Langsung ke konten utama

KEMELUT DI CAKRA BUANA 9

PURBAJAYA tak sempat tidur sebab pagi sudah menjelang. Baru saja dia menyelesaikan sembahyanag
subuh, seorang prajurit Sagaraherang telah mengetuk daun pintu kamarnya.
Prajurit itu mengabarkan kalau Raden Yudakara telah bersiap akan pergi dan mengajak Purbajaya agar
berkemas.
Benar saja, Raden Yudakara telah siap-siap. Kali ini dua ekor kuda gagah telah disiapkan Ki Sunda
Sembawa.
"Aku harap kalian tidak mengalami gangguan di Pakuan nanti," kata Ki Sunda Sembawa mengantarkan
sampai halaman rumah.
Raden Yudakara diberi bekal uang logam sepundi banyaknya. Lain daripada itu, Ki Sunda Sembawa
pun membekali sebuah ikatan daun lontar yang diikat pita sutra wara merah.
"Surat apakah ini, Paman?" tanya Raden Yudakarta menerima sambil alis berkerut.
"Ini adalah surat untuk mempertemukan engkau dengan Ki Banaspati. Pejabat ini tak sembarangan
terima tamu. Tapi bila dibekali surat dariku, dia akan mementingkannya. Kekuatanmu dan pengaruhmu di
Pakuan akan berlipat kalau mau berkenalan dengan Ki Banaspati," tutur Ki Sunda Sembawa bangga
dengan nama itu.
Walau dengan sedikit kerut di dahinya, Raden Yudakara menerima lipatan daun lontar dengan penuh
hormat.
"Hati-hatilah ... " untuk ke sekian kalinya pejabat Sagaraherang ini memberikan amanatnya.
"Tentu, saya akan hati-hati, Paman ... " jawab pemuda itu.
Keduanya saling pandang dengan penuh arti. Namun Purbajaya tak memahami arti makna ini. Bisa saja
dua-duanya saling memberikan pengertian sama, namun bisa juga masing-masing berbicara dengan
maksud sendiri-sendiri. Apalagi isi hati Raden Yudakara susah diduga. Apa yang dikatakan, belum tentu
itu yang dimaksud.
 Keyakinan Purbajaya terbukti tak lama kemudian. Setelah kuda mereka mencongklang agak jauh dari
wilayah kota, serta-merta Raden Yudakara menghancurluluhkan bekal surat yang diberikan Ki Sunda
Sembawa.
 "Mengapa kau hancurkan, Raden? Bukankah dengan surat itu perjalanan kita di Pakuan agak lebih
lancar?" tanya Purbajaya tapi dengan nada biasa karena sudah tak heran akan keganjilan jalan pikiran
Raden Yudakara.
 "Ah, aku benci orang bernama Ki Banaspati. Siapa pun dia, aku tak mau tunduk di bawah
pengaruhnya."
 Purbajaya termangu-mangu. Jelas di sini, apa pun terjadi, Raden Yudakara hanya inginkan dialah nomor
satu. Bukan dia yang memohon pada orang lain, melainkan, orang lainlah yang harus tunduk ke padanya.
Raden Yudakara mungkin punya firasat kalau Ki Banaspati bukan sekadar bertindak sebagai pemberi
semangat semata, melainkan jauh lebih dalam dari itu. Barangkali Raden Yudakara menganggap kalau
kehadiran Ki Banaspati tak ubahnya sebagai pesaing yang membahayakan kedudukannya. 
 ***
 Perjalanan menggunakan kuda tentu jauh lebih cepat ketimbang dengan berjalan kaki. Tenaga pun bisa
dihemat dengan baik. Oleh karena itu, perjalanan menuju wilayah Tanjungpura tidak terlalu sulit dan tidak
pula terasa lelah. Apalagi dari Sagalaherang menuju Tanjungpura, perjalanan selalu melalui dataran
rendah dan tidak banyak lewat pegunungan. Hanaya saja jalanan pedati di wilayah ini terdiri dari tanah
merah dan berdebu bila kemarau seperti ini. Kalau kaki-kaki kuda berlari agak cepat, maka akan
menimbulkan debu-debu yang beterbangan di belakangnya.
 Ketika memasuki kampung di mana ada orang lalu-lalang, Raden Yudakara tidak mau mengurangi
kecwepatan lari kuda. Maka takayal terdengar sumpah-serapah karena debu beterbangan ke wajah
pejalan kaki. Purbajaya merasa tak enak hati. Namun dia pun terpaksa ikut memacui kuda cepat-cepat
takut jalannya tertinggal.
 Di sepanjang jalan Raden Yudakara tak banyak berceloteh. Kerjanya memacu kuda keras-keras seperti
orang dikejar setan. Mungkin ada sesuatu yang diburu, mungkin juga kesal karena ingatannya tentang Ki
Banaspati.
 Tidak makan waktu sampai dua hari, kuda yang dipacu cepat sudah tiba di wilayah kerajaan kecil
bernama Karawang. Sementara Tanjungpura sendiri berupa wilayah yang dipimpin oleh seorang
kandagalante (pejabat setingkat wedana kini).
 Tanjungpura ini memiliki wilayah yang luas. Ke sebelah barat dibatasi Sungai Citarum dan ke utara
berupa lautan perhumaan. Dulu sebelum wilayah pesisir dikuasai Carbon, maka pesisir dan laut pun
adalah wilayahnya juga. Namun kini, Tanjungpura hanya punya lautan huma saja dan akan berubah jadi
payau dan rawa di saat musim penghujan.
 Dulu ketika Tanjungpura masih memiliki wilayah seutuhnya, sungai Citarum benar-benar menjadi wilayah
perdagangan air yang amat maju. Hasil dari wilayah selatan (pegunungan) dibawa berlayar sampai ke
Ujung Karawang dan dijual atau ditukar dengan barang dagangan milik bangsa asing seperti Portegis,
Cina, Campa (Kamboja), Madagaskar, Parasi (Parsi, Iran kini) atau negri-negri sebrang seputar
Nusantara. Atau sebaliknya, kaum pedagang di wilayah pesisir mengangkut hasil pesisir untuk ditukar
dengan hasil dari wilayah selatan. Sekarang pelayaran di sungai Citarum tidak dilakukan secara utuh.
Derasnya dan lancarnya alunan sungai Citarum seperti terputus dan tak sampai menuju wilayah Ujung
Karawang karena garis politik telah memisahkannya.
 Sampai sekarang, wilayah Tanjungpura tetap menjadi wilayah "panas" sebab selalu terjadi tarik-menarik
pengaruh antara Carbon dan Pakuan. Hal ini terjadi karena Tanjungpura berada di daerah utara yang
potensil untuk jalur ekonomi internasional. Pajajaran tetap bertekad agar wilayah ini tetap berada di
bawah pengaruhnya. Sementara Carbon pun berupaya agar sedikit sedikit pengaruh yang sudah masuk
di wilayah pesisir bisa semakin merembes ke wilayah pedalaman (selatan). Tanjungpura dan Karawang
strategis karena alus sungai Citarum itulah.
 Sementara sungai lebar itu kini dianggap benteng alam bagi wilayah Pakuan. Bila Citarum seutuhnya bisa
dikuasai Carbon, maka satu "benteng" bisa ditembus. Sungai Citarum adalah jalur lalulintas menuju
pedalaman. Kalau sungai ini dikuasai Carbon, artinya wilayah pedalaman Pajajaran bisa dikuasai.
Padahal tak mudah menguasai wilayah pedalaman di wilayah barat ini. Itulah sebabnya, Purbajaya dikirim
menyelusup ke wilayah barat. Tugasnya adalah membantu para penyelusup yang lainnya agar ikut
"membobol" wilayah-wilayah pedalaman ini.
 Namun ketika memasuki wilayah ini, tidak terlihat hal-hal istimewa. Di pasar orang sibuk dengan urusan
ekonomi. Mereka mengadakan tukar-tukar menukar barang atau mengadakan transaksi jual-beli bagi
pedagang besar yang memiliki persediaan uang logam, baik uang logam Portegis, Cina atau negri-negri
lain.Penduduk yang bukan pedagang pun tidak terlihat risau dalam melakukan kegiatan lainnya. Nelayan
dengan senangnya mengambil ikan di rawa atau di sungai, petani pun damai menanam padi di huma.
Mungkin hanya masyarakat yang kenal politik saja yang risau. Mereka menjalani hidup ini dengan penuh
waswas dan curiga. Setiap saat mereka musti bercuriga kepada siapa saja. Bisa bercuriga kepada
pedagang yang datang dari pesisir, bisa juga bercuriga kepada nelayan yang mengarungi sungai Citarum,
dan menyangka mereka adalah bekerja ganda sebagai mata-mata.
 Mereka bercuriga ke sana ke mari karena sadar Tanjungpura dan Karawang seluruhnya sedang
dijadikan ajang rebutan pengaruh antara yang tengah mempertahankan dengan yang ingin merebut.
Sementara karena wilayah ini amat berdampingan dengan wilayah batas, maka sulit dibedakan, mana
yang benar-benar penduduk asli dan mana yang datang dari wilayah utara. Mana orang-orang utara yang
benar-benar pedagang dan mana pula yang hanya datang karena urusan politik.
 Penguasa Tanjungpura tidak bisa bekerja pukul rata, misalnya orang utara tak boleh masuk selatan atau
pun sebaliknya. Karena mereka butuh perdagangan, maka hal-hal yang bersifat ekonomi lebih
dipentingkan. Dan karena hal ini, nampaknya orang-orang Pajajaran tidak bersikap atau berupaya
membuat pencegahan, melainkan hanya melakukan tindakan bagi yang terbukti membuat kekisruhan
politik saja.
 Tentu saja ini amat menguntungkan Purbajaya yang datang ke wilayah ini tidak secara khusus. Apalagi
bagi Raden Yudakara yang dikenal sebagai pemuda tukang melancong dan terbiasa keluar-masuk
wilayah ini. Beberapa pedagang besar yang sempat dia temui di pasar bahkan ada mengenal Raden
Yudakara sebagai kemenakan dari pejabat Sagaraherang.
 Namun demikian, Purbajaya harus tetap hati-hati. Tokh bagi dirinya, Pajajaran adalah wilayah yang baru
dikenalnya. Kalau tak perlu benar, dia jarang bicara.
 "Engkau akan kuperkenalkan dengan salah seorang kerabatmu, Purba ... " kata Raden Yudakara sambil
membelokkan arah kuda menuju ke jalan simpang lebih kecil. Jalanan itu penuh bebatuan bercampur
tanah merah.
 Berdebar hati Purbajaya. Ini memang janji Raden Yudakara, bahwa bila Purbajaya ikut padanya, maka
akan diperkenalkan kepada kerabat-kerabatnya.
 Siapakah yang jadi kerabatnya itu? Hubungan keluarga sebagai apa dengannya? Purbajaya begitu
bergairah untuk segera mengetahuinya.
 "Engkau akan bertemu dengan paman misanmu sendiri ... " kata Raden Yudakara seperti ingin
membantu rasa penasaran di hati Purbajaya.
 "Maksud Raden, adik ayahandaku?"
 "Ya, tidak persis begitu. Namun Ki Jayasena benar-benar merupakan kerabat dekatmu yang tersisa oleh
... "
 "Maksud Raden yang tersisa oleh peperangan antara Carbon dan Pajajaran, bukan?" sambung
Purbajaya karena Raden Yudakara terlihat ragu-ragu membicarakannya.
 "Benar. Tapi maafkan mertuaku ... " gumam Raden Yudakara tersenyum pahit.
 Purbajaya menerimanya dengan senyum kecut.
 "Tidak ada urusan pribadi di sini. Mertuaku Pangeran Arya Damar berjuang melaksanakan misi negara
dan ayahandamu berjuang membela serta mempertahankan negri. Kesalahannya mungkin terletak pada
siapa kalah dan siapa menang saja," Raden Yudakara mencoba meluruskan persoalan.
 Namun Purbajaya masih tersenyum kecut. Bukan saja karena karena urusan peperangan yang melibat
dua negri yang telah menewaskan ayahanda dan keluarganya, namun juga karena mendengar sebutan
"mertua" yang diucapkan Raden Yudakara untuk Pangeran Arya Damar. Dia tersenyum kecut sebab
dengan demikian, Raden Yudakara hanya mengingatkan perihal keculasannya kepada Purbajaya dalam
urusan Nyimas Waningyun. Ya, bukankah pemuda pecumbu gadis ini telah "merebut" cinta Nyimas
Waningyun dari genggaman Purbajaya?
 Purbajaya berpikir, betapa sebenarnya Raden Yudakara tak pernah memiliki perasaan bersalah
terhadap tindakan apa pun yang sebenarnya bisa melukai hati orang. Purbajaya khawatir, kalau
orang-orang yang hanya bergelut dengan urusan dan kepentingannya sendiri bisa menguasai dunia, maka
isi dunia akan kacau oleh peperangan dan ketidakadilan. Kalau orang seperti Raden Yudakara diberi
keleluasaan berkuasa maka kemelut akan terus terjadi sebab dia selalu tak pernah punya rasa bersalah
atas tindakan-tindakan yang merugikan orang lain.
 "Singkirkan perasaan pribadimu. Engkau adalah milik negara, maka hanya negara yang harus engkau
pikirkan, Purba ... " kata Raden Yudakara memecahkan lamunan Purbajaya.
 Purbajaya tersenyum kecil. Aneh rasanya, orang seperti Raden Yudakara bisa memberi "petuah"
sebagus ini. Namun berbareng dengan pujian ini, hatinya pun merasa bergidik. Begitulah mungkin orang
yang tak pernah introspeksi kepada perilakunya sendiri. Karena tak pernah sadar akan kekeliruannya,
maka dia tak akan malu-malu memberikan nasihat kepada orang lain sepertinya dirinya orang benar dan
tak pernah cacat perilakunya. Purbajaya bergidik sebab orang seperti ini hanya melihat keluar saja.
Hanya orang lain yang terlihat banyak kekurangan dan banyak salah sehingga olehnya perlu dikoreksi
dan perlu dinasihati, sementara dirinya dibiarkan lolos berbuat kesalahan karena dia tak merasakannya.
 "Mari kita lanjutkan perjalanan, saya sudah terlalu kangen untuk bersua dengan satu-satunya kerabat
saya, Raden ... " kata Purbajaya karena hatinya kesal dengan "nasihat" Raden Yudakara ini.
 "Jalannya ke arah sini, Purba ... " kata Raden Yudakara membedal tali kekang kudanya. Dia memang
belok ke simpang lainnya lagi.
 "Kau nanti bisa bicara banyak. Kau akan tahu, siapa ayahandamu," kata Raden Yudakara di tengah
perjalanan.
 Berjalan beberapa lama melewati tanah luas beralang-alang, makatibalah di sebuah perkampungan kecil.
Disebut kecil karena hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Namun yang mencolok, dari kelompok
rumah ini ada satu yang terlihat besar dan bagus. Rumah panggung cukup tinggi disangga kayu-kayu jati
pilihan. Atapnya dari rumbia. Di depan ada beranda luas terbuka dan di tengahnya dipasang meja setinggi
setengah depa. Purbjaya menduga, rumah besar ini milik Ki Jayasena yang disebut-sebut sebagai
kerabatnya.
 Untuk masuk ke perkampungan ini musti lewatlawang kori (gerbang) yang kalau malam mungkin
ditutup rapat untuk menjaga diri dari gangguan binatang buas atau pun orang jahat.
 Siang hari ini gerbang terkuak lebar sehingga Raden Yudakara dan Purbajaya leluasa memasuki
halaman. Di sana segera disambut seseorang.
 "Kami mau bertemu Ki Jayasena," kata Raden Yudakara.
 "Kebetulan beliau ada di rumah. Mari saya antarkan," kata orang itu hormat sekali. Purbajaya mau ikut
di belakang ketika tiba-tiba Raden Yudakara mencegahnya.
 "Engkau tinggal dulu di sini, Purba," kata pemuda itu amat mengherankan Purbajaya. Dia berpikir,
mengapa pertemuan dengan kerabatnya musti ditunda dulu. Padahal taka ada salahnya langsung
dipertemukan saja.
 Sementara Purbajaya berpikir begitu, Raden Yudakara sudah memasuki halaman rumah besar itu.
 "Engkau bisa duduk menunggu dibalebesar , anak muda," kata penghuni yang akan mengantar Raden
Yudakara.
 Purbajaya yang sudah menambatkan kudanya segera menuju tempat yang sudah ditunjukkan, yaitu
sebuah bangunan berupa paseban terletak di tengah tanah terbuka.
 Orang itu tak berapa lama kemudian sudah datang dan menemani Purbajaya.
 "Engkau datang dari mana, anak muda?" tanyanya. Tindak-tanduknya tak begitu menghormat seperti
tadi. Barangkali dia sadar kalau yang perlu dihormat hanya Raden Yudakara saja. Purbajaya mungkin
dianggapnyabadega (pelayan) Raden Yudakara, makanya disuruh tunggu di luar saja.
 "Saya dari wilayah Sagaraherang," jawab Purbajaya singkat.
 "Dia tadi majikanmu, ya?"
"Benar ... "
 "Dia pejabat di Sagaraherang, ya?"
 "Mana saya tahu?"
 "Lho?"
 "Saya belum begitu lama mengabdi padanya. Lagi pula, masa seorangbadega berani tanya ini-itu sama
majikan?" Purbajaya berkata ketus karena jengkel ditanyai saja. Dia memang lagi jengkel. Rasanya
tersinggung oleh perlakuan Raden Yudakara yang tak segera mempertemukan dirinya dengan Ki
Jayasena, kerabatnya.
 "Bekerjalah lebih lama pada majikanmu agar kau mendapatkan kemajuan," kata orang itu akhirnya.
 Purbajaya menoleh.
 "Bagaimana bisa bicara begitu, engkau kan belum kenal majikan saya?" Purbajaya heran dibuatnya.
 "Aku hanya bisa duga saja, setiap yang berhubungan dengan Juragan Jayasena, pasti orang penting. Jadi
aku pikir, yang bekerja pada orang penting, suatu saat hidupnya terangkat juga," jawab orang itu.
 "Saya ini kerabat majikanmu," kata Purbajaya untuk menghapus rasa penasaran orang itu. Tapi
diberitahu perihal ini, orang ini malah semakin penasaran. Matanya terlihat membelalak. Tahu rasa, kini
kau harus membungkukkan punggungmu padaku, pikir Purbajaya.
 Namun nyatanya, orang itu tak mengubah sikap, kecuali rasa herannya itu.
 "Kok aneh, Juragan selama ini tak pernah bilang punya kerabat dari Sagaraherang atau dari mana pun
juga. Lagi pula, kalau kau benar kerabat Juragan Jayasena, mengapa tak lantas masuk saja ke rumah
beliau?" tanya orang ini menyangsikan sekali, membuat mulut Purbajaya cemberut karena tak dipercaya
orang. Kermbali hati Purbajaya jengkel. Mau menerangkan, ceritanya bakal panjang. Lagi pula tak ada
untungnya bicara pada orang ini.
 "Aku putra penguasa Tanjungpura!" tandas Purbajaya agar orang itu jadi segan padanya. Namun
kembali Purbajaya kecele. Ketika Purbajaya mengatakan hal ini, orang itu malah ketawa.
 "Jangan ngaco kamu. Keluarga dari penguasa Tanjungpura tak mungkin keluyuran ke sini. Juragan
Jayasena tak menyukai Kandagalante Subangwara," kata orang itu ketawa lepas.
 "Dulu, dulu!" potong Purbajaya.
 Orang itu sejenak menatap, tak mengerti ucapan Purbajaya.
 "Maksud saya, saya ini anak kandagalante yang dulu."
 "Dulu yang mana? Sejak dulu sudah belasan yang jadi penguasa wilayah ini," giliran orang itu yang
jengkel karena Purbajaya dianggapnya bicara ngawur.
 "Dulu ada kandagalante yang tewas saat diserbu pasukan Carbon? Nah, kau ingat, kan? Apalagi
penguasa yang tewas itu adalah kerabat Ki Jayasena!" tandas Purbajaya jengkel.
 "Kerabat?"
 Keheranan orang itu tak bisa tuntas sebab Raden Yudakara keburu datang bersama seorang lelaki
setengah baya berpakaian jenissantana (golongan masyarakat pertengahan). Yang membuat Purbajaya
heran, lelaki itu datang sambil air mata deras bercucuran. Nampak sekali dia ingin dilihat orang kalau
dirinya tengah menangis.
 "Di mana kemenakanku? Di mana dia?" katanya tergopoh-gopoh mendekati Purbajaya.
 "Oh, engkaukah Purbajaya? Benar, engkau rupanya kemenakanku!"
 Purbajaya tak sempat menghindar ketika orang tua itu menubruk dan memeluk dirinya erat-erat. “Kau
kemenakanku, kasihan nasibmu buruk. Oh, nasibmu buruk ... " lelaki itu menepuk-nepuk punggung
Purbajaya.
 "Dia Ki Jayasena, pamanmu sendiri, Purba. Berbaktilah kepadanya ... " ujar Raden Yudakara tersenyum
tipis.
 Ada sedikit ganjil memang. Namun apa pun, rasa haru ternyata menyelinap juga ke sanubari Purbajaya.
Betapa tidak. Selama belasan tahun dia hidup, baru kali ini ada orang mengaku kerabatnya.
 Lantas Purbajaya digandeng dibawa ke rumah besar. Itu adalah rumah yang tadi dikunjungi Raden
Yudakara.
 "Ini adalah peristiwa yang mengagetkan semua orang. Maafkan aku kalau kau tak langsung dibawa
serta. Aku perlu menjelaskan secara rinci dan hati-hati agar tak mengagetkan dan juga agar kita
dipercaya," kata Raden Yudakara seolah bisa menebak keheranan di hati Purbajaya.
 "Memang tadinya sulit dipercaya. Aku sudah mengira kalau semua handai taulanku tewas dalam
penyerbuan itu. Tak diduga masih tersisa kau. Maafkan aku. Kalau tak ada jasa Raden Yudakara, tak
nanti kita bisa bertemu... " kata Ki Jayasena duduk dekat-dekat bersama Purbajaya.
 Malamnya Purbajaya dijamu besar-besaran. Berbagai makanan dan minuman disediakan
sebanyak-banyaknya.
 Malam itu seisi kampung diundang hadir. Dan Purbajaya diperkenalkan sebagai keturunan satu-satunya
dari Kandagalante Sura Manggala yang tewas dalam peperangan melawan Carbon, belasan tahun silam.
 "Namun itu adalah peristiwa lama dan anak muda ini tak akan mengutak-atiknya lagi," kata Ki Jayasena.
Ucapan ini menyiratkan maksud kalau masalah permusuhan dengan Carbon jangan dibesar-besarkan.
Begitu arti ucapan yang tertangkap oleh Purbajaya.
 Ki Jayasena ingin masalah dengan Carbon ditutup sampai di situ. Sebab kalau dibesar-besarkan, berarti
Purbajaya punya niat "balas dendam" kepada Carbon. Dan kalau Ki Jayasena bicara begitu, hanya
mengisyaratkan bahwa dirinya telah berkiblat pula ke Carbon.
 Purbajaya tak berarti harus gembira dengan pernyataan ini. Pamannya ini sudah jadi orang Carbon, atau
sekurang-kurangnya dia adalah orang Pajajaran yang hatinya telah berpaling ke Carbon. Namun
siapakah yang mempengaruhinya? Purbajaya bisa tegar menerima kenyataan ini karena sejak kecil dia
hidup dan dibesarkan dengan jiwa Carbon. Namun Ki Jayasena tetap berdiri sebagai orang Pajajaran.
Amat mengherankan, kematian seorang saudara tidak menimbulkan kebencian kepada si penyebabnya
bahkan sebaliknya dengan entengnya berpihak kepada lawan.
 Purbajaya menduga kalau yang mempengaruhi Ki Jayasena ini adalah Raden Yudakara. Dan kalau
benar begini, Purbajaya pun harus hati-hati. Ki Jayasena boleh jadi "saudara" tapi dalam politik tidak.
Purbajaya merasa kalau Ki Jayasena walau pun berkata "Carbon" namun bukan berarti bekerja untuk
kepentingan Carbon. Purbajaya yakin begitu karena melihat siapa yang berdiri di belakang Ki Jayasena
ini.
 Kebenarannya memang belum tentu begitu sebab Purbajaya baru menduga-duga saja. Namun demikian,
Purbajaya akan menyelidikinya. Bila belakangan diketahui Ki Jayasena terseret pengaruh Raden
Yudakara maka Purbajaya harus memperingatkannya.
 ***

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa