Langsung ke konten utama

KEMELUT DI CAKRA BUANA 11

MALAM itu Purbajaya tidak bisa tidur. Percakapan Raden Yudakara dan Ki Jayasena membuat
dirinya merasa sebal namun sekaligus juga telah memecahkan salah satu misteri di wilayah Tanjungpura
ini. Benar, dia adalah putra dari penguasa Tanjungpura yang lama dan tewas dalam pertempuran
melawan Carbon. Namun penyebab kematian ayahandanya tidak berdiri sendiri.
 Ayahandanya tidak tewas semata oleh penyerangan namun juga oleh semacam rekaperdaya orang atau
kelompok yang tak menyukai keberadaan ayahandanya. Ayahanda Purbajaya adalah korban perebutan
pengaruh dan kekuasaan di wilayah ini. Kalau mendengar obrolan mereka, Purbajaya bisa memastikan
bahwa Ki Jayasena punya peranan kuat dalam kematian ayahandanya.
 Kalau saja Purbajaya tak bertahan dengan pendapatnya, kalau saja dia tak dengar percakapan mereka,
niscaya dia akan terlibat ke dalam kancah permasalahan dan kepentingan orang lain namun
diatasnamakan sebagai masalah dirinya. Sungguh keji Ki Jayasena.
 Dia melakukan kejahatan dengan menipu orang lain. Pertama dia menipu Purbajaya seolah-olah dia
adalah satu-satunya kerabatnya dan penipuan yang kedua, mengipasi kebencian sehingga seolah-olah Ki
Subangwara merupakan pelaku dan penyebab utama kematian ayahandanya. Amat beruntung Purbajaya
mendengar percakapan mereka sebab kalau tak begitu, maka dia akan terjerumus ke jurang kejahatan
pula dengan mengobarkan dendam membunuh Ki Subangwara seperti apa yang dikehendaki Ki
Jayasena.
 Ya, Purbajaya paham dengan tujuan Ki Jayasena ini. Namun Purbajaya belum bisa menguak teka-teki
mengenai siasat yang tercetus dari benak Raden Yudakara. Katanya dia sengaja akan membiarkan
Purbajaya bercinta dengan putri Juragan Ilun Rosa agar semakin mendekati Ki Subangwara. Kalau benar
Purbajaya akhirnya bisa dekat dengan penguasa Tanjungpura ini, apa pula yang hendak dikerjakan
pemuda aneh dan berbahaya ini?
 Purbajaya belum bisa menebak siasat yang tengah dibangun Raden Yudakara. Namun yang sudah bisa
dia tebak, apa pun yang tengah mereka rancang, tujuannya tetap akan berbuat kejahatan dengan
memanfaatkan dirinya. Untuk itu, di samping dia harus tetap menyelidiki, Purbajaya pun harus semakin
hati-hati berhadapan dengan mereka ini.
 
 *** 
 Tapi masalah dan berbagai godaan terus datang silih berganti.
 Purbajaya sudah memutuskan di dalam hatinya untuk tidak melibatkan perasaan cinta. Sudah dia
putuskan untuk tidak melayani perilaku panas yang dilakukan Nyimas Wulan. Di samping sebenarnya dia
tak memiliki perasaan apa-apa kepada gadis itu, dia pun tak mau hubungan dirinya dengan Nyimas
Wulan dimanfaatkan orang untuk kepentingan hal-hal yang membahayakan.
 Terus-terang, dia memuji, betapa gadis Tanjungpura ini elok-elok. Tapi udara panas wilayah pesisir yang
setiap saat menerpa, telah membuat kaum wanita di wilayah ini berperilaku panas pula. Gadis-gadis di
sini mudah bergelora. Mudah diganggu dan juga mudah mengganggu. Mereka pemberani kalau tak
disebut sebagai tak tahu malu.
 Lihat saja Nyi Sumirah, dengan tak canggung pernah berkata bersedia bercinta dengan Purbajaya kalau
saja tak terikat sebagai "saudara". Belakangan Nyi Sumirah kecewa karena pertalian saudara ini dan
dengan mudahnya memindahkan perasaan cintanya kepada Raden Yudakara.
Yang tak kurang menyebalkan adalah sikap kaum lelakinya. Betapa Ki Jayasena si bandot tua ini gemar
gonta-ganti perempuan. Berapakali dia menikah bukan hitungan sebab perempuan yang tak dia nikahi
namun diperlakukan sebagai istrinya jumlahnya sudah tak terhitung lagi. Sebalnya, bandot ini pun
sepertinya tak mau kenyang.
 Buktinya, hari-hari ini dia tengah mabuk kepayang karena seleranya lagi mengarah kepada Nyimas
Wulan. Sekurang-kurangnya itu yang dituduhkan Raden Yudakara malam itu. Tuduhan ini mungkin benar
sebab dua orang itu perilakunya setali tiga uang. Kedua-duanya sama-sama doyan perempuan. Yang
sama-sama doyan perempuan akan mudah saling tebak kalau sesamanya sedang jatuh cinta.
 Tapi, bagaimana pula dengan perilaku Nyimas Wulan anak keluarga kerabat bangsawan Tanjungpura
ini? Samakah dia dengan gadis-gadis lainnya, yaitu mudah terperangkap gelora cinta?
 Purbajaya memang ada sedikit bangga sebab malam itu Nyimas Wulan menjauhkan diri dari arena
bale-gede di mana yang sibuk berpesta-pora. Apalagi Nyimas Wulan berkata, meninggalkan tempat itu
karena tak mau diganggu dan dirayu Raden Yudakara. Purbajaya bangga sebab gadis itu mengaku
terus-terang kalau dirinya hanya mau menerima Purbajaya saja. Siapa takkan bangga mendapat
kenyataan seperti ini.
 Namun demikian, pemuda ini tetap saja mencurigai kalau Nyimas Wulan pun mudah berperilaku "panas"
pula, sama seperti yang lainnya. Masa baru bertemu sekali saja, gadis itu sudah tak canggung-canggung
mengecup dirinya. Tentu saja, lelaki mana yang tak senang dikecup seorang gadis. Tapi kalau
dipikir-pikir, bisa saja "kecup-mengecup" telah "biasa" dilakukan gadis itu.
 Dan kalau ingat ini, Purbajaya jadi mengeluh. Susah memang mendapatkan cinta sejati kalau yang
dimaksud cinta hanya berbicara perihal berahi saja.
 "Aku perlu hati-hati ...perlu hati-hati," bisiknya di dalam hatinya.
 Namun kenyataan yang terjadi tak demikian. Ketika berjauhan, Purbajaya boleh berjanji akan
mengekang diri. Di saat terjadi lagi pertemuan rahasia, cinta berahi tak bisa dibendung. Di saat itu pula
cinta berahi bergalau ramai. Segalanya serba panas.Udara Tanjungpura juga berahi gadis-gadisnya. Dan
Purbajaya tak bisa menolaknya. Ketaatan kepada agama hampir tersisihkan karena tak pernah ada yang
mengingatkan. Di lingkungan tempatnya kini, jarang-jarang melihat orang melakukan shalat menghadap
Tuhan.
 Yang membuat Purbajaya mau melayani rayuan gadis ini, karena Nyimas Wulan mengaku hanya
mencintai Purbajaya satu-satunya dan mengaku hanya ingin punya teman hidup Purbajaya satu-satunya.
 Purbajaya menghargai gadis itu karena Nyimas Wulan punya harapan. Sementara itu, dirinya menghargai
harapan orang lain dan tidak mau melihat harapan itu terputus di tengah jalan. Purbajaya harus melindungi
harapan Nyimas Wulan dan jangan sampai harapan gadis itu hancur-luluh oleh lelaki tak
bertanggungjawab.
 Namun ketika gadis itu bicara perkawinan, Purbajaya menolak dan minta waktu.
 "Belum saatnya, belum saatnya, Nyimas ... " kata Purbajaya berbisik.
 "Mengapa?" tanya gadis itu lirih dan manja sambil berteduh di dada Purbajaya yang bidang.
Ya, mengapa? Purbajaya tak bisa menjawab dengan tegas. Banyak pertimbangan yang dia pikirkan.
Menikahi gadis ini memang sudah jadi kewajibannya. Namun dia teringat lagi akan ucapan Raden
Yudakara yang katanya akan sengaja membiarkan dia bercinta dan semakin mendekatkan diri kepada
Nyimas Wulan agar kelak bisa dekat kepada penguasa Tanjungpura.
 Ini yang mengkhawatirkannya. Dia takut, perilaku dalam mengencani gadis itu dijadikan oleh Raden
Yudakara sebagai upaya dalam melaksanakan rencana-rencana jahatnya.
 Itulah sebabnya, kendati dengan Nyimas Wulan tetap dekat, tapi sejauh ini Purbajaya tidak pernah
mencoba mendekatkan diri kepada kerabat gadis itu. Bahkan kepada kedua orangtuanya, Purbajaya pun
tak mau mengenalkan diri. Setiap kali melakukan pertemuan, selalu main sembunyi.
 Purbajaya bukannya pengecut. Melainkan tak mau keluarga gadis itu jadi korban kejahatan Raden
Yudakara dan Ki Jayasena. Kalau pun suatu saat dia bertemu dengan keluarga Nyimas Wulan, itu
karena Purbajaya sudah siap untuk meminang. Dan pinangan ini bisa dilakukan bila semuanya sudah
aman dari ancaman kejahatan Raden Yudakara.
 Itulah sebabnya, Purbajaya tak bisa menjawab pertanyaan dan keinginan Nyimas Wulan. Dia tak bisa
kemukakan alasan seperti ini. Kejahatan Ki Jayasena dan Raden Yudakara susah dibuktikan dan
Purbajaya tak bisa bicara sembarangan.
 Purbajaya hanya berjanji kalau dirinya bersedia menikahi gadis itu. Dia sanggup sehidup semati dengan
Nyimas Wulan.
 "Namun kita tak melakukannya secara tergesa-gesa. Perkawinan harus dilakukan dengan persiapan
yang matang," tutur Purbajaya.
 Janji ini diucapkan serius kendati hati kecilnya berkata kalau sebetulnya dia tak mencintai gadis ini. Tapi,
mengapa pula hidup bersama harus selalu didasarkan pada cinta-kasih semata? Tidak selalu. Rasa iba
dan kasihan bahkan rasa tanggung jawab, bisa mengalahkan sebuah perasaan bernama cinta.
 Hatinya berkata kalau cinta-kasihnya sebenarnya telah direbut oleh Nyimas Waningyun, wanita pertama
yang dia temukan. Namun demikian, sejak saat itu pun dia sudah menyadarinya kalau dirinya tak
mungkin bersatu dengan gadis bangsawan Nagri Carbon itu. Nyimas Yuning Purnama yang malah sudah
bersedia ditikahi, dia buyarkan sebab Purbajaya tahu kalau gadis itu tidak mencintainya, melainkan hanya
mau mentaati keinginan orangtua semata.
 Dan kini Purbajaya tidak mencintai Nyimas Wulan namun bersedia mengawini gadis itu. Sungguh aneh
memang. Bersedia menikahi padahal tidak merasa mencintai. Namun Purbajaya tetap bertekad dalam
hatinya. Dia harus mengawini gadis itu. Dia harus menolong kehidupan gadis itu. Lingkungan di mana
Nyimas Wulan berada tidak mendukung agar gadis itu mempertahankan keberadaan dirinya sebagai
gadis terhormat. Godaan dan cobaan akan membuat gadis itu mudah terjerumus ke jurang penderitaan
dan kehinaan.
 Kehidupan di Tanjungpura sepertinya demikian "bebas". Kaum lelaki dengan amat mudahnya mencumbu
dan mengawini kaum perempuan untuk kemudian dicampakkan begitu saja untuk kembali merayu yang
lainnya. Nyimas Wulan begitu bertemu Purbajaya, langsung akrab langsung mesra. Melihat kenyataan ini,
hati Purbajaya merasa terenyuh. Dia akan bersedih kalau gadis secantik dia, sejujur dia dan begitu mudah
mempercayai lelaki, akan dipermainkan lelaki yang tak bertanggungjawab.
 Itulah sebabnya, dia akan berusaha melindungi gadis itu. Akan dia selamatkan gadis itu melalui sebuah
perkawinan yang syah dan murni. Lain daripada itu, Purbajaya pun akan bertanggungjawab. Nyimas
Wulan yang ramah dan menyinta serta mudah percaya pada lelaki dan begitu relanya menyerahkan
cintanya kepadanya, akan disambut oleh Purbajaya dengan sebuah perasaan tanggung jawab.
 Ya,dia harus menikahi gadis itu! 
 ***
 HINGGA sampai pada suatu saat, cinta dan cumbu Nyimas Wulan tak bisa dibendung lagi oleh
pertahanan iman Purbajaya.
 Ketika itu panen padi telah usai dengan hasil cukup melimpah. Untuk menghormati Dewi Sri sebagai
dewi pemberi padi-padian menurut kepercayaankaruhun (nenek-moyang) orang Pajajaran, maka di
Tanjungpura diadakan upacarangidepkeun . Itu adalah suatu upacara tradisi menyimpan padi dileuit
(lumbung) sesudah dikurangi untuk membayarseba (pajak), membayar para pekerja di huma dan
sesudah disisihkan sebagian untuk bibit.
 Ngidepkeun atau upacara menyimpan padi di lumbung akan dilalui pula dengan berbagai keramaian.
Berbagai kesenian rakyat sepertipantun, wawayangan, ngekngek ataujentreng sama diadakan
dengan meriah.
 Upacara menyimpan padi ini diadakan di beberapa tempat, terutama di perkampungan besar yang
banyak terdiri dari tuan tanah. Juragan Ilun Rosa dan Ki Jayasena adalah dua orang tuan tanah yang
banyak memiliki kekayaan huma bahkanranca (rawa) yang di saat kemarau bisa ditanami padi dan di
musim hujan diambil ikannya.
 Di dua perkampungan di mana kedua orang tuan tanah itu tinggal, suka diadakan pesta ngidepkeun
secara besar-besaran. Keduanya seperti bersaing mengadakan pesta hajatan. Kalau yang satu
mengundang juru pantun terbaik, maka yang satunya lagi sama mencari juru pantun terbaik. Kalau salah
satu di antara mereka mengundang panembang dan penari ngekngek yang muda dan cantik-cantik, maka
yang satunya pun melakukan hal yang sama pula. Dua-duanya sepertinya tak mau kalah dari lainnya.
 Malam itu kampung terang benderang karena cahayaoncor (obor) yang dipasang di mana-mana.
Bahkandamar-sewu (pelita berjajar seribu) sama meramaikan malam indah itu. Baik Juragan Ilun Rosa
mau pun Ki Jayasena sama-sama bersaing membuat kampung masing-masing menjadi terang-benderang.
 Malam itu di kediaman Juragan Ilun Rosa diadakan kesenian jentreng dan pantun, sementara di
kediaman Ki Jayasena, selain jentreng yang sudah baku, juga ditampilkan pertunjukan wawayangan. Seni
pantun yang dipanggungkan di kediaman Juragan Ilun Rosa menampilkan ceriteraPua-pua Bermana
Sakti , sementara di kediaman Ki Jayasena, pertunjukan wawayangan menampilkan ceritera mengenai
Pendawa Lilima yang menjemput Dewi Sri(Mapag Dewi Sri) yang tengah berada di sorga maniloka agar
sudi turun ke buana panca tengah untuk mensejahterakan umat manusia dengan menebar padi-padian.
 Dewi Sri demikian lekat di hati masyarakat Pajajaran. Seolah benar, pemberi hidup di muka bumi ini
adalah seorang dewi dari kayangan.
 Dalam upacara ngidepkeun ada caraMapag Dewi Sri . LaguPamegat yanag dilantunkan oleh
rombongan kesenian jentreng adalah sebuah lagu untuk mengundang Dewi Sri hadir di tempat itu. Setelah
itu, disusul lagiPanimang , yaitu menurunkan seikat padi sebagai lambang turunnya Dewi Sri dari
kayangan. Padi yang diturunkan, dijemput olehwali-puun (sesepuh) sambil membawa pakaian wanita
dan kemudian dikenakan kepada ikatan padi sambil diiringi oleh laguPamapag (penjemput Dewi Sri).
Di belakangnya satu barisan wanita berpakaian indah-indah melakukan tarian sambil di tangannya
membawa mangkuk-mangkuk yang berisi bunga-bungaan, minyak kelapa, pohon hanjuang, beras dan
tektek (lipatan dauan sirih). Ikatan padi yang dijemput itu ditaburi beras dan bunga-bungaan sebagai
penghormatan kepada"Dewi Sri" yang telah berkenan "hadir".
 Setelah upacaranetepkeun , yaitu menyimpan padi di lumbung, maka berlangsunglah acara hiburan.
Kaum lelaki memakai bendo, berpakaian bedahan lima dan berkain batik dengan keris bersampur (diikat
selendang sutra) di pinggang, menari bersama kaum wanita yang berpakaian indah dan berparas
elok-elok. Sementara yang muda-muda, terutama para gadis, saling berebutan untuk mendapatkan bekas
sesaji, bahkan butir-butir kemenyan untuk banyak keperluan, seperti ingin awet muda, ingin cantik atau
karena ingin segera mendapatkan jodoh.
 Dan ketika melihat pertunjukan ini, Purbajaya jadi ingat Nyimas Wulan. Purbajaya berada di tempat
pesta keluarga Ki Jayasena, sementara Nyimas Wulan berada jauh di sebelah selatan di kediaman
Juragan Ilun Rosa, ayahandanya. Apakah gadis itu pun tengah mengingat dirinya pula? 
 Maka ketika muda-mudi lain larut dalam kegembiraan, Purbajaya malah menyelinap pergi untuk pergi
menuju kediaman Juragan Ilun Rosa.
 Ya, sejauh ini Purbajaya masih tetap mengaku ak mencintai gadis itu namun bukan berarti tidak
menyayanginya. Kini Purbajaya telah menyayangi gadis itu setelah Purbajaya merasa banyak menerima
kebaikan cinta yang diberikan gadis itu. Dan manakala melhat muda-mudi brsuka-ria, Purbajaya tak bisa
menahan kerinduan untuk menemui Nyimas Wulan. Itulah sebabnya dia menyelinap pergi untuk menemui
gadis itu.
 Rumah kediaman Juragan Ilun Rosa tidak begitu jauh. Letaknya agak ke sebelah selatan dari kediaman
Ki Jayasena. Kedua orang itu termasuk keluargasantana (masyarakat pertengahan), Juragan Ilun Rosa
malah disebut-sebut sebagai keluarga bangsawan karena kekerabatan yang dekat kepada Kandagalante
Subangwara.
 Namun baik Juragan Ilun Rosa mau pun Ki Jayasena, sama-sama sebagai orang kaya yang banyak
memiliki tanah pertanian yang luas. Huma dan palawija di sekitar wilayah Tanjungpura boleh dikata
mereka yang punya. Baik Juragan Ilun Rosa mau pun Ki Jayasena sama-sama memiliki usaha perikanan
payau dan usaha perairan di sepanjang sungai Citarum. Keduanya dikenal oleh masyarakat Tanjungpura
sebagai orang-orang kaya tapi keduanya tak pernah saling bersatu. Mereka memang tak bermusuhan
namun juga tidak bersahabat. Dan keduanya selalu menjaga jarak untuk tidak saling berhubungan.
 Mudah diduga bila hal ini terjadi sebab Ki Jayasena punya kebencian kepada Kandagalante
Subangwara, sementara Juragan Ilun Rosa adalah kerabat dekatnya. Namun dasar bandot, kendati
kepada bapaknya benci, kepada putrinya, Nyimas Wulan, Ki jayasena malah cinta setengah mati.
 Tempo hari Purbajaya ditegur karena diketahui berdekatan dengan gadis itu. Teguran Ki Jayasena
diartikan Purbajaya sebagai memiliki tujuan ganda. Ki Jayasena melarang Purbajaya mendekati Nyimas
Wulan karena gadis itu keabat musuh besarnya. Namun juga Ki Jayasena melarang dia mencintai gadis
itu karena dia yang ingin mengambil bunga mekar itu.
 Purbajaya sebal dengan kejadian ini. Cintanya tak pernah mulus karena selalu dihadang pihak-pihak lain
yang juga amat berkepentingan dengan urusan ini. Tak dinyana, pesaingnya kini adalah bandot tua.
Mengaku "paman"nya lagi!
Namun kali ini, rasanya dia tak perlu mengalah. Kepada Raden Ranggasena dari Carbon atau pun
kepada Aditia dari Sumedanglarang, dia mau mengalah sebab ingin beri kesempatan kepada sesama
kaum muda. Tapi kepada Ki Jayasena lain lagi. Orang tua bangkotan itu sudah terbiasa kawin-cerai dan
kepada gadis-gadis muda begitu lahapnya bagaikan kambing melahap daun muda. Jangan hanya karena
gemar mengalah dalam urusan cinta, maka kali ini Purbajaya pun musti mengalah pula kepada bandot tua.
Tidak, dia tak terima itu.
 Maka keputusan batinnya ini telah dijadikannya sebagai pemicu semangat dalam mendapatkan kasih
Nyimas Wulan.
 Jalan berbatu dan terkadang bercampur debu tana merah tak menjadikannya sebagai halangan ketika
Purbajaya berjalan di malam gelap. Yang penting, dia bisa menemui gadis itu.
 Ketika dia tengah berjalan cepat, di depannya ada gelebur cahaya obor. Siapakah malam-malam
berjalan sendirian berbekal obor? Purbajaya menyipitkan matanya karena ingin melihat jelas.
 "Wulan!" teriak Purbajaya gembira. Dadanya berdebar.
 Gadis pembawa obor itu sejenak berhenti karena kaget ditegur orang. Dia menyipitkan mata karena
silau oleh cahaya obor. Setelah yakin yang memanggilnya adalah Purbajaya, Nyimas Wulan serta-merta
melemparkan batang obor dan dia segera manghambur ke arah di mana Purbajaya berada. Purbajaya
pun sama berlari mendekat. Hingga sampai suatu saat keduanya saling bertubrukan disertai peluk-cium.
 "Nyimas ... "
 "Purba ... "
 Diam sejenak kecuali napas-napas dengan dengus keras karena hentakan-hentakan berahi yang tak
tertahankan.
 "Nyimas, mengapa kau kemari?"
 "Engkau pun mengapa kemari, Purba ...?"
 "Karena ingin bertemu denganmu ... "
 "Itu pula yang aku inginkan, Purba ..."
 "Oh, Nyimas ... "
 "Purba ... "
 Sepasang insan muda-mudi ini saling peluk erat, saling kecup mata, saling kecup pipi dan berakhir pada
saling kecup bibir. Dua tubuh yang berkuketan tak mau lepas ini akhirnya jatuh berdebum di atas tanah
berdebu warna merah. Namun debu kotor tidak mereka hiraukan sebab dua tubuh yang menyatu erat ini
bergulingan ke sana ke mari seperti cacing kepanasan laiknya. Tanah berdebu yang kotor mereka
jadikan alas tidur empuk dan udara terbuka dengan terpaan angin pesisir mereka jadikan selimut
penghangat. Oh, ya. Semuanya sudah tak perlu lagi sebab gelora cinta mereka sudah merupakan
penghangat berahi.
 Entah berapa lama mereka bergumul. Tahu-tahu di tempat itu sudah berdiri seseorang berbekal obor.
Purbajaya sungguh terkejut sebab yang datang ternyata Ki Jayasena. Maka buru-buru dia dan Nyimas
Wulan bangun sambil menepuk-nepuk debu yang melekat di badan.
 Ki Jayasena menatap adegan cumbu-rayu dengan mata melotot dan gigi berkerot saking marahnya.
 "Hm .... Bagus. Bagus sekali, ya ...!" gumamnya dengan tubuh menggigil seperti kena demam.
Serta-merta Ki Jayasena mencabut golok yang telah siap di pinggang. Obor yang dibawanya serta-merta
dilemparkan ke tubuh Purbajaya. Sesudah itu, Purbajaya pun segera diserangnya dengan
sabetan-sabetan golok.
 Purbajaya terpaksa mendorong tubuh Nyimas Wulan yang ketika itu masih memeluk erat tubuhnya. Dia
ingin serangan ganas ini hanya mengarah padanya saja dan tidak melukai tubuh molek Nyimas Wulan.
 Lemparan batang obor yang cahayanya menggelebur, bukanlah lemparan biasa, melainkan sebuah
lemparan yang disertai tenaga dalam yang cukup tinggi. Demikian pun ketika sabetan-sabetan golok itu
tidak sekadar ganas saja, namun juga disertai tenaga dalam yang kuat. Desiran angin karena golok
menyabet teasa dingn menerpa pipi Purbajaya. Kalau saja yang menerima serangan ini orang biasa, maka
bukan saja tubuhnya akan hangus terpanggang api, namun juga akan kena sabetan golok yang terlihat
mengkilap saking tajamnya.
 Namun sebodoh-bodohnya Purbajaya, bagaimana pun dia adalah murid terkasih Ki Jayaratu, tokoh
yang disegani di Nagri Carbon. Maka ketika menerima serangan deras dan membabi-buta dari Ki
Jayasena, tangan kanannya segera melakukan tangkisan. Percikan bunga api muncrat ke sana ke mari
ketika gagang obor hancur berantakan. Purbajaya terus mengebut-ngebutkan kedua tangannya agar
bunga api tidak menempel, baik pada pakaian Nymas Wulan, mau pun pada pakaiannya sendiri.
 Purbajaya masih belum mau membalas serangan, selain tidak berniat, ditambah lagi oleh ganasnya
serangan Ki Jayaratu yang datang tiada hentinya. Dan melihat serangan-serangan ganas ini, Purbajaya
merasa kalau Ki Jayasena ini berniat akan membunuhnya atau paling tidak ingin membuatnya terluka
parah. Oleh karena ini, Purbjaya terpaksa melakukan tangkisan-tangkisan yang menyertakan tenaga
dalam pula.
 Terasa ngilu dan nyeri pergelangan tangan Purbajaya manakala melakukan sampokan ke arah golok,
pertanda Ki Jayasena memiliki tenaa dalam yang kuat pula. Purbajaya harus melakukan perkelahian
dengan amat hati-hati jangan sampai tubuhnya terluka oleh serangan ganas ini. Dia menahan serangan
sambil berusaha melindngi Nyimas Wulan. Dia tak ingin gadis itu terluka oleh ganasnya serangan Ki
Jayasena.
 Namun untunglah, Ki Jayasena rupanya tak berniat mencelakakan Nyimas Wualan sebab yang
dicecarnya hanya Purbajaya seorang.
 Ketika serangan golok Ki Jayasena bisa ditepis, terlihat ada pertahanan yang kosong pada bagian tubuh
orang tua ini. Pertahanan kosong terkuak karena serangan glok arahnya jadi melenceng oleh tepisan
tangan Purbajaya. Namun peluang untuk melakukan serangan balik amatlah tipisnya karena Purbajaya
yakin, Ki Jayasena pasti akan mengulangi serangannya yang barusan gagal. Namun sebelum golok
kembali disabetkan mengarah ubun-ubun, dari arah bagian bawah Purbajaya segera menohok ulu hati Ki
Jayasena dengan kecepatan yang sulit diukur. 
 Tohokan ini telak mengarah ulu hati dan terdengar Ki Jayasena mengeluh pendek namun bisa diduga ini
merupakan keluhan tanda kesakitan. Sebelum Ki Jayasena hilang rasa erkejutnya, tohokan kedua sudah
datang lagi. Kali ini lebih telak dan lebih keras. Akibatnya, tubuh Ki Jayasena terlontar ke belakang dan
tubuhnya jatuh berdebuk di atas tanah yang mengandung bebatuan. Sudah barang tentu sakitnya bukan
alang-kepalang sehingga tak sadar mulut Ki Jayasena terkaing-kaing seperti anjing kena gebuk batang
rotan.
 Purbajaya terkejut oleh ulahnya ini dan segera berjingkat hendak bangunkan tubuh Ki Jayasena, ketika
secara tiba-tiba datang pula seseorang ke tempat itu.
 Dan untuk kedua kalinya Purbajaya terkejut sebab yang datang kali ini adalah Raden Yudakara.
 "Anak kurang ajar, masa kepada pamanmu sendiri berlaku tak senonoh seperti ini? Apa kesalahan dia,
hah?" cerca Raden Yudakara menghambur mendekati Purbajaya.
 Purbajaya tak mau menjawabnya, apalagi Raden Yudakara langsung melakukan serangan. Hanya
anehnya, serangan tidak dilakukan sepenuh hati. Buktinya, serangan itu bisa dihindarkan dengan amat
mudahnya. Siasat apa pula sehingga pemuda aneh ini tak melakukan serangan secara sungguh-sungguh?
 Serangan yang kedua tak dilakukan Raden Yudakara. Dia hanya berkacak pinggang saja sambil
menatap Purbajaya.
 "Hati-hati Purba, dia adalah pamanmu sendiri," kata pemuda itu."Aku tak suka ada orang muda tak
menghargai yang tua,"lanjutnya lagi.
 Purbajaya tahu, kemarahan Raden Yudakara ini hanya sandiwara belaka, namun apa perlunya? Tokh
yang dia bela sebenarnya jelas-jelas kaki-tangannya sendiri. Mustinya kalau mau bela, belalah dengan
benar. Mengapa Raden Yudakara tidak menyerang sungguhan sehingga Purbajaya menderita luka,
misalnya? Nampaknya dia pura-pura marah hanya agar Ki Jayasena merasa puas saja Purbajaya
didamprat "atasan"nya.
 Dan kali ini Purbajaya pun terpaksa jadi ikut bersandiwara, tak melakukan pembelaan apa-apa.
Kerjanya hanya menunduk saja seperti seoang murid dimarahi gurunya.
 "Ada apa ini, paman dan keponakan saling gebot seperti ini? Memalukan sekali ... " tanya lagi Raden
Yudakara dengan nada menunjukkan tak senang.
 "Dia!" Ki Jayasena menunjuk hidung Purbajaya.
 "Dia apa?" tanya lagi Raden Yudakara.
 "Dia bercinta dengan gadis itu!" jawab Ki Jayasena memberengut seperti anak kecil.
 "Sudah biasa sesama anak muda saling bercinta, apanya yang aneh?" tanya Raden Yudakara heran.
 "Tapi ... "
 "Tapi apa, Jayasena?"
 "Dia bercinta dengan anak seseorang yang saya tidak suka!"jawab Ki Jayasena akhirnya.
 "Ah. Malah sungguh mulialah bila kita sanggup berbesan dengan orang yang tidak kita sukai. Dengan
demikian kita bisa mengukir hidup baru melalui persahabatan. Bukan begitu, hai gadis elok?" tanya
Raden Yudakara seraya mengerling tajam kepada Nyimas Wulan yang tersipu-sipu karena percakapan
yang menyangkut dirinya ini. Namun demikan, gadis itu masih memiliki rasa penasaran. Buktinya dia
mengajukan pertanyaan kepada Ki Jayasena.
 "Sebenarnya apakah kesalahan ayahanda kepadamu, Paman?" ucapnya.
 "Ah, hanya masalah kecil saja, gadis cantik," Raden Yudakara yang menjawab, membuat Nyimas Wulan
tersipu karena pujian."Sesudah kau menjadi istri adikku Purbajaya, maka semua urusan bereslah sudah,"
lanjut Raden Yudakara membuat Nyimas Wulan tersenyum bahagia dan wajahnya penuh rasa terima
kasih kepada Raden Yudakara yang mungkin terasa begitu memperhatikan dirinya.
 "Terima kasih bila begitu," sambut Nyimas Wulan ceria."Selama ini Paman Jayasena selalu baik bahkan
terlalu baik kepada saya. Makanya sungguh tak percaya kalau engkau bisa membenci ayahanda," tutur
Nyimas Wulan lugu.
 Sementara itu dari kejauhan dari arah selatan terlihat gelebur beberapa cahaya obor.
 "Wulan, kau pasti dicari keluargamu ... " desis Raden Yudakara memperingatkan.
 Purbajaya pun sama menduga kalau yang datang adalah rombongan yang tengah mencari Nyimas Wulan
karena mungkin gadis itu pergi sendirian tanda meminta izin pada siapa pun. Dan kalau benar begitu,
kejadian ini tentu akan jadi perhatian pihak keluarga Juragan Ilun Rosa.
 "Cepat kau hampiri dan pulang bersama mereka," kata Raden Yudakara.
 Rupanya Nyimas Wulan pun mengerti situasi. Maka sesudah berpandangan sejenak dengan Purbajaya,
gadis itu segera berlari kecil menuju ke tempat dari mana rombongan itu muncul.
 "Ayo kita pulang dan jangan biarkan mereka tahu kalau kita berada di sini ..." kata Raden Yudakara
sambil duluan berlalu dari tempat ini.
 "Si Purba ini yang menculik gadis itu, mengapa malah kita yang kelabakan?" tanya Ki Jayasena tak puas.
 "Tentu. Tapi kesalahan dari kita seorang akan menjadi tanggung jawab bersama. Makanya kesulitan ini
jangan sampai terjadi. Ayo cepat kita pergi!" ajak lagi Raden Yudakara.
 Akhirnya mereka beriringan kembali ke wilayah utara.
 
 ***
 
 Namun di kediaman Ki Jayasena terjadi lagi kegaduhan. Kali ini, Ki Jayasena kembali mendapat giliran
kena semprot Raden Yudakara. Purbajaya mencuri dengar dari tempat sembunyi, betapa Raden
Yudakara amat kesal terhadap ulah Ki Jayasena yang dianggapnya kekanak-kanakan.
 "Si Purba itu bodoh dalam bercinta. Akan tetapi engkau yang bangkotan malah mau merendahkan diri
rebutan perempuan dan menjadi pesaingnya!" cerca Raden Yudakara.
 "Tapi Si Wulan sejak masih ingusan telah saya intip dan amati. Jadi siapa tidak akan kesal sesudah dia
anum dan dewasa malah diambil orang, anak setan lagi!" jawab Ki Jayasena gemas. Namun kembali
Raden Yudakara mencerca orang tua itu sebagai bangkotan yang dungu.
 "Sudah aku katakan, Si Purba itu bodoh dalam bercinta. Coba saja simak, sebentar lagi gadis itu sudah
lepas dari pelukannya," kata lagi Raden Yudakara dan terdengar amat menyakitkan telinga Purbajaya
yang mencuri dengar.
 "Tapi bukankah Raden tadi katakan kalau anak setan itu akan Raden jodohkan dengan Nyimas Wulan?"
Ki Jayasena berkata khawatir.
 "Yang namanya akan itu artinya belum, tolol! Mengapa perasaan khawatirmu sudah kau dahulukan? Uh,
dasar bangkotan bodoh!" cerca lagi Raden Yudakara.
 "Maksud Raden, di saat Si Wulan akan dijodohkan, maka gadis ranum itu cepat-cepat kita sabet,
begitu?" tanya Ki Jayasena penuh semangat.
 "Tidak persis seperti itu ... " gumam Raden Yudakara.
 "Jadi, bagaimana?" Ki Jayasena tak sabar."Bagaimana kalau Si Sumirah anak saya saja kita berikan
pada Si Purba agar pupuslah sudah persaingan kami?"
 "Apa?" potong Raden Yudakara dengan suara geram.
 "Maksud saya, kalau Raden sudah bosan kepada Si Sumirah, bolehlah dilepaskan dan berikan sama Si
Purba ..." Ki Jayasena berkata penuh rasa takut.
 "Engkau ini mengoper-oper perempuan seperti orang mengoper kambing saja, Sena ... " omel Raden
udakara dengan nada sebal.
 "Bukan itu maksud saya, Raden ... "
 "Sudahlah, jangan ganggu aku, aku tengah berpikir!"
 Diam sejenak. Sampai pada suatu saat Purbajaya mendengar siasat-siasat yang tengah dirancang
pemuda aneh itu.
 "Hanya Kandagalante Subangwara yang bisa mengirimkan Si Purbajaya ke Pakuan ... " gumam Raden
Yudakara.
 "Mengapa tidak Raden saja yang mengirimkannya?" tanya Ki Jayasena.
 "Tidak. Tidak mungkin. Pamanku yang bodoh Ki Sunda Sembawa kerjanya buruk dan ceroboh. Aku
sudah dengar kalau Ki Yogascitra pejabat Pakuan sudah mencurigai tindak-tanduk Ki Sunda Sembawa
yanag selalu kasak-kusuk di Sagaraherang. Kalau aku datang ke Pakuan dan diketahui aku sebagai
kerabat Ki Sunda Sembawa, bisa pupuslah semua rencanaku. Mati aku kalau semua orang Pakuan
sama-sama jadi mencurigaiku ..."
 "Ki Yogascitra? Bukankah dia pejabatpuhawang (akhli kebaharian di Pakuan?" tanya Ki
Jayasena."Benar, Sena ..."
 "Bukankah Si Purbajaya mau Raden pekerjakan di puri Yogascitra sebab anak dungu itu dianggap ahli 
kelautan?" tanya Ki Jayasena lagi.
 "Memang benar sekali, Sena. Aku ingin susupkan Si Purbajaya ke puri Yogascitra untuk mengamati
tindak-tanduk pejabat itu," jawab Raden Yudakara.
 "Sungguh riskan melepas anak bengal itu berjalan sendirian. Bagaimana kalau dia malah bergabung
dengan Pakuan dan membuka rahasia keberadaan kita?" Ki Jayasena bertanya penuh rasa khawatir.
 "Anak itu rewel, gemar bertanya ini-itu dan sesekali suka membantah pada pendapatku. Namun sudah
aku teliti, anak itu memang bodoh dan lugu. Dia buta politik. Hanya karena dia putra dari penguasa
Tanjungpura yang amat disegani pihak Pakuan saja maka aku tetap mau memanfaatkan anak itu. Si
Purba di Pakuan akan dihargai dan dipercaya karena ayahandanya amat dihargai kesetiaannya. Itu amat
menguntungkan kita. Itulah sebabnya, aku tetap butuh dia. Dan aku pun percaya, dia akan tetap ikut kita.
Di samping dia lugu dan awam terhadap kehidupan politik, dia pun terikat oleh sesuatu yang tak mungkin
dia lepas. Dia banyak salah. Di Sumedanglarang dia bersalah, begitu pun di Carbon. Hanya aku yang
bisa melindunginya. Itulah sebabnya dia akan tetap ikut aku untuk bisa kembali ke Carbon."
 "Kalau dia tetap mau memisahkan diri dari kita?"
 "Hm ... Di Pakuan belasan bahkan puluhan orang-orangku sudah siap-sedia mengawalnya. Kalau terlihat
mencurigakan, anak-buahku akan membunuhnya di Pakuan sana ... " Raden Yudakara mendengus.
 Ki Jayasena memuji jalan pikiran Raden Yudakara ini.
 "Baru saya mengerti, mengapa Raden begitu "membela" anak setan itu. Saya pun mengerti, mengapa Si
Purba harus punya hubungan baik dengan Ki Subangwara penguasa Tanjungpura yang sekarang," kata
Ki Jayasena.
 "Nah, otakmu mulai cemerlang, Sena. Memang begitulah maksudku," ujar Raden
Yudakara."Kandagalante Subangwara dihargai oleh penguasa Pakuan karena kesetiaannya juga. Jadi
kalau Si Purba dikirim ke Pakuan atas nama Kandagalante Subangwara, ini akan sangat memudahkan
rencana-rencana kita," ujar Raden Yudakara lagi.
 "Saya percaya padamu dan saya berjanji akan selalu mentaatimu, Raden ... " kata Ki Jayasena amat
merendah da hormat sekali.
 ***
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa