Langsung ke konten utama

KEMELUT DI CAKRA BUANA 12


PURBAJAYA tak pernah punya ketenangan hati. Sampai dengan hari ini hidupnya tetap berada di
bawah bayang-bayang orang lain. Raden Yudakara tak mau melepaskannya dan tetap berupaya agar
Purbajaya ada di bawah kendalinya.
Entah siasat apa yang dia lakukan. Yang jelas, Raden Yudakara telah berhasil menjalin hubungan dengan
Kanadagalante Subangwara secara mudah.
Bahkan tak lebih dari satu bulan, Raden Yudakara sudah menghasilkan kepercayaan yang membuat
Purbajaya berdebar.
Di pagi hari yang cerah, Purbajaya dipanggil ke bale-gede rumah kediaman Ki Jayasena.
"Purba, sudah terlalu lama engkau tertahan di sini. Kali ini kau harus mulai melanjutkan tugasmu yang
terhenti ini," kata Raden Yudakara bicara serius.
 "Tugas apakah itu?" tanya Raden Yudakara dengan perasaan khawatir karena telah menduga sesuatu.
 "Ini kotak surat daun nipah. Jangan kau sia-siakan sebab ini adalah surat untuk mengantarmu memasuki
gerbang kehidupan di Pakuan. Kau harus menghubungi Ki Yogascitra pejabat terkenal di Pakuan.
Berikan surat ini padanya dan engkau akan diterima di sana," kata Raden Yudakara seraya
menyodorkan sebuah kotak mungil terbuat dari kayu cendana berukir dan berbau harum.
 
 Purbajaya menerimanya dengana tangan agak gemetar. Mengapa tak begitu sebab penyusupan dirinya
ke Pakuan dengan pura-pura menjadi akhli kelautan sudah merupakan siasat yang diatur secara resmi
oleh penguasa Nagri Carbon namun kini dia menerima perintah itu dari pemuda bernama Raden
Yudakara yang dia tahu memiliki ambisi pribadi dalam urusan besar ini. Dia tegang dan khawatir. Dia
akan segera bisa menyusup ke pusat kota Pajajaran dengan dengan gandulan urusan pribadi pemuda
bangsawan aneh ini.
 Dan Purbajaya sulit untuk menghindar. Sejauh ini dia tak punya hubungan dengan orang-orang Carbon
selan kepada Raden Yudakara. Sementara itu, Carbon telah mengatur agar selama bekerja sebagai
mata-mata, Purbajaya harus selalu berhubungan dengan Raden Yudakara. Jadi bila melihat kenyataan ini,
tidak terlihat kejanggalan dan secuil pun tidak melenceng dari perencanaan. Siapa yang bakal menyangka
kalau dalam misi negara ini terselippula kepentingan pribadi?
 Purbajaya sudah menduga bahwa Raden Yudakara memanfaatkan gerakan yang dilakukan Carbon
guna melaksanakan ambisi politik tertentu. Hari ini dia menjadi mata-mata Carbon, hari lain dia sebaga
mata-mata untuk kepentingan orang-orang Sagaraherang. Namun bila rencana sudah dilakukan dengan
matang, maka hasil akhir ingin dia miliki sendiri.
 Purbajaya tidak bisa melarikan diri dari genggaman pemuda itu sebab seperti yang sudah diketahui,
Purbajaya akan dihadang tuduhan sebagai pengkhianat karena terbukti melawan dan menggagalkan misi
Carbon ke puncak Cakrabuana. Purbajaya bahkan gurunya Ki Jayaratu akan dianggap pengkhianat dan
pembelot sebab kegagalan misi di Cakrabuana juga karena "andil" mereka juga. Baik Paman Jayaratu
mau pun dirinya, kukuh dengan pendapatnya bahwa pengiriman pasukan ke puncak Cakrabuana adalah
tindakan sia-sia.
 Purbajaya pun sama tidak bisa pulang ke Sumedanglarang sebab kematian beberapa orang dari
Sumedanglarang yang ikut misi muhibah akan dipertanyakan kepadanya.
 Dengan demikian, Purbajaya hanya bisa tetap bersama Raden Yudakara saja kendati dirinya amat
muak.
 "Itu adalah surat daun nipah dari Kandagalante Subangwara. Hanya dia yang dipercaya oleh Ki
Yogascitra. Kau pasti diterima di sana. Maka bekerjalah dengan baik di sana," kata Raden Yudakara.
 Purbajaya mengangguk kendati dia sangsi apa yang dimaksud "bekerja dengan baik" di sana.
 "Percayakah dia pada saya?" tanya Purbajaya kemudian.
"Kalau kau ingin lihat tipe orang Pajajaran, maka simaklah sikap hidup Ki Yogascitra. Dia adalah
pejabat jujur. Sedangkan orang jujur biasanya bodoh, mudah ditipu dan mudah dipermainkan orang, kata
Raden Yudakara.
 Purbajaya menatap wajah pemuda itu dengan senyum getir.
 "Begini. Ki Yogascitra memang manusia cerdik. Itulah sebabnya, sejak Pajajaran dipimpin oleh Sang
Prabu Surawisesa, (1521-1535 Masehi) sampai kepada Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 Masehi)
dan hingga kini di bawah kepemimpinan Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 Masehi), Ki Yogascitra
tetap bertahan sebagai pejabat negri. Menurut orang Pajajaran, dia adalah pemikir yang arif. Kalau
mengeluarkan kritik, dia tidak terdengar sebagai kritik, bahkan Ratu (penguasa) menganggapnya
pendapat Ki Yogascitra sebagai masukan yang berharga. Ki Yogascitra pun diakui sebagai pejabat yang
sabar. Dia tak pernah haus kekuasaan juga tak pernah menyingkirkan saingan. Baginya jabatan adalah
tanggungjawab yang harus dijalankan dan bukannya anugrah yang harus diterima. Tidak pendendam
tidak pula pendengki. Tidak bercuriga dan tidak menganggap orang lain jahat." kata Raden Yudakara.
 "Itulah sikap mulia ... " seru Purbajaya.
 "Bukan. Itulah kebodohan," potong Raden Yudakara.
 "Mengapa?"
 "Kebaikan-kebaikan pejabat itu yang barusan aku paparkan adalah sebuah kelemahan. Sudah aku
katakan tadi, orang jujur cenderung bodoh, sebab si jujur mudah dibodohi oleh sesuatu bernama siasat.
Hanya karena dia tak pernah berbuat bohong maka dia percaya kalau orang lain tidak akan
membohonginya. Hanaya karena dia tidak pernah berbuat khianat maka dia pun percaya kalau orang lain
pun tidak akan berlaku khianat padanya. Itulah sebuah kedunguan, disangkanya semua kehidupan akan
bersifat alamiah seperti air sungai yang mengalir selamanya dari hulu ke hilir atau seperti benda yang jatuh
dari atas ke bawah dan tak akan terjadi kebalikannya. Tidak. Dan jangan dungu seperti itu sebab
manusia bisa bicara hitam bisa bicara putih atau bahkan bicara hitam untuk putih atau malah sebaliknya
bicara putih untuk hitam. Dan karena kita tahu Ki Yogascitra orang dungu, maka dari sudut itu pulalah
kita mempermainkannya," kata Raden Yudakara panjang-lebar.
 Purbajaya termangu-mangu mendengarnya. Dia memuji jalan pikiran pemuda ini yang sanggup menebak
"kelemahan" orang lain namun sekaligus juga bergidik. Ini adalah jalan pikiran yang tak pernah dipikirkan
oleh orang yang berpikiran wajar, kecuali atas dasar rencana-rencana jahat.
 "Jangan bengong saja. Ayo cepat terima kotak kayu cendana ini dan simpan baik-baik sebab sebentar
lagi kau harus segera pergi dari tempat ini," kata Raden Yudakara memotong lamunan Purbajaya.
 "Kapan saya harus berangkat?"
 "Malam ini juga!"
 "Malam ini juga?"
 "Ya, mengapa tidak?" Raden Yudakara balik bertanya.
 "Rasanya perintah ini terlalu tergesa-gesa ... " Purbajaya mengerutkan dahi.
 "Jangan kau katakan tergesa-gesa sebab inilah sesuatu pekerjaan yang musti dilakukan dengan cepat.
Lebih cepat lebih baik sebab sesudah tugas ini, kau punya rencana kehidupan untuk mengukir masa
depan," kata Raden Yudakara.
 "Apakah itu?" tanya Purbajaya.
 "Bukankah engkau akan menikahi Nyimas Wulan? Semakin cepat kau menyelesaikan tugas di Pakiuan,
maka akan semakin cepat pula kau bersatu dengan kekasihmu," jawab Raden Yudakara. Hanya
mengisyaratkan bahwa Purbajaya baru boleh menikahi Nymas Wulan bila sudah menyelesaikan
tugasnya.
 Purbajaya masih termangu.
 "Apa yang engkau pikirkan?"
 "Saya musti bertemu dulu dengan Nyimas Wulan ... "
 "Gadis itu, biar aku yang urus!"
 "Seperti halnya Raden "mengurus" Nyimas Waningyun tempo hari di Carbon?" Purbajaya menyindir
membuat Raden Yudakara sedikit terhenyak malu. Pemuda itu melengos ke samping dan tertawa
masam.
 "Anggaplah aku bersalah padamu karena telah mengambil dan mempersunting gadis pujaanmu. Tapi kau
harus ingat kepentingan lebih luas. Aku terpaksa menikahi Nyimas Waningyun karena semuanya demi
kepentingan kita. Pangeran Arya Damar harus punya ikatan denganku agar kepercayaan yang dia
berikan tidak setengah-setengah," kilah Raden Yudakara enteng-enteng saja bicaranya.
 Purbajaya merasa sebal. Setiap Raden Yudakara bicara perihal kepentingannya selalu dikatakannya
sebagai kepentingan "kita".
 "Dan apa pula "kepentingan kita" atas diceraikannya Nyimas Yuning Purnama dari Sumedanglarang itu,
Raden?" sindir lagi Purbajaya tak kepalang.
 "Oh, ya?" Raden Yudakara garuk-garuk kepala. "Buat apa aku tinggal berlama-lama di wilayah itu?
Dengan penguasa di sana aku tidak memiliki persesuaian paham, maka aku ceraikan gadis itu," jawab
Raden Yudakara. Namun rupanya dia merasa kalau jawaban ini tidak memuaskan Purbajaya. Buktinya
pemuda itu melanjutkan bualnya.
 "Lagian kau harus tahu, Purba, bahwa semua yang aku lakukan tidak semata-mata karena urusan
pribadi. Semuanya demi sesuatu kepentingan lebih besar. Kalau aku sudah tak punya kesesuaian paham
dengan pihak penguasa, buat apa aku bercapek-capek punya istri di sana? Ingatlah, bukan cinta yang
aku kejar, melainkan ambisi untuk mengejar kedudukan. Perkawinan hanyalah jembatan untuk
menghubungkan diri kepada cita-cita sebenarnya sebab pada dasarnya kepercayaan penguasa hanya
bisa diberikan melalui jalur kekerabatan. Kau harus tahu itu!" kilahnya.
 "Pantas kau bunuhi semua orang yang tak mendukung ambisimu, Raden ..." gumam Purbajaya.
 "Hm, mungkin benar begitu. Namun kematian murid-murid Ki Dita tak berkaitan dengan politik. Mereka
mati mungkin karena alasan balas-dendam saja. Si Aditia itu membenciku. Syukurlah kau telah bunuh
orang itu. Sementara Si Wista pemuda dungu bernyali kecil itu pernah mengadu pada ayahandanya
perihal keberadaanku. Itu berbahaya. Makanya aku bunuh."
"Keji ... " gumam Purbajaya seperti lebih berkata pada dirinya saja.
 "Tidak keji sebab itu untuk menjaga keselamatan diri. Kau lihatlah seekor harimau dalam
mengoyak-oyak tubuh banteng. Kalau dia tak berbuat begitu, maka tubuhnyalah yang dikoyak tanduk
banteng yang runcing dan kuat," kilah Raden Yudakara lagi tak habis-habisnya mengaluarkan alasan,
sehingga Purbajaya hanya sanggup menghela napas saja.
 "Sudahlah. Kau jangan tanya yang bukan-bukan. Jangan pula bercuriga padaku kalau gadismu takut
kuganggu. Yang penting, pusatkan dulu pikiranmu dalam mengemban tugas di Pakuan," kata Raden
Yudakara seperti ingin menutup obrolan.
 "Tapi paman saya sepertinya ingin mengganggu keberadaan Nyimas Wulan ..." kata Purbajaya masih
penasaran dan mengingatkan pemuda itu akan "sifat" Ki Jayasena.
 "Dia takut padaku. Kalau aku katakan jangan ganggu, dia yakin takkan ganggu. Sudahlah, jangan kau
rewelkan perihal perempuan. Aku jamin, bila kau sudah tiba di Pakuan, maka sebentar kemudian kau
akan lupakan gadis lamamu sebab di Pakuana adalah sorganya segala kecantikan duniawi," potong
Raden Yudakara yang mulai jengkel oleh kerewelan Purbajaya."Sebentar hari kau akan bermain-main di
Taman Milakancana (taman bunga istana Pakuan). Itulah sorga dunia," lanjut Raden Yudakara lagi amat
tak mengenakkan perasaan Purbajaya.
 Namun demikian, akhirnya Purbajaya menerima kotak kayu cendana berisi lembaran surat daun nipah
yang kata Raden Yudakara amat penting untuk dijadikan pembuka gerbang Pakuan.
 Purbajaya berdiri dengan tubuh lunglai. Betapa tidak sebab kepergiannya ke Pakuan tak sempat dia
khabarkan kepada Nyimas Wulan.
 Tentu saja ini menyedihkan. Betapa kelak gadis itu akan kehilangan dan pasti akan merasa sedih.
 ***
 Kalau kau punya teman satu
maka yang bisa dilihat cuma satu
kalau kau punya banyak teman
maka tak satu pun bisa dilihat
tapi kalau kau tak punya teman
maka siapa pun bisa dilihat
 Ini adalah lantunan ciptaan Paman Jayaratu dan suka ditembangkan di saat santai atau di saat Paman
Jayaratu termenung seorang diri.
 Purbajaya kurang menyimak, apa makna lantunan ini. Kadang-kadang dia pun kuran kerasan
mendengarnya sebab tembang itu dilantunkan dengan nada yang kurang enak didengar.
 Namun di saat Purbajaya dalam kesendirian seperti ini, dia mencoba melantunkannya dengan suara amat
perlahan. Nada lantunannya dia coba ubah agar terdengar sedikit merdu seperti tembang-tembang yang
basa didengar di wilayah Pajajaran.
 Orang Pajajaran kalau menyanyi selalu penuh perasaan baik temban-tembang sedih mau pun gembira.
Sambil berjalan santai menyusuri jalan setapak dan buntalan pakaian menggandul di bahu, Purbajaya
bersenandung menahan sepi.
 Dendang ciptaan Paman Jayaratu ini semakin dicerna semakin terasa maknanya
 Kalau punya teman seorang, maka kita hanya bisa mengenal luar dalam dalam sahabat yang seorang ini.
Purbajaya teringat ketika masih bersama Paman jayaratu. Dia benar-benar tak mau berpisah dengan
orang tua itu sebab Purbajaya menganggap hanya Paman Jayaratulah orang terbaik baginya. Hanya
Paman Jayaratu yanga sayang padanya dan yang mau mengerti perasaannya. Tak ada orang sebaik
Paman Jayaratu.
 Demikian pun halnya ketika dekat dengan seorang wanita. Maka wanita itu pula yang dia anggap paling
baik. Ketika Purbajaya semakin dikelilingi banyak orang, maka tidak seorang pun perangai dan
karakternya dia kenal dengan baik. Mereka bahkan bersaing mendekatinya dengan hati palsu. Atau bisa
juga Purbajaya salah memilih karena tak hapal akan karakter sebenarnya. Dan menurut Paman Jayaratu,
akan lebih baik bila kita tak memiliki teman, sebab dengan demikian kita akan menilai mereka secara
objektif dan orang lain pun menilai kita secara objektif pula.
 "Terkadang keberadaan seorang musuh masih lebih berguna ketimbang orang mengaku sahabat," tutur
Paman Jayaratu ketika itu. Menurut orang tua ini, musuh selamanya akan membuat kita waspada dan
memaksa kita melakukan instrospeksi karena dengan gamblang dan jujur seorang musuh akan selalu
mencari-cari kejelekan kita.
 Sebaliknya keberadaan seorang sahabat bisa tak berguna sebab yang bernama sahabat biasanya tak
akan berani atau merasa segan memberitahu perihal kejelekan kita. Terkadang sahabat hanya akan
meninabobokan kita dengan hal-hal yang baik saja karena ingin membuat kita senang dan sebaliknya
khawatir kalau kita tersinggung oleh kritiknya.
 Ya, akhirnya Purbajaya mengerti akan makna lantunan Paman Jayaratu ini. Namun demikian, sampai
kini Purbajaya sulit memilih salah satu. Atau barangkali Purbajaya sulit menolak salah satu. Dia butuh
cinta dan cinta bisa bersemi melalui persahabatan.Dia pun butuh banyak teman sebab teman yang banyak
akan memberinya banyak keragaman dalam berpikir dan bertindak. Sementara kalau Purbajaya tak
memiliki teman, rasanya hidup ini hampa. Semuanya memang bisa dilihat namun tak bisa dijamah.
Semuanya ada di kejauhan dan semuanya tidak bisa dimiliki. Padahal seperti apa kata hatinya, semua
orang perlu memiliki sesuatu.
 Purbajaya memang belum bisa mengimbangi apa yang telah dicapai oleh pemikiran gurunya. Namun
demikian, sebagai pengisi sepi Purbajaya terus berdendang. Sampai pada suatu saat dia menghentikan
tembangnya karena jauh di depannya terdengar pula lantunan lain. 
 Ketika kau dikalahkan
maka hatimu sakit penuh dendam
namun ketika kau menang
kegembiraan tak memiliki kesempurnaan
sebab orang yang kau kalahkan
hatinya sakit penuh dendam
maka berbahagialah
orang yang mencapai kemenangan
tanpa mengalahkan
dia tak menyakiti
atau pun disakiti!
Purbajaya tertegun. Siapakah yang tengah melantun jauh di depannya?
 Itu suara lantunan laki-laki. Pelan namun jernih dan kuat. Lantunannya bersahaja namun menggugah rasa.
Mengapa pula orang di depannya sama melantunkan tembang? Apakah orang itu mau mengimbangi dan
menyainginya? Mustahil. Purbajaya berdendan dengan suara pelan sekali, asal bisa didengar sendiri saja.
Mungkin lelaki di depannya secara kebetulan saja berdendang, sama maksudnya sekadar mengusir rasa
sepi.
 Berpikir seperti itu, Purbajaya pun tak raGu-ragu lagi melangkah ke depan, namun kali ini dia jadi
menghentikan lantunannya.
 Sampai pada suatu kelokan jalan, di depannya terlihat seorang lelaki usia limapuluhan duduk bersila di
atas batu bundar. Lelaki itu di kepalanya terlihat sorban putih yang ujungnya berkibar-kibar karena
tertiup angin pagi. Pakaiannya serba putih dan ditutupi kain lebar sejenis jubah.
 Purbajaya coba mengingat-ingat, serasa pernah melihat orang berpakaian seperti ini, namun di mana dan
kapan, dia tak tahu.
 Purbajaya tak mau berpikir lama, sebab dia sudah lantas menyapanya dengan sebuah salam yanag biasa
diucapkan orang yang telah memeluk agama baru. Pakaian yang digunakan lelaki ini biasanya dipakai
oleh orang yang telah memiliki agama baru.
 "Bapak yang tengah duduk, maafkan saya numpang lewat ..." kata Purbajaya hormat sekali karena sorot
mata orang itu sungguh tajam berwibawa.
 "Silakan lewat. Tapi kalau boleh tanya, engkau anak muda datang dari mana dan hendak ke mana?
Sepertinya engkau anak orang berada. Pakaianmu menunjukkan kau golongansantana (masyarakat
pertengahan) dan bawaan di gendonganmu rupanya cukup berisikan barang berharga ... " bertanya lelaki
asing ini.
 Purbajaya ingin berskap hati-hati. Banyak orang jahat di sekelilingnya. Dan lelaki asing ini berani menilai
keadaa dirinya. Namun Purbajaya tak percaya kalau orang yang punya sorot berwibawa ini hanya
seorang penjahat belaka. Apalagi lelaki ini pandai melantunkan syair yang isinya padat penuh filsafat
kendati isinya tidak benar-benar baru. Lantunan syair seperti ini Paman Jayaratu pun pernah
mendendangkannya. Bahkan kalau Purbajaya tak salah mengingat, Pangeran Suwarga, Manggala
(Panglima Prajurit) Nagri Carbon pun pernah berujar seperti ini.
 "Tembangmu bagus, Bapak. Hanya sayang di dalam kehidupan sebenarnya hal itu tak pernah ada,"
Purbajaya mengritik lantunan ini.
 Mendengar kritik ini sebentar dahinya terlihat berkerut namun sebentar kemudian sudah terdengar tawa
rengahnya.
 "Betul. Itu karena orang telah memiliki penyakit bernama ambisi. Orang cenderung ingin memiliki
kelebihan dari yang lainnya, maka terjadilah saling kalah-mengalahkan," jawab lelaki berjubah putih dan
berjanggut tebal ini.
 "Aneh sekali, hampir semua orang berkata kalau ambisi itu penyakit, namun tokh dilakukan juga," kata
lagi Purbajaya.
"Tanyakan itu pada dirimu sendiri, anak muda ..." potong orang tua setengah baya itu.
 "Saya tak punya ambisi, Bapak!"
 "Benarkah?"
 Sejenak keduanya saling pandang namun akhirnya Purbajaya mengangguk pasti.
 "Kau pernah merasa sakit hati?"
 Purbajaya perlahan mengangguk.
 "Nah, itulah ambisi!"
 Purbajaya tercengang, tak mengerti akan ucapan orang tua ini. Purbajaya ikut duduk di sebuah batu
lainnya sehingga akhirnya dua orang itu saling berhadapan.
 "Saya tak mengerti, Bapak ... " tukas Purbajaya masih mengerutkan dahi.
 "Kau punya kehendak untuk tak disakiti. Mungkin kau pernah ditinggal cinta, maka kau sakit hati. Rasa
sakit hati itu muncul karena kau punya ambisi agar cinta tak lepas dari genggamanmu, agar gadis yang
engkau cinta selamanya jadi milikmu dan tak ada oraang lain yang ganggu. Mungkin kau marah dan benci
pada lelaki yang merebut cintamu. Nah, bukankah ini terjadi karena ambisi?" lelaki itu bicara
panjang-lebar membuat Purbajaya terdesak karena benar dia pernah sakit hati karena urusan kehendak.
Kehendak, bukankah ini pun ambisi?
 "Bisakah manusia menghilangkan ambisinya?" tanya Purbajaya sesudah termenung sejenak.
 "Mungkin tak bisa. Ambisi itu hawa-nafsu. Tuhanlah yang memberinya. Namun Tuhan pun memberi kita
sebuah akal. Akal disimpan di otak. Orang bijaksana bisa memainkan perasaan, akal dan pikiran agar
ambisi yang dipunyainya tidak menimbulkan huru-hara dan membahayakan kehidupan. Kau sudah diberi
semuanya, tinggal kau pilih bagaimana cara memainkannya agar tak membahayakan kehidupan," kata
lelaki itu masih tetap bersila dan bersuara tenang.
 Purbajaya menghela napas mendengar uraian ini. Itulah sulitnya. Tidak semua orang sanggup memainkan
akal, pikiran dan perasaannya untuk digunakan secara wajar tanpa membahayakan kehidupan.
Terkadang orang hanya memainkan perangkat jiwanya untuk kepentingan pribadinya semata. Dan kalau
sudah begini, maka perang ambisi akan timbul di mana-mana dan mencari kemenangan tanpa
mengalahkan orang lain adalah bohong belaka.
 "Saya ini anak keluarga santana dan buntalan ini berisi pakaian dan kepingan uanag logam. Dengan bekal
yang cukup ini, saya ingin bertualang ke wilayah barat," kata Purbajaya mencoba memindahkan
percakapan dari hal yang ruwet-ruwet.
 "Bertualang ke wilayah barat tentu bukan untuk mencari keuntungan dan kesenangan, anak muda ..."
kata lelaki itu.
 Purbajaya kembali menatap penuh selidik.
 "Ya, bukankah keramaian ada di wilayah timur seperti Carbon, misalnya?" lelaki itu menegaskan dengan
nada khusus.
"Saya tak bermaksud berniaga ..."
 "Kalau begitu, hati-hatilah. Kehidupan niaga penuh tipu-daya karena yang dicari hanyalah keuntungan.
Kalau perniagaan tidak dilandaskan kepada aturan agama, itu akan membahayakan," kata lelaki
itu."Namun harap kau ketahui, ada jenis tipu daya yang lebih berbahaya ketimbang tipu-daya dalam
urusan dagang."
 "Apakah itu?" tanya Purbajaya melirik.
 "Bukankah sudah aku katakan kalau manausia itu penuh ambisi? Jagalah ambisimu agar ketika sampai di
wilayah barat kau tidak terperosok ke dalam tindak-tanduk yang membahayakan kehidupan umat," kata
lelaki itu amat mencurigakan Purbajaya.
 "Siapakah Bapak ini? Saya punya keyakinan, Bapak bukan orang sembarangan. Barangkali Bapak
sudah mengenal siapa saya sebenarnya," Purbajaya berjingkat dan berdiri. Dia siap menghadapi segala
kemungkinan.
 Lelaki itu pun ikut berdiri dan jubahnya berkibar-kibar kena tiupan angin pesisir utara.
 "Kalau ketika berada di wilayah Sagaraherang kau tidak mabuk seperti raden Yudakara, barangkali kau
akan tahu siapa aku," jawab orang itu bertolak pinggang dan tertawa.
 Maka terbayang kembali di puri Ki Sunda Sembawa ada lelaki asing mencegat Raden Yudakara
bahkan memukul roboh pemuda bangsawan itu. Purbajaya amat terkejut setelah mengingatnya.
 "Anda Ki Rangga Guna?" teriak Purbajaya kaget dan memasang kuda-kuda siap untuk bertempur.
 "Hahaha, aku memang Rangga Guna!" jawab lelaki itu.
 Dan Purbajaya mengeluh. Belum lagi bergerak memasuki Pakuan sudah diketahui musuh. Ya, Ki
Rangga Guna adalah pencinta Pajajaran. Bagaimana pun tetap akan menganggap Purbajaya sebagai
musuhnya sebab diketahui berkomplot dengan Raden Yudakara. Purbajaya mengeluh. Ki Rangga Guna
ini memiliki ilmu kewiraan amat tinggi. Terbukti Raden Yudakara yang pandai, hanya dalam satu gerakan
santai saja telah terlontar tak berdaya oleh pukulan Ki Rangga Guna.
 Urat-urat di tubuh Purbajaya menegang keras. Dia siap menghadapi ancaman baru yang datang dari Ki
Rangga Guna. Namun aneh, Ki Rangga Guna hanya tertawa-tawa saja.
 "Lanjutkanlah kalau kau mau melakukan perjalanan ke Pakuan," ujarnya membingungkan.
 Purbajaya tetap terpaku di tempatnya.
 "Mengapa masih diam? Katanya mau pergi?" Ki Rangga Guna berkata seperti mengejek.
 "Mengapa engkau tidak menahanku, Ki Rangga?" tanya Purbajaya masih bercuriga.
 "Karena engkau tengah mengemban misi!" kata Ki Rangga Guna.
 "Misiku jahat!" Purbajaya langsung mengaku sebelum dituding orang.
"Tidak, asalkan engkau pandai memilih, anak muda ..."
 Purbajaya tercengang. Aneh sekali, masa orang Pajajaran membiarkan negrinya disusupi musuh?
 Sepertinya Ki Rangga Guna mengerti akan isi hati Purbajaya. Buktinya dia berkata dan mencoba
menerangkan perihal sikapnya.
 "Aku memang orang Pajajaran. Namun kuanggap, Carbon pun Pajajaran juga. Paling tidak, penguasa di
Carbon adalah keturunan Pajajaran. Aku menghargai kepada keturunan yang mau mencoba
meningkatkan keberadaan dan kebesaran leluhur. Namun menjaga kebesaran leluhur tidak selalu musti
mengiktui tata-cara hidup leluhur. Kalau ada tata cara kehidupan baru yang lebih sempurna dan
dijalankan untuk memperkaya kualitas hidup, aku setuju saja. Itu yang aku artikan tentang sikap-sikap
Carbon selama ini."
 "Tapi ... " bantah Purbajaya.
 "Ya, aku tahu, ada beberapa orang Carbon yang tergelincir karena ambisi pribadinya. Itulah sebabnya
aku katakan, kau harus pandai-pandai di Pakuan kelak. Sekali kau ikut tergelincir, maka tak akan ada
maaf bagi petualang-petualang politik," kata Ki Rangga Guna.
 "Benarkah perkataanmu, Ki Rangga?" Purbajaya masih tak percaya akan kesungguhan Ki Rangga Guna
ini.
 "Apa maksudmu, anak muda?" Ki Rangga Guna balik bertanya.
 "Sebab saya tahu anda adalah orang Pajajaran yang ingin membela Pajajaran. Jadi, bagaimana mungkin
membiarkan bahkan mendorong saya melakukan penyusupan ke Pakuan?" tanya Purbajaya masih belum
yakin.
 Ki Rangga Guna tersenyum mendengarnya.
 "Tidak salah. Apa pun terjadi aku tetap orang Pajajaran. Namun aku pun pernah katakan, hanya
kepada orang-orang yang akan merusak aku akan lawan dan halau, sementara kepada yang ingin
membuat Pajajaran menjadi lebih besar aku akan bantu. Aku percaya kepada Kangjeng Susuhunan Jati
dan aku pun percaya kepada pembantunya bernama Pangeran Suwarga," tutur Ki Rangga Guna lagi.
 "Benarkah begitu? Lantas bagaimana dengan Raden Yudakara, misalnya?" tanya Purbajaya.
 "Aku menentang orang itu sebab ia tak berdiri di atas kepentingan Carbon, melainkan karena ambisi
pribadi semata," tutur Ki Rangga Guna lagi.
 "Banyak yang memiliki kepentingan pribadi seperti itu ... " gumam Purbajaya sambil mengerutkan dahi,
kemudian menundukkan wajah.
 "Ya, aku tahu itu. Itulah sebabnya selama ini aku mengawasi mereka. Tujuan-tujuan mulia dari Kangjeng
Susuhunan Jati jangan sampai ternoda oleh perilaku petualang-petualang macam mereka."
 "Syukurlah Ki Rangga Guna berpikiran seperti itu," kata Purbajaya gembira.
 "Ya, pergilah engkau segera sebab perjalanan masih jauh dan marabahaya akan selamanya
mengancammu, anak muda ... "
Ki Rangga Guna berjingkat sepertinya memberi kesempatan kepada Purbajaya agar segera melanjutkan
perjalanannya.
 "Engkau bijaksana terhadap negrimu, Ki Rangga ... " Purbajaya memuji orang tua itu setulus hatinya.
 Mendengar pujian ini, Ki Rangga Guna hanya tersenyum tipis. Dia berpaling dan menatap ke arah barat,
ke dataran rendah wilayah Muaraberes nun jauh di sana.
 "Kehidupan terus berputar, meninggalkan yang lama dan menghadirkan yang baru. Ibarat sebuah
pertunjukanwawayangan , ki dalang sudah tahu jauh sebelumnya akan rentetan ceritera, sehingga dia
bisa menjajarkan golek, kapan yang sudah berlakon dan musti masuk kotak, dan kapan pelakon baru
yang musti naik panggung. Yang baru datang tak perlu sombong dan mencemooh kepada yang lama dan
sebaliknya yang lama tak perlu dengki melihat kehadiran yang baru," kata Ki Rangga Guna dan akhirnya
dia bersenandung dengan nada-nada penuh perasaan.
 Tak akan ada yang baru
bila tak ada yang lama
yang lama peletak dasar kehidupan
yang baru penerus sejarah
yang lama memperjuangkan
kesempurnaan
yang baru menyempurnakan
kalau hidup dan mati untuk kebaikan
maka tak perlu disesalkan yang hidup
dan tak perlu disesalkan yang mati
hidup dan mati
sama-sama penuh arti!
 
 ***
 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa