamanda, saya menganggap bahwa serbuan negara agama baru ke Pakuan tidak semata
karena melakukan penyebaran agama, melainkan karena ingin memperluas kekuasaan semata.
Puluhan tahun silam tujuh pelabuhan penting milik Pajajaran direbut mereka dengan alasan
mencegah Pajajaran yang semakin melakukan hubungan dagang dengan bangsa-bangsa asing.
Terutama Portugis. Namun belakangan, sesudah semua pelabuhan dagang direbut, malah
merekalah yang menggantikan kedudukan Pakuan dalam melakukan hubungan dagang
dengan bangsa asing. Jadi kalau menilik hal-hal seperti ini, negara agama baru memerangi
Pajajaran bukan karena agama, melainkan karena rebutan kekuasaan semata. Dan apabila
pendapat saya ini benar, maka percuma mempertahankan dengan cara memperkuat dan
memperdalam agama buhun kita, sebab belum tentu berhasil dengan baik," kata seorang
pejabat yang Pragola tak tahu siapa.
"Benar belaka Ayahanda, menangkal datangnya musuh bukan dengan mantera atau jampijampi,
melainkan harus dengan kekuatan militer pula seperti apa yang mereka lakukan
terhadap kita," sambut pemuda tampan berkumis tipis yang bersila tegak di jajaran para
ksatria. Pragola baru mengetahuinya kalau pemuda yang barangkali usianya sepuluh tahun di
atasnya itu adalah putra Pangeran Yogascitra.
Pragola menyaksikan, betapa alis pangeran tua itu sedikit berkerut ketika mendengar
pendapat-pendapat ini. "Sang Prabu kurang setuju bila kita harus terus-terusan mengeluarkan dana besar untuk
kepentingan angkatan perang. Menurut beliau, sudah banyak dana yang dihambur-hamburkan
hanya untuk kepentingan perang. Selain itu, Sang Prabu pun menganggap bahwa perang juga
banyak menyengsarakan rakyat. Korban jiwa berjatuhan dan usaha perdagangan serta
pertanian terhambat. Saya juga membenarkan pendapat seperti ini. Tapi, begitulah seperti apa
yang dikatakan tadi, bila militer tak kita perkuat kembali, maka bahaya datangnya musuh
akan semakin mengancam," kata Pangeran Yogascitra akhirnya.
"Bila Pamanda saja sebagai penasehat sudah tak sanggup meyakinkan Sang Prabu, bagaimana
mungkin dengan kami?" kata pejabat lainnya.
Pangeran tua itu terdiam sejenak. Dia nampak menunduk dan sedikit memejamkan kedua
belah matanya. "Kita akan tanggulangi sendiri. Secara diam-diam akan saya usahakan menghimpun
kekuatan?" ujar Pangeran Yogascitra hampir-hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Bagaimana caranya?" tanya yang lain.
"Banyak orang pandi tak tergabung dalam kekuatan istana, tapi mereka orang-orang yang
amat setia kepada keberadaan Pajajaran. Saya akan menghimbau mereka untuk mau
bergabung dengan kita," tutur Pangeran Yogascitra.
"Berilah contoh, siapa mereka?" sambut seorang pejabat.
"Kalian tentu ingat tentang pemuda Ginggi murid Ki Darma?" tanya pangeran Yogascitra
melirik kepada si penanya.
"Tapi Ayahanda, saudara Ginggi nampaknya sudah tidak tertarik kepada urusan politik.
Sudah hampir sepuluh tahun namanya tenggelam begitu saja. Ini hanya menandakan bahwa
dia ingin menjauhkan diri dari kemelut politik. Sedangkan yang berprilaku seperti dia bukan
hanya satu atau dua saja. Beberapa perwira pandai yang dulu jadi andalan Pakuan,
mengundurkan diri dari kegiatan kenegaraan karena merasa jemu dengan berbagai pertikaian
politik. Bisakah mereka kita rangkul kembali?" tanya pemuda putra pangeran tua itu.
"Mereka mungkin jemu karena jabatan dan berbagai kemelut istana tapi tak berarti
melepaskan rasa cinta terhadap negara. Kalau kita himbau bahwa negara ada dalam keadaan
bahaya, maka diharap mereka mau menoleh kembali," kata Pangeran Yogascitra.
"Bagaiman caranya mencari dan mengumpulkan mereka?" tanya yang lain.
"Itulah sebabnya kita berkumpul di sini hari ini. Kebetulan datang seorang punggawa muda
dari wilayah Sagaraherang. Menurut Pangeran Yudakara, punggawa muda ini membawa
berita dari wilayah timur. Berita ini penting, kendati kita belum tahu, apakah yang dibawa
punggawa muda ini berita yang menggembirakan atau kebalikannya," tutur Pangeran
Yogascitra sambil menatap tajam kepada Pragola.
"Pragola, khabarkanlah segera, apa yang kau dapatkan di wilayah timur?" kata Pangeran
Yudakara. Berdebar hati pemuda ini. Ini adalah tugas pertama yang dibebankan negara agama baru.
Kalau Pragola mulai bicara, sebenarnyta ini adalah kebohongan, sesuatu yang dia tak
menyukainya. Namun kata Pangeran Yudakara tadi malam, kebohongan adalah bagian dari
sesuatu bernama taktik dalam upaya memenangkan sesuatu.
"Kebohongan untuk sesuatu kebaikan, bukanlah dosa," ujar Pangeran Yudakara menegaskan.
Menurut Pangeran Yudakara, kekuatan negara agama baru memang selalu menggempur
Pajajaran. Sebetulnya bukan untuk menghancurkan Pajajaran, melainkan untuk mencoba
mengubah sesuatu tatanan yang lebih baik lagi.
"Akan lebih baik lagi bila tatanan Pajajaran disempurnakan melalui perilaku kehidupan
agama baru," kata Pangeran Yudakara.
"Penguasa Pakuan puluhan tahun silam telah mengundang kekuatan asing yang prilaku dan
sikap hidupnya amat berlainan dengan kita. Itulah sebabnya, penguasa negara baru dari
wilayah timur mencoba menggagalkan persekutuan antara Pajajaran dengan kekuatan asing
tersebut," sambung Pangeran Yudakara tadi malam.
Akan tetapi, permusuhan terus berlanjut kendati kekuasaan asing telah pergi. Sanggupkah
Pragola menyetujui hal-hal seperti ini.
"Pragola, kemukakanlah apa yang telah kau alami di wilayah timur," kata Pangeran Yudakara
mengulang perintahnya, membuat Pragola terperanjat.
Dengan dada berdebar, Pragola menyembah takzim. Suasana hening sebab sepertinya semua
orang ingin menyimak laporan Pragola dengan seksama. Hampir semua orang bahkan
menatap pemuda itu. Pragola menahan napas sebentar, kemudian mulai berkata. Tidak terlalu nyaring, namun
cukup didengar dengan baik oleh semua yang hadir.
"Saya ingin melaoprkan perjalanan saya ketika berada di wilayah Karatuan Talaga?" kata
Pragola. Lalu pemuda itu berkisah, bahwa ketika dia ada di Karatuan Talaga, pemuda ini sempat
melakukan perjalanan di dusun-dusun sekitar lereng Gunung Cakrabuana. Menurut
pengamatannya, wilayah lereng barat Gunung Cakrabuana sepertinya dijaga ketat oleh
pasukan gabungan dari Talaga dan Cirebon.
Pragola mencari tahu, mengapa ada penjagaan khusus di sekitar itu, sepertinya di sana ada
sesuatu yang harus mereka amati"
"Apa jawab mereka, anak muda?" tanya seorang pejabat tua dengan mimik tidak sabar.
Sebelum menjawab, Pragola menelan ludah dulu. Sesudah itu pemuda itu melirik ke arah
Pangeran Yudakara seolah minta pendapat.
"Terangkanlah Pragola dengan sejelasnya," kata Pangeran Yudakara.
"Salah seorang prajurit Karatuan Talaga berkata bahwa sudah lebih dari lima tahun berselang
ini wilayah tersebut memang selalu dijaga ketat," kata Pragola.
"Ya, karena apa?" tanya sang pejabat tua lagi mendesak.
"Karena ada yang harus dicegat," tutur Pragola.
"Ada yang harus dicegat?" tanya yang lain mengerutkan dahi.
"Kata para prajurit Talaga, mereka tengah mencegat kalau-kalau belasan perwira Pakuan yang
ada di puncak pada suatu saat turun gunung?" sambung Pragola lagi.
Ketika penjelasan ini dikemukakan Pragola, macam-macam tingkah dan penampilan para
penyimak itu. Ada yang nampak mengerutkan alis, ada yang terpana dan ada juga yang
terhenyak bagaikan merasa kaget.
"Kalau begitu benar perkiraan kita, bahwa belasan perwira yang belasan tahun silam
ditugaskan oleh Pakuan untuk menuju ke wilayah timur hingga kini masih hidup," tutur
seorang pejabat menatap ke arah Pangeran Yogascitra.
Nampak pangeran tua itu termenung. Alisnya berkerut dan kedua matanya semakin dalam.
Dia menunduk dan berpangku tangan lama sekali. Seolah-olah dia termenung seorang diri di
tempat yang sepi. "Ketika zamannya Prabu Ratu Sakti, kami pernah mempertanyakan hal ini. Kami pun
mengusulkan agar belasan perwira yang tak pernah kembali itu segera diselidiki dengan
mengirim kembali rombongan perwira kedua, mengapa hal itu tak pernah terperhatikan?"
tanya pejabat yang lain. Semua orang menatap ke arah Pangeran Yogascitra, seolah semua
orang memintakan tanggungjawab kepada pejabat itu.
"Sepuluh tahun silam hal ini pernah menjadi perbincangan hangat. Banyak perwira kerajaan
mengusulkan agar belasan rekannya yang tak pernah kembali harus segera dicari dan
diselidiki, namun Sang Prabu ketika itu menolak," tutur Pangeran Yogascitra.
"Mengapa menolak?" tanya hadirin.
"Entahlah. Tapi waktu itu saya pun setuju dengan penolakan Sang Prabu"."
"Mengapa?" tanya hadirin dengan nada heran dan tak puas.
"Waktu itu beberapa perwira kerajaan yang setia terhadap negara memang mengusulkan
seperti itu. Namun saya pun mencurigai, ada kelompok lain yang ikut membonceng kepada
usul seperti ini tapi untuk kepentingan mereka sendiri," tutur Pangeran Yogascitra."Kalian
tentu tahu, suasana ketika itu terasa panas. Istana telah dipenuhi pemberontak. Barangkali
benar, perwira setia mengusulkan agar dikirim rombongan kedua untuk mencari jejak rekanrekannya
yang hilang dengan niat yang wajar. Namun usulan yang dikeluarkan oleh
kelompok pengkhianat cenderung untuk keuntungan mereka. Mereka tengah mempersiapkan
sebuah pemberontakan besar, agar pemberontakan mereka berhasil, kekuatan di Pakuan harus
dikurangi. Waktu itu pejabat-pejabat kepercayaan Sang Prabu Ratu Sakti tapi yang sebetulnya
pengkhianat, mengusulkan perwira-perwira setia dan terbaik untuk ditugaskan ke wilayah
timur dalam mencari rekan-rekan yang hilang. Ini mencurigakan. Kami menduga, para
pemberontak akan menyerang Pakuan di saat para perwira setia tak ada di istana. Itulah
sebabnya saya tak setuju Raja menugaskan perwira-perwira lainnya. Bersama Ksatria Ginggi
kami mengatur siasat, seolah-olah Pakuan jadi mengirimkan pasukan ke wilayah timur.
Apakah mereka tahu siasat ini atau tidak, tak jelas. Namun yang pasti, peristiwa besar telah
terjadi. Mereka melakukan pemberontakan. Ada ratusan pasukan yang datang dari wilayah
timur menyerbu Pakuan, untung dapat dipatahkan," kata Pangeran Yogascitra.
Pragola menunduk ketika mendengar cerita ini. Bagi orang Pakuan, pasukan dari timur itu
adalah pemberontak dan kini orang-orang yang masih hidup dikejar-kejar seperti penjahat.
Namun bagi Pragola, mereka adalah pahlawan. Ki Sudirela gurunya, bukanlah penjahat,
melainkan pahlawan. Dia tewas karena membela sesuatu yang besar yang erat kaitannya
dengan penentuan nasib sebuah negara. Mati karena kepentingan negara adalah pahlawan"
Pragola terkejut ketika tiba-tiba Pangeran Yogascitra mengajukan pertanyaan.
"Adakah hal-hal lain yang engkau ketahui anak muda?"
Pragola berpikir untuk menyusun sebuah perkataan sebab pertanyaan ini terlalu banyak
memerlukan jawaban. Dan bila jawabannya salah atau kurang wajar, hanya akan membuat
orang lain curiga saja. "Misalnya, apakah engkau tahu bahwa pasukan Karatuan Talaga atau Cirebon akan
melakukan penyerbuan ke puncak?" Pangeran Yogascitra lebih mengarahkan pertanyaannya.
Namun pertanyaan yang isinya lebih jelas ini tetap belum membantu Pragola sebab pemuda
ini tak dibekali "pengetahuan" sejauh itu.
"Puncak Cakrabuana masih penuh misteri. Belum ada orang yang berani naik ke sana. Jadi,
mereka hanya menjaga lorong-lorong penting saja?" tuturnya sambil melirik ke arah
Pangeran Yudakara. Namun ketika dilihatnya mata pangeran itu mencorong ke arahnya
sambil sedikit mengerutkan dahi, buru-buru pemuda itu menambahkan keterangan "baru"
lagi, "Tapi mengingat di Puncak Cakrabuana banyak benda pusaka milik Karatun Talaga, ada
juga prajurit yang mengabarkan bahwa pada suatu saat, Puncak Cakrabuana akan diserbu,"
sambungnya. Wajah Pangeran Yudakara kembali tenang kembali. Hanya menandakan bahwa
ucapan Pragola disetujui pangeran dari Sagaherang ini.
Selesai Pragola memberikan keterangan, semua yang hadir termenung.
Pragola merasa, bahwa tak berlebihan bila dia bicara seperti itu. Menurut keterangan
Pangeran Yudakara, ketika Karatuan Talaga yang semula ada di bawah Pajajaran masuk
menjadi kekuasaan Cirebon, banyak juga para pejabatnya melarikan diri karena tak setuju
Talaga memihak Cirebon. Salah seorang perwira bernama Dita Jaya Sasana kabur sambil
memboyong beberapa pusaka Karatuan Talaga, di antaranya sebuah tombak bernama
Cuntangbarang. Menurut Pangeran Yudakara, banyak orang mengidam-idamkan benda pusaka tersebut. Dan
ketika ada khabar burung bahwa Dita Sasana melarikan benda-benda berharga pusaka ke
Puncak Cakrabuana, maka banyak orang mengejarnya. Hanya entah kenapa, tidak pernah ada
seorang pun yang kembali, tidak juga kelimabelas perwira Pakuan yang dikirimkan ke sana
pada sebelas atau dua belas tahun yang lalu.
Pada masa itu, ada musuh negara yang sangat dibenci Sang Prabu Ratu Sakti, yaitu Ki Darma,
bekas perwira Pakuan. Ki Darma yang diketahui bersembunyi di Puncak Cakrabuana harus
dikejar. Namun bukan karena Ki Darma semata maka limabelas perwira Pakuan dikirim ke timur,
melainkan juga karena kehadiran tombak pusaka Cuntangbarang. Rupanya Prabu Ratu Sakti
memperhatikan benda pusaka itu dan ingin memilikinya. Dan mendengar Ki Darma
bersembunyi di Puncak Cakrabuana yang diduga memendam tombak pusaka, maka
kemarahan Sang Prabu menjadi-jadi. Disangkanya Ki Darma sembunyi di sana sambil
mengangkangi benda pusaka juga. Itulah sebabnya, limabelas perwira diutus ke wilayah timur
dan ditugaskan menangkap Ki Darma sekalian memboyong benda-benda pusaka. Hanya saja
sejauh ini beritanya tak jelas benar. Jangankan berhasil membawa Ki Darma atau memboyong
benda pusaka, bahkan nasib kelimabelas perwira itu pun sampai saat ini tak diketahui.
Laporan Pragola di paseban ini ternyata menjadi bahan percakapan tak ada habis-habisnya.
Beberapa pejabat melontarkan gagasan atau bahkan sekadar meminta pendapat Pangeran
Yogascitra mengenai nasib belasan perwira itu. Ada juga yang mengusulkan agar Pakuan
segera mengirimkan rombongan penolong.
"Sebab saya pikir kedudukan rekan-rekan kita ada dalam bahaya. Belasan tahun menghilang,
mungkin karena tak bisa pulang, sebab bila mereka memaksa turun gunung, akan dihadang,"
tutur seorang pejabat tua.
"Saya juga menyetujui pendapat ini. Dan bila Pangeran sudi mendengarkan jalan pikiran saya,
sebaiknya kita mengusulkan kepada Sang Prabu Nilakendra agar sudi mengirimkan
rombongan penjemput," tutur Pangeran Yudakara menguatkan usul pejabat lainnya.
Pangeran Yogascitra menoleh, sepertinya ingin mendapatkan alasan rinci mengenai usulan
ini. "Harap Pangeran ingat akan situasi negara, seperti apa kata Pangeran sendiri, negara ada
dalam ambang bahaya mengingat kekuatan negara agama baru dari barat semakin melebar.
Bila Sang Prabu didesak melakukan hal ini, sama saja dengan melicinkan keinginan Pangeran
sendiri. Bukankah Pamanda Pangeran menginginkan kekuatan di Pakuan bertambah" Nah,
dengan kembalinya belasan perwira sakti itu, Pakuan bisa memupuku kekuatannya lagi," tutur
Pangeran Yudakara. mendengar alasan ini, nampak Pangeran Yogascitra mengangguk-angguk. Pangeran Yudakara
tersenyum cerah melihatnya. Dan hanya Pragola yang mengerti betul, mengapa Pangeran
Yudakara begitu bergembira.
"Saya setuju untuk mengusulkan hal ini, sebab sesuai dengan jalan pikiran saya dalam
mengupayakan pulihnya kembali kekuatan Pakuan. Namun tentu saja kita tak boleh sembrono
melakukannya. Kita harus punya bukti bahwa limabelas perwira itu benar masih hidup dan
kita punya alasan kuat untuk menjemput mereka," ujar Pangeran Yogascitra kemudian.
Selesai pangeran tua itu mengemukakan pendapatnya, nampak ada perubahan di wajah
Pangeran Yudakara. Ini pun tentu hanya Pragola saja yang tahu penyebabnya.
"Mengapa harus dibuktikan kembali, sepertinya Pamanda agak menyangsikan kebenaran
laporan bawahan saya?" tanya Pangeran Yudakara kemudian.
Pangeran Yogascitra hanya tersenyum ketika didesak pertanyaan ini.
"Ini bukan urusan percaya dan tidaknya. Tapi keyakinan lebih diperhitungkan ketimbang
mempercayai. Terlalu banyak yang harus kita pertimbangkan. Kita memang butuh kekuatan
tambahan. Tapi tentu kita pun tak ingin kehilangan dua kali. Ingat, mengirimkan pasukan ke
wilayah timur adalah mendekati musuh. Pasukan kita dikirim ke sana bukan hanya sekadar
mencari orang hilang tapi kemungkinan menyuruh mereka berperang juga. Inilah yang harus
kita pikirkan," ujar Pangeran Yogascitra.
Semua orang mengangguk-angguk membenarkan jalan pikiran Pangeran Yogascitra, kecuali
Pangeran Yudakara yang nampak menunduk kendati tidak menampakkan perasaan
menentang. "Betul, kita harus melakukan penelitian sebelumnya. Kalu sudah jela apa yang sebetulnya
terjadi, baru kita mengusulkan kepada Sang Prabu," ujar hadirin.
"Kita harus mengirimkan penyelidik terlebih dahulu," kata yang lain.
"Tepat, kita memang harus mengutus penyelidik," kata Pangeran Yogascitra."Saya bahkan
sudah berpikir untuk mengutus anakku sendiri ke wilayah timur. Yudakara, kalau engkau tak
keberatan, saya akan meminta punggawa mudamu untuk menyertai anakku, Banyak Angga,"
kata Pangeran Yogascitra menoleh kepada Pangeran Yudakara. Pragola terkejut
mendengarnya. Dia diminta untuk menyertai pemuda yang duduk di dekatnya" Tidakkah ini
mengacaukan rencana. Bukankah dia dikirim ke Pakuan ini untuk ikut menyelidiki kekuatan
di Pakuan" Namun ternyata permintaan ini tak mungkin terbantahkan. Buktinya Pangeran Yudakara tak
berani menolaknya. "Terimakasih, Yudakar. Punggawa muda, siapa namamu tadi?" kata Pangeran Yogascitra
menatap Pragola. "Pragola, Juragan?"
"Atasanmu telah menyetujuinya. Makasesudah engkau cukup beristirahat, engkau akan
melaksanakan tugas baru, yaitu menyertai anakku kembali ke wilayah timur," kata Pangeran
Yogascitra.
Pragola menyembah takzim. Banyak Angga, pemuda berkumis tipis yang Pragola taksir
usianya sekitar duapuluh tujuh atau duapuluh delapan tahun nampak melirik dan tersenyum
padanya. Pragola mengangguk hormat tak kuat melawan senyum ramah pemuda yang usianya
terpaut hampir sepuluh tahun di atas usianya itu.
"Engkau akan menjadi teman seperjalananku, adikku?" desis Banyak Angga pelan.
Merinding bulu kuduk Pragola, namun sekaligus juga ada perasaan malu. Pemuda itu orang
Pakuan, termasuk musuh besarnya pula. Tapi tiada hujan tiada angin, pemuda Pakuan ini
berkata "adik" padanya. Basa-basinya atau mengemukakan ejekan" Pragola tak tahu
kesemuanya. Itulah sebabnya bulu kuduknya terasa berdiri.
*** Seusai ikut pertemuan ini, Pragola malah diminta oleh Pangeran Yogascitra untuk tetap
tinggal di purinya. Pangeran Yudakara juga tetap menyetujuinya. Membuat Pragola mudah
keluar masuk lingkungan para pejabat istana adalah keinginan Pangeran Yudakara. Itulah
sebabnya Pragola melihat senyum kecil di sudut bibir Pangeran Yudakara manakala
mendengar Pangeran Yogascitra memintanya tinggal di puri miliknya.
Memang amat beralasan bila Pangeran Yogascitra meminta Pragola tinggal di purinya. Ini
untuk memudahkan dalam mendapatkan keterangan lebih rinci dari pemuda itu.
"Kita tidak akan bisa melakukan perjalanan ke timur dengan cepat, perlu ada pemikiran dan
persiapan matang. Jadi selama menunggu rencana pemberangkatan, engkau bebas tinggal di
sini, termasuk bebas meminta sesuatu yang dirasa engkau memerlukannya, adikku?" tutur
Banyak Angga di tengah jalan menuju ke asrama ksatria.
"Terima kasih saya sampaikan. Dan kebetulan saya pun ingin meminta sesuatu kepada
Raden," tutur Pragola menunduk hormat.
"Jangan rag-ragu, mintalah sesuatu," tutur Banyak Angga.
"Tolong" janganlah Raden menyebut saya adik?" gumam Pragola menunduk.
Pemuda berkumis tipis itu menatap dengan senyum.
"Saya hanyalah punggawa biasa, terlahir dari kalangan cacah (orang kebanyakan). Jadi amat
tidak pantas bila Raden memanggil saya seperti itu?" tutur Pragola lagi. Banyak Angga
nampak masih menyungging senyum. Dia bahkan memegang tangan Pragola dengan penuh
keakraban. "Usiamu ada dibawahku. Jadi amat tepat bila kau kupanggil adik," jawab Banyak Angga.
"Kepada setiap punggawa muda, apakah Raden pun memanggil adik?" tanya lagi Pragola.
Banyak Angga belum bisa memberikan jawaban. Sambil kembali melangkah di depan,
pemuda itu masih terus tersenyum.
"Tentu tidak. Tapi engkau akan menjadi teman yang khusus. Kita akan melakukan perjalanan
bersama ke tempat jauh. Barangkali perjalanan ini akan amat membahayakan keselamatan
jiwa kita karena pergi ke timur berarti mendekati wilayah musuh. Di sana kita tak akan
memperlihatkan diri sebagai orang Pajajaran. Jadi kalau aku membiasakan diri memanggilmu
adik, kelak sudah tak akan canggung lagi," tutur Banyak Angga pada akhirnya.
Pragola mengangguk puas atas jawaban ini. Serasa lega dihatinya bila benar sebutan adik ini
tak keluar dari hati yang tulus.
"Pada waktunya nanti, kita tidak akan merasa canggung," tutur Pragola sambil hatinya
berbisik bahwa ucapannya ini memiliki makna yang dalam dan luas dan yang tak mungkin
bisa di mengerti oleh pemuda Pakuan ini.
"Mari kau ikut aku ke Mandala, Pragola?" ajak Banyak Angga mengganti sebutan adik
seperti apa yang diinginkan Pragola.
"Mandala, apakah itu?"" tanya Pragola.
"Mandala adalah asrama para pendeta wanita. Saya ingin menengok adikku Banyak Inten?"
"Adik" Kalau begitu, pendeta wanita itu pasti usianya masih amat muda. Mengapa semuda itu
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 26
sudah menjadi pendeta, Raden?" tanya Pragola heran. Dia membayangkan, Pendeta Banyak
Inten tentu amat muda dan elok, sebab Banyak Angga yang menjadi kakaknya pun demikian
tampan wajahnya. Pragola melihat pemuda itu memperlihatkan wajah murung ketika dia mengajukan pertanyaan
seperti itu. Dia tak segera menjawab, kecuali hanya mengayunkan langkah kakinya dengan pelan dan
berat. Kedua tangannya dia silangkan di belakang. Dua orang jagabaya menunduk rengkuh
(hormat sekali) manakala Banyak Angga lewat ke sebuah gardu jaga.
"Adikku memang masih muda. Barangkali usianya baru duapuluh lima tahun?" gumam
pemuda itu. "Dia gadis yang baik. Semuda itu hanya masalah rohani saja yang dia pikirkan?" kata
Pragola memuji. Namun Banyak Angga tak terhibur dengan pujian ini. Dia terus saja
melangkah dengan lesunya.
"Semua orang akan merasa bahagiua bila mencari kesucian atas dasar pasrah dan kesadaran.
Tapi akan merasa tersiksa dan tak berarti kalau datang karena paksaan?" kata Banyak
Angga. "Paksaan" Alangkah ganjilnya orang harus dipaksa melakukan kebaikan?" gumam Pragola
tidak sadar. Banyak Angga tertegun sejenak, membuat Pragola terperanjat. Tidakkah pemuda ini
tersinggung atas kata-katanya"
"Menjadi pendeta adalah melepaskan segala kehidupan duniawi. Banyak orang berhasil
menjadi pendeta yang baik karena dia sudah kenyang dengan segala macam bentuk kehidupan
lahiriah. Orang berani mendekati kehidupan rohani karena sudah faham akan kehidupan
duniawi. Sedangkan adikku ketika masuk Mandala masih hijau, bagaikan daun dan bunga
yang masih kuncup. Dia belum pernah merasakan indahnya mekar bunga dengan tebaran
kumbang di sekelilingnya," tutur Banyak Angga panjang lebar.
"Kalau memang masih perlu mendalami kehidupan duniawi, mengapa Putri Inten memasuki
mandala, Raden" "Sudah saya katakan tadi, memasuki mandala karena pasaan situasi?"
lalu pemuda itu bercerita tanpa Pragola minta. Bahwa sepuluh athun silam Nyi Mas Banyak
Inten pernah menjadi gadis yang dipilih Sang Prabu Ratu Sakti, penguasa Pakuan ketika itu.
Namun karena gangguan bangsawan muda Suji Angkara, Sang Prabu merasa amat terhina.
Betapa tidak terhina, Suji Angkara secara membabi-buta telah melarikan gadis pingitan Ratu.
Suji Angkara nekad merebut cinta. Menghina Ratu adalah pemberontakan. Itulah sebabnya
Suji Angkara dikepung dan dibunuh. Namun Ratu tak sudi lagi mempersunting Nyi Mas
Banyak Inten. Gadis belia itu akhirnya dikirim ke mandala. Wanita-wanita yang ditinggal
mati oleh suaminya karena pertempuran suka dimasukkan ke mandala.
Gadis-gadis yang gagal karena cinta juga masuk mandala. Rupanya Nyi Mas Banyak Inten
pun dimasukkan juga ke dalam kelompok wanita yang gagal dalam percintaan, maka
dimasukkan ke mandala juga.
"Tapi saya memperkirakan, adikku dimasukkan ke mandala karena balas dendan Sang Ratu
saja. Sang Penguasa Pakuan memang amat mencintai adikku. Memasukkan adikku ke
mandala adalah sebagai hukuman, juga menutup perjalanan kehidupan duniawi termasuk
urusan jodoh adikku. Sang Ratu rupanya tak rela bila suatu saat adikku mendapatkan jodoh
lain. Itulah sebabnya dibuat keputusan seperti itu?" keluh Banyak Angga.
"Tapi bila Putri Banyak Inten sanggup diam di mandala hingga begitu lama, barangkali
segalanya pun sudah jadi keputusan dirinya pula," komentar Pragola.
Banyak Angga tidak mengiyakan atau membantahnya, kecuali melanjutkan perjalanan
menuju luar puri.
Mandala memang terletak di bagian lain. Tempat itu pun bahkan sedikit terpencil, hampir
berada di ujung utara benteng dalam. Agak terpisah dari bangunan-bangunan lain. Untuk
menuju ke sana siapa pun harus melewati hamparan rumput hijau yang cukup luas.
Tempatnya demikian sepi dan cukup pantas untuk tujuan bersunyi-sunyi, apalagi bagi orangorang
yang sedang berupaya melepaskan kehidupan duniawi.
Banyak Angga dan Pragola meski menunggu di paseban (bangsal tempat pertemuan) sebab
hanya kaum wanita saja yang diperbolehkan memasuki kompleks ini.
Kaum lelaki yang masuk ke kompleks ini pun terbatas saja, yaitu hanya mereka yang punya
hubungan kerabat dengan para pendeta wanita itu. Itu pun jarang-jarang mereka bverkunjung.
Namun tentu saja Banyak Angga diluar kebiasaan ini. Pragola mendapatkan bahwa sepertinya
pemuda ini kerapkali mengunjungi adiknya bila melihat kata-kata dan sambutan para
jagabaya di sana. "Raden sudah hampir dua minggu tidak berkunjung ke sini, adakah hal-hal yang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa