Langsung ke konten utama

KEMELUT DI CAKRA BUANA 10

PURBAJAYA masih sangsi akan kenyataan ini. Benarkah Ki Jayasena ini pamannya? Dia belum
sepenuhnya percaya. Sikap Ki Jayasena mencurigakan. Purbajaya pernah memergoki Ki Jayasena
marah habis-habisan kepada orang yang pernah ngobrol dengan Purbajaya di saat Purbajaya menunggu
saat pertemuan dengannya. Purbajaya teringat, waktu itu pembantu Ki Jayasena heran ketika Purbajaya
mengaku kerabat penghuni di sini.
Bahkan ketika disebutkan bahwa Ki Jayasena adalah kerabat ayahanda Purbajaya, pembantu itu pun
heran. Sepertinya pembantu itu menyangsikan ucapannya ini. Dan Ki Jayasena memarahi pembantu itu
karena masalah ini.
"Kalau kau banyak bicara lagi, kau akan kubunuh!" desis Ki Jayasena kepada pembantunya.
Purbajaya penasaran melihat peristiwa ini. Maka dia memutuskan untuk menemui pembantu itu. Namun
sudah beberapa hari si pembantu tak kelihatan batang-hidungnya. Bahkan sepertinya orang itu lenyap
ditelan bumi karena Purbajaya tidak bisa menemukan di mana dia berada. Purbajaya coba tanya
sana-sini, tidak seorang pun berkata pernah kenal pembantu itu.
"Siapa sih namanya?" tanya seorang pembantu yang sempat Purbajaya tanyai.
Ditanya begini Purbajaya garuk-garuk kepala. Dia memang tak sempat mengetahui nama orang itu.
"Dia bertubuh gemuk, kumisnya jarang dan sudah beruban," kata Purbajaya menjelaskan. Namun yang
ditanya hanya mengerutkan alis.
"Juragan Jayasena banyak memiliki pembantu. Kadang-kadang kerja belum begitu lama, sudah minta
berhenti. Dengan begitu, kami tak sempat lama berkenalan dengan sesama pembantu," kata orang itu
membuat Purbajaya kecewa.
Akhirnya pencarian dihentikan. Dia tanya sana-sini secara diam-diam karena tak mau dicurigai Ki
Jayasena. Namun karena mengambil cara seperti itu, maka upaya pencarian semakin sulit. Pembantu
yang dia cari, hilang misterius.
Namun ini bukan berarti Purbajaya putus asa. Hilangnya si gemuk berkumis jarang itu bahkan semakin
menambah kecurigaan di hatinya. Rasanya seisi kampung ini bersikap aneh. Masa ada seorang pembantu
yang hilang, seorang pun tak pernah mempertanyakannya.
***
 
 KI Jayasena punya seorang anak gadis bernama Nyi Sumirah. Gadis ini sudah tak memiliki ibu karena
sejak kecil telah ditinggal mati. Yang kaya dimiliki oleh gadis itu malah ibu tirinya. Kata penghuni di sini,
bulan lalu Ki Jayasena baru saja melangsungkan pernikahan dengan gadis yang usianya sebaya putrinya.
Herannya, Nyi Sumirah sendiri belum mau menikah. Usianya sudah cukup, sekitar tujuhbelasan. Padahal
di tempat itu, banyak anak gadis usia dini sudah cerai-kawin beberapa kali.
 Dalam beberapa hari saja, Purbajaya sudah kenal baik kepada Nyi Sumirah. Ternyata dia adalah gadis
manja. Setiap hari kerjanya hanya ingin dilayani oleh inang pengasuhnya saja. Tak pernah mengerjakan
pekerjaan yang bersifat kewanitaan kecuali bermain-main saja.
 Nyi Sumirah pun banyak temannya, baik sesama wanita mau pun kaum pria. Dan nampaknya hubungan
di antara mereka terlalu akrab dan hampir tak ada batasnya. Kalau bulan lagi purnama, katanya
anak-anak muda di sini senang bergerombol saling bercengkrama.
 Malam ini bulan lagi purnama. Purbajaya bisa menyaksikan, betapa di bangunan bernamabale gede
banyak berkumpul pasangan remaja. Mereka mengobrol atau saling membuat lelucon dan yang pria
menggoda yang wanita. Maka sebentar-sebentar terdengar kekeh dan tawa cekikikan. Ada juga selingan
suara jeritan kecil wanita karena mungkin digoda pria.
 Purbajaya tidak mau melibatkan diri ke sana. Terbayang kembali peristiwa buruk ribut-ribut sesama
pemuda karena rebutan perhatian gadis. Itulah sebabnya, Purbajaya hanya menyaksikan saja dari tempat
agak jauh.
 Namun ketika dia tengah duduk-duduk di bale-bale dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Ternyata
Nyi Sumirah yang datang.
 "Mengapa engkau memisahkan diri di sini?" tanya gadis itu dengan suara ketus.
 Menerima kehadiran gadis ini sebenarnya hati Purbajaya merasa terganggu. Dia ingin menatap
benderangnya cahaya bulan sambil mengawasi keceriaan anak-anak muda itu. Hatinya sudah terpuaskan
karena pemandangan ini amat indah. Dan merasakan situasi ini, Purbajaya jadi ingat kenangan. Ya,
cahaya bulan dan cinta baginya serasa sebuah perpaduan yang tak bisa terpisahkan. Hanya saja, bulan
pun jadi kepedihan hatinya sebab dalam cahaya bulan ini cinta tak hadir dalam dirinya.
 Sudah tak ada Nyimas Waningyun, sudah tak ada Nyimas Yuning Purnama. Pedih. Namun pedih dalam
keindahan. Sebab kepedihan apa pun bila sudah menjadi kenangan, sebenarnya jadi terasa indah. Indah
untuk direnungi sendiri tanpa siapa pun mengganggu. Sekarang malah Nyi Sumirah datang mengganggu.
Sambil bicara ketus, lagi.
 "Ada, Nyai?" tanya Purbajaya mengerutkan dahi.
 "Engkau menyinggung perasaan orang lain, Purba ... " omel gadis itu masih cemberut.
 "Saya? Menyinggung perasaan orang lain? Rasanya saya tak ganggu siapa pun. Dari tadi saya
memisahkan diri di sini saja ..." jawab Purbajaya heran.
"Nah, itulah yanag membuat orang tersinggung. Melamun dan memisahkan diri dari yang lain, hanya
membuat kegembiraan orang jadi terganggu. Bukankah itu menyinggung perasaan orang lain yang lagi
gembira? Kau lihat petani miskin di daerah pesisir, betapa kemiskinan mereka mengganggu kegembiraan
kita. Padahal kita yang hidup berkecukupan inginnya setiap waktu bergembira, tidak
menyedih-nyedihkan diri kita sendiri atau pun tidak memelas karena melihat orang lain menderita. Tapi
kalau aku sedang makan enak, lantas ada orang miskin lewat, selera makanku jadi berkurang. Dan aku
terganggu sebab aku musti memberinya sedekah. Itu pula yang aku rasakan di saat aku lihat kau duduk
termenung seorang diri. Serasa menggangggu kegembiraanku," kata Nyi Sumirah lantang.
 "Jangan kau sombong hanya karena hidupmu bahagia, Nyai ..." kata Purbajaya tersenyum kecut.
 "Bahkan aku rasakan, orang yang lagi menderitalah yang sombong!" tukas gadis itu membuat Purbajaya
heran.
 "Ya, banyak orang yang menyombongkan diri karena memiliki derita. Dia perlihatkan derita itu kepada
semua orang. Dia katakan kepada orang lain kalau dirinyalah yang punya ependeritaan dan kepahitan
hidup. Itulah sombong, disangkanya orang lain tak punya penderitaan. Kalau kau punya masalah hidup
lantas memisahkan diri, apakah kau sangka aku yang senang bergembira dan senang berkumpul dengan
orang lain ini tidak punya permasalahan hidup? Sombong sekali engkau ...." omel lagi Nyi Sumirah.
 "Tapi Nyai ... "
 "Maksudmu, penderitaanmu lebih besar dan lebih parah dari aku, begitu, ya? Nah, itulah kesombongan
orang yang mengaku menderita," potong gadis itu tak memberi kesempatan Purbajaya berbicara.
 "Malah saya tak punya penderitaaan apa pun, Nyai ..." Purbajaya memotong kalimat.
 "Apalagi begitu, maka engkau semakin sombong juga!" tukas Nyi Sumirah tak memberi hati.
 Purbajaya jadi serba salah untuk berdebat dengan gadis ini.
 "Jadi saya musti bagaimana?" keluh Purbajaya akhirnya.
 "Musti bagaimana, musti bagaimna. Ya, bergabunglah dengan kami, perlihatkan seolah-olah kau pun
punya akewsatuan pendapat dalam hal kegembiraan di bulan purnama ini. Lagi pula kau musti gabung
sabab ada seseorang ingin bertemu kau," kata Nyi Sumirah.
 "Seseorang ...?"
 "Ya. Sayang, ya ... "
 "Mengapa sayang?"
 "Kau saudaraku. Padahal kalau bukan, aku senang bercengkrama denganmu."
 "Oh ... "
 "Tapi kau bakal punya pasangan. Lihatlah dia datang!" kata Nyi Sumirah menunjuk seseorang yang
datang. Seorang gadis.
 Dia gadis rupawan. Wala hanya diterangi cahaya bulan, wajah gadis itu cantik. Mungkin kulitnya hitam 
manis sebab ketika terkena cahaya bulan, wajah itu tak putih pucat.
 "Ini dia Nyimas Wulan. Purba, ayo kenalan dengannya!" Nyi Sumirah membetot tangan gadis yang baru
datang dan ditempelkannya pada lengan Purbajaya. Sudah barang tentu Purbajaya melengos sambil
tersipu malu. Gadis bernama Nyimas Wulan hanya tersenyum saja. Mungkin merasa lucu melihat
Purbajaya tertunduk-tunduk malu.
 "Ayo cepat kenalan dengan putri terkasih Juragan Ilun Rosa. Eh, kok seperti tikus takut kucing. Wulan,
kenapa diam saja. Tadi kau cari-cari Purbajaya?" Nyi Sumirah terus menggoda keduanya"Hus, siapa
bilang?"
 "Nah, mau bohong, ya? Bila Purbajaya tak ada kau suka tanya sana-sini. Sekarang malah pura-pura tak
butuh," kata lagi Nyi Sumirah.
 "Ah ... bohong itu. Bohong itu!" Nyimas Wulan pura-pura marah menjadikan hati Purbajaya jadi
canggung.
 "Ah, kehadiran saya jadi mengganggu kalian. Saya mau pulang, ah ... " kata Purbajaya berjingkat karena
selalu serba salah. Gadais-gadis Tanjungpura ternyata berani-berani dan amat menantang. Purbajaya tak
biasa menghadapinya. Maka dia pilih pergi saja dari tempat itu.
 "Hai jangan begitu. Sombong kau, ya?" lagi-lagi Nyi Sumirah mencercanya. Dan Purbajaya tak jadi
pergi. Dia riskan dengan tuduhan sombong kepada dirinya itu.
 Purbajaya kembali duduk di bale-bale tapi sambil hati tak enak sebab para pemuda di ruangan bale
gede sudah terlihat memperhatikan dirinya.
 "Saya mau pergi saja," Purbajaya kembali berjingkat. Dia takut disatroni para pemuda yang tersinggung
karena terlihat "dikepung" dua gadis yang sebetulnya tadi tengah bergabung dengan mereka.
 Untung saja dalam suasana serba kikuk itu hadir Raden Yudakara. Dengan demikian, keadaan agak
berubah sebab pemuda pesolek ini mengambil-alih kendali percakapan. Namun demikian, Purbajaya
timbul rasa sebalnya. Sudah pasti, bila pemuda ini berhadapan dengan wanita akan timbul penyakitnya.
 "Oh hai, rembulan di atas sana sudah sedemikian indahnya ..."Raden Yudakara berpuisi dengan suara
mendayu-dayu.
 Para gadis yang mendengar buaian merdu ini pasti akan berbunga-bunga hatinya. Tapi tak demikian
dengan Purbajaya. Dia sudah hapal betul taktik gombal pemuda hidung belang ini. Sebentar lagi pasti dia
akan lanjutkan puisinya seperti ini." ... tapi indahnya rembulan tidak akan sanggup mengalahkan
indahnya paras gadis-gadis ini ...."hati Purbajaya menduga.
 Dan benar saja, Raden Yudakara berpuisi seperti itu.
 " .... tapi indahnya rembulan tidak sanggup mengalahkan keelokan paras gadis-gadis ini ..."Raden
Yudakara melantun dan mendayu. Dan Purbajaya melengoskan wajahnya ke samping.
 "Tak sangka Ki Jayasena pandai menyembunyikan bunga-bunga indah di taman rumahnya ..." sambung
Raden Yudakara. Kalimat indah ini pun jadi terasa sebal sebab bukan satu kali saja dia berkilah seperti
ini. Mungkin dulu Pangeran Arya Damar terpikat sampai menyerahkan Nyimas Waningyun pun karena
mendengar puisi gombal ini.
"Nyimas Wulan tidak tumbuh di taman pekarangan ayahanda, sebab dia adalah putri tunggal Juaragan
Ilun Rosa," Nyi Sumirah menegaskan kalau di taman rumahnya bunga indah hanya dirinya seorang.
 "Oh, ya? Nyatanya banyak pemilik halaman pandai menyemai bunga indah. Aku belum kenal Juragan
Ilun Rosa. Namun wahai gadis berparas elok seelok rembulan, engkau semerbak, tubuhmu bertabur
bintang. Kalau saja engkau belum dihinggapi kumbang ... "
 "Hei, bukankah itu ucapanmu tadi malam padaku, Raden?" Nyi Sumirah mendelik marah.
 "Oh, ya?"
 "Oh,ya,oh,ya. Yang benar saja. Sebetulnya siapakah gadis yang engka puja, engkau puji dan engkau
cintai itu? Aku ataukah yang lain-lainnya?" Nyi Sumirah berkata lantang sepertinya semua orang yang ada
di situ bisa mendengarnya.
 Keduanya bersilang pendapat. Maka sebelum mendengar lebih jauh pertengkaran ini, Purbajaya segera
meninggalkan tempat itu. Dia semakin sebal kepada Raden Yudakara, sekaligus sebal pula kepada
dirinya sendiri. Hanya karena kemampuannya yang terbatas saja maka selama ini dia tak bisa
melepaskan diri dari kungkungan pemuda bangsawan aneh itu.
 Tak dinyana, ketika dia berjalan sendirian, ada gerakan orang yang sepertinya mengikutinya dari
belakangnya.
 Purbajaya cepat menengok ke belakang,"Nyimas Wulan ... " katanya perlahan. Apakah gadis itu tengah
mengikuti dirinya?
 "Nyimas, kau mengikutiku?" tanya Purbajaya heran.
 "Tidak, saya mau pulang ... " jawab gadis itu.
 "Pulang? Purnama belum lagi sirna, pesta belum lagi usai dan teman-temanmu masih bergelimang
kegembiraan, maka alangkah anehnya bila engkau malah memilih pulang," kata Purbajaya "menegur"
gadis itu yang pulang duluan.
 "Kau sendiri pun tak suka hura-hura. Kau bahkan angkuh dan sombong!" tukas gadis itu.
 "Angkuh dan sombong?" Purbajaya melengak. Sudah dua orang gadis Tanjungpura yang menuduh dia
berlaku sombong. Tadi Nyi Sumirah dan sekarang Nyimas Wulan. Karena heran, Purbajaya
menghentikan langkahnya sehingga akhirnya mereka berdua bisa jalan berdampingan.
 Bulan semakin benderang dan malam semakin indah.
 "Saya tak mau diganggu Raden Yudakara, makanya lekas pulang," ujar gadis itu.
 "Sendirian begini?"
 "Mengapa tidak? Tak ada yang sudi mengantar saya pulang ..." jawab gadis itu.
 Banyak gadis merasa bahagia disanjung Raden Yudakara, mengapa kau tidak? Padahal nampaknya
Raden Yudakara menyenangimu dan kau pasti akan diantar pulang," kata Purbajaya menguji gadis itu.
Karena jalanan agak berbatu, Purbajaya mencoba memegang tangan gadis itu untuk membimbing mencar
jalan agak rata. Dan gadis itu balik memegang tanpa sungkan dan ragu.
 "Gadis memang perlu disanjung. Tapi bila berlebihan seperti itu saya tak senang. Seorang gadis bahkan
tak bakalan senang bila sanjungan dan pujian malah dibagi ke mana-mana," kata Nyimas Wulan. Dan
Purbajaya mengangguk-angguk puas karena pemuda hidung belang itu dicerca gadis ini.
 "Tapi saya pun tak menyenangi pemuda angkuh dan sombong,"kata gadis itu lagi melanjutkan.
 Purbajaya merandek.
 "Akukah itu?" tanyanya menuding hidungnya sendiri.
 "Ya, mengapa tidak? Engkau pria sombong tak mau menegur gadis. Masa musti gadis duluan
menegurmu?" tanya Nyimas Wulan.
 "Aku berbuat seperti itu karena takut menyinggung perasaan orang lain," jawab Purbajaya. Dia tahu,
beberapa pemuda Tanjungpura yang tengah berkumpul di sana sudah memperhatikan dirinya dengan
penuh curiga dan perasaan tak senang ketika Purbajaya dikerubuti dua orang gadis sekaligus. Purbajaya
musti hapal pengalaman, banyak pemuda benci dirinya karena disenangi gadis.
 "Tapi saya malah tersinggung sikapmu. Sepertinya saya tak ada harganya di matamu," kata Nyimas
Wulan dengan nada ketus namun manja.
 Purbajaya melongo. Dia tak bisa mengerti kalau kelakuannya yang jujur dan sopan malah menyinggung
perasaan gadis.
 "Jadi, musti bagaimana?" tanyanya.
 "Ya, gabung-gabunglah secara wajar. Kalau orang lain bersenda-gurau, maka ikutlah bersenda-gurau
jangan seenaknya memisahkan diri."
 "Kalau orang lain merayu wanita?"
 "Ya ... Ah, kau ini dungu amat, sih?" Nyimas Wulan mencubit lengan Purbajaya keras sekali sehingga
pemuda itu berteriak kesakitaan.
 "Hai, lelaki malah teriak-teriak kesakitan. Bagaimana kalau ada orang lari ke sini mau menolongmu,
apakah kau tega kalau saya dituding mengganggu dan menganiaya pria?" tanya gadis itu pura-pura
cemas. Kepalanya celingukan ke sana ke mari sepertinya benar takut ada orang lain mendatangi tempat
ini.
 Wajah Purbajaya bersemu merah namun dengan tawa ceria. Baru kali ini dia tertawa karena melihat
seorang gadis melucu.
 "Gadis-gadis Tanjungpura gemar mengganggu pria, ya?" tanyanya.
 "Ih,maunya!" sergah Nyimas Wulan sambil bersiap hendak mencubit lengan Purbajaya. Namun pemuda
ini kali ini sudah siap-siap karena sudah menduganya. Maka dua pasang tangan saling berkutat. Yang
satu hendak mencubit, lainnya hendak menghalau. Lantas keduanya terawa-tawa gembira.
Mereka berdua baru bertemu, baru berkenalan. Tapi dua-duanya sudah saling akrab. Melangkah pun
sudah saling bergandengan tangan. Aneh rasanya. Purbajaya pun tak mengerti, mengapa ini bisa terjadi.
Mungkin karena rasa akrab yang diberikan gadis itu, atau bisa juga karena naluri kelelakian Purbajaya
yang haus akan kasih-sayang seorang gadis. Ketika secara berani gadis itu mengecup pangkal lengannya,
pemuda itu pun dengan tak ragu berani membalasnya.
 Purbajaya diantar pulang ke pekarangan rumahnya namun gadis itu akan masuk rumah secara
sembunyi-sembunyi saja.
 "Engkau sudah terbiasa keluar-masuk rumahmu secara sembunyi, Nyimas?" tanya Purbajaya heran.
 "Siapa bilang?"
 "Kalau begitu, mengapa tak berani jalan belakang?" tanya Purbajaya lagi.
 "Saya pergi ke rumah Nyi Sumirah bersama sepupuku, Sedabanga. Sekarang malah pulang diantar lelaki
asing. Coba, berani tidak engkau berhadapan dengan ayahandaku yang pemberang, sementara kau
sudah berani pegang-pegang tangan saya?" tanya gadis itu sambil melihat pergelangan tangannya yang
dipegang erat Purbajaya.
 Purbajaya terkejut dan langsung melepaskan tangan gadis itu dengan wajah terasa merah karena malu.
 "Nah, takut, ya? Jadi apalagi kalau musti ketemu muka,"Nyimas Wulan menakut-nakuti.
 "Lantas, mengapa kau tak pulang bersama sepupumu itu?"
 "Dia mabuk berat. Jangankan bisa jalan, duduk saja sudah oleng. Makanya saya pulang sendirian saja.
Tapi, apakah engkau menyesal telah mengantar saya pulang?" katanya gadis itu.
 "Ah ... Bukan itu maksudku, Nyimas ..."
 "Kalau begitu, maukah kau mengantarku lagi?" Nyimas Wulan terus mendesak dengan pertanyaan
susulan.
 "Apakah engkau akan terus-terusan pulang malam, Nyimas?"
 "Uh ... Baru segini saja sudah ngeluh. Apalagi kalau diperintah bertempur memperebutkan saya !" omel
gadis itu cemberut."Yang benar saja, mana ada gadis keluyuran tiap malam?" lanjutnya ketus.
 "Habis pertanyaanmu tadi, Nyimas ...?" Purbajaya gagap karena gadis ini aneh-aneh saja bicaranya.
 "Dasar dungu. Sekali waktu kan bisa saja ada lagi keramaian. Kalau bulan lagi purnama, anak-anak di
sini gemar bergembira. Para orang tua pun gemar berpesta-pora, apalagi kalau bulan purnama seusai
panen, pesta selalu diadakan meriah," kata Nyimas Wulan. Makanya tak aneh bila kami keluar malam."
 "Kami?"
 "Ya, karena ayahandaku pun sama menyenangi kegembiraan. Seperti malam ini, ayahanda pasti
minum-minum tuak di kedai," jawab gadis itu membuat Purbajaya agak tertegun.
 "Sudahlah, cepat kau pulang. Bila ketahuan orang yang lagitugur (meronda), kau pasti ditangkap dan
digebuki," kata gadis itu mendorong tubuh Purbajaya agar lekas pergi. Namun sebelumnya, ada kecupan
manis dari bibir gadis itu membuat Purbajaya kelabakan karena malu sendiri.
 "Eh, malah diam? Awas, kepergok tugur kau pasti dipaksa menikahiku!" celoteh gadis itu menahan tawa
dan mencoba menakuti Purbajaya sepertinya urusan menikah amat ditakuti kaum lelaki.Purbajaya
mengangguk dan berniat undur diri ketika secara tiba-tiba gadis itu kembali menciumnya. Hanya sejenak
saja namun cukup membuat tubuh Purbajaya menggigil seperti menderita panas dingin mendadak.
 Purbajaya pulang sendirian menuju rumah Ki Jayasena dengan perasaan tak berketentuan. Ini adalah
kejadian luar biasa dan baru kali ini dialami dalam hidupnya. Bersama gadis seperti Nyimas Waningyun
dan apalagi bersama Nyimas Yuning Purnama tak mudah cium-mencium. Namun bersama gadis
Tanjungpura ini, kok segalanya berjalan serba cepat?
 Ketika tiba di pelataran rumah, keramaian pesta bulan purnama sudah usai. Yang terlihat duduk
sendirian di bale gede adalah Ki Jayasena sepertinya menunggu seseorang.
 Nyatanya yang ditunggu adalah Purbajaya.
 "Kau baru pulang, Purba?" tanya Ki Jayasena dengan suara dingin menatap tajam.
 "Saya baru saja mengantar Nyimas Wulan ... " jawab Purbajaya. Perasaannya tak enak.
 "Maksudmu mengantarkan putri Juragan Ilun Rosa?" tanya Ki Jayasena.
 "Begitu menurut penuturan putrimu ... "
 "Juragan Ilun Rosa adalah kerabat dekat Kandagalante Subangwara, penguasa Tanjungpura kini," kata
Ki Jayasena.
 Purbajaya menatap tajam karena tak tahu apa hubungannya dengan ini.
 Lalu Ki Jayasena mengajak Purbajaya duduk di sana.
 "Dengarkan, Ki Subangwara adalah musuh keluargamu," desis Ki Jayasena.
 "Bukankah ayahanda tewas dalam peperangan melawan Carbon?" tanya Purbajaya heran.
 "Memang benar. Tapi yang menyengsarakan hidup keluargamu bukan peperangan. Mati dalam
peperangan ketika mempertahankan negara adalah kebanggaan. Yang disesalkan, ayahandamu adalah
pejabat yang tak disukai penguasa Pakuan."
 "Berdosakah ayahanda kepada negara?"
 "Tidak disukai penguasa bukan karena berdosa. Fitnah dan persaingan tak sehat sesama pejabat pun
bisa membuat pejabat lainnya terpuruk. Kandagalante Sura Manggala, ayahandamu, amat setia kepada
negara namun difitnak pesaingnya bernama Ki Subangwara. Tanjungpura ini wilayah rawan karena amat
berdempetan dengan wilayah yang sudah dikuasai Carbon. Subangwara melapor ke Pakuan dan
mengabarkan seolah-olah ayahandamu sedikit demi sedikit memasukkan pengaruh Carbon ke wilayah
Tanjungpura," kata Ki Jayasena.
 "Terbuktikah tuduhan itu?"
"Yang jelas, semua orang tahu kalau ayahandamu telah mempertahankan keberadaan negri sampai titik
darah penghabisan. Namun karena kuatnya pengaruh fitnah, kematian ayahandamu tidak mempengaruhi
penilaian Raja terhadap pengorbanan ayahandamu. Ini yang amat disesalkan. Terbukti atau tidak, aku
sebagai kerabat Ki Sura Manggala amat benci kepada Ki Subangwara. Lihatlah, betapa jabatan yang dia
miliki sekarang berlumur darah ayahandamu," kata Ki Jayasena geram dan mengepalkan tinjunya."Aku
akan hancurkan Si Subangwara ini!" teriaknya parau.
 "Melawan pejabat Pakuan berarti memberontak terhadap negara," guman Purbajaya namun hatinya
sedikit menyelidik isi hati Ki Jayasena.
 "Mengapa musti takut dituduh melawan penguasa? Pakuan sedang menjelang kehancuran sebab sudah
banyak negara bawahannya yang telah melepaskan diri," tutur Ki Jayasena.
 "Maksud Paman, apakah Paman pun punya cita-cita memisahkan diri dari Pakuan?" tanya Purbajaya.
 "Ya, mengapa tidak? Tapi bunuh dulu Si Subangwara, baru memisahkan diri!" kata Ki Jayasena
bersemangat.
 Tapi Purbajaya mendengarnya dengan elahan napas panjang.
 "Engkau merupakan keturunan langsung Ki Sura Manggala. Kau harus punya semangat tinggi dalam
membalas dendam."
 "Saya datang ke sini bukan untuk membalas dendam ... " gumam Purbajaya.
 "Ya, aku tahu, kau punya tugas lebih berat ketimbang hanya sekadar balas-dendam. Namun dua-duanya
sebenarnya amat bersinggungan. Bila kau bekerja satu kali maka akan menghasilkan dua keuntungan,"
kata Ki Jayasena mengobarkan semangat kebencian. Ki Subangwara adalah musuh pribadimu tapi juga
musuh negrimu, Carbon. Maka kalau kau bunuh Ki Subangwara, maka berarti kau bela negrimu juga,"
lanjut Ki Jayasena tetap mengobarkan kebencian.
 "Ayahanda mati terhormat karena membela negri. Itu sudah amat membanggakan," tutur Purbajaya. Dan
untuk ke sekian kalinya, Ki Jayasena mengerutkan keningnya karena merasa heran akan sikap
Purbajaya. 
 "Engkau tidak merasa sakit hati atas perlakuan Ki Subangwara yang biadab?" tanya Ki Jayasena. Dan
Purbajaya menggelengkan kepalanya.
 Ki Jayasena melenggak heran dan menatap Purbajaya lama sekali.
 "Tentu sakit hati tapi tak bisa dijadikan alasan untuk membunuh Ki Subangwara begitu saja," jawab
Purbajaya. Tokh ayahanda tetap tak bisa dibuktikan sebagai pengkhianat. Kalau benar ayahanda kena
fitnah, kebenaran akan datang sendiri, yang bersalah akan kena hukumannya. Karena pada suatu saat
saya musti berhadapan, maka itu sebagai prajurit Carbon yang membela negrinya dan bukan hanya
karena urusan pribadi," kata Purbajaya lagi.
 "Bagus kalau begitu. Maka bunuhlah Kandagalante Subangwara karena dia adalah pentolan Pajajaran
dan Pajajaran adalah musuh negaramu," kata lagi Ki Jayasena tetap mendesak.
 "Benar, dia musuh negri saya. Tapi musuh tak selamanya musti dibunuh."
"Ah ... kau ini!" Ki Jayasena kecewa melihat sikap Purbajaya."Mengapa kau bilang musuh tak perlu
dibunuh?" tanyanya heran.
 "Kalau ada cara lain dalam menundukkan musuh, mengapa pembunuhan musti dilakukan?" Purbajaya
balik bertanya.
 "Musuh yang dikalahkan tanpa dibunuh hanya akan menanamkan rasa kebencian dan balas dendam.
Dan bibit-bibit seperti ini kalau dibiarkan berkembang, selanjutnya hanya akan merepotkan saja," Ki
Jayasena berkilah.Purbajaya menghela napas mendengar pendapat Ki Jayasena yang keras ini.
 "Jangan artikan istilah musuh ini seperti yang kita kemukakan di saat hati kita dipengaruhi kemarahan dan
kebencian. Seperti halnya kita memandang suatu penyakit di tubuh kita, kalau kita mau menghilangkan
penyakit itu, bukannya dengan cara menghancurkan tubuh ini, melainkan berpikir bagaimana agar
penyakit itu bisa diberantas akan tetapi tubuh kita tetap sehat tak kurang suatu apa. Kita pun suatu saat
akan melihat orang lain berlaku jahat. Janganlah bunuh orang itu sebab kejahatan itu ada pada jalan
pikirannya. Maka usahakanlah agar oraang itu menghilangkan pikiran jahatnya. Kalau berhasil, kejahatan
akan lenyap tanpa kita melakukan pembunuhan sesama manusia," kata Purbajaya berpanjang-lebar.
 Demi mendengar perkataan Purbajaya ini, Ki Jayasena nampak tersinggung.
 "Kau anak muda bau kencur sudah berani mengguruiku sebagai orangtuamu, anak tolol!" kata Ki
Jayasena ketus."Dari mana kau dapatkan jalan pikiran yang kacaubalau ini?" lanjutnya menahan
kemarahan.
 "Ampunkan saya, Paman ... " jawab Purbajaya sabar."Saya dibesarkan di Carbon. Sudah barang tentu
saya mendapatkan jalan pikiran ini dari Carbon. Begitulah kebiasaan berpikir orang-orang Carbon ... "
kata lagi Purbajaya.
 "Tapi Raden Yudakara tidak berpikir ganjil seperti itu," potong Ki Jayasena geram.
 Purbajaya kembali hanya menghela napas panjang. Ada banyak perkataan dan pendapat untuk melawan
omongan Ki Jayasena namun Purbajaya tidak mau melakukannya. Dia sadar kalau Ki Jayasena yang
disebutkan orang sebagai pamannya sendiri ini sebenarnya sudah kena cekok jalan pikiran Raden
Yudakara ketimbang apa yang sebenarnya dititahkan oleh penguasa Carbon.
 "Harap kau camkan, engkau dibawa ke sini oleh Raden Yudakara karena akan diperbantukan ke
padaku untuk melawan Ki Subangwara dan bukannya berkilah atau bahkan menolak apa yang
diperintahkan olehku. Jangan pula kau kacaukan jalan pikiranku dengan paham-paham baru yang terasa
ganjil dan kacau ini," kata Ki Jayasena sebal.
 "Akan saya pikirkan dalam-dalam, Paman ... " jawab Purbajaya merendah. Dan setelah menyembah
hormat, Purbajaya mohon diri untuk segera beristirahat.
 Purbajaya tak berkata benar, sebab sebetulnya dia ingin melihat apa yang akan dilakukan kemudian oleh
Ki Jayasena. Purbajaya merasa, barusan telah terjadi silang pendapat yang keras antara Ki Jayasena dan
dirinya. Barangkali Ki Jayasena akan segera melaporkan kejadian ini kepada Raden Yudakara.
 Purbajaya tak peduli. Tokh selama ini Raden Yudakara telah tahu kalau Purbajaya selalu punya
pendapat beda dengannya.
Namun demikian, Purbajaya pun sebenarnya ingin meneliti keberadaan Ki Jayasena secara utuh. Sejak
berada di tempat ini hatinya bimbang sebab ada firasat mengatakan kalau Ki Jayasena perlu diragukan
keberadaannya yang diakui orang lain sebagai pamannya itu.
 Ingat ini, maka dia pun segera berjingkat mengikuti ke mana Ki Jayasena berlalu.
 Benar dugaannya, Ki Jayasena mencari-cari Raden Yudakara. Namun setelah yang dicari tak ketemu,
dia segera mengunjungi rumah panggung yang biasa didiami Nyi Sumirah.
 Ketika Ki Jayaratu mengetuk-ngetuk daun pintu kamar putrinya, maka terdengar suara lelaki berdehem.
Tak berapa lama kemudian, dari balik daun pintu nongol kepala Raden Yudakara dengan mimik wajah
memberengut. Mungkin kesal karena merasa diganggu.
 "Ada apa?"
 "Ada yang perlu saya sampaikan, Raden ... " jawab Ki Jayasena hormat sekali.
 "Soal apa?"
 "Soal Si Purbajaya, Raden ...""Lagi-lagi anak itu. Sebentar, aku berpakaian dulu ..." Raden Yudakara
kembali menutupkan daun pintu.
 Di dalam rumah terdengar rengekan manja dari suara wanita yang enggan ditinggal pergi. Dan Purbajaya
hapal betul kalau itu suara Nyi Sumirah.
 "Ah, perempuan tahu apa. Nanti aku balik lagi ke sini! Sampai pagi aku layani kau!" kata Raden
Yudakara yang didengar jelas oleh Purbajaya yang sembunyi di rumpun pekarangan.
 Raden Yudakara keluar lagi sudah berpakaian lengkap.
 "Kita bicara di bale gede saja ... " kata Raden Yudakara masih terdengar bernada kesal karena
diganggu.
 Dua orang itu lantas pergi menuju bale gede yang terletak di tengah perkampungan. Terpaksa Purbajaya
berindap-indap mengikuti mereka.
 Dua orang itu duduk bersila di ruangan bale gede. Saling berhadapan dan saling berbicara. Ki Jayasena
"melaporkan" ikhwal Purbajaya kepada Raden Yudakara.
 "Saya sulit mengendalikan anak itu, Raden ... " kata Ki Jayasena bingung.
 "Ah, dasar engkau dungu, Sena ... " gumam Raden Yudakara.
 "Dia terus membangkang kepada pendapat saya ... " kata lagi Ki Jayasena kesal."Apa sebaiknya kita
enyahkan saja si bedebah ini?" tanyanya gemas.
 "Jangan."
 "Habis dia menolak terus keinginan saya."
 "Engkau kurang wibawa, tak bisa memperlihatkan kalau kau sebenarnya pamannya sendiri."
"Bagaimana saya bisa pura-pura memperlihatkan kasih-sayang padanya, sementara saya amat benci
pada ayahnya. Bahkan saya pula penyebab kematian ayahandanya..." ucapan Ki Jayasena amat
mengejutkan Purbajaya yang lagi sembunyi mengintip pembicaraan mereka.
 Plak! Terdengar suara tamparan karena tangan kanan Raden Yudakara hinggap di pipi Ki Jayasena.
 "Otakmu dungu, hanya berpikir melulu untuk kepentingan sendiri saja," serapah Raden Yudakara."Kau
bunuh Ki Sura Manggala dengan harapan kau gantikan kedudukannya. Tapi yang dipercaya oleh
penguasa Pakuan malah Ki Subangwara bukannya kau. Kau benci Ki Subangwara, lantas kebencian ini
mau kau timpakan kepada Purbajaya dan kau mau pinjam tangan anak muda itu untuk balaskan
dendammu itu, begitu, kan?"
 "Tapi itu pun keinginanmu juga, Raden ... " jawab Ki Jayasena balik menuduh.
 "Memang. Tapi aku tak berpikir tentang balas dendam. Dan yang tengah aku pikirkan pun tidak melulu
perihal keinginan kecil sepertimu. Kandagalante, jabatan apa itu, tidak seujung kuku pun bila
dibandingkan dengan cita-citaku. Dan kau yang hanya butuh sesuatu yang kecil-kecil saja, amat
memualkan sebab telah menggangu rencana-rencana besarku," kata Raden Yudakara memarahi
habis-habisan Ki Jayasena.
 "Jadi, musti bagaimana saya berbuat?"
 "Musti bagaimana, musti bagaimana ... Huh, dasar dungu!" omel Raden Yudakara."Apa yang anak muda
itu katakan padamu?" ujarnya lagi.
 "Purbajaya menolak membunuh Ki Subangwara," jawab Ki Jayasena."Yang lebih menyebalkan dari itu,
dia malah mendekati Nyimas Wulan putri Juragan Ilun Rosa," sambung lagi Ki Jayasena dengan nada
sebal.
 "Siapa Ilun Rosa?"
 "Dia kerabat dekat Kandagalante Subangwara, Raden ... "
 "Hm ... Si Purbajaya bodoh dalam bercinta. Tapi biarkanlah dia becinta dulu, sehingga pemuda dungu itu
semakin dekat juga kepada Ki Subangwara. Dari sana kita akan tentukan kemudian," guman Raden
Yudakara dengan nada dingin.
 "Kalau itu keinginanmu, Raden ...." suara Ki Jayasena terdengar lesu, sepertinya dia tak rela Purbajaya
"diberi" kesempatan bercinta dengan Nyimas Wulan.
 "Kau seperti kecewa mendengar anak gadis Ilun Rosa jatuh ke haribaan Si Purbajaya. Apakah kau pun
berminat terhadap gadis molek itu?" tanya Raden Yudakara sinis.
 Ki Jayasena tidak mengemukakan jawaban apa pun. Malah yang terdengar adalah kekeh Raden
Yudakara.
 "Dasar bandot ..." ejek Raden Yudakara. 
 ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Mar'atus sholihah

  Cari Keripik pisang klik disini MAR'ATUS SHOLIHAH           الدنيا متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة (رواه مسلم) Dunia itu perhiasan,dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang baik budi pekertinya (HR.Muslim) PANDANGAN UMUM ·        Wanita adalah Tiangnya Negara,maka apabila wanita itu berperilaku baik maka Negara itu akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya,apabila wanita itu berperilaku buruk maka Negara itu akan menjadi buruk ·        Wanita yang Sholihah/baik harus selalu konsisten mencari ilmu,karena dengan ilmu kita akan di hormati oleh masyarakat dan selamat di dunia dan akhirat,terlebih ilmu agama dan yang berhubungan dengan wanita ·        Wanita yang baik,wajib (Fardlu 'ain) mempunyai jiwa tauhid dan iman yang kuat supaya tidak gampang terpengaruh,ibarat bangunan,tauhid merupakan pandemen/pondasinya, maka apabila pondasinya kuat bangunan itu tidak akan mudah roboh ·        Wanita sholihah harus mempunyai Akhlak/budi pekrti yang baik,baik itu kepada orang tua,suami,g

Aan Merdeka Permana

Cari Keripik pisang klik disini Aan Merdeka Permana merupakan pemenang penghargaan Samsoedi pada tahun 2011 dari Yayasan Kabudayaan Rancage, untuk novel sejarahnya Sasakala Bojongsoang. Seorang jurnalis yang lahir di Bandung 1950, telah bekerja sebagai editor untuk Manglé, Sipatahunan, dan Galura. Selain menulis untuk keperluan jurnalistik beliau juga menulis cerpen dan puisi.  Buku-bukunanya yang pernah terbit kebanyakan bacaan anak dalam bahasa Sunda Kedok Tangkorék (1986), Jalma nu Ngarudag Cinta (1986), Andar-andar Stasion Banjar (1986), Muru Tanah Harepan (1987), Nyaba ka Leuweung Sancang (1990), Tanah Angar di Sebambam (1987), Paul di Pananjung, Paul di Batukaras (1996), Si Bedegong (1999), Silalatu Gunung Salak (6 épisode, 1999).

Mengenal Larry Tesler, pahlawan penemu fitur "copy-paste"

Larry Tesler, penemu konsep cut, copy, paste pada komputer meninggal dunia di usia 74 tahun pada Senin (17/2). Namun, penyebab kematian belum diungkap sampai hari ini. Tesler lahir di New York, Amerika Serikat pada 24 April 1945. Ia merupakan lulusan Ilmu Komputer Universitas Standford. Tahun 1973 Tesler bergabung dengan Pusat Penelitian Alto Xerox (PARC), di mana dia mengembangkan konsep cut-copy-paste. Konsep ini difungsikan untuk mengedit teks pada sistem operasi komputer seperti dilansir The Verge. Tujuh tahun kemudian, pendiri Apple Inc yakni Steve Jobs mengunjungi kantor PARC dan Tesler ditunjuk menjadi pemandu. Lihat juga:Fernando 'Corby' Corbato, Penemu Password Komputer Meninggal "Jobs sangat bersemangat dan mondar-mandir di sekitar ruangan. Saya ingat betul perkataan Jobs saat melihat produk besutan PARC, 'kamu sedang duduk di tambang emas, kenapa kami tidak melakukan sesuatu dengan teknologi ini? Kamu bisa mengubah dunia,'" kata Tesler sa