Langsung ke konten utama

KEMELUT DI CAKRA BUANA 13

MUDAH diduga kalau Raden Yudakara tidak mau melanjutkan hingga Pakuan. Di wilayah pusat
kekuasaan Pajajaran ini, Raden Yudakara sebetulnya tidak terlalu bisa bergerak. Kalau pun dia memiliki
pengaruh, itu terbatas di wilayah Pajajaan sebelah timur saja. Sementara di lingkungan dayo (ibu kota),
Raden Yudakara tak berarti apa-apa. Pengaruh yang dia miliki di sana, hanya terbatas pada
pejabat-pejabat yang sudah berpaling kesetiaannya pada penguasa sekarang.
Ketika Purbajaya tiba di tepian sungai Cihaliwung (Ciliwung), hari sudah mulai senja. Namun demikian,
biduk-biduk kecil nampak hilir-mudik membawa muatan barang. Hanya biduk-biduk kecil semata.
Menandakan bahwa kehidupan perdagangan di perairan tidak seramai manakala muara sungai ini masih
dikuasai oleh Pajajaran.
Dulu semasa Pajajaran diperintah oleh Sang Prabu Sri Baduga Maharaja (1462-1521 Masehi),
perdagangan internasional amat berkembang di sini sebab Pajajaran memiliki tujuh pelabuhan penting
yang menghubungkan jalur ekonomi laut ke negri-negri sebrang. Perdagangan internasional ini terus
berlanjut sampai Pajajaran diperintah oleh Sang Prabu Surawisesa (1521-1535 Masehi). Hubungan
dengan bangsa asing kian dekat. Sampai pada suatu saat, situasi ini dianggap tak menguntungkan
Kerajaan Demak. Sebagai negara yang berhaluan agama baru, Demak memiliki hubungan dagang
dengan pedagang-pedagang muslim dari Gujarat.
 Ketika Pajajaran mengadakan kerja-sama dagang dengan Portugis, saudagar muslim ruang-geraknya
dibatasi oleh bangsa asing itu. Apalagi ketika Portugis menguasai Selat Malaka, para pedagang muslim
terputus kegiatannya di Nusantara. Hal-hal semacam ini tentu merugikan Kerajaan Demak. Itulah
sebabnya, Demak yang dibantu Carbon yang sudah memisahkan diri dari Pajajaran, segera menyerang
dan merebut Banten, salah satu pelabuhan penting Pajajaran.
 Mengapa Banten yang pertama kali direbut, sebab penduduk Banten kebanyakan sudah masuk agama
baru tapi yang kehidupannya dibatasi oleh Portugis. Maka Banten mudah direbut sebab penduduknya
membantu pihak penyerbu. Demikianlah, Banten menjadi milik Demak dan Carbon pada tahun 1526.
Kemudian setahun sesudah itu (1527), Pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa kini), direbut pula oleh Demak
dan Carbon dan namanya berubah menjadi Jayakarta.
 Pelabuhan Jayakarta ini terletak di muara sungai Ciliwung. Itulah sebabnya, hingga kini, perdagangan
Pajajaran hanya sebatas di pedalaman saja. Negri Sunda ini sudah tak memiliki wilayah pesisir lagi.
 Sekarang, sungai Ciliwung hanya digunakan sebagai pelayaran ekonomi lokal saja. Kendati aliran sungai
yang berair jernih ini masih lancar mengalir sampai muara, namun pedagang Pajajaran tidak melakukan
perdagangan hingga muara.
 Purbajaya sebenarnya tak begitu banyak diberi bekal penjelasan. Mengapa dia diperintah melakukan
penyusupan ke Pakuan dengan jalan disuruh bekerja sebagaipuhawang(akhli kelautan), sementara
kehidupan kebaharian di Pajajaran tidak berkembang seperti masa lalu.
 Namun pertanyaannya ini segera terjawab ketika dirinya dijemput seseorang di tepian sungai.
 Ini bukan pertemuan tak sengaja sebab jelas-jelas Purbajaya telah dijemput orang.
 Di tepian sungai Ciliwung ini Purbajaya dijemput seorang "tukang perahu".
 "Nama saya Jongjo. Saya anak buah Ki Jaya Perbangsa ... " kata lelaki bertubuh gempal berusia sekitar
limapuluh-tahunan.
 Purbajaya menyeberangi sungai Ciliwung dengan perlahan sebab "tukang perahu" terus mengajaknya
bercerita.
 "Ki Jaya Perbangsa ... Saya belum kenal dia," gumam Purbajaya. Seingatnya, Raden Yudakara tidak
memberitakan perihal keberadaan orang ini.
 "Nanti kau akan dihubungi beliau. Namun demikian, boleh aku terangkan sedikit," kata Ki Jongjo."Ki
Jaya Perbangsa adalah pejabat di Pakuan, namun punya hubungan erat dengan penguasa Sagaraherang,"
lanjut Ki Jongjo lagi.
 "Ki Sunda Sembawa?"
 "Boleh dikata, Ki Jaya Perbangsa adalah tangan kanan Ki Sunda Sembawa," ujar Ki Jongjo, membuat
Purbajaya bingung. Ia bingung, apa benar Raden Yudakara mengutus dirinya agar bergabung dengan
kaki-tangan Ki Sunda Sembawa sementara itu Purbajaya sendiri pun sudah tahu kalau Raden Yudakara
secara diam-diam tak mengaku sebagai anak-buah Ki Sunda Sembawa.
"Saya akan dibawa ke kediaman Ki Jaya Perbangsa?" tanya Purbajaya lagi.
 "Tidak. Kau akan diantar ke puri Yogascitra," jawab Ki Jongjo.
 "Memang itu yang telah diatur," kata Purbajaya.
 "Engkau memang cocok memasuki lingkungan itu," kata lagi Ki Jongjo mengayuh pelan.
 "Tapi saya sangsi bisa diterima di puri itu, Paman. Kehidupan kebaharian tak jalan semenjak semua
pelabuhan penting milik Pajajaran dikuasai Carbon. Bagaimana mungkin Ki Yogascitra menerima
pegawai baru dalam bidang kelautan sementara lapangan di bidang itu kerja tak ada," kata Purbajaya.
 "Kau salah mengira. Sang Prabu Ratu Sakti penguasa Pakuan kini malah punya ambisi besar dalam
upaya mengembalikan ke besaran di lautan. Pajak semakin berat dan anggaran militer ditingkatkan. Itu
karena Raja punya cita-cita besar. Kaum puhawang tetap diperlukan untuk menghadapi dan
mempersiapkan ke arah itu," kata Ki Jongjo memberikan penjelasan sehingga Purbajaya
mengangguk-angguk dibuatnya.
 "Ayo cepat mendarat. Sebelum tiba dijawikhita(benteng kota luar) kita jangan sampai kemalaman
sebab kalau begitu, gerbang akan ditutup," kata Ki Jongjo lagi sambil mengayuh sampan cepat-cepat.
 Sesudah sampai di tepi, Purbajaya cepat meloncat ke darat. Begitu pun Ki Jongjo, setelah
menambatkan perahunya, dia pun ikut meloncat ke darat.
 "Terus menuju arah barat," kata ki Jongjo sambil melangkah di depan.
 Menurut Ki Jongjo, pertahanandayo (kota) Pakuan sangat kuat. Sebelum bisa memasuki wilayah istana,
akan melewati dulu dua lapisan benteng. Satu bernama jawi khita, sebuah rentangan benteng yang
melindungi kota luar, dan satunya lagi bernamadalem khita (benteng kota dalam), yaitu sebuah rentangan
benteng yang melindungi pusat kota, di mana kaum bangsawan, raja beserta kerabat dan seluruh
keluarganya tinggal. Tidak sembarang orang bisa memasuki wilayah dalem khita kecuali orang-orang
tertentu.
 Memang amat beruntung Purbajaya dijemput sejak awal. Dengan begitu tidak akan susah-payah
memasuki wilayah istana. Hanya yang Purbajaya heran, mengapa yang menjemputnya adalah kaki-tangan
Ki Sunda Sembawa? Mengapa tidak langsung kaki-tangan Raden Yudakara saja? Atau sebetulnya
Purbajaya tidak perlu pusing sendiri memikirkan hal ini sebab di antara keduanya sama-sama memiliki
tujuan yang sama yaitu meruntuhkan Pajajaran.
 Purbajaya memasuki wilayah jawi khita tanpa melalui kesulitan yang berarti. Ketika dia diperiksa di
gerbang, Purbajaya memperlihatkan surat daun nipah dari Kandagalante Subangwara yang ditujukan
kepada Ki Yogascitra. Penjaga selain tidak mempersulit dirinya juga bersikap segan dan amat
menghormatinya.
 "Malam ini engkau bermalam di rumahku dan esok pagi baru kuantar ke puri Yogascitra," kata Ki
Jongjo. Purbajaya hanya mengiyakan apa yang baik menurut orang itu.
 Di rumah panggung beratap ijuk yang agak terpencil dari rumah-rumah lainnya karena letaknya di pojok
kampung, Ki Jongjo hidup seorang diri. Ia dikenal di sana sebagai tukang perahu yang memberikan
pelayanan kepada para pedagang yang mengangkut hasil bumi dari pedalaman. Menurutnya, dia dulu
datang dari wilayah kerajaan kecil bernama Tanjungbarat, berada di tepian sungai Cisadane atau di
tepian jalan besar yang bila diteruskan ke arah barat akan menuju wilayah Banten.
 Tanjungbarat ini pun merupakan daerah transisi. Masih dikuasai Pajajaran namun pengaruh Banten
sudah mulai terasa di sana. Masyarakatnya sudah banyak yang memiliki agama baru. Jadi kalau Ki
Jongjo kini bekerja untuk kepentingan kelompok yang ingin menjatuhkan Pakuan, Purbajaya tidak
merasa heran.
 "Pajajaran memang harus dihancurkan," kilahnya mengepal tinju.
 Purbajaya hanya menatap saja.
 "Penguasa Pakuan yang kini memerintah tidak seperti para pendahulunya. Sang Prabu Ratu Sakti ini
selalu menekan kehidupan rakyat dan bertindak kejam. Wilayah-wilayah yang tidak mau membayarseba
(pajak) diperangi sehingga rakyatnya menderita," tutur lagi Ki Jongjo.
 Kata Ki Jongjo, di wilayah Pajajaran kini sudah sulit melihat orang tersenyum cerah. Tak ada
kebahagiaan, tak ada masa depan.
 "Kalau kau datang lebih awal, maka engkau tidak akan menyaksikan keramaian pesta tradisi bernama
Kuwerabakti ," kata Ki Jongjo seraya menyodorkan singkong rebus dan air jahe panas kepada
Purbajaya. Purbajaya yang perutnya kosong sejak pagi, makan singkong dengan lahapnya. Malah
sebentar kemudian makanan hangat itu sudah habis.
 "Apakah Kuwerabakti itu, Paman?" tanya Purbajaya sesudah minum air jahe.
 "Itu adalah pesta tradisi tahunan. Setiap tahun seluruh rakyat dari semua negri bawahan Pajajaran datang
ke Pakuan mengirim seba tahunan seusai panen. Maka pada perayaan Kuwerabakti seharusnya terjadi
keramaian yang sangat sebab pada hari itu Pakuan banjir kekayaan hasil bumi, mulai dari ternak hingga
kapas atau bahkan palawija dan hasil buah-buahan. Ratusan bahkan ribuandongdang (tempat pikulan
berisi hasil bumi) akan berbaris menuju alun-alunjawi khita . Usungan padi akan diangkut keleuit
salawe jajar (lumbung padi duapuluh lima baris). Betapa banyaknya lumbung itu sebab tiap barisnya
terdiri dari duapuluh lima buah lumbung padi pula. Dulu lumbung itu terisi semua kini sudah tidak lagi,"
kilah Ki Jongjo.
 "Apakah masyarakat sudah tidak menyukai pesta Kuwerabakti lagi, Paman?" tanya Purbajaya.
 "Bukan begitu. Ambarahayat masih menghargai dan merindukan pesta Kuwerabakti. Namun yang
mereka inginkan, pesta bukan lahir dari paksaan dan tekanan melainkan dari kegembiraan serta rasa
syukur mereka karena keberhasilan dalam bertani. Sekarang hasil pertanian kian berkurang. Rakyat tak
tenang dalam mengolah tanah karena selain banyak diganggu peperangan juga ditekan oleh peraturan
pajak yang kian tinggi dan banyak macam-ragamnya," ujar Ki Jongjo.
 "Jadi kalau pun sekarang-sekarang ini masih terdapat pesta Kuwerabakti, pengorbanan mereka tidak
dilakukan sambil senyum kerelaan melainkan karena keterpaksaan belaka. Betapa menderita orang
disuruh berpesta di saat hati risau dan kepercayaan berkurang karena dipaksa dan ditekan," lanjut Ki
Jongjo lagi membuat Purbajaya termenung-menung ikut kecewa melihat situasi Negri Pajajaran ini. 
 "Penguasa di Pakuan menganggap, wilayah timur Pajajaran yang amat berdekatan dengan kekuasaan
Carbon, dianggap wilayah rawan. Setiap saat bisa tergoda untuk memindahkan kesetiaannya kepada
penguasa agama baru. Untuk itulah maka urusan pajak di wilayah timur memerlukan petugas khusus.
Kalau wilayah-wilayah lain pajak diantar sendiri ke pusat kota, maka untuk wilayah timur disusul sendiri
olehmuhara (petugas penagih pajak).Ini karena Raja tak mempercayai kalau negri-negri kecil di wilayah
timur mau datang sendiri mengirimkan pajak ke Pakuan. Itulah yang membuat negri-negri di wilayah timur
geram dan bersepakat mengadakan perlawanan. Kau datang dari wilayah timur, salah satunya adalah
memberikan bantuan dalam urusan ini, Purba ... " kata Ki Jongjo panjang-lebar.
 
 Purbajaya menguap beberapa kali pertanda kantuknya sudah datang menyerang. Lagi pula dia sudah
jemu mendengar tujuan-tujuan perlawanan kepada penguasa Pakuan ini. Untung Ki Jongjo memaklumi
kalau pemuda ini sudah sejak pagi melakukan perjalanan berat. Purbajaya disuruhnya beristirahat di
sebuah kamar khusus berdipan.
 Purbajaya langsung merebahkan diri di atas dipan yang sudah disediakan. Matanya segera dipejamkan.
 Namun kendati lelah dan ngantuk, Purbajaya bukan akan segera tidur. Yang sebenarnya ingin dia
lakukan adalah berbaring sambil mencoba mendengarkan suara berkeresekan di atas atap rumah.
Purbajaya sadar sejak tadi kalau pembicaraan dengan Ki Jongjo sedang diintip orang. Dia yakin sekali,
suara berkeresekan di atas atap rumah bukanlah sekadar suara ranting pohon, melainkan suara gerakan
tubuh orang yang lagi mengintip.
 Ki Jongjo mungkin tak menyadarinya sebab tidak mendengar suara itu. Buktinya, orang tua gempal itu
sudah terdengar dengkurnya.
 Purbajaya merasa bersyukur Ki Jongjo sudah tertidur pulas. Ini hanya punya arti dia bebas melakukan
penyelidikan kepada pengintip itu.
 Purbajaya terus menunggu saat yang tepat. Dia mencoba menahan kantuknya ketika suara berkeresekan
kembali hilang dan suasana sunyi untuk waktu yang cukup lama.
 Dan Purbajaya hampir saja terlelap tidur ketika pada suatu saat suara berkeresekan muncul kembali.
 Purbajaya sudah sejak tadi memadamkan pelita minyak kelapa sehingga di dalam ruangan kamarnya
suasana gelap gulita. Dengan demikian, bila dia membuat gerakan, maka si pengintip tidak bisa
mengawasinya.
 Dan ketika untuk ke sekian kalinya terdengar lagi suara ganjil di atap rumah, Purbajaya segera
melayangkan pukulan jarak jauh ke atas. Bersamaan dengan itu, Purbajaya pun melesat ke langit-langit
dan tubuhnya langsung menerobos ke atap. Namun ketika Purbajaya berhasil membobol atap, yang
dicari sudah hilang entah ke mana. Purbajaya celingukan ke bawah. Ternyata di pekarangan ada
bayangan melesat. Maka Purbajaya pun langsung meloncat dan mengejar orang misterius itu.
 Sebentar kemudian, terjadilah kejar-mengejar di malam gelap dan sunyi ini.
 Purbajaya merasa kalau tingkat kepandaian orang itu berada di bawahnya. Buktinya, kecepatan berlari
orang itu bisa dia atasi. Semakin lama jarak mereka semakin dekat hingga pada suatu saat bisa terkejar
sama sekali.
 Namun di tempat agak lapang, orang yang dikejar tak berusaha lari. Malah sebaliknya seperti
menunggunya sambil bertolak pinggang dan sepasang kaki terpentang lebar.
Maka sebentar kemudian, terjadilah pertempuran kecil.
 Purbajaya tak sanggup melihat wajah orang ini. Selain suasana malam demikian gelap, juga nampaknya
wajah orang itu ditutupi semacam cadar dari mulai hidung hingga dagunya.
 Siapakah orang ini? Purbajaya belum bisa menduganya. Namun bila orang ini menggunakan topeng,
pertanda dia tak mau dikenali wajahnya, atau bisa juga orang itu merasa kalau Purbajaya sudah
mengenali sebelumnya.
 Purbajaya pun tidak bisa menduga, mengapa orang ini coba mengintai rumah Ki Jongjo. Siapakah yang
sebenarnya tengah dia intai? Ki Jongjo ataukah dia sendiri? Untuk mengetahui hal ini tak ada jalan selain
berupaya menangkap orang ini.
 Dan Purbajaya merasa yakin kalau dia bakal bisa menangkap orang misterius ini. Dalam pertarungan
yang baru berlangsung beberapa jurus ini, Purbajaya terbukti bisa mendesak lawan. Purbajaya
memperhitungkan kalau dalam beberapa jurus mendatang dia sudah bisa melumpuhkan lawan.
 Namun ketika dia hampir berhasil mengalahkan lawan dengan cara akan memukul ulu hati orang itu,
tiba-tiba dari berbagai arah bermunculan beberapa orang yang sama-sama memakai cadar hitam dan
langsung melancarkan serangan kepada Purbajaya.
 Sesudah kedatangan lawan-lawan baru yang jumlahnya lebih dari lima orang, kini situasi jadi berbalik,
giliran Purbajaya yang didesak habis-habisan. Hanya dalam satu dua jurus saja, tubuh Purbajaya jatuh
terjengkang kena tohokan seorang penyerang yang menjotos ulu hatinya. Dan ketika dia akan segera
bangkit, serangan lain pun datang bertubi sehingga tubuh Purbajaya bergulingan. Perlawanan pemuda ini
bahkan berhenti sama-sekali ketika beberapa senjata tajam sudah ditodongkan ke leher dan dadanya.
Purbajaya tak bisa berkutik.
 "Berdiri! Ayo ikut kami!" teriak seseorang.
 Purbajaya tetap tak bisa mengenali siapa mereka. Maka satu-satunya cara adalah dengan ikut kehendak
mereka. Dengan demikian Purbajaya akan tahu ke mana dia akan dibawa.
 Purbajaya berdiri namun dengan perasaan tenang. Dia tahu, orang-orang ini tak berniat mencelakakan
dirinya kecuali hanya ingin menangkapnya saja. Namun demikian Purbajaya pun mendapatkan betapa
hati-hati dan penuh rahasia tindak-tanduk mereka. Ketika Purbajaya diiringkan oleh mereka, sepasang
matanya ditutup ikatan kain.
 Purbajaya belum hapal seluk-beluk Kota Pakuan, sehingga ketika dibawa dalam keadaan mata tertutup,
dia tak bisa menduga dibawa ke mana. Hanya yang dia rasakan, setelah berjalan beberapa lama,
tubuhnya dibawa meloncati benteng tinggi hampir setinggi tigadepa (satu depa kurang lebih 1,698 meter).
Hatinya berdebar tegang. Dia menduga kalau dirinya dibawa ke wilayah dalem khita.
 Mungkinkah dia dibawa ke wilayah benteng kota dalam, wilayah di mana penghuninya adalah para
bangsawan, pejabat dan kerabat istana? Kalau benar begitu, orang-orang yang menculiknya ini untuk
siapakah bekerja?
 Sulit untuk diduga. Yang jelas orang-orang ini tidak akan membawanya kepada pejabat bernama Ki
Jaya Perbangsa sebab bila mereka anak buah Ki Jaya Perbangsa, rasanya tidak perlu memperlakukan
Purbajaya seperti itu.
Sesudah memasuki benteng, Purbajaya tidak langsung dibawa pergi, melainkan diseretnya hingga mepet
di dinding benteng. Berjalan lagi beberapa puluh depa, untuk kemudian berhenti dan sembunyi lagi. Amat
memperjelas dugaan bahwa gerakan mereka dalam upaya menyeret Purbajaya dilakukan penuh rahasia.
 Sesudah berjalan lagi beberapa saat, akhirnya Purbajaya merasa kalau dirinya dibawa memasuki sebuah
puri milik orang penting di Pakuan. Ini telah dia rasakan saat terdengar derit pintu gerbang besar dibuka
orang dan beberapa orang penjaga menyuruh rombongan agar masuk halaman dengan cepat.
 Berjalan lagi beberapa puluh langkah di atas jalan berbalay. Belok kiri, belok kanan, naik ke sebuah
anak tangga batu, kemudian berjalan di atas lantai kayu. Sesudah itu, Purbajaya dipaksa duduk di atas
sebuah bangku.
 Purbajaya harus menunggu beberapa saat sampai pada akhirnya didengarnya sebuah langkah kaki berat
yang mendekatinya.
 "Coba buka penutup matanya," kata orang yang barusan mendekat pada Purbajaya.
 Penutup mata yang membalut wajah Purbajaya segera dibuka orang.
 Purbajaya mengucak-ucak sepasang matanya karena pandangannya terasa kabur. Namun matanya yang
sulit melihat sekitarnya. Bukan saja karena terlalu lama ditutup, tapi juga karena di mana ruangan dia
berada suasananya hanya remang-renang saja kalau tak dikatakan gelap.
 Ada bayangan seseorang yang berdiri di hadapannya. Wajahnya tidak bisa dikenal dengan baik, yang
jelas bentuk tubuhnya terlihat agak gemuk dengan perut terlihat buncit. Purbajaya tidak akan
menduga-duga siapa orang ini sebab jelas tak akan bisa. Paling-paling dia berharap kalau belakangan
nanti dia bisa mengetahuinya.
 "Betulkah tadi senja kau bersama Ki Jongjo?" tanya orang gempal itu bertanya dengan suara parau.
 Untuk sementara Purbajaya diam membisu.
 "Jawablah, anak muda!"
 Purbajaya masih juga terdiam.
 Plak! Orang lain yang berdiri di samping si penanya menampar pipi Purbajaya.
 "Engkau tidak sopan menolak permintaan Juragan!" desis orang itu marah.
 "Bagaimana mau jawab, saya tak tahu siapa kalian ini," jawab Purbajaya seraya mengusap-usap pipinya
yang terasa pedas.
 "Kau tak perlu tahu. Yang jelas, Juragan adalah orang penting di Pakuan ini. Cepat ayo jawab!"
 "Ya!"
 "Ya apa?"
 "Tadi tanya apa?" Purbajaya seperti mempermainkan.
Plak! Kembali tamparan mendarat di pipi Purbajaya.
 "Jawab yang benar!"
 "Ya, saya tadi bersama Ki Jongjo!"
 "Kau sengaja dijemput olehnya?"
 Betul ... "
 "Kau anak buah Ki Sunda Sembawa?"
 Purbajaya diam.
 "Jawab!"
 "Bukan ... "
 Plak!
 "Mengapa saya kau tampar terus, padahal saya sudah jawab apa yang kalian minta!" Purbajaya jengjel
juga pipinya terus jadi bulan-bulanan tangan orang.
 "Karena kau tak menjawab dengan benar!"
 "Apanya yang tak benar?"
 "Kau dijemput Ki Jongjo tapi tak mengaku kalau kau anak buah Ki Sunda Sembawa!"
 "Mustinya saya menjawab bagaimana?"
 "Seharusnya kau anak buah Ki Sunda Sembawa, atau paling sedikit kau punya hubungan kepada orang
itu."
 "Ya ... sesukamulah!"
 "Maksudmu apa?"
 "Kalau kau inginkan begitu, ya aku jawab begitu saja. Bolehlah, aku ini anak buah Ki Sunda Sembawa!"
 Orang itu terlihat melayangkan kembali tamparannya. Namun kali ini Purbajaya mendahuluinya dengan
cepat. Dan "plak!" giliran orang itu yang kena tampar bahkan tubuhnya sampai terjengkang karena tak
menduga Purbajaya akan balik menyerang. Namun baru saja Purbajaya menurunkan tangannya,
serangan ke padanya berhamburan dari sana-sini. Maka sebentar saja terdengar suara bakbikbuk karena
Purbajaya dihujani bogem mentah. Dan akhirnya tubuh Purbajaya terlontar membentur dinding kayu.
 Purbajaya hampir dikeroyok lagi kalau saja lelaki gempal itu tidak melarangnya. Serentak semua orang
menghentikan gerakannya.
 "Biarkan dia bicara benar," kata lelaki itu.
Purbajaya disuruh berdiri lagi dan dia kembali dihujani pertanyaan serupa.
 "Saya memang bukan anak buah Ki Sunda Sembawa. Hanya saya tak tahu, mengapa Ki Jongjo jemput
saya ... " jawab Purbajaya sebenar-benarnya.
 "Kalau begitu, siapa yang mengutusmu ke sini?"
 Purbajaya berpikir, jawaban mana yang akan diberikan yang sekiranya dia tak dihadiahi bogem mentah
lagi. Kalau dia bilang diutus Carbon, apakah akan menguntungkan dirinya atau tidak? Dan bagaimana
halnya kalau dia akui sebagai utusan Raden Yudakara saja?
 "Saya datang dari wilayah Tanjungpura ... " akhirnya Purbajaya memilih jalan tengah saja.
 "Dari Tanjungpura? Siapa yang mengutusmu?"
 "Ki Jayasena ... " Purbajaya berspekulasi.
 "Coba kau sebutkan tujuan Ki Jayasena mengutusmu, anak muda!"
 "Bekerja di puri Yogascitra ..." Purbajaya menjawab pelan.
 "Kalau begitu, anak muda ini orang sendiri. Mengapa tidak kau katakan sejak awal?" lelaki gempal
menepuk-nepuk pundak Purbajaya sambil terkekeh-kekeh.
 "Saya musti hati-hati berhadapan dengan orang yang tak saya kenal," kata Purbajaya sedikit menguji
kalau-kalau orang itu akhirnya mau buka rahasia siapa dirinya.
 "Ya, kau orang sendiri sebab kau adalah utusan Raden Yudakara," kata lelaki itu masih menepuk-nepuk
pundak Purbajaya. Purbajaya kecewa karena orang itu tidak mengatakan siapa dirinya.
 "Kau hampir saja terperosok ke tangan Ki Jaya Perbangsa. Harap kau hati-hati, jangan sampai
terpengaruh oleh orang-orang Ki Sunda Sembawa," kata lelaki gempal berperut buncit itu."Tapi kendati
begitu, kau harus tetap memiliki hubungan dengan Ki Jaya Perbangsa. Kau harus meneliti dan selidiki
keberadaan orang itu dan sejauh mana memiliki hubungan dengan Ki Sunda Sembawa," kata orang itu.
 Purbajaya puyeng menyimaknya.
 "Ayo, antarkan kembali dia ke tempat semula!" kata orang itu lagi.
 Dan tanpa diberi kesempatan lebih lanjut, Purbajaya kembali ditutup matanya. Dia dikembalikan ke
tempat semula dengan mata gelap karena penutup yang ketat. Baru saja tiba di sebuah tempat, bagian
belakang kepalanya terasa nyeri karena dipukul orang.
 Purbajaya meloso dan tak sadarkan diri untuk beberapa saat.
 
 ***
 Dia siuman dari pingsannya ketika hari sudah siang, itu pun karena banyak orang membangunkannya.
"Hai,Ki Silah (saudara), mengapa kau tidur di tengah jalan seperti ini? Minggirlah, sebentar lagi akan
banyak roda pedati yang lewat," tutur seseorang keheranan.
 Purbajaya bangkit dan celingukan karena dirinya telah jadi tontonan orang banyak. Belakang kepalanya
masih dirasakan berdenyut-denyut karena pukulan para penculiknya.
 Ketika Purbajaya bangkit, kebetulan Ki Jongjo pun datang ke tempat itu. Tanpa banyak bicara,
Purbajaya ditolong berdiri dan kemudian segera diajak berlalu dari tempat itu.
 Sesampainya di rumah, Purbajaya ditanyai perihal kejadian semalam. Tentu saja Purbajaya tak berani
mengemukakan hal yang sebenarnya. Kalau perkataan para penculik bisa dipercaya, maka majikan Ki
Jongjo harus diperhatikan secara khusus.
 Dari hasil pengetahuan tadi malam ada sesuatu yang tersirat, betapa sebetulnya kelompok yang ingin
menjatuhkan Pajajaran bertebaran di mana-mana dan masing-masing saling bediri sendiri. Raden
Yudakara yang selintas seperti menjadi bagian kecil dari pergerakan yang dipimpin oleh Ki Sunda
Sembawa, nyatanya malah menjalin hubungan tersendiri dengan pejabat di Pakuan dan sama sekali
terpisah dari Ki Sunda Sembawa.
 Para penculiknya tadi malam mungkin menempatkan dirinya sebagai sekutu Raden Yudakara. Ini
terbukti sesudah Purbajaya punya hubungan dengan Raden Yudakara, maka Purbajaya dianggap "orang
sendiri" dan dilepas kembali.
 "Kau pun tahu Paman, kalau tadi malam kita diintip orang tak dikenal. Maka saya kejar dia. Tapi
kepandaian orang ini sungguh hebat. Dalam sebuah pertempuran kecil saya terdesak dan kalah. Mungkin
saya dipukul dan tak sadarkan diri sampai saatnya pagi menjelang," kata Purbajaya menyembunyikan
sebagian penemuannya.
 Mendengar penjelasan ini, Ki Jongjo termangu-mangu.
 "Kira-kira, siapakah orang atau kelompok itu, Paman?" Purbajaya balik bertanya kalau-kalau Ki Jongjo
mengenalnya.
 "Mana aku tahu. Sementara maksud dia melakukan pengintaian pun aku tak tahu," Ki Jongjo masih
termangu-mangu.
 Purbajaya menatap orang tua setengah baya ini walau selintas. Sebetulnya dia ingin mengorek
keterangan dari Ki Jongjo. Namun nampaknya dia pun seperti bersikap hati-hati dan menyembunyikan
sesuatu juga.
 "Saya khawatir, kehadiran saya sudah diketahui orang-orang Pakuan ... " gumam Purbajaya.
 "Tidak mungkin. Perjalananmu sebenarnya tidak akan dihadang oleh orang-orang Pakuan. Apalagi
engkau berbekal surat dari Ki Subangwara yang kepercayaan Ki Yogascitra. Yang aku khawatirkan ...
Ah, mungkin tidak begitu. Sudah pagi, seharusnya kau segera berkemas untuk memasuki puri
Yogascitra," kata Ki Jongjo tidak melanjutkan obrolan semula dan menggantinya dengan yang ada
kaitannya dengan tugas penyusupan.
 "Mungkin tidak hari ini, Paman ... " keluh Purbajaya memijit kepalanya di bagian belakang.
 "Mengapa?"
"Kepalaku sedikit luka dan rasanya tubuh ini tak enak. Bagaimana kalau malam ini saya diberi
kesempatan istirahat lagi di sini?"
 Ki Jongjo termenung sebentar namun kemudian menyetujuinya.
 Dan malam ini kembali Purbajaya bermalam di ruma Ki Jongjo. Namun persis seperti yang diharapkan
di dalam hatinya, malam-malam Ki Jongjo keluar rumah setelah mendapatkan Purbajaya "mendengkur"
 Ke mana Ki Jongjo pergi? Itulah yang ingin dia ketahui.
 Purbajaya menguntit Ki Jongjo yang secara diam-diam memasuki wilayah dalem khita dengan jalan
loncat ke atas benteng.
 Siapa yang Ki Jongjo akan hubungi, Purbajaya belum tahu. Namuin demikian, dia punya dugaan kalau
Ki Jongjo pasti akan menghubungi majikannya. Siapa lagi kalau bukan Ki Jaya Perbangsa.
 Ketika memasuki sebuah halaman puri, Ki Jongjo tidak mengalami gangguan berarti sebab penjaga
sudah kenal dirinya. Hanya Purbajaya saja mungkin yang kesulitan untuk masuk. Dia musti mencari
bagian benteng yang tidak begitu ketat penjagaannya.
 Kebetulan ada sebuah pohon sawo yang berdiri di sisi benteng. Maka Purbajaya meloncati benteng
melalui dahan pohon itu.
 Dari atas benteng dilihatnya Ki Jongjo tengah tergopoh-gopoh menuju sebuah bangunan rumah
panggung yang besar dan artistik.
 Purbajaya lihat kiri-kanan untuk memastikan bahwa ke tempat itu tak ada penjaga lewat. Setelah
dirasanya sepi, Purbajaya baru memberanikan meloncat turun untuk kemudian terus berloncatan
menghampiri rumah yang dituju Ki Jongjo.
 Dengan amat hati-hati Purbajaya mengerahkan tenaga dalamnya menotolkan ujung jari kaki dan
tubuhnya melambung ke udara, kemudian menclok tepat di tepian atap sirap. Purbajaya musti hati-hati
agar gerakannya tidak menimbulkan suara barang sedikit pun agar penghuni rumah tak curiga.
 Dan Purbajaya berhasil mencuri lihat apa yang tengah berlangsung di dalam rumah. Melalui genting sirap
yang dia korek sehingga sedikit berlubang sudutnya, Purbajaya melihat Ki Jongjo tengah menghadap
kepada seorang lelaki usia sekitar empatpuluhan yang berwajah gagah berkumis tipis. Purbajaya
menduga, inilah Ki Jaya Perbangsa bangsawan Pakuan.
 "Jadi, begitu Juragan. Malam tadi Purbajaya diculik sekelompok orang. Namun ketika anak muda itu
kembali, dia tak berterus-terang memaparkan pengalamannya. Rasanya ada yang dia sembunyikan. Saya
malah khawatir, pemuda itu bocorkan rahasia ini kepada pihak lain," kata Ki Jongjo menghormat sekali.
 Purbajaya terkejut, ternyata Ki Jogjo telah menduga kalau dirinya tak mengatakan hal sebenarnya
mengenai pengalaman malam kemarin.
 "Kau katakan apa kepada anak muda itu ketika baru kau jemput kemarin sore di tepian sungai
Cihaliwung, Jongjo?" tanya Ki Jaya Perbangsa.
 "Saya katakan kalau dia dijemput oleh Juragan," jawab Ki Jongjo pendek.
"Bagaimana tanggapannya?"
 "Dia tidak menanggapi hal-hal penting, Juragan. Dengan mudahnya dia menuruti kemauan saya."
 "Seharusnya memang begitu. Anak muda bernama Purbajaya itu sejauh ini tidak mengetahui hubungan
yang sebenarnya antara Raden Yudakara dan Ki Sunda Sembawa. Mungkin dia menyangka kalau Ki
Sunda Sembawa tetap menganggap Raden Yudakara sebagai pengikut setianya. Tidak. Kalau
perjuangan Ki Sunda Sembawa berhasil, Raden Yudakara yang sok tahu itu akan segera disingkirkan,"
kata Ki Jaya Perbangsa sambil menempelkan telapak tangannya ke lehernya sendiri. Ini hanya diartikan
oleh Purbajaya kalau Raden Yudakara kelak akan dibunuh kelompok Ki Sunda Sembawa.
 "Tapi ... "
 "Tapi apa, Juragan?"
 "Peristiwa tadi malam yang dialami anak itu, kira-kira apa, ya? Kalau benar dia diculik kelompok
tertentu, siapakah kira-kira penculiknya?" tanya Ki Jaya Perbangsa heran.
 "Tidakkah itu kelompok Ki Bagus Seta?" tanya Ki Jongjo.
 Namun Ki Jaya Perbangsa belum menanggapi perkiraan ini.
 "Ataukah Bangsawan Soka?" tanya lagi Ki Jongjo.
 "Aku belum bisa menduga-duga secara tepat. Namun demikian, pejabat-pejabat itu memang perlu kita
waspadai. Di lingkungan istana, banyak kelompok yang ingin memanfaatkan Carbon dalam menjatuhkan
penguasa Pakuan. Sementara satu-satunya orang yang memiliki hubungan dengan Carbon hanyalah Si
Purbajaya. Maka siapa pun yang menguasai anak itu, berarti menguasai Carbon. Maka jagalah anak itu
jangan sampai bisa dipengaruhi oleh pihak-pihak lain," kata Ki Jaya Perbangsa amat mengejutkan
Purbajaya yang tengah mencuri dengar di atas atap sirap.
 "Apakah majikan kita Ki Banaspati telah mengetahui perihal keberadaan anak ini, Juragan?" tanya Ki
Jongjo.
 "Ya, beliau sudah mengetahuinya kendati Ki Banaspati belum pernah bertemu muka dengan pemuda itu.
Itulah sebabnya, Purbajaya dibiarkan memasuki puri Yogascitra. Pengetahuan mengenai Pakuan
sebenarnya ada di puri itu. Kalau Purbajaya bisa memasuki puri itu dan jadi kepercayaan penguasa puri,
maka rahasia kekuatan Pakuan akan bisa kita pegang dengan mudah," kata lagi Ki Jaya Perbangsa
semakin mengejutkan hati Purbajaya.
 "Bila benar anak itu bisa kita kuasai, Juragan ... " tukas Ki Jongjo.
 "Memang benar. Jadi itulah sebabnya, tugasmu berat, Jongjo. Kau harus bisa menguasai anak itu dengan
baik. Kendati kelak Purbajaya tinggal di puri, namun kau harus tetap bisa menghubunginya. Jaga, agar
anak itu tidak menyebrang ke pihak lawan ... "
 "Akan saya emban tugas ini dengan baik, Juragan. Namun bagaimana kalau ternyata Purbajaya tidak
bisa kita tangani dengan baik?"
 "Misalnya apa?"
"Misalnya dia menyebrang dan dipengaruhi lawan?"
 "Bunuhlah anak itu!"
 "Bunuh?"
 "Benar."
 "Bagaimana kita bisa memanfaatkan Carbon kelak?"
 "Artinya kita tak akan memanfaatkan Carbon. Namun bukan berarti Carbon tak bermanfaat buat kita.
Tokh pihak lawan pun sebenarnya sama ingin memanfaatkan kekuatan Carbon dalam melumpuhkan
Pakuan. Mereka akan saling gebuk kemudian kelak, kelompok kitalah sebagai pemenangnya," ujar Ki
Jaya Perbangsa terkekeh-kekeh dan amat menyebalkan hati Purbajaya.
 Secara hati-hati, Purbajaya melorot turun dari atap rumah ini. Dan serta-merta meninggalkan puri ini
untuk mendahului kembali ke rumah Ki Jongjo.
 Ketika orang tua setengah baya itu pulang belakangan, Purbajaya sudah memperdengarkan
"dengkur"nya. 
 ***
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa