Langsung ke konten utama

KEMELUT DI CAKRA BUANA 14

NAMUN sambil berbaring begini, pikiran Purbajaya terus berkecamuk.
Sesampainya di Pakuan ini, semakin bertambah pula pengetahuannya. Hanya dalam sehari-semalam ini
saja, Purbajaya sudah mendapatkan kenyataan, betapa kacau-balaunya suasana di pusat kekuasaan
Pajajaran ini. Negri yang usianya sudah ratusan tahun sejak berdirinya Kerajaan Sunda (Sang Maharaja
Tarusbawa, 669-723 Masehi), sampai kemudian terkenal sebagai negri besar bernama Pajajaran (Sri
Baduga Maharaja, 1482-1521 Masehi) ini, sekarang sepertinya akan semakin turun pamor setelah
dirajai oleh Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 Masehi).
Pemberontakan terjadi di mana-mana, di antara pejabatnya terjadi saling curiga-mencurigai bahkan
berlomba ingin menjatuhkan Raja. Musuh Pajajaran bahkan bukan berada jauh di barat atau di timur,
namun malah ada di sekitar pusat kekuasaan.
 Menyimak perbincangan Ki Jongjo dan Ki Jaya Perbangsa, hanya menyiratakan betapadayo (ibu kota)
sudah dikepung oleh kelompok-kelompok yang ingin memberontak kepada penguasa. Ada berapa
kelompokkah itu, sulit menghitungnya sebab Purbajaya belum tahu secara persis. Yang jelas, beberapa
pejabat Pakuan telah disebut-sebut oleh Ki Jaya Perbangsa sebagai kelompok yang ingin menjatuhkan
penguasa, seperti Ki Bagus Seta dan Bangsawan Soka, misalnya.
 Ki Jongjo tempo hari mengatakan kepada Purbajaya kalau Ki Jaya Perbangsa adalah anak buahnya Ki
Sunda Sembawa. Namun belakangan dari percakapan mereka sendiri ketika diintip Purbajaya, terbukti
Ki Jaya Perbangsa sebenarnya menginduk kepada Ki Banaspati.
 Dari pengetahuan-pengetahuan ini amat menjelaskan bahwa bahaya yang mengancam Pakuan bukan
semata datang dari Raden Yudakara belaka. Kegiatan pemuda bangsawan ini memang mengarah kepada
pemberontakan juga, namun ini hanyalah secuil dari macam-macam bahaya yang akan menerjang
Pakuan.
Ki Banaspati, siapa pulakah dia? Di wilayah Sagaraherang, Ki Sunda Sembawa bilang kalau dirinya
dibantu oleh Ki Banaspati. Kalau ingat ini, Purbajaya jadi ketawa masam. Ternyata Ki Sunda Sembawa
hanya punya kebanggaan semu. Disangkanya semua orang berdiri di belakangnya, padahal yang terjadi
sesungguhnya tidak. Barangkali Ki Sunda Sembawa hanya akan dimanfaatkan oleh siapa saja, baik oleh
Ki Banaspati maupun oleh Raden Yudakara. Dan bagaimana pula peranan Ki Bagus Seta atau
Bangsawan Soka?
 Purbajaya pusing memikirkannya. Banyak kelompok ingin melawan penguasa Pakuan tapi
masing-masing berjalan sendiri-sendiri karena punya ambisi berbeda. Celakanya, siapa kawan siapa
lawan segalanya serba tak jelas. Ambil contoh Ki Sunda Sembawa atau tokoh yang menculiknya
kemarin malam. Keduanya sama-sama mengklaim kalau Raden Yudakara adalah anak buah mereka,
padahal Purbajaya pun telah mengetahui kalau pemuda aneh itu sebenarnya berdiri sendiri.
 Kalau pun dia selalu mengaku sebagai "bawahan"siapa saja, itu barangkali hanya untuk mendompleng
kekuatan saja. Persis seperti pemuda itu mendompleng kepada jalan pikiran beberapa pejabat Carbon
yang memperlihatkan garis keras dalam menghadapi Pajajaran.
 Dan berbicara mengenai dompleng-mendompleng, Purbajaya menjadi terkejut dan merasa sebal juga.
Bagaimana tak begitu.
 Ternyata tanpa sepengetahuan Purbajaya, dirinya telah dijadikan ajang rebutan kelompok pemberontak
ini. Mereka ingin Purbajaya bekerja kepada pihaknya sebab dengan menguasai Purbajaya mereka
menyangka bakal bisa menguasai Carbon pula. Ini jalan pikiran gila dan berlebihan. Namun gila atau
tidak mereka, nyatanya kedudukan Purbajaya di Pakuan semakin terjepit dan dihimpit oleh berbagai
kepentingan ambisi. Ini tentu membahayakan.
 Tadinya Purbajaya menyangka, dengan tidak beraninya Raden Yudakara memasuki wilayahdayo
hatinya agak sedikit plong sebab Raden Yudakara tak bisa menekan dirinya secara langsung dan
terus-terusan. Namun belakangan sesudah tiba di Pakuan, ternyata yang menekan dirinya kini bukan
hanya seorang saja seperti manakala dia dikuasai Raden Yudakara. Ini amat menyebalkan dan
membahayakan.
 Bukan saja berbahaya terhadap dirinya, namun juga amat membahayakan kedudukan Carbon sendiri.
Bila Carbon lengah dan terjebak ke dalam jalan pikiran kelompok-kelompok ini, maka misi Carbon yang
menginginkan Pajajaran masuk menjadi bagian Carbon tanpa kekerasan apalagi banjir darah, bisa gagal
total karena ulah para petualang politik baik yang berada di luar Pajajaran mau pun yang berada di dalam
Negri Pajajaran sendiri.
 Purbajaya jadi capek memikirkan ini semua. Dengan demikian, akan terus terseret arus secara
berlarut-larut. Ya, dia pusing memikirkan hal ini. Perjalanannya jadi semakin jauh dan semakin tak
berketentuan. Padahal ketika di Tanjungpura beberapa hari silam, dia masih dibuai cinta-kasih dan berahi
panas dari tubuh molek Nyimas Wulan. Purbajaya berjanji akan menikahi gadis itu.
 Dia memang tidak mencintai gadis itu. Namun cinta dan tak cinta tak ada hubungannya dengan
perkawinan. Tak berarti kalau mencintai maka seseorang bisa sukses menginjak jenjang perkawinan.
Namun juga sebaliknya, tak cinta bukan berarti tak perlu pernikahan. Bagaimana boleh, sementara gadis
Tanjungpura itu telah menyerahkan segalanya tapi Purbajaya menampik pernikahan. Tidak. Itu pengecut
dan tak berjiwa ksatria. Mungkin juga kejam dan keji. Karena itu, Purbajaya harus tetap menikahi gadis
itu.
Tapi ingat ini, hati Purbajaya malah jadi mengeluh. Dia tak bisa kembali ke Tanjungpura sebelum
tugasnya selesai. Kalau tugas tak diselesaikan, Raden Yudakara pasti akan menghukumnya.
 Namun sampai kapan pula tugasnya akan selesai? Lantas kalau keadaan kian berlarut-larut juga, sampai
kapan Nyimas Wulan masih bisa menunggunya? Sementara gadis itu dijegal kebosanan dalam penantian,
di sekelilingnya banyak srigala mengganggunya. Purbajaya tahu, betapa Ki Jayasena yang bangkotan dan
gemar kawin-cerai ini menaruh minat kepada Nyimas Wulan.
 Belum lagi gangguan dari "srigala" lain berwajah Raden Yudakara. Pemuda ini pandai merayu dan
mudah mempengaruhi orang. Dan ingat ini Purbajaya pun semakin mengeluh. Dia khawatir peristiwa
buruk yang mengelilingi nasib percintaannya akan kembali mengganggunya lagi. 
 ***
 ESOK paginya Purbajaya diantar secara tergesa-gesa oleh Ki Jongjo untuk menemui Ki Yogascitra.
Mengapa tergesa-gesa, Purbajaya sendiri pun tak tahu. Namun yang paling tepat dugaan, barangkali Ki
Jongjo khawatir, peristiwa penyerangan dari kelompok lain akan terulang kembali.
 "Banyak orang tak benar di sini. Agar kau tak terperosok, kau harus sering berhubungan denganku dan
jangan percaya kepada omongan orang lain," tutur Ki Jongjo. Purbajaya hanya mengiyakan saja.
 "Tapi, tinggal di puri Yogascitra engkau akan aman. Memang benar, penghuni puri itu selalu bersikap
hati-hati. Namun mereka amat menjunjung tinggi kejujuran. Orang jujur mudah percayai siapa pun. Itulah
sebabnya kau aman di sana," kata Ki Jongjo memberi tahu sifat-sifat calon majikan Purbajaya.Dan
akhirnya Purbajaya dibawa memasuki sebuah kompleks puri yang amat indah dan megah. Puri itu pun
demikian bersih dan rapih. Ada beberapa bangunan di sana. Setiap bangunan yang terdiri dari rumah
kayu dan berbentuk panggung diberi atap genting sirap yang hitam mengkilap. Setiap rumah dikelilingi
halaman rumput hijau dan taman dengan bunga-bunga indah tumbuh di sana-sini secara teratur.
 Ada beberapa sangkar burung di beberapa tempat. Banyak burung hias berloncatan di dahan-dahan
buatan yang berada di dalam sangkar. Anehnya, sangkar yang luas itu tidak diberi pintu. Atau pintu
memang ada namun tidak tertutup rapat, sehingga dengan demikian, burung-burung itu bebas
keluar-masuk sangkar. Kalau mau terbang jauh dan tak akan kembali, sebenarnya burung-burung itu
bebas melakukannya. Namun nyatanya, binatang berbulu indah itu semuanya tidak mau meninggalkan
tempat itu.
 Ada beberapa yang terbang mengelilingi halaman, namun beberapa saat kemudian sudah kembali ke
dalam sangkar dan mematuki berbagai jenis makanan yang ditempatkan di dalam sangkar.
Burung-burung itu nampaknya tak menganggap sangkar sebuah tempat pembunuh kebebasan, melainkan
dianggapnya sebuah rumah dan tempat mencari kehidupan sebab di dalam sangkar makanan bertebaran.
 Purbajaya menyukai tempat ini, sepertinya penghuninya memiliki hati yang bebas pula. Ini terlihat dari
gambaran beberapa patung yang berdiri di sana. Ada patung kayu menggambarkan orang sedang giat
bekerja namun dengan wajah ceria. Ada pula patung yang menggambarkan kaum perempuan sedang
menenun tapi sambil bersenda-gurau.
 Mereka bekerja dengan kebebasan dan kegembiraan. Kalau patung diukir menggambarkan
kegembiraan, maka mudah diduga kalau pembuatnya bekerja dengan hati yang suka-cita tanpa paksaan.
Kalau orang di dalam puri bekerja dengan penuh kegembiraan, mengapa di luar tembok istana,
orang-orang bekerja penuh kegelisahan?
Purbajaya dengan mudahnya menuduh, bahwa para bangsawan ini kerjanya hanya senang-senang saja
tanpa memikirkan kesulitan yang tengah diderita masyarakat di luar tembok istana. Ini aneh, padahal
Purbajaya menerima khabar kalau Ki Yogascitra ini adalah pejabat jujur dan menjunjung harga diri
bangsanya. Purbajaya berkesimpulan, kalau orang yang disebut jujur saja sudah demikian, apalagi
pejabat yang sudah jelas-jelas hidupnya tidak memikirkan rakyat.
 Namun entahlah. Kejujuran dan kebaikan satu dua orang pejabat saja memang tidak berarti apa-apa
untuk kebesaran sebuah negri bila kebanyakan pejabatnya bekerja tidak benar.
 Purbajaya dan Ki Jongjo harus melewati sebuah gerbang pemeriksaan. Dan dua orang penjaga memang
memeriksa mereka namun mereka memeriksa dengan ramah dan sopan. Ini di luar "kebiasaan" sebab
pengalaman yang sudah-sudah hanya membuktikan bahwa yang namanya petugas keamanan negara
biasanya terkesan angker dan kaku bahkan terlihat tegas dan kasar, seolah-olah tugas mereka begitu
amat penting dan setiap kehadiran orang asing perlu dicurigai.
 Ki Jongjo tidak mengalami kesulitan yang sulit dan berbelit. Purbajaya bahkan apalagi. Ketika pemuda
itu diperkenalkan sebagai seorangpuhawang (akhli kelautan), para penjaga terkesan kagum dan amat
menghormatinya.
 "Juragan Yogascitra amat menghargai orang pandai, tentu beliau senang menerima kehadiranmu," kata
penjaga sambil mempersilakan Ki Jongjo dan Purbajaya memasuki sebuah paseban.
 Ki Jongjo dan Purbajaya duduk bersila di atas lantai kayu yang mengkilap licin sehingga saking licinnya
hampir-hampir bisa digunakan untuk berkaca.
 Purbajaya pun melihat, atap sirap di atas, disangga oleh tiang-tiang kayu palem berukir indah. Kalau
paseban (tempat pertemuan) begitu indah, apalagi rumah kediaman pemiliknya, begitu pikir Purbajaya.
 Namun ditunggu cukup lama, tuan rumah yang dinanti tak juga kunjung menemui mereka. Sesudah
terasa penat menunggu, baru terlihat ada yang datang. Mungkin seorangbadega (pelayan) sebab datang
secara tergopoh-gopoh dan ketika melangkah, tubuhnya sengaja dibungkuk-bungkukkan sebagai tanda
hormat.
 "Ada apa, Paman?" tanya Purbajaya heran.
 "Bagaimana, ya ..." Badega terlihat gugup.
 "Katakan ada apa?" desak Purbajaya lagi.
 "Juragan terserang sakit amat mendadak. Terlihat amat mengkhawatirkan," suara badega semakin panik
dan gagap.
 "Sakit mendadak?" gumam Purbajaya heran.
 "Benar. Padahal belum lama beliau tengah sarapan pagi. Secara tiba-tiba wajahnya membiru,
pernapasannya seperti tersekat, kemudian muntah-muntah dan pingsan," tutur badega lagi menceritakan
peristiwa yang dialami tuannya.
 "Coba saya beri kesempatan untuk menengok dan memeriksa," kata Purbajaya. Namun sang badega
terlihat ragu-ragu.
"Saya sedikit mengerti obat-obatan," ujar Purbajaya sungguh-sungguh karena wajah orang itu penuh
kesangsian.
 Badega berpikir sebentar, kemudian, "Kalau begitu, bolehlah ..." akhirnya.
 Kemudian Ki Jongjo dan Purbajaya dibawanya ke sebuah bangunan besar yang dikatakan badega
sebagai rumah kediaman pemilik puri.
 Benar saja, di dalam rumah terlihat sedikit kepanikan. Para badega lainnya terlihat hilir-mudik,
melakukan tugas seraya memperlihatkan wajah yang tegang dan khawatir.
 "Harap beri izin masuk, tamu ini ahli pengobatan," kata badega yang mengantar Purbajaya masuk.
Sementara Ki Jongjo tetap tinggal di luar rumah.
 Maka masuklah Purbajaya ke sebuah kamar. Di dalam, terlihat seorang lelaki tua usia enampuluhan
terbaring dengan tubuh kejang-kejang, dikerumuni beberapa orang pria dan wanita. Mereka semua
memang tengah merawat lelaki tua itu namun seperti tidak tahu musti berbuat apa.
 "Maaf, saya akan mencoba memeriksanya," Purbajaya berinisiatif.
 Yang tak berkepentingan disuruhnya keluar, maka di sana tinggallah dua orang muda, lelaki dan wanita.
Purbajaya hanya menduga, dua orang muda itu tentu kerabat lelaki terbaring yang diduga Purbajaya
sebagai Ki Yogascitra, pemilik puri dan pejabat istana Pakuan.
 Purbajaya mula-mula memeriksa denyut nadi di tangan. Terasa denyut nadi itu cepat, kencang serta
tidak teratur, menandakan bahwa aliran darah orang tua itu tidak teratur. Di bagian lainnya, aliran darah
malah seperti tersumbat karena mengental dan membiru.
 "Dia terkena racun ..." kata Purbajaya dalam hatinya.
 Karena tidak terlihat luka di luar, Purbajaya merasa yakin kalau racun yang memasuki tubuh Ki
Yogascitra terjadi melalui makanan.
 "Tolong perintahkan pembantu agar menumbuk bawang putih sebanyak-banyaknya, peras airnya dan
bawa ke sini," kata Purbajaya sibuk namun bersikap tenang.
 Tidak berapa lama kemudian, apa yang diminta Purbajaya pun sudah bisa disediakan. Maka Purbajaya
mencoba menyuapkan air perasan bawang putih ke mulut Ki Yogascitra. Tentu saja sulit, apalagi rasa air
perasaan bawang putih sungguh pedas dan pengar. Namun Purbajaya coba memaksa agar orang tua itu
mau meminumnya sedikit demi sedikit.
 "Kalau cairan ini habis, harap berikan air garam yang dicampur gula aren sebanyak-banyaknya," kata
Purbajaya lagi sambil menyuruh pembantu agar segera menyiapkannya.
 Selang beberapa saat, tubuh Ki Yogascitra sudah tidak kejang-kejang lagi. Begitu pun wajahnya sudah
terlihat tidak membiru lagi. Hanya menandakan bahwa racun sudah bisa diusir dari aliran darah. Sekarang
pejabat tua itu terlihat pulas dalam tidurnya.
 "Terima kasih adikku, kau amat baik telah menolong ayahanda dari penyakit yang amat mendadak ini,"
kata seorang pemuda tampan yang ditaksir usianya sekitar delapanbelas tahun. Sementara di sampingnya
duduk seorang gadis usia enambelas tahun. Dia tersenyum manis dan wajahnya penuh rasa terima kasih
kepada Purbajaya.
 Purbajaya terpana. Sejak tadi memang dia tahu di ruangan itu duduk bersimpuh seorang gadis. Tapi
Purbajaya tidak menyangka barang secuil kalau di samping ada pemuda yang amat tampannya juga
terdapat seorang gadis yang sulit diukur kecantikannya. Dada Purbajaya berdebar dan serasa hampir
berhenti.
 Mengapa adapohaci (bidadari) turun dari langit tanpa memberi tahu. Bidadari? Ouw, kalaulah
Purbajaya pernah bertemu bidadari, maka kecantikan bidadari tidak bisa mengimbangi keelokan paras
wajah gadis itu. Nyimas Waningyun mungkin cantik, begitu pun Nyimas Yuning Purnama atau pun
Nyimas Wulan. Namun dibandingkan dengan kecantikan gadis yang kini duduk bersimpuh di
hadapannya dan tersenyum sejuk menawan seraya menatapnya, semuanya tidak berarti.
 Kecantikan dan keelokan seluruh gadis yang telah dia kagumi digabung menjadi satu, masih tetap tidak
bisa mengalahkan kecantikan gadis puri Yogascitra ini. Purbajaya menghela napas namun sambil memuji
nama Tuhan, betapa Tuhan demikian berkuasa dan bermurah hati menurunkan wajah demikian elok
kepada yang bernama wanita. Purbajaya menunduk dibuatnya.
 "Perkenalkan, saya bernama Banyak Angga dan adikku ini adalah Nyimas Banyak Inten," kata pemuda
itu membuat Purbajaya malu dan terkejut karena sejak tadi sebenarnya pemuda itu memperhatikan
dirinya yang tengah terbengong-bengong menatap paras gadis cantik itu.
 Purbajaya tersipu dan memerah wajahnya karena malu dipergoki oleh pemuda itu.
 "Nama saya Purbajaya. Saya datang dari wilayah Tanjungpura untuk melamar pekerjaan sebagai
puhawang (akhli kebahariaan), sesuai dengan bidang yang ditangani Juragan Yogascitra," kata
Purbajaya masih tersipu saking malunya.
 Wajah Purbajaya tertunduk bukan karena dipaksa oleh kepura-puraan, melainkan karena segan dan
hormat kepada pemuda tampan ini. Dia hormat bukan karena kedua orang muda anak pejabat,
melainkan merasa hormat karena anak-anak pejabat itu demikian ramah dan sopan ke padanya.
 "Tapi saya sungguh amat menyinggung perasaan kalian. Saya bertamu di saat yang tidak tepat," ujar
Purbajaya merendah.
 "Tidak, tidak mengganggu. Bahkan kami berdua merasa bersyukur, di saat gawat menimpa ayahanda,
kami kedatangan seorang akhli pengobatan. Kami heran, ayahanda begitu mendadak terserang penyakit
aneh. Kalau ayahanda tidak menderita sakit begitu, beliau sebenarnya tidak sulit menerima kehadiran
tamu," kata Banyak Angga tetap ramah dan sopan.
 Purbajaya hampir saja mengatakan kalau Ki Yogascitra menderita sakit karena keracunan oleh
makanan. Namun hal ini diurungkannya. Dia tak mau sembarangan berkata, takut ada seseorang yang
ditekan atau dicurigai mereka. Purbajaya yakin, memang ada seseorang menaruh racun dengan niat
membunuh pejabat tua itu. Para pekerja dan pembantu di puri inikah? Kalau benar begitu, pejabat ini
pasti punya musuh yang berniat melenyapkannya. Purbajaya akan menyelidiki namun secara diam-diam
saja.
 "Saya ingin mengatur jenis makanan yang hari ini boleh atau tidak boleh dimakan oleh Juragan." kata
Purbajaya."Jadi kalau diizinkan, saya ingin mengunjungi dapur. Dan mohon pula sisa makanan yang tadi
pagi dimakan Juragan, diberikan pada saya," kata lagi Purbajaya.
Dengan senang hati, baik Banyak Angga mau pun Nyimas Banyak Inten mengangguk mengiyakan.
 Penganan pagi yang dimakan Ki Yogascitra diperiksa Purbajaya. Sejumput makanan sisa dilemparkan
ke sudut berumput yang didapat banyak semut. Semut biasanya akan menghampiri makanan, namun kali
ini malah menjauh. Hanya menandakan semut bercuriga kepada makanan itu.
 Purbajaya yakin, kalau makanan itu diberikan kepada binatang anjing atau kucing dan ayam, mereka
pasti akan mati kena racun.
 Sekarang tugas Purbajaya adalah meneliti secara diam-diam, siapa yang menaruh makanan beracun ini.
Kalau memang merupakan musuh Ki Yogascitra, maka Purbajaya ingin tahu, berada di pihak mana
musuh itu.
 Yang pertama kali musti diselidiki tentu saja juru masaknya. Namun juru masak di sana seorang
perempuan tua yang sudah puluhan tahun mengabdi di puri itu. Susah untuk dicurigai berlaku jahat
kepada tuannya. Yang dua orang adalah petugas pengantar makanan. Juga sama-sama perempuan tua
dan sudah mengabdi amat lama. Tugasnya pun sama sejak dulu sebagai pengantar makanan.
 "Tapi makanan pagi ini, Ki Bonen yang antar ..." kata petugas dapur.
 "Siapa Ki Bonen?" tanya Purbajaya.
 "Dia petugas di sini juga, hanya tidak mengurus makanan. Kebetulan saja dia menghadap Juragan karena
tadi malam Juragan ingin mengatakan sesuatu," kata petugas dapur. "Ada apa sih sebenarnya?" tanyanya
heran karena Purbajaya banyak bertanya.
 "Tidak. Saya ini juru obat. Selama Juragan sakit, saya ingin mengatur jenis makanan yang cocok untuk
beliau," jawab Purbajaya untuk menepis kecurigaan pegawai puri.
 Namun secara diam-diam pula, Purbajaya meneliti. Hanya saja penyelidikan hampir buntu sebab Ki
Bonen waktu itu juga menyerahkan makanan kepada Nyimas Banyak Inten. Jadi, siapa di antara mereka
yang menaruh racun? Ki Bonen jelas tak punya waktu untuk melakukan hal itu.
 "Hai, Direja ke mana?" tanya Ki Bonen sambil menoleh ke sana ke mari.
 "Cari siapa?" tanya Purbajaya heran.
 "Ki Direja. Den Banyak Angga ingin titip surat untuk Nyimas Layang Kingkin," jawab Ki Bonen.
 Purbajaya walau selintas ada melihat seorang lelaki yang tergesa-gesa meninggalkan tempat itu tadi pagi.
Tidakkah dia yang bernama Ki Direja? Tapi, mengapa orang itu pergi tergesa-gesa?
 "Apakah Ki Direja bekerja di sini?" tanya Purbajaya.
 "Tidak. Dia pegawai di puri Ki Bagus Seta."
 "Ki Bagus Seta?"
 "Beliau pejabat di Pakuan juga. Punya anak gadis cantik bernama Nyimas Layang Kingkin. Den Banyak
Angga menaruh hati pada gadis cantik itu dan kerapkali melayangkan surat daun lontar melalui
perantara," kata Ki Bonen.
"Apakah Ki Direja yang jadi perantaranya?"
 "Tidak selalu. Namun dia cukup sering juga ke sini sebab Nyimas Layang Kingkin pun sering
mengirimkan surat untuk Den Angga. Ki Direja tadi pagi pun dipanggil Nyimas Banyak Inten sebab Den
Angga menitipkan surat melalui adiknya pula," kata Ki Bonen."Penganan untuk Juragan Yogas sementara
ditinggal di meja sebab Nyimas ambil dulu surat," kata Ki Bonen.
 "Kau lihat penganan buat Juragan ditinggal dulu di atas meja?" Purbajaya mengerutkan dahi.
 "Ya. Ada yang aneh?"
 "Ah ... Tidak! Tapi saya ingin tahu apa penganan untuk Juragan tidak kemasukan debu, misalnya?"
 "Saya rasa tidak. Begitu Ki Direja datang, Nyimas hanya pergi sebentar dan balik lagi membawa surat.
Penganan langsung dibawa masuk," kata lagi Ki Bonen.
 Purbajaya termangu-mangu.
 "Ada apa?"
 "Tidak ada apa-apa. Seperti tadi katakan, saya hanya ingin pastikan kalau makanan itu tidak kena debu
ketika ditinggal di atas meja."
 "Ah, pegawai kami mencintai kebersihan. Di rumah Juragan tidak pernah ada debu menempel," ujar Ki
Bonen seperti tersinggung karena ucapan Purbajaya.
 "Maafkan, saya hanya ingin agar makanan yang diberikan kepada Juragan benar-benar terpilih dan
terjamin kesehatannya," kata Purbajaya ketika melihat Ki Bonen agak mengerutkan dahi.
 Dan setelah Purbajaya bicara seperti itu, baru kerut-merut itu hilang.
 Ki Bonen berlalu. Dan giliran Purbajaya yang mengerutkan dahi. Dia merasa ada hal-hal mencurigakan
yang terdapat pada diri Ki Direja. Untuk itu Purbajaya harus menyelidikinya.
 Purbajaya berjalan kembali menuju tempat di mana Banyak Angga dan Nyimas Banyak Inten berada.
Banyak Angga dengan hati tulus mengucapkan terima kasih atas susah-payah yang diperlihatkan
Purbajaya dalam membantu kesembuhan ayahandanya.
 "Saya berjanji akan menolong membantumu sehingga ayahanda tidak ragu-ragu dalam menerima
kehadiranmu, adikku," kata Banyak Angga sungguh-sungguh.
 "Inten jangan diam saja, kau cepat haturkan terima kasih padanya," Banyak Angga menyikut lengan
adiknya yang sejak tadi hanya senyum-senyum saja.
 "Terima kasih, ayahanda telah kau sembuhkan, saudara Purba ..." kata Nyimas Banyak Inten pelan
namun terdengar merdu. Purbajaya menganga melihat gerakan mulut mungil merah merona gadis itu. Dan
karena ditatap sedemikian rupa maka wajah Nyimas Banyak Inten bersemu merah dan cepat-cepat
menunduk.
 "Saya tidak melakukan apa-apa, tak patut rasanya ucapan terima kasih ini... " Purbajaya berkata gagap
karena hatinya masih kacau-balau dikoyak-koyak penglihatan mulut mungil itu.
 "Tidak. Engkau amat berjasa kepada kami. Kalau tak ada engkau, bagaimana pula nasib ayahanda,"
kata lagi Banyak Angga tetap memuji Purbajaya setulus hati.
 Sejenak Purbajaya bimbang. Sebenarnya dia ingin katakan kalau Ki Yogascitra telah diracuni orang dan
Purbajaya mencurigai Ki Direja. Namun sudah barang tentu, penemuannya ini tidak bisa dia katakan
kepada mereka. Banyak Angga nampaknya amat menginginkan hubungan baik dengan keluarga Ki
Bagus Seta. 
 Purbajaya tahu, betapa Banyak Angga sebenarnya menginginkan kehadiran Nyimas Layang Kingkin di
hatinya. Itulah sebabnya, Purbajaya tidak bisa mengganggu perasaan pemuda itu kalau dia katakan
betapa pegawai dari puri Bagus Seta telah berupaya meracuni ayahandanya."Di sekeliling kita banyak
hal-hal bermanfaat namun juga tak kurang-kurang yang membahayakan diri kita sendiri, makanan
misalnya ..." kata Purbajaya menyiratkan satu hal yang entah dimengerti entah tidak oleh Banyak Angga
dan adiknya. Yang jelas, baik Banyak Angga mau pun Nyimas Banyak Inten terlihat menganggukkan
kepalanya.
 "Saya ingin mohon diri. Ki Jongjo, mari kita pulang ..." kata Purbajaya seraya menengok ke arah ki
Jongjo yang sejak tadi tidak berbicara sepatah pun kecuali menyaksikan tingkah Purbajaya.
 "Bukankah engkau akan melamar pekerjaan kepada ayahanda?" tanya banyak Angga kecewa kaena
Purbajaya berniat mohon diri.
 "Tentu, namun tidak hari ini di saat ayahandamu mengalami gangguan," jawab Purbajaya.
 "Lekaslah datang lagi ke sini, kau pasti aku bantu menghadap ayahanda," kata lagi Banyak Angga
sungguh-sungguh.
 "Terima kasih. Saya pasti segera mengunjungimu," jawab Purbajaya menunduk. Untuk kemudian
tergopoh-gopoh mengundurkan diri dari tempat itu manakala dadanya berdebar keras karena beradu
pandang dengan mata Nyimas Banyak Inten. 
 ***
 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa